Sabtu, 29 Agustus 2009

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALU NO. 85/PDTG/2008/PN PALU TANGGAL 26 AGUSTUS 2009

Oleh : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

A. Pendahuluan
Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah. Putusan dimaksud, dimuat di Radar Sulteng, Mercusuar, dan Nuangsa Pos pada tanggal 27 Agustus 2009. Putusan dimaksud, melahirkan Pro dan Kontra sehingga penulis merasa perlu memberi komentar mengenai putusan dimaksud.
Hj Aisyah merupakan Isteri dari H. Mubin Radjadewa yang meninggal sekitar tahun 2000 dan meninggalkan Ahli waris di antaranya: seorang Suami (H. Mubin Radjadewa) dan 4 (empat) orang anak, yaitu: Faazil, Ridwan, Syarif, dan Faradiba. Selain itu, ia meninggalkan sejumlah harta warisan.
Budaya hukum masyarakat yang mendiami wilayah sulawesi Tengah dalam hal pembagian harta warisan terdiri atas 4 (empat) bentuk, yaitu: (1) Pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) Pembagian harta warisan melalui Tokoh adat/Tokoh Agama atau melalui Notaris, (3) Pembagian harta warisan melalui Pengadilan Agama, dan (4) pembagian harta warisan melalui pengadilan negeri. Budaya hukum dimaksud, berjalan ratusan Tahun dalam masyarakat yang mendiami Sulawesi Tengah kecuali poin 2. Poin 2 dimaksud, sesuai kondisi masyarakat, yaitu terkadang para ahli waris itu meminta bantuan kepada Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Notaris dalam menyelesaikan pembagian harta warisannya. Keberadaan Notaris itu terkadang menggantikan posisi tokoh Adat dan Tokoh Agama sesuai kondisi pengetahuan Ahli waris yang pantas dimintai bantuan untuk membagi harta warisannya.
B. Pembahasan
Perilaku hakim melalui Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah menyalahi budaya hukum (legal culture). Budaya hukum dimaksud, para ahli waris sudah sepakat mengenai bagian ahli waris: yaitu Syarif dan Paradiba. Harta dimaksud, merupakan bagian harta warisan dari ibunya (Hj. Aisyah). Karena itu, Syarif dan Paradiba mendatangi Notaris untuk dibuatkan Akta Notaris tentang hartanya sehingga lahir Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan.
Pembatalan Akta Notaris dimaksud, tidak menghayati sejarah hukum lahirnya Akta Notaris dimaksud pada tahun 2001, tidak menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di zaman itu, melainkan putusan hakim itu hanya semata-mata mempertimbangkan Gugatan Penggugat kepada para tergugat di antaranya Pembuat Akta Notaris. Putusan hakim yang seperti inilah yang biasa melahirkan pro dan kontra dalam masyarakat yang kemudian melahirkan konflik diantara para ahli waris.
Obyek masalah dalam pembatalan Akta Notaris dimaksud, adalah harta peninggalan Hj. Aisyah yang menjadi harta warisan kepada sejumlah orang yang menjadi ahli waris. Orang-orang yang menjadi ahli waris dimaksud, hanya dua sebab, yaitu melalui ikatan perkawinan dan melalui hubungan nasab (darah). Akte Notaris No. 42 tahun 2001 berkenaan hak milik anak kandung sebagai ahli waris. Karena itu, Para hakim yang memutus perkara dimaksud, masih perlu membaca buku-buku yang berkenaan hukum waris di antaranya Pelaksanaan hukum waris di Indonesia, terbitan Sinar Grafika tahun 2008.
Selain itu, penulis mengemukakan bahwa Penggugat semestinya melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1.Membuat permohonan penetapan ahli waris Hj. Aisyah ke Pengadilan Agama ;
2.Berdasarkan permohonan penetapan ahli waris dimaksud, maka Suami mendapat ¼ dari harta warisan Isterinya, dan 4 (empat) orang anak mendapat bagian 2/3 dari harta warisan ibunya dengan perimbangan anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian.
3.Kalau masih hidup orangtua Hj. Aisyah maka ia mendapat 1/6 bagian harta warisan

C. Penutup
1.Putusan hakim yang menyalahi budaya hukum (legal culture) dalam masyarakat yang berkenaan harta warisan akan melahirkan pro dan kontra yang dapat mengakibatkan konflik di antara ahli waris.
