Sabtu, 19 September 2009

SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA

Oleh: Mellyinah, SH
Dosen Sejarah Hukum Univ Pakuan Bogor
Prof Dr H Zainuddin Ali MA

A. Pendahuluan

Pada waktu penjajah Belanda pertama kali menginjakan kakinya dibumi nusantara, negeri ini tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum privat dan hukum publik dalam dunia moderen, tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dari hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun didunia barat (termasuk Belanda). Tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Jadi lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat masyarakat primitif. Prancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu. Pada bagian belakang dapat dibaca bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia moderen sekarang ini.
Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan. Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis yang satu dari yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu.
Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Didaerah Wojo dahulu dikenal cara pembuktian dengan membuat asap pada abu raja yang dianggap paling adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dipandang paling benar. Sistem pemidanaannya pun sangat sederhana.

Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X yang disebut juga :
1. Pengganti kerugian “immateriil” dalam pelbagi rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan
2. Bayaran “ uang adat “ kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala kotoran gaib
4. Penutup malu, permintaan maaf
5. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum


Dualisme Hukum

Sebenarnya praktek dualisme hukum seperti yang diturut oleh penguasa-penguasa Belanda sejak awal pertama mereka merebut kedudukan di Kepulauan Nusantara ini pada mulanya lebih disebabkan oleh alasan-alasan yang bersifat oportunistik. Baru kemudian apa yang dipraktekkan itu secara berangsur menjadi lebih didasarkan kepada suatu politik hukum yang lebih disadari.
Dibayangi oleh praktek dualisme yang sampai batas tertentu dalam kenyataan masih terpaksa harus dipertahankan, langkah penataan organisasi peradilan yang bertolak dari kaidah-kaidah dasar yang tersebut dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en Het Beleid der Justitie masih tetaplah harus menjurus ke arah pemisahan peradilan, masing-masing untuk golongan penduduk Eropa dan yang dipersamakan dan untuk golongan penduduk Pribumi dan yang dipersamakan. Badan-badan peradilan pengadilan untuk dua golongan itu, berikut tata beracaranya (baik dalam perkara-perkara pidana maupun dalam perkara-perkara perdata), memang di atur dalam reglemen dan/atau kekuasaan perundang-undangan yang sama dan pula sama-saman mengadili “in naam des Konings”, namun jelas ditentukan dalam reglemen-reglemen itu badan-badan pengadilan mana saja yang akan khusus diperuntukkan untuk orang-orang pribumi dan badan-badan pengadilan mana pula yang pada dasarnya hanya akan diperuntukkan untuk orang-orang Eropa semata.
Menurut Reglemen op De Rechterlijke Organisatie, kekuasaan peradilan umum akan diserahkan kepada apa yang disebut Districtsgerecht, Rgentschapsgerecht, Landraad, Residentiegerecht, Raad van Justitie dan Hooggerechtshof dan juga masih dipercayakan kepada apa yang disebut Politierol dan Rechtbank van Ommegang (sebagai kelanjutan praktek peradilan yang lama). Dari sekian jumah macam Peradilan hanya peradilan-peradilan Residentiegerecht Raad van Justitie dan Hooggerechtshof sajalah yang dinyatakan berkewenangan mengadili orang-orang Eropa menurut hukum perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda. Jelas dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya keragaman dan dualisme dalam tata perdilan sebagaimana yang sudah dipaparkan adalah sebagai refleksi dari keragaman yang ada di dalam substansi hukum materiil sangat erat berkaitan dengan kebiasaan yang berkembang dalam praktek waktu-waktu yang lampau. Mengabaikan dan meniadakannya demikian saja sangatlah sulit, dan bahkan boleh jadi malahan tidak mungkin

Berlakunya Asas Konkordansi
Ketentuan-ketentuan perundang-undangan Belanda menegaskan bahwa pada asasnya hukum yang berlaku di daerah jajahan untuk orang-orang Eropa berdasarkan asas yang disebut dengan asas Konkordansi adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda.
KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang menyebutkannya suatu karya agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih moderen itu.
Dalam usaha menengok masa lampau itu kita terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang-undangan di negeri Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan Prancis.
Pada waktu itu, golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali bilamana kelaziman tersebut ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yang hukum yang tertulis dan terbuat dengan sengaja ) Akan tetapi, ketika Codes Napoleon diberlakukan di negeri Belanda, hukum yang berlaku di Hindia Belanda masihlah tetap ordonansi-ordonansi dan instruksi-instruksi eksekutif serta maklumat-maklumat yang diundangkan secara lepas-lepas di dalam plakat-plakat
Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalan, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffls untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan.
Pada bulan Juli 1830, hanya selang beberapa hari sejak turunnya keputusan raja yang mengundangkan Kitab Undang-Undang Hukum perdata untuk negeri Belanda, raja memberikan instruksi kepada G.C. Hageman, seorang ahli hukum yang baru saja diangkat sebagai ketua Hoogerechtshof Hindia-Belanda untuk masa bakti 1830-1835 untuk mengkaji dan menyiapkan ususl-usul yang bersangkutan dengan introduksi hukum kodifikasi yang konkordan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Namun Hageman lebih banyak diam dan berpangku tangan saja daripada bekerja dengan alasan perundang-undangan baru di negeri Belanda belum berlaku. Karena tidak banyak pihak yang bersedia menerima dan membenarkan alasan Hageman membuar Hagemann mundur dari percaturan sejarah kodifikasi Hindia Belanda, sehingga membuak peluang untuk masuknya seorang pemerhati yang juga relawan yaitu seorang ahli hukm bernama scholten van Oud-Haarlem.
Scholten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di Hindia Belanda disamping jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr P. Mijer, ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru itu di hindia Belanda.
Pada tanggal 30 April 1947, ketika kitab undang-undang Hukum Perdata dan kitab Undang-undang Hukum Dagang diundangkan dalam St. 1847 No. 23, banyaklah orang-orang mengakui bahwa pengundangan itu hasil kerja keras scholten van Oud-Haarlem dan anggota-anggota komisinya, baik yang bekerja di Hindia-Belanda maupun yang bekerja di Belanda.

Unifikasi Hukum
Unifikasi adalah mudah dalam cita-cita dan rekaan ideal, tetapi terasa sulit dalam pelaksanaan. Lebih dari dua abad lamanya dualisme hukum telah dipertahankan berlakunya sehingga unifikasi untuk meniadakannya tidaklah mudah.
Sekalipun Scholten van Oud-Haarlem secara pribadi bukannya tidak mengenal cita-cita unifikasi, akan tetapi untuk mewujudkannya ia rupanya memerlukan waktu, dan merasa berkewajiban untuk selalu melangkah secara berhati-hati dan tidak mengejuti para pejabat administrator yng bertanggung jawab di jajaran-jajaran pemerintah kolonial. Adapun langkah kebijakan Scholten yang boleh diinterpretasi sebagai suatu manifestasi konservatisme untuk mempertahankan atau setidak-tidaknya untuk mengulur-ulur umur dualisme adalah perancangan yang dibuat olehnya(bersama komisi-komisi yang dipimpinnya) dan yang kemudian dimaklumatkan berdasarkan suatu Koninklijk Besluit sebagai Algemeene Bepalingen van Wetgeving.
Keputusan raja mengenai ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan inimengandung 3 pasal yang boleh diperdebatkan dalam soal ini, ialah :
1. Pasal 5, yang menyatakan bahwa penduduk Hindia-Belanda dibedakan ke dalam golongan Eropa (beserta mereka yang dipersamakan dengannya) dan golongan pribumi (beserta mereka yang dipersamakan dengannya);
2. Pasal 9, yang menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (yang akan diberlakukan di Hindia-Belanda) hanya akan berlaku untuk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengannya; dan
3. Pasal 11, yang menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi ditetapkan berlakunya hukum Eropa atau apabila orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan diri pada hukum Eropa.

Puak pembela unifikasi mengatakan pasal-pasal tersebut hendak mengukuhkan praktek dualisme di tanah jajahan. Dan menurut puak pembela ide dualisme beranggapan khususnya pasal 9 AB sebagai pangkalan berpijak yang kukuh bagi para penyokong ide unifikasi untuk membuat langkah-langkah ofensif guna memperluas berlakunya hukum Eropa ke kalangan orang-orang pribumi, demikian rupa sehingga secara berangsur namun berkelanjutan akan dapat mengunifikasikan hukum di tanah jajahan ke dalam satu sistem yang tunggal berdasarkan tata hukum dan tata peradilan Eropa.

