Selasa, 17 Mei 2011

RIBA DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH

RIBA DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH
Oleh: Zainuddin Ali
A. Riba dalam sudut pandang Ajaran Agama dan Sejarah
1. Pengertian Riba berdasarkan Hukum Islam
Riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Alqurán Surat An-Nisa/4: 29 sebagai berikut.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
Dalam transaksi simpan-pinjam dana misalnya, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Namun, yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.
2. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
a. Riba Qardh ( ربِا القرض )
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
b. Riba Jahiliyyah (ربِا الجاهلية )
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c. Riba Fadhl (ربِا الفضل )
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
d. Riba Nasi’ah ( ربِا النسيئة )
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
2. Konsep Riba dalam Perspektif Non-Muslim
Riba bukan hanya merupakan persoalan dalam masyara-kat Islam, melainkan menjadi persoalan berbagai kalangan di luar Islam. Karena itu, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun yang silam. Masalah riba telah menjadi pembahasan di kalangan penganut agama Yahudi, bangsa Yunani, bangsa Romawi, penganut agama Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Karena itu, sepantasnya bila kajian tentang riba dilihat dari perspektif kalangan non-Muslim dimaksud. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari kalangan non-Muslim dimaksud, perlu dilihat kajiannya. Hal itu, diuraikan sebagai berikut.
a. agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Ummat Islam mengakui juga kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena pemeluk agama Yahudi dikaruniai Allah kitab Taurat; Sedangkan penganut agama Kristen dikaruniai kitab Injil.
b. pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat oleh para pemuka agama tersebut.
c. pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi dalam kaitannya dengan riba. Hal dimaksud, diuraikan sebagai berikut.
1) Konsep Bunga bagi pemeluk agama Yahudi
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan dimaksud, banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Perjanjian Lama (Old Testament) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran ). Misalnya: Pasal 22 ayat (25) menyatakan: "Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya." Selain itu, Kitab Deuteronomy (Ulangan) Pasal 23 ayat (19) menyatakan: "Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan." Demikian juga Kitab Levicitus (Imamat) Pasal 35 ayat (7) menyatakan: "Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba."
2) Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut mempunyai kategori seperti diungkapkan dalam bentuk Tabel 3-1 di bawah ini
TABEL -3.1
VARIASI BUNGA DI KALANGAN
YUNANI DAN ROMAWI
Pinjaman biasa
Pinjaman properti
Pinjaman antarkota
Pinjaman perdagangan dan industri 6 % - 18 %
6 % - 12 %
7 % - 12 %
12 % - 18 %

Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan ‘tingkat maksimal yang dibenarkan hukum' (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:
TABEL-3-2
JENIS TINGKATAN BUNGA
Bunga maksimal yang dibenarkan
Bunga pinjaman biasa di Roma
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma)
Bunga khusus Byzantium 8 – 12 %
4 – 12 %
6 –100 %
4 – 12 %
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga.
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Per-tama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin; Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.
3) Konsep Bunga di Kalangan pemeluk agama Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6: 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat dimaksud, menyatakan: "Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."
Ketidaktegasan ayat di atas, sehingga muncul berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu:
a) pandangan para pendeta agama Kristen pada awal abad I-XII M yang mengharamkan bunga;
b) pandangan para sarjana pemeluk agama Kristen pada abad XII–XVI M yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan; dan pandangan para reformis pemeluk agama Kristen pada Abad XVI– XIX yang menghalalkan bunga.
3. Pandangan Reformis Kristen pada Abad XVI-XIX M
Para reformis di kalangan pemeluk agama Kristen telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu, di antaranya: John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 –1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain, yaitu: (a) Dosa apabila bunga memberatkan, (b) Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles), (c) Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi, (d) Jangan mengambil bunga dari orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
d. Konsep Riba di dalam Hukum Islam
1) Tahap Pertama
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba adalah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah Swt. dalam Alqurán Surat Ar Rum: 39
2) Tahap Ke dua
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Karena itu, Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Ancaman Allah swt dimaksud, diungkapkan dalam Alqurán Surat An Nisa: 160-161
3)Tahap ketiga
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba yang berlipat Ganda. Riba yang diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman dalam Alqurán Surat Ali Imran: 130
4) Tahap ke empat atau tahap terakhir
Peringatan Allah swt dalam Alqurán sebagai peringatan terakhir mengenai riba secara jelas dan tegas mengharamkan riba dalam berbagai jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Larangan dimaksud, Allah Swt berfirman di dalam Alqurán surat Al Baqarah: 278-279