2.Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Notaris hanya membantu penyelesaian pembagian harta warisan dalam sejarah hukum sehingga tidak pantas menjadi tergugat.

Rabu, 26 Agustus 2009

MASALAH HAK ASASI MANUSIA, HAK-HAK SIPIL, DAN KEPERDATAAN DI SULAWESI TENGAH

MASALAH HAK ASASI MANUSIA, HAK-HAK SIPIL, DAN
KEPERDATAAN DI SULAWESI TENGAH
Oleh: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

A. Pendahuluan
Bila mengamati permasalahan Hak asasi manusia sejak terjadinya konflik horizontal di Poso tahun 1998 hingga saat ini, maka ditemukan ada empat pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran terhadap hak atas rasa aman, hak untuk hidup, hak atas kepemilikan dan hak untuk memperoleh keadilan. Karena itu, sejak terjadinya konflik berkepanjangan di daerah itu, masyarakat telah kehilangan rasa aman sehingga mereka harus mengungsi. Masyarakat terpaksa kehilangan harta benda yang ditinggalkannya bahkan sejumlah warga masyarakat kehilangan hak untuk hidup karena menjadi korban dalam pertikaian itu.
Pelanggaran HAM lainnya adalah hak untuk memperoleh keadilan. Hingga saat ini, para pelaku pembunuhan, pembakaran, pengrusakan, provokator dan yang meneror masyarakat dengan berbagai tindak kriminal belum juga semuanya terselesaikan, termasuk diproses secara hukum, bahkan mereka masih ada yang melakukan aksinya untuk menakut-nakuti warga sehingga sampai saat ini masih banyak pengungsi yang belum kembali ke Poso. Walaupun wilayah Poso saat ini penurut penulis cukup kondusif pasca eksekusi Tibo Cs. Berkenaan beberapa masalah pelanggaran HAM dimaksud, penulis memfokuskan kajian terhadap pengertian, ruang lingkup, dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia, hak-hak sipil dan keperdataan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah
Penulis menemukan fakta hukum bahwa tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mendiami Kabupaten Poso mengharapkan kepada pihak pemerintah untuk serius menangani pemulihan hak-hak sipil dan keperdataan bagi pengungsi, baik yang sudah kembali ke Poso dan Tentena maupun pengungsi yang masih berada di beberapa kabupaten wilayah Sulawesi Tengah dan di Propinsi Sulawesi Utara yang belum mau kembali ke Poso. Padahal, Poso telah dinyatakan aman, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Propinsi dan kabupaten Poso. Pengungsi dimaksud, ada yang tidak lagi memiliki akses terhadap sumber-sumber penghidupan (livelihood assets) yang mereka tinggalkan (tanah dan rumah). Sebab, setelah beberapa tahun mengungsi, properties dan tanah sawah dan kebun mereka ada yang telah dikuasai oleh orang lain. Untuk itu, pemerintah atau pihak yang berwenang dipandang penting untuk mengupayakan pengembalian dan atau penggantian (restitution of property) hak-hak keperdataan tersebut. Respon terhadap masalah ini dapat dilakukan dengan kesungguhan pemerintah dan unsur-unsur terkait dalam pemulangan (reintegration) para pengungsi ketempat asal mereka (homes or pleace of habitual residence). Namun langkah ini hanya dapat ditempuh sepanjang benar-benar telah ada jaminan pemulihan hak-hak keperdataan dan jaminan keamanan jika mereka kembali.
Reintegrasi juga penting dengan pertimbangan bahwa kalau langkah ini sukses bisa menjadi indikator atas kualitas perdamaian yang telah semakin membaik. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena masyarakat Poso sebenarnya adalah masyarakat yang dulunya sangat menghargai nilai-nilai pluralisme. Ratusan tahun sebelum terjadi konflik, warga poso telah terbiasa hidup berbaur satu sama lain tanpa dibebani masalah soal perbedaan keyakinan di bawah semboyan "Sintuwu Maroso". Namun konflik telah menghancurkan budaya pluralisme yang dulu inherent dalam kehidupan masyarakat Poso. Tapi jika langkah reintegrasi tidak dapat dilakukan maka pemerintah harus mengupayakan resettlement para pengungsi kesuatu yang aman sehingga mereka dapat hidup dan damai. Semua ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah karena mereka mengungsi akibat kegagalan pemerintah menciptakan rasa aman. Rasa aman dimaksud, merupakan bagian dari Hak asasi manusia.