Ada 2 upaya berdasarkan pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, yaitu :
1. Upaya “yang kecil-kecilan” oleh para pencari keadilan bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk membuat pilihan hukum. upaya ini disebut vriwillige onderwerping, yaitu suatu upaya hukum yang diberikan kepada orang-orang pribumi dalam bentuk suatu kesempatan untuk secara sukarela.
2. Upaya “yang besar-besaran” lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undanganEropa tertentu (manakala dipandang perlu) ke golongan penduduk pribumi. Upaya ini disebut toepasselijk verklaring.

Inlands Reglement Kemudian Herziene Inlands Reglement
Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sbld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR.
Mr Wichers mengadakan beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi ia mempertahankan hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut disahkan oleh Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16, dan dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam Sbld 1849 nomor 63.
Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu ditempatkan dibawah pamongpraja. Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM) atau parket itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah officier van justitie dan procureur generaal.
Dalam praktek IR masih masih berlaku disamping HIR dijawa dan madura. HIR berlaku dikota-kota besar seperti jakarta (batavia), Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku IR. Untuk golongan bumiputera, selain yang telah disebutkan dimuka, masih ada pengadilan lain seperti districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapatterdpat magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil-kecil
Sebagai pengdilan yang tertinggi meliputi seluruh “Hindia Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur dalam pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO

Badan Peradilan di Hindia Belanda (menurut Reglement op De Rechterlijke Organisatie 1847)
Badan peradilan tersebut antara lain :
1.Districtsgerecht
Adalah suatu badan pengadilan yang diselengggarakan di kawedanan-kawedanan untuk orang pribumi, dengan wedana (pejabat pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah Bupati) ertindak sebagai hakim dalam perkara-perkara perdata berkenaan dengan objek sengketa tak lebih dari 20 gulden, dan dalam perkara-perkara pelanggaran yang diancam pemidanaan denda setinggi-tingginya 3 gulden

2. Regentschapsgerecht
Adalah suatu badan pengadilan yang diselenggarakan di kabupaten-kabupaten untuk orang-orang pribumi, dengan bupati atau wakilnya(patih) bertindak sebagai hakim.
3. Landraad
Adalah badan-badan pengadilan “sehari-hari” yang “normal” untuk orang-orang pribumi kebanyakan.
4. Rechtbank van Ommegang
Adalah juga suatu badan pengadilan untuk orang-orang pribumi yang telah dikenal pada zaman Raffles, disebut Court of Circuit pada waktu itu, dimana sistem juri ditiadakan. Sidangnya terdiri dari empat orang hakim pribumi yang berasal dari kepala-kepala masyarakat setempat yang diangkat oleh Gubernur Jenderal dengan pertimbangan-pertimbangan dari Hooggerechtshoff.
5. Rechtsspraak ter Politierol
Adlah suatu badan pengadilan untuk perkara-perkara sumir yang tidak masuk ke dalam yurisdiksi Landraad atau Rechtsbank van Ommegang.
6. Residentiegerecht
Adalah suatu badan pengadilan pemerintah kolonial yang secara eksklusif akan memeriksa dan memutusi dalam tingkat pertama perkara-perkara orang Eropa atau yang menjejaskan orang-orang Eropa, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana yang sifatnya ringan atau sederhana.
7. Raad van Justitie
Adalah badan pengadilan yang sebagai suatu lembaga peradilan untuk orang-orang Eropa, terbilang paling tua.
8. Hooggerechtshoff.
Adalah badan pengadilan yang berkedudukan tertinggi dalam hirarki peradilan kolonial, dan berkompetensi sebagai badan pengadilan kasasi untuk semua keputusan Landraad dalam perkara-perkara perdata dan badan pengadilan banding untuk keputusan-keputusan tingkat pertama yang dibuat oleh Raad van Justitie.

Badan pengadilan yang pertama adalah badan-badan pengadilan yang menurut yurisdiksinya hanya akan kompeten mengadili orang-orang dari golongan rakyat pribumi, sedangkan tiga yang disebutkan terakhir adalah badan-badan pengadilan yang menurut yurisdiksinya hanya akan kompeten memeriksa dan memutusi perkara-perkara untuk golongan penduduk Eropa, dengan catatan bahwa Raad van Justitie juga bertindak sebagai pengadilan pada tingkat banding sedangkan Hooggerechtshoff juga bertindak sebagai pengadilan pada tingkat kasasi untuk perkara-perkara orang pribumi yang diadili oleh Landraad.
Kecuali delapan badan pengadilan yang disebutkan, di luar peradilan pemerintah kolonial masih ada pula badan-badan peradilan lain yang tidak terbilang peradilan pemerintah kolonial. Seperti pengadilan swapraja yang ada di dan dikelola oleh raja-raja, sultan-sultan, dan/atau pangeran-pangeran. Di teritori lain yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia-Belanda juga didapati berbagai ragam bentuk badan penyelesaian sengketa lain. Seperti misalnya yang lazim disebut Pengadilan Desa (Desa Rechtspraak).
Perkembangan Tata hukum di Indonesia Pada Masa Akhir Kekuasaan hindia Belanda
Sampai tiba saat runtuhnya kekuasaan kolonial, unifikasi hukum privat dan unifikasi lembaga-lembaga peradilan di Indonesia belumlah terwujud. Dualisme hukum dengan hukum Eropa yang telah terkodifikasi dan hukum adat yang sekalipun plural namun dicita-citakan pada sutu waktu akan dikodifikasikan tetap berjalan dan berlaku. Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan yang bermula pada tahun 1844 menurut pasal 109 Regeringsreglement 1854 tetap saja berlaku dan diteruskan sebagi pasal 163 Indische Staatsregeling 1925 yang berlaku sejak tahun 1925 itu sebagai pengganti Regeringsreglement 1854. Penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial ini mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia.

SEJARAH PEGADAIAN SYARIAH DI INDONESIA

Oleh: Suci Rahayu
Dosen Sejarah Hukum di Univ. Pakuan Bogor
Prof Dr H Zainuddin Ali, MA

LATAR BELAKANG
Gadai merupakan praktik transaksi keuangan yang sudah lama dalam sejarah peradaban manusia. Sistem rumah gadai yang paling tua terdapat di negara Cina pada 3.000 tahun yang silam, juga di benua Eropa dan kawasan Laut Tengah pada zaman Romawi dahulu. Namun di Indonesia, praktik gadai sudah berumur ratusan tahun, yaitu warga masyarakat telah terbiasa melakukan transaksi utang-piutang dengan jaminan barang bergerak.1)
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, lembaga pegadaian dikenal di Indonesia sejak tahun 1746 yang ditandai dengan Gubernur Jendral VOC van Imhoff mendirikan Bank van Leening. Namun diyakini oleh bangsa Indonesia bahwa jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia telah mengenal transaksi gadai dengan menjalankan praktik utang piutang dengan jaminan barang bergerak. Oleh karena itu, Perum Pegadaian merupakan sarana alternatif pertama dan sudah ada sejak lama serta sudah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Apalagi di kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia. Namun banyak orang yang merasa malu untuk datang ke kantor pegadaian terdekat. Hal itu, menunjukkan bahwa pegadaian sangat identik dengan kesusahan atau kesengsaraan bagi seseorang yang melakukan transaksi gadai. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila yang datang ke kantor pegadaian pada umumnya berpenampilan lusuh dengan wajah tertekan. Namun, belakangan ini Perum Pegadaian mulai tampil dan membangun citra baru melalui berbagai media, termasuk media televisi, dengan motto barunya, “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah”. 2)



___________________
1)Lihat,www.voanews.com/indonesian/archive/2001-07/a-2001-07-13-10.efm. diakses pada 4 Januari 2007
2) Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 9.
PEMBAHASAN.
I. Sejarah Hukum Gadai Syariah.
Pengertian Gadai Syariah, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
(Gadai dalam fiqh disebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan. Menurut beberapa mazhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat aktual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal misalnya berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, harta yang dijadikan jaminan tersebut tidak termasuk manfaatnya. (Gadai syariah adalah produk jasa berupa pemberian pinjaman menggunakan sistem gadai dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam, yaitu antara lain tidak menentukan tarif jasa dari besarnya uang pinjaman)
Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda bergerak; sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 di atas. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.