BEBERAPA PERBEDAAN RIBA DENGAN USAHA LAINNYA

BEBERAPA PERBEDAAN RIBA DENGAN USAHA LAINNYA
Oleh: Zainuddin Ali


A. Perbedaan investasi dengan membungakan uang
Ada 2 (dua) perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat dianalisis melalui definisi hingga makna masing-masing dari ke dua istilah dimaksud, yaitu: (a) Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidak pastian. Karena itu, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap; dan (b) Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan selalu menguntungkan pihak yang membungakan uang.
Bila hukum Islam dicermati mengenai investasi maka dapat dapahami bahwa hal dimaksud, mendorong warga masyarakat ke arah usaha nyata yang produktif. Selain itu, dapat dipahami bahwa investasi dihalalkan dan membungakan uang di larang oleh hukum Islam. Demikian juga menyimpan uang di bank yang yang menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan amat tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pihak bank sebagai mudharib atau pengelola dana. Karena itu, bank Islam (baik bank muamalah maupun bank syariah dan/atau bank konvensional yang menggunakan prinsip syariah) tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana atau investor.
B. Perbedaan hutang uang dengan hutang barang
Ada dua jenis hutang yang berbeda, yaitu hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lain yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan oleh sistem perbankan yang menggunakan prinsip syariah.
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli. Karena itu, kalau harga jual sudah menjadi kesepakatan, maka selamanya tidak dapat berubah, baik barang itu naik harganya maupun turun. Dalam pelaksanaan transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.
C. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil
Ajaran Islam mendorong kepada warga masyarakat untuk melakukan praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata dan mendasar. Perbedaan itu, dapat dilihat pada Tabel-3.3 sebagai berikut.







TABEL-3.3
PERBEDAAN BUNGA DAN BAGI HASIL
BUNGA BAGI HASIL
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung a. Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi
b. Besarnya persentase berdasar-kan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi, ke-rugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang "booming". d. Jumlah pembagian laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah pendapatan.

e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Muhammadiyah dan Pembentukan Masyarakat Islam