Selain hak-hak keperdataan pengungsi dimaksud, Jaminan keamanan adalah salah satu persoalan krusial yang membuat pengungsi memilih untuk tetap bertahan hidup di kamp pengungsian. Masih segar dalam ingatan ketika tiga kali ledakan bom masing-masing di kelurahan Mapane dan di kelurahan Kasiguncu Kecamatan Poso Pesisir pada 15 April 2007 dan 22 Mei 2007 juga dikelurahan Kasiguncu pasca penggerebekan sejumlah DPO dibawah operasi penegakan hukum, bisa dilihat sebagai salah satu bukti bahwa jaminan keamanan tidak berbanding lurus dengan jumlah aparat keamanan di sana. Pendekatan keamanan dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar di tanah Poso, yang selama ini menjadi andalan pendekatan pemerintah dinilai gagal dalam memberi jaminan keamanan bagi pengungsi.
B. Permasalahan
1. Apakah pengertian dan Ruang Lingkup HAM serta Bagaimana Pelaksanaannya di Poso, Sulawesi Tengah
2. Bagaimana pendapat tokoh Agama dan tokoh Masyarakat mengenai hak-hak Sipil dan keperdataan bagi pengungsi dari dampak kerusuhan/konflik Poso ?
3. Bagaimana Kinerja pemerintah/Kantor pertanahan mengenai hak-hak Sipil dan keperdataan bagi para pengungsi dari dampak kerusuhan/konflik Poso?
4. Bagaimana jaminan keamanaan bagi masyarakat yang mendiami Wilayah Poso, baik warga masyarakat pengungsi yang pulang ke Poso maupun warga masyarakat yang tidak pernah mengungsi dari wilayah Poso?

C. Pembahasan
1. Pengertian, Ruang Lingkup dan Pelaksanaan HAM di Poso, Sulawesi Tengah
a. Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia (selanjutnya di sebut HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada hakekatnya HAM terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan.
Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia di atur melalui Undang-undang Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Batang tubuh dimaksud, dapat diungkapkan beberapa pasal di antaranya: pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1) 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 ayat (1) dan ayat (3) dan 34. Namun pengaturan hak asasi manusia (HAM) secara khusus di atur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Karena itu, perbuatan-perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, meng-halangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh Undang-undang dimaksud (Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999) dan tidak mendapatkan, atau mengha-watirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi manusia yang demikian, disebut pelang-garan hak asasi manusia yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.
Berdasarkan hal tersebut, Komnas HAM atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia yang bertujuan untuk: (1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
b. Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak asasi manusia mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal itu dikemukakan sebagai berikut.
1)Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
2)Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.
3)Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
4)Setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.
5)Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.
6)Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
7)Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucil-kan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.
8)Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
c. Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Poso, Sulawesi Tengah
Bila mengamati pelaksanaan Hak asasi manusia di Poso, Sulawesi Tengah dengan menggunakan indikator ruang lingkup hak asasi manusia di atas, maka penulis menganggap bahwa sudah ada yang terlaksana termasuk pelaksanaan eksekusi Tibo Cs. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih jauh dari apa yang diharapkan oleh Undang-undang yang berkenaan Hak asasi manusia termasuk poin pertama ruang Lingkup HAM (Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya). Selain itu, dapat dibuktikan dengan masih adanya pengungsi Poso yang belum mau pulang ke Poso bahkan ada di antara mereka sudah memilih tinggal di tempat pengungsiannya. Khusus sub pokok bahasan ini, tentu akan lebih baik didiskusikan
2. Pendapat Tokoh Agama dan Masyarakat mengenai pemulihan hak-hak sipil dan keperdataan di Kabupaten Poso
a. Yahya Patiro
Yahya Patiro selaku Ketua 2 Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang berpusat di Tentena Kabupaten Poso, menilai selain pengembalian pengungsi dan pemulihan hak keperdataan, kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan sosial yang perlu disikapi secara serius melalui program peningkatan perekonomian warga poso. Hal itu, dikemukakan karena Data badan statistik Kabupaten Poso menyebutkan masih terdapat 20.000 keluarga miskin di Poso. Kemiskinan dimaksud, melahirkan penderitaan dan warga masyarakat yang menderita akan dapat menimbulkan ekses baru, bisa timbul economy crime yang akan menyebabkan timbul lagi hal-hal kerusuhan yang baru dan melahirkan permasalahan baru bila tidak diselesaikan seacara serius.