Pemerintah baru mendirikan lembaga gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian. Pada tanggal 1 April 1901 dengan Wolf Von Westerode sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama, dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai. Seiring dengan perkembangan zaman, Pegadaian telah beberapa kali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bwah IBW (1928), Perusahaan Negara (1960), dan kembali ke Perjan di tahun 1969. Baru di tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990 sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000 Pegadaian berstatus sebagai Perum dan merupakan salah satu BUMN dalam lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia hingga sekarang.
Terbitnya PP/10 tanggal 1April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian. Satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba. Misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.
Pada saat ini Pegadaian Syariah sudah berbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide pembentukan Pegadaian Syariah selain karena tuntutan idealisme juga dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah, maka Pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan Pegadaian Syariah atau Rahn lebih dikenal sebagai bagian produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.
Mengingat adanya peluang dalam mengimplementasikan Rahn/gadai syariah, maka Perum Pegadaian bekerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah melaksanakan Rahn yang bagi Pegadaian dapat dipandang sebagai pengembangan produk, sedang bagi Lembaga Keuangan Syariah dapat berfungsi sebagai kepanjangan tangan dalam pengelolaan produk Rahn. Untuk mengelola kegiatan tersebut, Pegadaian telah membentuk Divisi Usaha Syariah yang semula dibawah binaan Divisi Usaha Lain.)

II. Landasan Hukum.
a. AL-Qur’an.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah(2), ayat 283.
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang”.
Dalam Q.S. An-Nisa : 29 Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
b. Hadis.
Dari Aisyah r.a., Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”. (H.R. Bukhri dan Muslim)
Dari Abi Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda:
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya”. (H.R. As-Syafi’i, Al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
c. Ijtihad ulama.
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya. Demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.
d. Fatwa DN No. 25/DSN-MUI/III/2002.
e. Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002.

III. Tujuan Berdirinya Pegadaian Syariah.
Sesuai dengan PP103 Tahun 2000 Pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan lainnya. Sejalan dengan kegiatannya, Pegadaian mengemban misi untuk:
a. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah.
b. Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.

IV. Operasionalisasi Pegadaian Syariah.
Dalam operasionalnya, pengelolaan usaha gadai syariah ini diperlakukan sebagaimana pengelolaan sebuah perusahaan dengan sistem manajemen modern yang dicerminkan dari penggunaan azas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas. Ketiga azas ini harus diselaraskan dengan nilai-nilai Islam, sehingga dapat berjalan seiring dan terintegrasi dengan manajemen perusahaan secara keseluruhan.
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong dan tidak untuk semata-mata mencari keuntungan. Sedangkan gadai menurut hukum perdata, disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan melalui sistem bunga atau sewa modal yang ditetapkan dimuka. Dalam hukum Islam tidak dikenal istilah “bunga uang”, dengan demikian dalam transaksi Rahn (gadai syariah) pemberi gadai tidak dikenakan tambahan pembayaran atas pinjaman yang diterimanya. Namun demikian masih dimungkinkan bagi penerima gadai untuk memperoleh imbalan berupa sewa tempat penyimpanan marhun (barang jaminan/agunan).

V. Teknik Transaksi.
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan atas dua akad transaksi syariah, yaitu:
a. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
b. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.
Rukun gadai tersebut antara lain:
- Ar-Rahin (yang menggadaikan).
- Al-Murtahin (yang menerima gadai).
- Al-Marhun (barang yang digadaikan).
- Al-Marhun bih (utang).
- Sighat, Ijab, dan Qabul.
Dari landasan syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut, melalui akad Rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan, dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

V. Tarif Ijarah
- Tarif ijarah dihitung dari nilai taksiran barang jaminan/marhun.
- Jangka waktu pinjaman ditetapkan 120 hari.
- Tarif jasa simpan dengan kelipatan 10 hari, satu hari dihitung 10 hari.


VII. Aspek Pendanaan.
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian Syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai foundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah ini untuk memback up modal kerja.

PENUTUP.
Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam – tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Lembaga pegadaian saat in juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya. Sebagai ilustrasi seorang eksportir produk kerajinan membutuhkan dana cepat untuk memberikan modal kerja bagi para pengrajin binaannya. Maka bisa saja ia menggadaikan mobilnya untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah produk kerajinannya jadi dan dieksport, iapun mendapat bayaran dari mitra luar negerinya, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuditas lancar, dan yang penting kepercayaannya dari mitra bisnis di luar negeri tetap terjaga. 3)
















_____________________
3) Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 19.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Gadai Syariah, cet.1. Jakarta: Sinar Grafika, April 2008.
Hamid, Arfin. Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia, cet.1. Bogor: Ghalia Indonesia, Juli 2007.
www.republika.co.id
www.icmi.or.id
www.voanews.com/indonesian/archive/2001-07/a-2001-07-13-10.efm, diakses tgl 04 Januari 2007
www.pacific.net.id , 23 February, 2009

SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM PENJAJAHAN

Oleh: Imam Subandi
Dosen Sejarah Hukum Univ. Pakuan Bogor
Prof Dr H Zainuddin Ali MA

A. Sistem Hukum dan Peradilan pada masa Kerajaan

Sebagaimana ajaran mazhab sejarah yang dipelopori oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Frederiech von Savigny yang menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan jiwa rakyat, yang kemudian dipertegas oleh muridnya yang bernama G Puchta dengan istilah Volgeist, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan kuat bersama-sama dari kekuatan rakyat dan akhirnya juga mati bersama-sama dengan hilangnya sebuah bangsa. Selanjutnya Von savigny berkata dalam bahasa Jerman ” Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mitdem Volke ( Hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat) . Oleh karena itu, sejak jaman sebelum Belanda datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia yang masih dalam bentuk kerajaan, masing-masing sudah mempunyai sistem hukumnya sendiri-sendiri.

Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja adalah penguasa tertinggi. Ini karena sesuai dengan landasan kosmogoni, raja dianggap penjelmaan dewa di dunia. Sebagai seorang dewaraja, kepemimpinan raja sangat dihormati masyarakatnya. Terlebih karena raja sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan yang tercakup dalam kitab agama, meskipun kitab-kitab tersebut bersumber pada kebudayaan India, namun manfaatnya amat dirasakan oleh masyarakat kuno ketika itu.

Salah satu naskah yang menjadi pegangan wajib adalah Kakawin Ramayana. Di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas dan kewajiban seorang raja), yakni bagian yang merupakan ajaran Rama kepada Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaran astabrata (asta =
delapan, brata = perilaku).

Di dalam diri seorang raja harus berpadu sifat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Artinya, sebagai Indra (Dewa Hujan), raja hendaknya menghujankan anugerah kepada rakyatnya; sebagai Yama (Dewa Maut), raja harus menghukum para pencuri dan penjahat; sebagai Surya (Dewa Matahari) yang senantiasa mengisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga
tidak memberatkan.

Sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci untuk kehidupan abadi); sebagai Wayu (Dewa Angin), yang dapat menyusup ke tempat-tempat tersembunyi, raja harus senantiasa mengetahui hal-ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat; sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati kekayaan duniawi; sebagai Waruna (Dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua penjahat; dan sebagai Agni (Dewa Api), raja harus membasmi semua musuhnya dengan segera (Sejarah
Nasional Indonesia II, 1984).

Kehakiman dan Pajak

Ini berarti seorang raja harus berpegang teguh kepada dharmma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa, bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak di masyarakat, berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, serta memerlihatkan kewibawaannya. Raja-raja zaman dahulu boleh jadi sudah benar-benar menghayati peraturan tersebut. Kita harapkan pemimpin masa sekarang juga berlaku demikian karena meskipun usia naskah itu sudah berabad-abad, namun relevansinya dengan masa sekarang
masih sangat besar.