Muhammadiyah dan Pembentukan Masyarakat Islam
Oleh: Dr. Haedar Nashir
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memiliki cita-cita ideal yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dengan cita-cita yang ingin diwujudkan itu Muhammadiyah memiliki arah yang jelas dalam gerakannya. Cita-cita ideal yang ingin diwujudkan Muhammadiyah terkandung dalam rumusan maksud dan tujuan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Sering muncul pertanyaan seputar makna atau kandungan isi dari maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut. Apakah yang dimaksudkan dengan kalimat menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam itu? Apa pula, dan ini lebih sering dipertanyakan, yang dimaksud dengan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu? Dua pertanyaaan yang elementer, Tetapi memang sangat penting untuk diketahui dan dipahami khususnya oleh anggota Muhammadiyah. Guna menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu diketahui konteks lahirnya perumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut, yang kedua substansi atau isinya dengan merujuk pada pemikiran-pemikiran yang selama ini berkembang dalam Muhammadiyah.
Jika dilacak pada rumusan Anggaran Dasar (Statuten) Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912 hingga Muktamar ke-45 tahun 2005, Muhammadiyah telah menyusun dan melakukan perubahan Anggaran Dasar (AD) sebanyak 15 (lima belas) kali yaitu pada berturut-turut pada tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Adapun untuk Anggaran Rumah Tangga (ART) sebanyak 8 (delapan) kali dimulai dan berturut tahun 1922, 1933, 1952, 1961, 1967, 1969, 1987, 2000, dan 2005. Dari kandungan isi AD/ART Muhammadiyah tersebut ditemukan data bahwa rumusan tujuan mewujudkan/terwujudnya “masyarakat Islam yang sebenarbenarnya ditetapkan pada AD tahun 1946, sedangkan sejak berdirinya sampai awal tahun kemerdekaan Indonesia tersebut tidak ditemukan rumusan tujuan sebagaimana dimaksud.
Dari data yang dihimpun Mh. Djaldan (1998), ditemukan pula bahwa rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sebagaimana dimaksud, mengalami perubahan redaksional yang sedikit berbeda yakni, tahun 1946 dan 1959, serta perubahan isi pada tahun 1985. Pada AD tahun 1946 tertera kalimat “Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarbenarnya, sementara pada AD tahun 1959 berbunyi; Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Pada tahun 1985, maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami perubahan isi menjadi “Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala. Penggantian tahun 1985, terjadi karena pemaksaan rezim Soeharto di era Orde Baru yang melalui Undang-Undang Tahun 1985 yang mengharuskan seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan untuk berasas (tunggal) Pancasila, sehingga Muhammadiyah diharuskan selain mengganti asas Islam yang telah dirumuskan sejak tahun 1959 menjadi asas Pancasila, sekaligus mengubah rumusan tujuannya melalui proses yang sangat alot hingga menunda muktamarnya selama dua tahun.
Dalam Statuten (Anggaran Dasar) pertama tahun rumusan maksud/tujuan Muhammadiyah belum mengarah ke format masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, kendati spiritnya boleh jadi sama. Pada Statuten 1912 artikel (pasal?) kedua dinyatakan sebagai berikut: “Maka perhimpunan itu maksudnya:
a. Menyebarluaskan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan
b. Memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.” Agar memperoleh gambaran yang lengkap mengenai rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah dalam rentang perubahan AD/ART Muhammadiyah tersebut berikut penulis cuplikan dalam tabel: Maksud dan Tujuan Muhammadiyah 1912 2005
1. 1912 “Maka perhimpunan itu maksudnya: a. Menyebarluaskan pengajaran Agama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan b. Memajukan hal Agama kepada anggauta-anggautanya
2. 1914 Maksud Persyarikatan ini yaitu: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Agama Islam di Muhammadiyah di zaman Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.
3. 1921 Maksud Persyarikatan ini yaitu: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.
4. 1934 Hajat Persyarikatan itu: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).
5. 1941 Hajat Persyarikatan: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Indonesia, dan b. Memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).
6. 1943 Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini: a. hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya, b. hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum, c. hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai.
7. 1946 Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
8. 1950 (1) Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
9. 1950 (2) Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
10. 1959 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
11. 1966 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
12. 1968 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
13. 1985 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata‘ala.
14. 2000 Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
15. 2005 Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Perubahan substansi dan formulasi tujuan Muhammadiyah tersesbut tampaknya menggambarkan perkembangan cara berpikir dan konteks yang dihadapi Muhammadiyah pada setiap babakan sejarah tertentu. Menurut Prof. KH. Farid Ma’ruf dalam buku Pendjelasan Tentang Maksud dan Tudjuan Muhammadijah (Jakarta: Penerbit Yayasan Santakam, 1966, hal. 8) bahwa “perubahan yang bertingkat-tingkat seperti tersebut di atas itu membayangkan dengan jelas, kemajuan hasil yang telah dicapai oleh Muhammadiyah dengan bertingkat-tingkat, dan juga menggambarkan dengan nyata perkembangan berpikir dari para pemimpin dan anggauta-anggautanya yang tambah lama semakin maju juga.” Jadi, terdapat sistematisasi pemikiran yang lebih maju dari perubahan formulasi tujuan Muhammadiyah sebagaimana dalam pemikiran-pemikiran formal lainnya. Namun, kendati terjadi perubahan formulasi tujuan, terdapat konsistensi yakni ruh atau spirit gerakan yang tetap konsisten untuk mengemban risalah Islam dan orientasi pada usaha menyebarluaskan dan memajukan kehidupan sepanjang kemauan ajaran Islam melalui lapangan kemasyarakatan dan tidak melalui jalur kekuasaan-negara. Dalam penjelasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tafsir Anggaran Dasar Muhammadijah Lengkap dengan Muqaddimahnya (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1954, hal. 16 ) mengenai perubahan redaksional maksud dan tujuan Muhammadiyah itu dikemukakan sebagai berikut: “Kalau orang mengikuti perkembangan Muhammadiyah melalui berbagai aman yang berlainan coraknya, adalah memang sedemikian harusnya mencantumkan maksud dan tujuannya. Akan tetapi, intinya tetap, mewujudkan ISLAM bagaimana dan apa mestinya.”