b. Ust Gani T Israil
Ust Gani T Israil, seorang Tokoh Muslim di Poso Kota, mengemukakan bahwa walaupun konflik Poso sudah selesai dan sudah kondusif masyarakat yang mendiaminya, namun belum semua warga masyarakat itu sudah mendapatkan hak-hak keperdataannya termasuk mengolah lahan kebun dan menikmati lahan pemukiman yang pernah ditinggalkan ketika mereka mengungsi. Karena itu, pengembalian hak-hak keperdataan berupa hak pemilikan kebun, sawah, dan lahan pemukiman juga merupakan pekerjaan amat penting yang harus dituntaskan. Karena itu, hak keperdataan perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak pemerintah karena ini juga tidak menutup kemungkinan akan bisa memicu ulang konflik. Masih banyaknya hak-hak keperdataan yang belum tuntas, baik itu umat Islam maupun Nasrani, akan memungkinkan memicu konflik bila tidak terselesaikan secara tuntas berdasarkan hukum yang berlaku.
c. Malik Syahadat
Malik Syahadat, seorang sesepuh masyarakat di Poso mengemukakan bahwa situasi Poso semakin kondusif dari segi keamanan sehingga saatnya penanganan Poso difokuskan pada pengembalian warga Poso di daerah pengungsian, dikembalikan ke tempat asalnya. Pengungsi dimaksud hingga akhir Tahun 2007 masih terdapat 2088 Jiwa, baik di wilayah Sulawesi Tengah maupun di wilayah lainnya. Karena itu, diharapkan pemerintah membuat langkah-langkah agar pengungsi dimaksud bisa kembali. Langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah adalah menyiapkan perumahan dan lapangan kerja di bidang sektor ekonomi".
d. Sawerigading Pelima
Sawerigading Pelima, Ketua DPRD Poso berpendapat bahwa kasus hak-hak keperdataan di Poso yang masih tersisa harus segera diselesaikan karena rentan akan timbulnya permasalahan baru. Menurutnya, korban konflik di pengungsian sudah lama merindukan kembali ke tanah atau pun rumahnya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan sejak konflik Poso memanas.
Berdasarkan pendapat tokoh agama dan tokoh masyarakat yang dikemukakan di atas, penulis beranggapan bahwa penyelesaian masalah pengungsi yang berkenaan hak-hak keperdataan dan meningkatkan perekonomian dalam mengurangi jumlah keluarga miskin dan pengangguran di Poso akan menjadi pondasi kuat rekonsiliasi sejati di Poso. Namun demikian, tentu akan dilakukan secara bertahap, dan yang paling mendesak adalah pemulihan hak-hak keperdataan, baik pemilikan lahan perumahan, sawah, kebun dan hak-hak keperdataan lainnya.
2. Kinerja pemerintah/Kantor pertanahan mengenai hak-hak keperdataan bagi para pengungsi dari dampak kerusuhan/konflik Poso

Seiring dengan semakin kondusifnya Kabupaten Poso, Kepala Kantor Pertahanan Kabupaten Poso, mulai mengambil langkah untuk mengembalikan hak keperdataan warga Poso, terutama soal tanah yang selama ini banyak ditinggalkan, dikuasai orang lain, atau diperjualbelikan di bawah tangan. Karena itu, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Poso Yery Agung Nugroho SH menyatakan, pihaknya saat ini sedang melaksanakan program penanganan hak keperdataan (tanah) bagi warga Poso pasca konflik. "Kegiatan ini akan mencakup 11 kecamatan yang meliputi 113 desa dan kelurahan yang terkena dampak konflik". Penanganan hak-hak keperdataan itu, adalah inventarisasi atau pendataan penguasaan, pemilikan tanah termasuk sertifikat hilang atau terbakar, ocupasi (penguasaan tanah oleh bukan pemilik sebenarnya, red) dan peralihan di bawah tangan. "Sertifikat yang hilang atau terbakar akan diganti. Sedangkan transaksi peralihan yang hanya menggunakan kuitansi biasa akan diusahakan memiliki akte. Terhadap ocupasi akan dikembalikan ke pemilik sesungguhnya". Yery menegaskan, , pengembalian hak keperdataan warga tersebut tidak dibebankan biaya. Hal dimaksud, merupakan dukungan pihak pemerintah melalui Kantor Pertanahan terhadap upaya pemulihan Kabupaten Poso yang selama ini didera konflik.