Keberhasilan raja membangun pemerintahan yang aman sejahtera rupanya ditunjang oleh adanya pejabat-pejabat yang bersih. Menurut data dari sejumlah prasasti, di antara sejumlah pejabat, yang paling berperan adalah pejabat kehakiman, pejabat pajak, dan pejabat keagamaan. Seandainya saja pejabat-pejabat zaman sekarang bersih pula, sudah pasti masyarakat akan hidup aman sejahtera seperti zaman dahulu.
Pada masa Kerajaan Mataram, gambaran tentang administrasi kehakiman dapat direka-reka berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (jayapatra) dan keterangan dari bagian prasasti yang disebut sukha dukha. Uniknya, sang raja sendiri sering memimpin sidang pengadilan.
Padahal, menurut kitab hukum Manawadharmmasastra, raja tidak boleh menjadi hakim sendiri. Mengapa raja sendiri yang mengajukan pertanyaan kepada tertuduh dan sekaligus memutus perkaranya, diperkirakan raja belum puas terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada.
Tidak dimungkiri, hukum ketika itu tidak pandang bulu. Petugas pajak yang termasuk elit birokrasi pun tak luput dari jerat hukum, sebagaimana termuat dalam Prasasti Guntur (907 M), Wurudu Kidul (922 M), dan Tija (sekitar abad X).
Seorang petugas pajak pernah memanipulasi ukuran tampah (alat ukur waktu itu). Ketika mengukur sawah seorang petani, dia menggunakan tampah yang lebih kecil dari ukuran yang sesungguhnya. Terang saja, luas sawah si petani membengkak. Akibatnya dia harus membayar pajak yang lumayan besar. Karena tidak puas, si petani mengadu kepada raja.
Setelah dilakukan pengukuran ulang, terbukti luas sawahnya sengaja di-“mark-up” oleh si petugas pajak. Bayangkan kalau tidak teliti, si petani harus membayar pajak lebih, sementara si petugas pajak memperoleh uang haram. Menurut prasasti, para pejabat pengadilan di tingkat pusat itu disebut sang pamgat tiruan
dan sang pamgat manghuri.

Jaksa Berdarma


Hukum yang adil dan penegak hukum yang handal diteruskan kemudian oleh pemerintahan di Kerajaan Majapahit. Pada masa itu terdapat tujuh orang upapatti yang diketuai oleh dua orang dharmmadhyaksa (kemudian kata ini menjadi asal kata jaksa), yaitu dharmmadhyaksa dari agama Buddha dan Siwa (Hindu). Secara harfiah dharmmadhyaksa bisa diartikan “jaksa yang berdarma”. Waktu itu rupa-rupanya tidak mudah menjadi seorang pengadil.
Menurut kitab hukum dari masa Majapahit, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra dan tidak bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara kitab sastra dengan hukum adat. Dia juga harus tegas dan mampu memberikan keputusan
terbaik dalam pengadilan.

Hal hampir serupa diungkapkan pula oleh prasasti-prasasti jayapattra dari masa Majapahit. Dikatakan, sebelum mengambil keputusan, para hakim harus terlebih dulu mempelajari kitab-kitab sastra, peraturan daerah, hukum adat,
petuah orang tua-tua, dan kitab-kitab hukum.

Malah Prasasti Parung dari masa Raja Hayam Wuruk, memberikan petunjuk tentang adanya dasar hukum yang lain, yaitu sumpah kepada dewa atau tokoh yang didewakan. Di samping kedudukannya sebagai pejabat keagamaan, para upapatti itu dikenal pula sebagai cendekiawan dan bhujangga.
Mataram dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang bercorak agraris. Pada masanya kedua kerajaan mengalami kecemerlangan dalam berbagai bidang. Persoalan hukum menjadi mudah karena masyarakatnya taat hukum. Begitu pun aparat penegak hukumnya. Mungkin tidak mudah kena suap, kalau meminjam
istilah zaman sekarang.

B. Amanna Gappa
Jika mau sejenak berhenti dan menengok ke belakang, dari teks-teks kuno, dari sejarah bangsa-bangsa yang membentuk diri menjadi bangsa Indonesia ini, telah ada Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (lihat buku Tata Lautan Nusantara dalam Hukum dan Sejarahnya oleh Prof Mr St Munadjat Danusaputro, SH)—warisan hukum laut Indonesia dari daerah Wajo, Tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Dari daerah lain pun ada teks-teks serupa.
Dari sana terungkap berbagai aspek bidang kelautan bangsa Indonesia sejak zaman kuno. Di antaranya, sudah ada tata penyelenggaraan kewenangan di laut, tata penyelenggaraan kemakmuran, tata kehidupan sosial dan kebudayaan, serta tata penyelenggaraan pertahanan dan keamanan. Semuanya berorientasi kelautan.
`Munadjat menuliskan, membaca teks-teks Amanna Gappa kita mengetahui, peraturan hukum laut tersebut tidak semata-mata didasarkan pertimbangan-pertimbangan komersial belaka, namun juga memadukan dan mengintegrasikan faktor-faktor susila, agama, dan dasar-dasar kebatinan sebagai penjelmaan dasar keyakinan yang kuat terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini khas bentuk teks hukum adat Indonesia yang bersifat holistik, menyeluruh, total.
Di dalam Amanna Gappa disebut kan sejumlah kota di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang masa itu menjadi pusat-pusat pelayaran dan perdagangan laut seperti Sumbawa, Aceh, Kedah, Selangor, Malaka, Johor (Malaysia), Jakarta (Jawa), Palembang (Sumatera), Sambas, Banjarmasin, Pontianak (Kalimantan), Ambon, Banda, Kei, dan Ternate (Sulawesi dan Kepulauan Maluku) .
Seorang editor sebuah penerbitan universitas memulai mencatatkan pengalaman dan pengetahuannya pada secarik kertas di tahun 1893. Lembar demi lembar dia tuliskan sehingga membentuk buku kecil pedoman menulis karya ilmiah. Butuh waktu 7 tahun sebelum catatan-catatan itu terbit dalam bentuk buku.

Usaha mengembangkan isi buku ini tidak berhenti di situ. Buku ini terus mengalami penambahan dan refisi hingga enam dekade kemudian, setelah itu baru dia kemudian muncul sebagai buku yang disegani. Dan, buku ini ternyata tetap direvisi dan direproduksi. Versi terakhir buku ini terbit satu abad setelah dia mulai ditulis. Kini buku itu berjudul Chicago Manual, dan menjadi rujukan utama di banyak negara di dunia tentang aturan penulisan karya ilmiah.
Kontinuitas seperti ini agaknya telah tenggelam dalam kehidupan masyarakat kita. Untuk menjawab persoalan sehari-hari kita tidak mempunyai catatan yang menumpuk, yang dapat kita rujuk. Begitu pula, anak serta cucu kita tidak punya rujukan ‘dari dalam’ yang dapat dijadikan ‘dasar’ untuk kembangkan sesuai dengan konteks mereka masing-masing.

Kealpaan rujukan ini menyebabkan kita tidak punya pegangan sejarah. Kita lupa ‘proses’ apa saja yang berlangsung di masa lalu yang membentuk masyarakat kita hari ini. Rujukan kita hampir seluruhnya berasal dari sesuatu yang dikembangkan di luar kita, dan bukan lagi diperlakukan sebagai ‘rujukan’ karena langsung ditelan bulat-bulat.

Di Makassar pernah ada satu komunitas yang berhasil mempertahankan aturannya secara independen sampai sekitar dua setengah abad, yang membuat aturannya dari tumpukan pengalaman dan pengetahuan warganya, bahkan mampu meluaskan pengaruh dan efektifitasnya lewat intelektualitas. Komunitas itu adalah para pedagang Wajo di Makassar.

Adalah J. Noorduyn yang menulis sebuah artikel menarik tentang sebuah naskah lontara yang mengisahkan kehidupan orang Wajo di Makassar. Ia menulis artikel itu untuk sebuah seminar di Leiden sekitar dua dekade silam, kemudian di tahun 2000 terbit dalam buku kumpulan artikel Authority and Enterprise among the peoples of South Sulawesi. Dia memberi judul sederhana pada artikel itu, yang bila diindonesiakan menjadi ‘Komunitas Saudagar Wajo di Makassar’.

Naskah lontara itu dia temukan di Universitas Leiden, yang merupakan salah satu dari sekian banyak naskah dari proyek panjang penyalinan naskah Bugis dan Makassar yang dilakukan Dr. B. F. Matthes selama beberapa dekade pada pertengahan abad ke-19. Di dalamnya tertera informasi secara kronologis komunitas tersebut menurut urutan matoa atau pemimpin komunitas Wajo di Makassar. Gaya kronik yang entrinya mengikuti pemimpin (raja bangsawan dan pemimpin komunitas) ini merupakan praktik lazim naskah tradisional di Sulawesi Selatan.