MENGAPA ORANG MENAATI HUKUM

MENGAPA ORANG MENAATI HUKUM
Oleh: Kelompok V :
1. Nanang Suryana
2. Parningotan Simbolon
3. Bona
4. Adli Yunus Ahmad
5. Dedi Wahyudin
6. Megawati
(Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Program MH, Angk. 14, Universitas Borobudur 2011)
A. Pendahuluan
Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar itu, filsafat hukum bisa dibandingkan dengan dengan ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang sangat berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apa yang dimaksud dengan hokum ?” Filsafat hukum menginginkan kita berfikir secara mendalam dan bertanya pada diri sendiri: “Apa pendapat kita mengenai hukum?” Apakah ilmu hukum positif dapat menjawab dua pertanyaan tersebut? Jawabannya adalah dapat. Namun ilmu hukum tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, karena jawaban yang dihasilkan tidak akan sekomprehensif bila dijawab oleh filsafat hukum. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum saja, yang hanya dapat dilihat dengan pancaindra, yang menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan dalam kebiasaan-kebiasaan hukum.
Ilmu hukum positif tidak dapat mengamati kaidah-kaidah hukum yang merupakan pertimbangan nilai-nilai, karena berada jauh di luar pandangannya. Kaidah hukum masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan (penting) mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut. Kaidah-kaidah hukum adalah pertimbangan nilai-nilai, yaitu pertimbangan-pertimbangan tentang sesuatu yang seharusnya kita lakukan atau tidak kita lakukan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kaidah hukum menghendaki diikuti sebagai sebuah otoritas sehingga dengan demikian mempunyai sifat perintah, suruhan dan larangan. Suatu kaidah dapat berubah menjadi kaidah hukum, jika kaidah tersebut dikeluarkan oleh negara berupa peraturan-peraturan yang harus menjadi pedoman bagi pemerintah dan bagi kekuasaan pengadilan saat melakukan tugasnya serta kaidah hukum mempunyai ciri bahwa ia dipertahankan oleh paksaan pemerintahan atau setidak-tidaknya oleh paksaan yang terorganisir. Jika diamati, maka ketiga pengertian tersebut memiliki persamaan yaitu meletakkan hubungan yang erat antara hukum dan negara (atau penguasa) dan bahwa ketiga pengertian tersebut merupakan hasil dari penelitian secara empiris dalam mencari ciri persekutuan untuk peraturan-peraturan yang biasanya disebut peraturan-peraturan hukum.