Kepala Kantor pertanahan aktif melakukan sosialisasi di sejumlah desa dan kelurahan di Poso. "Saat ini sosialisasi itu sedang berlangsung dan diharapkan kepada seluruh warga yang punya hak keperdataan di Poso agar segera melapor ke kantor desa atau kelurahan di Poso, baik warga Poso yang berdiam di luar Poso maupun yang sudah ada di Poso. Yery mengatakan, program ini diperuntukkan bagi semua warga Poso yang punya hak keperdataan di Poso termasuk mereka yang saat ini sudah berada di luar Poso. Bagi mereka yang kini sudah berada di luar Poso agar segera melapor ke desa atau kelurahan agar tahapan proses pengembalian hak keperdataan ini bisa berjalan lancar.
Sosialisasi dimaksud, pada tahun 2007 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Poso telah menerbitkan 300 sertifikat tanah kepada masyarakat yang menjadi korban konflik beberapa tahun lalu, sebagai salah satu upaya untuk memulihkan daerah itu. Kasubbag TU BPN Poso B.S Monepa, mengatakan ratusan sertifikat baru itu merupakan pengganti benda serupa yang sudah dinyatakan hilang atau musnah terbakar akibat konflik. Namun, pihak pertanahan sebelum menerbitkan sertifikat, ia melakukan pemeriksaan di lapangan untuk membuktikan bahwa tanah itu ada dan luasnya sesuai dengan yang dilaporkan warga masyarakat. Selain itu, B.S Monepa mengatakan, pihaknya menargetkan mampu menerbitkan sebanyak 500 sertifikat tanah sampai akhir 2007 lalu. Namun dalam kenyataan Keterbatasan waktu lah yang menyebabkan target tidak terpenuhi. Apalagi ada beberapa warga yang kurang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa Kasus sertifikat hilang atau musnah terbakar paling banyak terdapat di Mayajaya (107 kasus) dan Uelene (61 kasus) yang terletak di Kecamatan Pamona Selatan.
Penerbitan sertifikat tanah bagi masyarakat korban konflik di Poso itu merupakan program dari pemerintah pusat yang menggunakan dana recovery.
BPN Poso sendiri mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 950 juta. "Sampai saat ini dana yang telah terpakai sebesar Rp500 juta. Sisa dananya masih ada di Bappeda Poso. BPN Poso sendiri, tidak memiliki program untuk mengatasi hak keperdataan masyarakat korban konflik sehingga diharapkan agar pemerintah pusat mampu memberi dana serta memperpanjang pelaksanaan penyelesaian hak-hak keperdataan, karena masih banyak tanah atau bangunan yang sampai saat ini bermasalah akibat lama ditinggalkan pemiliknya. Selain penerbitan sertifikat tanah baru, BPN Poso juga menyelesaikan beberapa kasus mengenai penerbitan surat perumahan sebanyak 101 lembar dan masalah peralihan tanah di bawah tangan sebanyak 324 kasus.
Pemulihan hak-hak keperdataan pada tahun 2006 hingga tahun 2007 yang dikemukakan di atas, penulis menganggap berhasil BPN dalam melaksanakan tugasnya. Namun pada tahun ini atau Program persertifikatan Prona Tahun 2009 di Kabupaten Poso, belum berjalan maksimal, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Poso, Yery Agung Nugroho, SH. Mengatakan, belum maksimalnya pelaksanaan prona di Kabupaten Poso dikarenakan kurangnya partisipasi aktif masyarakat. Selain itu, banyaknya pemilik tanah selaku pemohon sertifikat yang tidak memiliki SPPT PBB, dan banyaknya pemilik tanah yang tidak memiliki bukti-bukti sah kepemilikan tanah, serta masih banyaknya pula warga yang tidak memiliki identitas penduduk KTP dan Kartu Keluarga. Ke tiga point masalah dimaksud, sebagai kendala berat terealisasinya program Prona 2009. ”Respons masyarakat pada prona cukup tinggi. Namun tidak dibarengi dengan kelengkapan berkas yang diisyaratkan, jelas Yery di Kantornya kemarin.