Rentangan masa lebih dari satu setengah abad termuat dalam salinan naskah itu—mulai tahun 1671—mendata empat belas matoa berikut kejadian-kejadian penting yang menyertai masa pemerintahan mereka. Noorduyn membaca, menerjemahkan bagian penting, dan memberi penjelasan konteks tentang naskah itu dan sebagian matoa yang diceritakannya dari sumber-sumber lain. Ini membuat kita bisa menikmati, meski serbasedikit, perjalanan komunitas ini dari masa pasca-perang Makassar di dekade 1660-an hingga masa surutnya di akhir abad ke 19.

Pada entri kedua, di masa pemerintahan To Pakkalo, matoa kedua, disebutkan lima aturan komunitas, secara ringkas aturan-aturan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tidak boleh menawar barang dagangan lebih tinggi dari matoa. Kedua, matoa berhak turut dalam sebuah pembelian demi urusan darang yang dijalankan oleh satu atau lebih orang Wajo, yang mendapat tambahan oleh Matthes bahwa: hanya ketika barang-barang telah terjual barulah penjual mendatangi matoa dan menawarinya pembagian, baik dalam keadaan untung maupun rugi.

Ketiga, Matoa boleh menitipkan barang atau dagangan dengan nilai hingga 100 real sebagai komisi untuk kapten kapal, dan menjualnya atas nama matoa. Empat, orang Wajo mengurus rumah matoa dengan membangunkannya sebuah rumah atau, jika dibutuhkan, memperbaiki dan menggantikan rumahnya yang sudah tua. Kelima, jika seorang pedagang Wajo meninggal, seekor sapi dibelikan dari warisannya dan dipotong. Aturan ini berlaku hingga dua abad setelahnya, bahkan ditambahkan beberapa aturan lagi di masa matoa-matoa setelahnya.

Komunitas ini merupakan sebuah institusi pendukung yang membuat aturan ini bisa terjaga, dan komunitas ini pula yang mematikannya manakala penguasa tidak lagi sanggup mengikuti aturan-aturan ini. Namun pada awalnya adalah pengetahuan warga yang ditumpuk. Dan itu sangat terlihat pada beberapa aturan tambahan yang terbuat di bawah entri matoa ke tiga saudagar Wajo di Makassar: Amanna Gappa.

Keterangan tentang Amanna Gappa jauh lebih detil dibandingkan matoa lain. Di samping memuat aturan di atas yang lebih detil, juga ada beberapa tambahan. Yang paling penting adalah pengangkatan Amanna Gappa sebagai pemimpin dagang seluruh Makassar, dan detil ongkos muatan.

Delapan bulan setelah Amanna Gappa menjadi matoa, dia dipanggil oleh gubernur di Fort Rotterdam dan diangkat menjadi kepala seluruh pedagang di Makassar. Detil ongkos angkutan barang menjelaskan tentang berapa yang harus dibayarkan jika muatan seorang pedagang akan diantar dari Makassar ke beberapa pelabuhan di kawasan Nusantara. Kota-kota itu antara lain, Johor, Aceh, Sulu, Kutai, Banjar, Pasir, Sukadana, Palembang, Bangka, Belitung, Manggarai, Bali, dan tentu saja Batavia.

Sayang sekali ade allopi-loping yang memuat detil jalur, ongkos dan aturan dagang, tidak termaktub dalam naskah yang khusus bicara tentang matoa dan masa pemerintahannya ini.

Tentu kita bisa membayangkan bagaimana para pedagang Wajo tiba dari sebuah pelayaran dagang lalu berkumpul dan berdiskusi tentang pengamatan mereka di daerah yang baru saja mereka kunjungi. Langgar yang dibangun secara kolektif, yang juga dijelaskan dalam naskah ini, menjadi tempat yang sering mereka gunakan untuk membahas temuan-temuan ini.

Ketika Amanna Gappa diangkat menjadi kepala pedagang, itu berarti aturan yang diterapkan komunitas dagang Wajo diakui efektifitasnya oleh banyak pihak. Fort Rotterdam dibangun, dan Makassar dikuasai, untuk mengamankan arus dagang Belanda, sehingga mereka tidak akan mengambil risiko mengangkat seorang pemimpin dari satu komunitas tertentu di kawasan kosmopolitan itu bila urusan utama mereka tidak terpenuhi. Mengangkat pemimpin salah satu komunitas yang berpengetahuan luas dan tatanan dagang yang diakui komunitas lain, tentu merupakan langkah taktis bagi Belanda.

Sementara itu, bagi komunitas Wajo sendiri, ini bukti bahwa penumpukan pengetahuan dan pengalaman dagang yang mereka kumpulkan sanggup membawa mereka melebarkan pengaruh. Bukti bahwa institusi mereka sanggup menjaga tradisi praktis yang berkembang menjadi produk jasa yang efektif. Ini berarti kecurigaan banyak orang sekarang tentang pranata tradisional yang selalu dipandang primordial dan irasional tidak sepenuhnya benar.

Namun masih ada pertanyaan yang mengganjal: di naskah ini tidak muncul tugas-tugas matoa? Apa tanggung jawab matoa secara administratif? Mengingat dia mendapat banyak sekali keistimewaan. Noorduyn menjawab bahwa tanggungjawab matoa, dalam naskah ini, tidak tersurat namun tersebar dalam beberapa deskripsi yang muncul secara acak.

Pertama, dia berfungsi sebagai semacam jaringan pengaman sosial, dia bertindak sebagai penjamin barang dagangan bila terjadi malapetaka, misalnya kapal karam atau bencana lainnya. Matoa juga berfungsi untuk menyelesaikan pertikaian, seperti ketika matoa Wajo, kapten Cina dan Malayu menyelesaikan pertikaian dagang yang melibatkan komunitas masing-masing. Mereka pun bertindak sebagai hakim yang adil. Dan menjadi perwakilan rakyatnya untuk berhubungan dengan pihak luar komunitas.

Dalam teori sistem pemerintahan moderen yang kita kenal sekarang, fungsi-fungsi ini diemban oleh Negara. Sehingga pada titik ini kita bisa katakan bahwa, komunitas pedagang ini sejatinya adalah sebuah “Negara” yang membentuk aturannya sendiri lewat penumpukan pengalaman warganya yang dijaga dan disebarkan lewat berbagai pranata, seperti jabatan/fungsi matoa dan pertemuan di langkara (langgar).

Di sini juga terlihat bahwa, salah satu syarat mereka bisa bertahan, bahkan bisa mengembangkan pengaruh lewat aturan dagangnya, adalah mereka secara intelektual tidak bergantung. Mereka membuat aturan sendiri dari mendengarkan pengalaman warganya sendiri yang tentu saja sudah melancong ke mana-mana. Tumpukan pengetahuan yang dihimpun dan diuji dengan pelayaran-pelayaran selama bebeberapa generasi ini menghasilkan sesuatu yang orisinil dan dapat diterapkan.

Ringkasnya, sebagaimana Chicago Manual di atas, aturan ini dibuat dalam sebuah institusi yang independen dan dibuat untuk membuat praktik menjadi lebih baik bagi banyak orang.

Seperti Chicago Manual yang banyak dipakai di luar negeri, pentingnya praktik ade allopi-loping ini membuat Fort Rotterdam tertarik untuk menerapkannya lewat Amanna Gappa. Membuatnya diterjemahkan ke bahasa asing untuk dijadikan rujukan studi lebih lanjut. Tahun 1832, versi inggrisnya, terjemahan Ch. Thomsen terbit di Singapura. Kajian hukum laut tradisional Indonesia harus berterima kasih dengan keberadaan naskah kecil yang senantiasa dijadikan rujukan ini.

Namun beda dengan Chicago manual, jika mengunjungi anjungan google book dan mengetik ade allopi-loping maka yang muncul hanya enam hit. Itupun ia dibahas sebagai sebuah sejarah, bukan lagi sesuatu yang masih hidup. Mengapa demikian?

Aturan ini mulai dibuat mungkin di akhir perang Makassar sekitaran 1670-an dan mulai populer sejak Amanna Gappa menjadi matoa pada tahun 1697-1723. Namun ia harus menyusul lenyap sebagaimana pranata pendukungnya, negeri Wajo di Makassar, yang telah raib tak lama sebelumnya. Kini, ia hanya bisa dikenali samar-samar, bahkan disalahpahami sebagai Amanna Gappa—pemimpin komunitas Wajo yang mempopulerkannya.
Komunitas ini surut karena banyak penduduknya yang pindah ke kampung lain. Meski kampung Wajo di Makassar masih ada secara geografis, namun komunitasnya yang independen dan punya aturan sendiri telah lama hilang. Menurut naskah itu, orang Wajo mulai meninggalkan kampung itu ketika, cucu matoa Wajo mulai bertindak sewenang-wenang, dan tindakan Raja Bone, Muhammad Ismail, membatasi gerak dagang dan mempekerjapaksakan mereka karena keinginannya meminjam uang ditolak komunitas itu.

Akhirnya, sebagaimana kerap kita baca dari buku sejarah, adalah penguasa zalim, baik dari luar maupun dari dalam, yang menyudahi sebuah negeri kecil yang independen dan intelek ini, sekaligus mengakhiri kontinuitas penumpukan pengetahuan orisinil yang praktis dan berpengaruh .

C. Kesimpulan
Sebagaimana berdasarkan pembahasan diatas, maka diketahui bahwa jauh sebelum Belanda ma suk ke Indonesia, kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah mempunyai sistem hukum dan peradilannya sendiri. Walaupun tentu saja sistem tersebut tidak tersususun secara sistematis sebagaimana saat ini, namun hukum dan peradilan secara substantif telah ada dan diterapkan di oleh masing-masing kerajaan dan masyarakat pada waktu itu. Sistem hukum dan peradilan pada waktu itu tentu beraneka ragam dari yang sifatnya tradisional dan tidak tertulis sampai kepada bentuk yang terulis sebagaimana Amanna Gappa. Terlepas dari semua itu, Memahami sejarah, khususnya sejarah hukum akan sangat penting bagi kita baik sebagai praktisi maupun teoritisi untuk memahami sistem hukum pada saat ini maupun memproyeksikan trend sistem hukum dan perundang-undangan dimasa yang akan datang karena sebagaimana tiap-tiap bangsa yang mempunyai Volgeist –jiwa rakyat, maka sistem hukum di Indonesia juga tidak akan terlepas dari volgeist bangsa Indonsia, dan akan terus berubah sesui dengan jiwa bangsa tersebut.

SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM PENJAJAHAN

Oleh Imam Subandi, SH
Dosen Sejarah Hukum Univ. Pakuan Bogor
Prof Dr H Zainuddin Ali MA

SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM PENJAJAHAN


A. Sistem Hukum dan Peradilan pada masa Kerajaan

Sebagaimana ajaran mazhab sejarah yang dipelopori oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Frederiech von Savigny yang menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan jiwa rakyat, yang kemudian dipertegas oleh muridnya yang bernama G Puchta dengan istilah Volgeist, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan kuat bersama-sama dari kekuatan rakyat dan akhirnya juga mati bersama-sama dengan hilangnya sebuah bangsa. Selanjutnya Von savigny berkata dalam bahasa Jerman ” Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mitdem Volke ( Hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat) . Oleh karena itu, sejak jaman sebelum Belanda datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia yang masih dalam bentuk kerajaan, masing-masing sudah mempunyai sistem hukumnya sendiri-sendiri.

Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja adalah penguasa tertinggi. Ini karena sesuai dengan landasan kosmogoni, raja dianggap penjelmaan dewa di dunia. Sebagai seorang dewaraja, kepemimpinan raja sangat dihormati masyarakatnya. Terlebih karena raja sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan yang tercakup dalam kitab agama, meskipun kitab-kitab tersebut bersumber pada kebudayaan India, namun manfaatnya amat
dirasakan oleh masyarakat kuno ketika itu.

Salah satu naskah yang menjadi pegangan wajib adalah Kakawin Ramayana. Di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas dan kewajiban seorang raja), yakni bagian yang merupakan ajaran Rama kepada Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaran astabrata (asta =
delapan, brata = perilaku).

Di dalam diri seorang raja harus berpadu sifat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Artinya, sebagai Indra (Dewa Hujan), raja hendaknya menghujankan anugerah kepada rakyatnya; sebagai Yama (Dewa Maut), raja harus menghukum para pencuri dan penjahat; sebagai Surya (Dewa Matahari) yang senantiasa mengisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga
tidak memberatkan.

Sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci untuk kehidupan abadi); sebagai Wayu (Dewa Angin), yang dapat menyusup ke tempat-tempat tersembunyi, raja harus senantiasa mengetahui hal-ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat; sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati kekayaan duniawi; sebagai Waruna (Dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua penjahat; dan sebagai Agni (Dewa Api), raja harus membasmi semua musuhnya dengan segera (Sejarah
Nasional Indonesia II, 1984).

Kehakiman dan Pajak

Ini berarti seorang raja harus berpegang teguh kepada dharmma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa, bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak di masyarakat, berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, serta memerlihatkan kewibawaannya. Raja-raja zaman dahulu boleh jadi sudah benar-benar menghayati peraturan tersebut. Kita harapkan pemimpin masa sekarang juga berlaku demikian karena meskipun usia naskah itu sudah berabad-abad, namun relevansinya dengan masa sekarang
masih sangat besar.

Keberhasilan raja membangun pemerintahan yang aman sejahtera rupanya ditunjang oleh adanya pejabat-pejabat yang bersih. Menurut data dari sejumlah prasasti, di antara sejumlah pejabat, yang paling berperan adalah pejabat kehakiman, pejabat pajak, dan pejabat keagamaan. Seandainya saja pejabat-pejabat zaman sekarang bersih pula, sudah pasti masyarakat akan hidup aman sejahtera seperti zaman dahulu.
Pada masa Kerajaan Mataram, gambaran tentang administrasi kehakiman dapat direka-reka berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (jayapatra) dan keterangan dari bagian prasasti yang disebut sukha dukha. Uniknya, sang raja sendiri sering memimpin sidang pengadilan.
Padahal, menurut kitab hukum Manawadharmmasastra, raja tidak boleh menjadi hakim sendiri. Mengapa raja sendiri yang mengajukan pertanyaan kepada tertuduh dan sekaligus memutus perkaranya, diperkirakan raja belum puas terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada.
Tidak dimungkiri, hukum ketika itu tidak pandang bulu. Petugas pajak yang termasuk elit birokrasi pun tak luput dari jerat hukum, sebagaimana termuat dalam Prasasti Guntur (907 M), Wurudu Kidul (922 M), dan Tija (sekitar abad X).
Seorang petugas pajak pernah memanipulasi ukuran tampah (alat ukur waktu itu). Ketika mengukur sawah seorang petani, dia menggunakan tampah yang lebih kecil dari ukuran yang sesungguhnya. Terang saja, luas sawah si petani membengkak. Akibatnya dia harus membayar pajak yang lumayan besar. Karena tidak puas, si petani mengadu kepada raja.
Setelah dilakukan pengukuran ulang, terbukti luas sawahnya sengaja di-“mark-up” oleh si petugas pajak. Bayangkan kalau tidak teliti, si petani harus membayar pajak lebih, sementara si petugas pajak memperoleh uang haram. Menurut prasasti, para pejabat pengadilan di tingkat pusat itu disebut sang pamgat tiruan
dan sang pamgat manghuri.

Jaksa Berdarma

Hukum yang adil dan penegak hukum yang handal diteruskan kemudian oleh pemerintahan di Kerajaan Majapahit. Pada masa itu terdapat tujuh orang upapatti yang diketuai oleh dua orang dharmmadhyaksa (kemudian kata ini menjadi asal kata jaksa), yaitu dharmmadhyaksa dari agama Buddha dan Siwa (Hindu). Secara harfiah dharmmadhyaksa bisa diartikan “jaksa yang berdarma”. Waktu itu rupa-rupanya tidak mudah menjadi seorang pengadil.
Menurut kitab hukum dari masa Majapahit, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra dan tidak bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara kitab sastra dengan hukum adat. Dia juga harus tegas dan mampu memberikan keputusan
terbaik dalam pengadilan.