Menurut Michler Tasiabe SH, Prona BPN Poso, mengemukakan bahwa sudah hampir seluruh tahapan dan mekanisme program persertifikatan prona tahun 2009 dikerjakan oleh BPN Poso, yaitu mulai dari kegiatan penyuluhan/sosialisasi, penelitian data Yuridis, hingga pada proses penelitian data fisik. Namun ketidak-lengkapan berkas kepemilikan tanah yang dimiliki oleh pemohon prona menjadi penghalang bagi kelanjutan mekanisme kerja BPN pada program prona, seperti melakukan pengukuran. BPN belum berani melakukan pengukuran tanah kalau persyaratan berkasnya tidak lengkap. Karena itu, Kepimilikan tanah yang tidak dilengkapi dengan bukti-bukti sah kepemilikannya memang menjadi problem serius yang tengah dihadapi BPN Poso pada Program persertifikatan prona tahun ini. Misalnya lebih seribu pemohon prona tahun 2009 yang sudah mendaftar di BPN Poso, belum satu pun pemohon yang berkas permohonannya lengkap, yaitu para pemilik tanah yang tidak dapat menunjukan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah.
Program Prona tahun 2009 di Kabupaten Poso memperoleh jatah sebanyak 2000 sertifikat dari BPN, 2000 buah sertifikat itu akan diperuntukan bagi 44 desa/kelurahan yang tersebar diwilayah Kabupaten Poso, dengan kuota perdesa sebanyak 45 sertifikat. Selain itu, Yery (Kepala Kantor BPN) mengemukakan bahwa tidak semua pengurusan persertifikatan Prona itu gratis , sebab tidak semua kegiatan prona itu dibiayai negara melalui DIPA Kantor Pertanahan. ”yang gratis adalah yang anggarannya ada di DIPA kantor pertanahan masing-masing. Yang tidak ada dalam DIPA, warga masyarakat itu sendiri yang menanggung biayanya. Karena itu, Program Prona yang gratis adalah yang telah dibebankan pada DIPA masing-masing kantor pertanahan, yaitu biaya penyuluhan prona, pengumpulan data Yuridis, pengukuran bidang dan tugu pada orde 4, penetapan hak serta pendaftaran tanah dan penerbutan sertifikat. Namun untuk BPHTB. Dan PPH dari peralihan atas tanah dan bangunan, materai untuk leges alas hak, mengurus bukti-bukti perolehan tanah, dan biaya patok batas dibidang tanah, biayanya itu dtanggung dan dibebankan kepada pemohon alias peserta prona. Sebab anggaran untuk itu tidak tersedia dalam DIPA BPN.
Pemaparan dalam pemenuhan hak-hak keperdataan bagi masyarakat yang mendiami poso pada tahun 2006 sampai tahun 2007 mengenai pemulihan hak keperdataan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional di Poso dapat terselesaikan. Namun pada tahun 2009 tampak menuai sejumlah masalah. Permasalahan dimaksud, menurut penulis sebagai berikut.
a. Bukti hak pemilikan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak mesti diikuti sebagai akibat bekas wilayah konflik.
b. KTP dan Kartu keluarga bagi warga masyarakat yang baru pulang dari pengungsian tidak semestinya menjadi penghalang untuk bermohon sertifikat hak pemilikan tanah;
c. Beberapa pembuktian hak pemilikan tanah dapat diganti dengan pembuktian lain berupa saksi-saksi pemilik tanah yang ada disekitar tanah yang dimohonkan sertifikat.
d. BPN seharusnya menggunakan pendekatan sosiologi hukum dalam memproses permohonan pemohon sertifikat hak pemilikan sehingga hak-hak keperdataan masyarakat poso dapat dipulihkank/diselesaikan
e. Pendekatan yuridis normatif atau berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam hal pemulihan hak-hak keperdataan amat dibutuhkan bila dalam kondisi normal atau bukan bekas wilayah konflik.
3. Jaminan keamanaan bagi masyarakat yang mendiami Wilayah Poso
Masih segar dalam ingatan bagi penduduk yang mendiami Sulawesi Tengah, yaitu tiga kali ledakan bom, masing-masing di kelurahan Mapane dan di kelurahan Kasiguncu Kecamatan Poso Pesisir pada 15 April 2007 dan 22 Mei 2007 juga dikelurahan Kasiguncu pasca penggerebekan sejumlah DPO dibawah operasi penegakan hukum, bisa dilihat sebagai salah satu bukti bahwa jaminan keamanan tidak berbanding lurus dengan jumlah aparat keamanan di sana.