Hal hampir serupa diungkapkan pula oleh prasasti-prasasti jayapattra dari masa Majapahit. Dikatakan, sebelum mengambil keputusan, para hakim harus terlebih dulu mempelajari kitab-kitab sastra, peraturan daerah, hukum adat,
petuah orang tua-tua, dan kitab-kitab hukum.

Malah Prasasti Parung dari masa Raja Hayam Wuruk, memberikan petunjuk tentang adanya dasar hukum yang lain, yaitu sumpah kepada dewa atau tokoh yang didewakan. Di samping kedudukannya sebagai pejabat keagamaan, para upapatti itu dikenal pula sebagai cendekiawan dan bhujangga.
Mataram dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang bercorak agraris. Pada masanya kedua kerajaan mengalami kecemerlangan dalam berbagai bidang. Persoalan hukum menjadi mudah karena masyarakatnya taat hukum. Begitu pun aparat penegak hukumnya. Mungkin tidak mudah kena suap, kalau meminjam
istilah zaman sekarang.

B. Amanna Gappa
Jika mau sejenak berhenti dan menengok ke belakang, dari teks-teks kuno, dari sejarah bangsa-bangsa yang membentuk diri menjadi bangsa Indonesia ini, telah ada Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (lihat buku Tata Lautan Nusantara dalam Hukum dan Sejarahnya oleh Prof Mr St Munadjat Danusaputro, SH)—warisan hukum laut Indonesia dari daerah Wajo, Tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Dari daerah lain pun ada teks-teks serupa.
Dari sana terungkap berbagai aspek bidang kelautan bangsa Indonesia sejak zaman kuno. Di antaranya, sudah ada tata penyelenggaraan kewenangan di laut, tata penyelenggaraan kemakmuran, tata kehidupan sosial dan kebudayaan, serta tata penyelenggaraan pertahanan dan keamanan. Semuanya berorientasi kelautan.
`Munadjat menuliskan, membaca teks-teks Amanna Gappa kita mengetahui, peraturan hukum laut tersebut tidak semata-mata didasarkan pertimbangan-pertimbangan komersial belaka, namun juga memadukan dan mengintegrasikan faktor-faktor susila, agama, dan dasar-dasar kebatinan sebagai penjelmaan dasar keyakinan yang kuat terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini khas bentuk teks hukum adat Indonesia yang bersifat holistik, menyeluruh, total.
Di dalam Amanna Gappa disebut kan sejumlah kota di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang masa itu menjadi pusat-pusat pelayaran dan perdagangan laut seperti Sumbawa, Aceh, Kedah, Selangor, Malaka, Johor (Malaysia), Jakarta (Jawa), Palembang (Sumatera), Sambas, Banjarmasin, Pontianak (Kalimantan), Ambon, Banda, Kei, dan Ternate (Sulawesi dan Kepulauan Maluku) .
Seorang editor sebuah penerbitan universitas memulai mencatatkan pengalaman dan pengetahuannya pada secarik kertas di tahun 1893. Lembar demi lembar dia tuliskan sehingga membentuk buku kecil pedoman menulis karya ilmiah. Butuh waktu 7 tahun sebelum catatan-catatan itu terbit dalam bentuk buku.

Usaha mengembangkan isi buku ini tidak berhenti di situ. Buku ini terus mengalami penambahan dan refisi hingga enam dekade kemudian, setelah itu baru dia kemudian muncul sebagai buku yang disegani. Dan, buku ini ternyata tetap direvisi dan direproduksi. Versi terakhir buku ini terbit satu abad setelah dia mulai ditulis. Kini buku itu berjudul Chicago Manual, dan menjadi rujukan utama di banyak negara di dunia tentang aturan penulisan karya ilmiah.
Kontinuitas seperti ini agaknya telah tenggelam dalam kehidupan masyarakat kita. Untuk menjawab persoalan sehari-hari kita tidak mempunyai catatan yang menumpuk, yang dapat kita rujuk. Begitu pula, anak serta cucu kita tidak punya rujukan ‘dari dalam’ yang dapat dijadikan ‘dasar’ untuk kembangkan sesuai dengan konteks mereka masing-masing.

Kealpaan rujukan ini menyebabkan kita tidak punya pegangan sejarah. Kita lupa ‘proses’ apa saja yang berlangsung di masa lalu yang membentuk masyarakat kita hari ini. Rujukan kita hampir seluruhnya berasal dari sesuatu yang dikembangkan di luar kita, dan bukan lagi diperlakukan sebagai ‘rujukan’ karena langsung ditelan bulat-bulat.

Di Makassar pernah ada satu komunitas yang berhasil mempertahankan aturannya secara independen sampai sekitar dua setengah abad, yang membuat aturannya dari tumpukan pengalaman dan pengetahuan warganya, bahkan mampu meluaskan pengaruh dan efektifitasnya lewat intelektualitas. Komunitas itu adalah para pedagang Wajo di Makassar.

Adalah J. Noorduyn yang menulis sebuah artikel menarik tentang sebuah naskah lontara yang mengisahkan kehidupan orang Wajo di Makassar. Ia menulis artikel itu untuk sebuah seminar di Leiden sekitar dua dekade silam, kemudian di tahun 2000 terbit dalam buku kumpulan artikel Authority and Enterprise among the peoples of South Sulawesi. Dia memberi judul sederhana pada artikel itu, yang bila diindonesiakan menjadi ‘Komunitas Saudagar Wajo di Makassar’.

Naskah lontara itu dia temukan di Universitas Leiden, yang merupakan salah satu dari sekian banyak naskah dari proyek panjang penyalinan naskah Bugis dan Makassar yang dilakukan Dr. B. F. Matthes selama beberapa dekade pada pertengahan abad ke-19. Di dalamnya tertera informasi secara kronologis komunitas tersebut menurut urutan matoa atau pemimpin komunitas Wajo di Makassar. Gaya kronik yang entrinya mengikuti pemimpin (raja bangsawan dan pemimpin komunitas) ini merupakan praktik lazim naskah tradisional di Sulawesi Selatan.

Rentangan masa lebih dari satu setengah abad termuat dalam salinan naskah itu—mulai tahun 1671—mendata empat belas matoa berikut kejadian-kejadian penting yang menyertai masa pemerintahan mereka. Noorduyn membaca, menerjemahkan bagian penting, dan memberi penjelasan konteks tentang naskah itu dan sebagian matoa yang diceritakannya dari sumber-sumber lain. Ini membuat kita bisa menikmati, meski serbasedikit, perjalanan komunitas ini dari masa pasca-perang Makassar di dekade 1660-an hingga masa surutnya di akhir abad ke 19.

Pada entri kedua, di masa pemerintahan To Pakkalo, matoa kedua, disebutkan lima aturan komunitas, secara ringkas aturan-aturan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tidak boleh menawar barang dagangan lebih tinggi dari matoa. Kedua, matoa berhak turut dalam sebuah pembelian demi urusan darang yang dijalankan oleh satu atau lebih orang Wajo, yang mendapat tambahan oleh Matthes bahwa: hanya ketika barang-barang telah terjual barulah penjual mendatangi matoa dan menawarinya pembagian, baik dalam keadaan untung maupun rugi.

Ketiga, Matoa boleh menitipkan barang atau dagangan dengan nilai hingga 100 real sebagai komisi untuk kapten kapal, dan menjualnya atas nama matoa. Empat, orang Wajo mengurus rumah matoa dengan membangunkannya sebuah rumah atau, jika dibutuhkan, memperbaiki dan menggantikan rumahnya yang sudah tua. Kelima, jika seorang pedagang Wajo meninggal, seekor sapi dibelikan dari warisannya dan dipotong. Aturan ini berlaku hingga dua abad setelahnya, bahkan ditambahkan beberapa aturan lagi di masa matoa-matoa setelahnya.

Komunitas ini merupakan sebuah institusi pendukung yang membuat aturan ini bisa terjaga, dan komunitas ini pula yang mematikannya manakala penguasa tidak lagi sanggup mengikuti aturan-aturan ini. Namun pada awalnya adalah pengetahuan warga yang ditumpuk. Dan itu sangat terlihat pada beberapa aturan tambahan yang terbuat di bawah entri matoa ke tiga saudagar Wajo di Makassar: Amanna Gappa.

Keterangan tentang Amanna Gappa jauh lebih detil dibandingkan matoa lain. Di samping memuat aturan di atas yang lebih detil, juga ada beberapa tambahan. Yang paling penting adalah pengangkatan Amanna Gappa sebagai pemimpin dagang seluruh Makassar, dan detil ongkos muatan.

Delapan bulan setelah Amanna Gappa menjadi matoa, dia dipanggil oleh gubernur di Fort Rotterdam dan diangkat menjadi kepala seluruh pedagang di Makassar. Detil ongkos angkutan barang menjelaskan tentang berapa yang harus dibayarkan jika muatan seorang pedagang akan diantar dari Makassar ke beberapa pelabuhan di kawasan Nusantara. Kota-kota itu antara lain, Johor, Aceh, Sulu, Kutai, Banjar, Pasir, Sukadana, Palembang, Bangka, Belitung, Manggarai, Bali, dan tentu saja Batavia.

Sayang sekali ade allopi-loping yang memuat detil jalur, ongkos dan aturan dagang, tidak termaktub dalam naskah yang khusus bicara tentang matoa dan masa pemerintahannya ini.

Tentu kita bisa membayangkan bagaimana para pedagang Wajo tiba dari sebuah pelayaran dagang lalu berkumpul dan berdiskusi tentang pengamatan mereka di daerah yang baru saja mereka kunjungi. Langgar yang dibangun secara kolektif, yang juga dijelaskan dalam naskah ini, menjadi tempat yang sering mereka gunakan untuk membahas temuan-temuan ini.

Ketika Amanna Gappa diangkat menjadi kepala pedagang, itu berarti aturan yang diterapkan komunitas dagang Wajo diakui efektifitasnya oleh banyak pihak. Fort Rotterdam dibangun, dan Makassar dikuasai, untuk mengamankan arus dagang Belanda, sehingga mereka tidak akan mengambil risiko mengangkat seorang pemimpin dari satu komunitas tertentu di kawasan kosmopolitan itu bila urusan utama mereka tidak terpenuhi. Mengangkat pemimpin salah satu komunitas yang berpengetahuan luas dan tatanan dagang yang diakui komunitas lain, tentu merupakan langkah taktis bagi Belanda.

Sementara itu, bagi komunitas Wajo sendiri, ini bukti bahwa penumpukan pengetahuan dan pengalaman dagang yang mereka kumpulkan sanggup membawa mereka melebarkan pengaruh. Bukti bahwa institusi mereka sanggup menjaga tradisi praktis yang berkembang menjadi produk jasa yang efektif. Ini berarti kecurigaan banyak orang sekarang tentang pranata tradisional yang selalu dipandang primordial dan irasional tidak sepenuhnya benar.

Namun masih ada pertanyaan yang mengganjal: di naskah ini tidak muncul tugas-tugas matoa? Apa tanggung jawab matoa secara administratif? Mengingat dia mendapat banyak sekali keistimewaan. Noorduyn menjawab bahwa tanggungjawab matoa, dalam naskah ini, tidak tersurat namun tersebar dalam beberapa deskripsi yang muncul secara acak.

Pertama, dia berfungsi sebagai semacam jaringan pengaman sosial, dia bertindak sebagai penjamin barang dagangan bila terjadi malapetaka, misalnya kapal karam atau bencana lainnya. Matoa juga berfungsi untuk menyelesaikan pertikaian, seperti ketika matoa Wajo, kapten Cina dan Malayu menyelesaikan pertikaian dagang yang melibatkan komunitas masing-masing. Mereka pun bertindak sebagai hakim yang adil. Dan menjadi perwakilan rakyatnya untuk berhubungan dengan pihak luar komunitas.

Dalam teori sistem pemerintahan moderen yang kita kenal sekarang, fungsi-fungsi ini diemban oleh Negara. Sehingga pada titik ini kita bisa katakan bahwa, komunitas pedagang ini sejatinya adalah sebuah “Negara” yang membentuk aturannya sendiri lewat penumpukan pengalaman warganya yang dijaga dan disebarkan lewat berbagai pranata, seperti jabatan/fungsi matoa dan pertemuan di langkara (langgar).

Di sini juga terlihat bahwa, salah satu syarat mereka bisa bertahan, bahkan bisa mengembangkan pengaruh lewat aturan dagangnya, adalah mereka secara intelektual tidak bergantung. Mereka membuat aturan sendiri dari mendengarkan pengalaman warganya sendiri yang tentu saja sudah melancong ke mana-mana. Tumpukan pengetahuan yang dihimpun dan diuji dengan pelayaran-pelayaran selama bebeberapa generasi ini menghasilkan sesuatu yang orisinil dan dapat diterapkan.

Ringkasnya, sebagaimana Chicago Manual di atas, aturan ini dibuat dalam sebuah institusi yang independen dan dibuat untuk membuat praktik menjadi lebih baik bagi banyak orang.

Seperti Chicago Manual yang banyak dipakai di luar negeri, pentingnya praktik ade allopi-loping ini membuat Fort Rotterdam tertarik untuk menerapkannya lewat Amanna Gappa. Membuatnya diterjemahkan ke bahasa asing untuk dijadikan rujukan studi lebih lanjut. Tahun 1832, versi inggrisnya, terjemahan Ch. Thomsen terbit di Singapura. Kajian hukum laut tradisional Indonesia harus berterima kasih dengan keberadaan naskah kecil yang senantiasa dijadikan rujukan ini.

Namun beda dengan Chicago manual, jika mengunjungi anjungan google book dan mengetik ade allopi-loping maka yang muncul hanya enam hit. Itupun ia dibahas sebagai sebuah sejarah, bukan lagi sesuatu yang masih hidup. Mengapa demikian?

Aturan ini mulai dibuat mungkin di akhir perang Makassar sekitaran 1670-an dan mulai populer sejak Amanna Gappa menjadi matoa pada tahun 1697-1723. Namun ia harus menyusul lenyap sebagaimana pranata pendukungnya, negeri Wajo di Makassar, yang telah raib tak lama sebelumnya. Kini, ia hanya bisa dikenali samar-samar, bahkan disalahpahami sebagai Amanna Gappa—pemimpin komunitas Wajo yang mempopulerkannya.


Komunitas ini surut karena banyak penduduknya yang pindah ke kampung lain. Meski kampung Wajo di Makassar masih ada secara geografis, namun komunitasnya yang independen dan punya aturan sendiri telah lama hilang. Menurut naskah itu, orang Wajo mulai meninggalkan kampung itu ketika, cucu matoa Wajo mulai bertindak sewenang-wenang, dan tindakan Raja Bone, Muhammad Ismail, membatasi gerak dagang dan mempekerjapaksakan mereka karena keinginannya meminjam uang ditolak komunitas itu.

Akhirnya, sebagaimana kerap kita baca dari buku sejarah, adalah penguasa zalim, baik dari luar maupun dari dalam, yang menyudahi sebuah negeri kecil yang indun Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html

ependen dan intelek ini, sekaligus mengakhiri kontinuitas penum
Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html
un Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html


C. Kesimpulan
Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html
Sebagaimana berdasarkan pembahasan diatas, maka diketahui bahwa jauh sebelum Belanda ma suk ke Indonesia, kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah mempunyai sistem hukum dan peradilannya sendiri. Walaupun tentu saja sistem tersebut tidak tersususun secara sistematis sebagaimana saat ini, namun hukum dan peradilan secara substantif telah ada dan diterapkan di oleh masing-masing kerajaan dan masyarakat pada waktu itu. Sistem hukum dan peradilan pada waktu itu tentu beraneka ragam dari yang sifatnya tradisional dan tidak tertulis sampai kepada bentuk yang terulis sebagaimana Amanna Gappa. Terlepas dari semua itu, Memahami sejarah, khususnya sejarah hukum akan sangat penting bagi kita baik sebagai praktisi maupun teoritisi untuk memahami sistem hukum pada saat ini maupun memproyeksikan trend sistem hukum dan perundang-undangan dimasa yang akan datang karena sebagaimana tiap-tiap bangsa yang mempunyai Volgeist –jiwa rakyat, maka sistem hukum di Indonesia juga tidak akan terlepas dari volgeist bangsa Indonsia, dan akan terus berubah sesui dengan jiwa bangsa tersebut.