Pendekatan keamanan dengan menggerahkan pasukan dalam jumlah besar di tanah Poso, yang selama ini menjadi andalan pendekatan pemerintah dinilai gagal dalam memberi jaminan keamanan bagi pengungsi. Mengapa teror bom masih menghiasi Poso ketika itu? Padahal, tidak kurang dari 3000-an pasukan pengamanan TNI / POLRI ada disana. Apa saja yang mereka lakukan di Poso? Hal itu berarti bukan banyaknya aparat keamanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan kedamaian di Poso, melainkan memerlukan pendekatan multi disipliner, dan metodologi serta muatan penanganan konflik Poso diubah lebih pada proses pendidikan, penguatan, serta penyadaran bagi masyarakat yang mendiami kabupaten Poso.
Hal dimaksud, berarti bukan mobilisasi bersenjata atau metodologi show force yang dilaksanakan di sana. Sebab, jika diamati lebih jauh, kebutuhan masyarakat Poso bukan itu. Ketika dihadapkan dengan show force pasukan pada akhirnya hanya mendapatkan perlawanan dan resistensi. Tetapi akan lain hasilnya jika menempuh dengan membangun diskusi tentang hak-hak keperdataan para korban dan hak-hak yang berkaitan dengan hak sipil dan politik serta hak bebas dari rasa takut.
Berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan aspek keperdataan di Poso akan terlihat ada nuansa pencerahan. Masyarakat pengungsi tidak dapat berbuat apa-apa karena saat hendak menggarap tanah mendapatkan resistensi dari masyarakat lainnya.
Hal itu terjadi karena orientasi negara yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah atau komponen kelembagaan negara lainnya tidak pernah mau memikirkan. Kalaupun dipikirkan, mereka pura-pura bingung hingga akhirnya muncul lagi resitensi-resistensi yang berimplikasi pada problem kesejahteraan dan rasa aman.
“Seharusnya apa pun yang dilakukan lebih pada nuansa muatan pendidikan. Penyadaran harus lebih dominan. Karena itu, seluruh elemen negara di Poso harus segera membuka komunikasi dan menyadari bahwa metodologi dan pendekatan yang digunakan selama ini keliru.
Jaminan keamanaan bagi masyarakat yang mendiami Wilayah Poso, baik warga masyarakat pengungsi yang pulang ke Poso maupun warga masyarakat yang tidak pernah mengungsi dari wilayah Poso merupakan kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan kedamaian. Kedamaian dimaksud, dapat dilihat suasana kedamaian itu dalam tiga tahun terakhir ini. Aparat kepolisian bersama TNI (dalam skala kecil) dan pemerintah serta masyarakat melakukan langkah-langkah dalam mewujudkan kedamaian melalui:
a. Forum Komunikasi antar umat beragama
Tokoh masyarakat Poso, baik Kristen dan Muslim, telah mengaktifkan kembali pola komunikasi antar tokoh agama dan warganya, mengaktifkan kembali pasar-pasar tradisional, membantu para pengungsi dari lintas agama untuk kembali ke daerah asalnya, dan mengerahkan warga untuk bergotong royong membersihkan lingkungan sekitar termasuk membangun rumah dan MCK umum. Masyarakat biasa pun tak ketinggalan membuat berbagai kegiatan yang melibatkan dua komunitas yang dulunya bertikai seperti menyelenggarakan pertandingan sepakbola dan volly. Ada pula wisata rekonsiliasi yang melibatkan ibu-ibu dari lingkungan Kristen dan Islam untuk mengunjungi rumah-rumah dan tempat ibadah yang hancur akibat konflik. Melalui aktivitas ini mereka bisa langsung melihat penderitaan yang lain dan menyadari bahwa mereka sama-sama dirugikan oleh konflik ini.
Perdamaian kini mulai pulih di Poso dan relasi antar ummat beragama sudah mulai membaik. Penduduk Poso kini sudah bisa melakukan aktifitas harian mereka, pergi bekerja dan ke pasar, tanpa dihantui ketakutan akan terjadinya kekerasan. Forum untuk memfasilitasi komunikasi antar umat beragama pun sudah didirikan, dan di beberapa kawasan, beberapa komunitas agama setuju untuk meniadakan kegiatan di hari Jumat dan Minggu untuk menghormati pelaksaan ritual keagamaan seperti sholat Jum’at dan Kebaktian di Gereja.
Namun yang lebih penting lagi, penduduk Poso kini tak lagi mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan bila ada insiden kekerasan, seperti meledaknya bom. Namun, luka akibat konflik belum sepenuhnya mengering, dan masih ada ketakutan akan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan konflik untuk kepentingan mereka. Karena itu, langkah-langkah strategis perlu diambil agar perdamaian dan integrasi sosial yang sudah mulai terjalin dengan baik ini dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan.
b. Budaya Toleransi
Budaya toleransi antar agama yang aktif perlu direvitalisasi karena toleransi adalah bekal utama proses integrasi; toleransi yang aktif memungkinkan semua pihak untuk tidak hanya mengakui keabsahan pandangannya masing-masing, tetapi juga menghargai pandangan-pandangan pihak lain.
Upaya meningkatkan integrasi dan menumbuhkan toleransi semacam itu bisa dilakukan dengan menggali kembali nilai kearifan lokal seperti ”Sintuwu Maroso" (kerjasama dan tolong menolong antar-sesama), ”Pamona” (tanggung-jawab sosial), ”Nosialapale” (keterbukaaan), dan ”Membetulungi Mombepalae” (kepedulian sosial). Pagelaran budaya lokal seperti tarian adat ”Dero”, dimana laki-laki dan perempuan yang berbeda etnis dan agama menari bergandeng tangan, perlu digalakkan kembali.
Beberapa aktor yang terlibat menyulut konflik memang telah diadili dan dihukum. Tetapi pemerintah harus bekerja lebih keras untuk menegakkan hukum dengan adil, agar tidak ada kelompok yang merasa bahwa pemerintah mengorbankan satu kelompok dan melindungi yang lain. Netralitas seperti ini juga harus diterapkan oleh pemerintah dalam kebijakan di sektor lain yang terkait dengan Poso. Ini bisa dilakukan dengan menjunjung prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan komitmen untuk menghindari dan memberantas korupsi dan nepotisme.
c. Program-program pemberdayaan masyarakat
Program-program pemberdayaan masyarakat yang melibatkan dua komunitas yang dulunya bertikai perlu terus ditingkatkan agar mereka berbaur dan bersatu kembali. Kegiatan seperti membangun jalan, tempat ibadah, dan fasilitas umum bahkan menyelenggarakan kegiatan pengembangan usaha, jika dilakukan bersama-sama, akan membantu menyemat kembali ikatan yang pernah terurai. Akhirnya, menjaga dan mempertahankan perdamaian yang sudah mulai kembali di bumi Poso bukanlah sekedar meniadakan kekerasan, tetapi juga membangun toleransi dan memupuk niat dan keinginan untuk terus bekerja sama, agar masyarakat Poso bisa meraih kesejahteraan, kebebasan, dan keadilan bersama-sama.
D. Penutup
Untuk mewujudkan poso damai dalam kesinambungan maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1.Penegakan hukum dalam berbagai bentuknya termasuk HAM yang berkenaan pemulihan hak-hak sipil dan keperdataan amat menentukan keberlangsungan kedamaian di Poso;
2.Permohonan sertifikat dalam bentuk hak pemilikan tanah kepada Kantor pertanahan sebaiknya kantor pertanahan menggunakan pendekatan yuridis empiris dalam pengertian tidak mesti menggunakan persyaratan yang diatur dalam hukum agraria berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat yang mendiami poso adalah warga masyaraakat pernah mengalami kerusuhan sehingga bukti-bukti hak pemilikan tanahnya sebagian hilang dan terbakar.
3.Pemulihan hak-hak sipil keperdataan akan melahirkan ketenangan dan dapat meningkatkan perekonomian warga masyarakat yang bersangkutan.
4.Penciptaan aktivitas yang mlahirkan kerjasama antara ummat Islam dengan Kristen akan mewujudkan persatuan dan kesatuan yang berkesinambungan
5.Perekatan nilai-nilai sintuwu Maroso melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk proyek pembangunan jalan dan sarana umum lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, cet ke 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
-----------. Filsafat Hukum, Cet ke 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Lopa, H. Baharuddin, Alqur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996
Mahfud Masuara, Penanganan Poso 2008, Perlu Kedepankan Penyelesaian Masalah Keperdataan, Pengungsi dan Kemiskinan, www.mahfud.web.id
Radar Sulteng, 2007, 2008, dan 2009
Kompas, Tahun 2007, 2008, dan 2009
Palu (ANTARA News), www. Google