B. Kerangka Pikir
Benarkah kaidah hukum memperoleh otoritasnya—dan oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya, semata-mata
1. hanya karena orang-orang yang menciptakannya,
2. karena orang-orang yang mengakuinya sebagai hukum,
3. karena nilai batinnya/nilai keadilannya sendiri
Dari mana pemerintah/penguasa pada suatu negara memperoleh hak untuk memaksakan pertimbangan-pertimbangan nilainya kepada orang lain sebagai suatu perintah? Secara garis besar, terdapat tiga ajaran yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu:
(1) raja dianggap memperoleh kekuasaannya karena langsung diangkat oleh Tuhan, merupakan kehendak Tuhan (theocratisch atau hukum kodrat),
(2) pemerintah langsung memperoleh kekuasaannya dari kehendak rakyat dan hanya secara tidak langsung dari Tuhan (scholastik pada abad pertengahan),
(3) segala hukum adalah hukum manusia (rasionalisme dari aufklarung abad ke 18).
Pada abad ke 19, ajaran theocratisch masih terus hidup dalam berbagai corak dan bentuk, namun ajaran tersebut tidak lagi memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam pemberian sanksi-sanksi tertentu kepada masyarakat dalam pelanggaran terhadap hukum. Hal ini disebabkan, pada abad tersebut pemerintah tidak lagi merupakan penjelmaan agama dan tak mengakui kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat. Pembela ajaran ini di abad 19 adalah Julius Stahl (1802-1861): “Negara adalah badan yang diberikan kuasa penuh oleh Tuhan, akan tetapi yang diberikan wewenang penuh bukanlah aparatur pemerintahan, akan tetapi negara sendiri sebagai badan”. Hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari ordonansi ketuhanan yang merupakan dasar suatu negara. Meskipun hukum merupakan buatan manusia, namun ia digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan.
Teori perjanjian mendalilkan ajarannya bahwa sumber kekuasaan pemerintah berada pada kehendak manusia/warganegara sendiri. Warganegara wajib taat kepada pemerintahan dan hukum, karena dengan tegas atau dengan diam-diam mereka dengan keinginan dan kesadaran sendiri secara penuh telah membuat perjanjian seperti itu. Ajaran ini diperkenalkan dan dipraktekkan melalui berbagai cara pertama kali pada zaman Yunani oleh kaum sophist dan epicurust. Dalam abad pertengahan, pikiran seperti itu semakin meluas meskipun tidak dapat dilaksanakan secara penuh, oleh karena bertentangan dengan pandangan keagamaan pada saat itu. Sehingga pikiran baru tersebut dilakukan dalam bentuk lama: Tuhan memberi rakyat kewenangan untuk membentuk pemerintah, dan rakyatpun mempergunakan kewenangan itu dengan menyerahkannya kepada raja atas dasar suatu perjanjian. Oleh kaum monarchomachen pada abad XVI ajaran tersebut digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap “hak suci memberontak” terhadap raja-raja lalim, yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian yang telah dibuat. Pada abad ke XVII terjadinya negara dan tata hukum didasarkan atas perjanjian, yang tidak semata-mata merupakan perjanjian yang dilakukan oleh rakyat dan raja (perjanjian penaklukan), tetapi adalah sesuatu perjanjian yang diadakan oleh manusia yang satu dengan yang lain untuk mendirikan negara dan tata hukum (perjanjian masyarakat). Ajaran ini menjadi sangat terkenal ketika Rosseau memperkenalkannya dengan nama contract social. Ajaran ini pada saat sekarang sudah tidak lagi banyak dianut, oleh karena pada teori ini disana-sini ditemukan kelemahan-kelemahan, salah satunya adalah: janji hanyalah merupakan sesuatu hal yang abstrak dan menggantungkan kewajiban seseorang kepada kehendak suatu janji bukankah itu berarti menghapuskan segala kewajiban. Kemudian, bagaimana hukum dapat memperoleh kekuatan mengikat dari suatu kontrak yang agar dapat mengikat mengandaikan adanya hukum?
Ajaran kedaulatan negara muncul pada abad ke XIX, abad ilmu alam, yang mendasarkan kekuatan mengikat dari hukum adalah kehendak negara dan mendasarkan adanya kekuasaan negara pada sesuatu hukum kodrat (yang lebih kuat menguasai yang lebih lemah). Oleh karena daya hukum itulah maka terjadi negara yang bukan buatan manusia melainkan hasil alam. Melakukan kekuasaan pemerintahan bukan melakukan sesuatu hak yang meminta pembenaran, kekuasaan pemerintahan adalah suatu kenyataan yang dapat diterangkan dengan jalan ilmu pengetahuan dari jalannya hukum kodrat, yang diperoleh dengan cara melihat kenyataan empiris. Sementara itu, pada tingkat terakhir dari ajaran kedaulatan negara, juga memberi kemungkinan menunjuk kepada kehendak Tuhan sebagai yang mengadakan hukum kodrat itu. Yang meletakkan dasar teori ini adalah seorang swiss, Karl Ludwig von Haller.
Ajaran hukum “reine rechtslehre/normatif rechtsleer” dari Hans Kelsen yang ingin memurnikan ajaran hukum dari segala anasir yang bukan yuridis (politik, kesusilaan, sosiologi). Negara bukan merupakan dunia sein (undang-undang kausal) tetapi dunia sollen (undang-undang normatif). Dipandang dari sudut yuridis, negara adalah tata hukum itu sendiri. Negara dan hukum adalah sama, negara adalah penjelmaan dari hukum. Menurut Kelsen adalah tidak benar menjawab pertanyaan tentang alasan berlakunya hukum (sesuatu sollen) dengan sein. Saya seharusnya bertindak demikian, bukan karena Tuhan menghendakinya, melainkan karena saya seharusnya mengikuti perintah Tuhan. Itu adalah dasar terakhir yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut untuk “sollen” yang bersifat agama. Dasar berlakunya suatu kaidah hanya dapat diketemukan dalam kaidah yang lain. Kaidah yang ditentukan dengan keputusan hakim, memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang yang lebih tinggi dan kaidah undang-undang memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang dasar yang lebih tinggi. Kaidah yang lebih tinggi dari undang-undang dasar tidak ada. Dengan demikian, terpaksa kita menerima undang-undang dasar sebagai dasar berlakunya dari seluruh hukum positif, sesuatu kaidah dasar/ursprungsnorm tetapi sesuatu kaidah yang tidak boleh dipandang sebagai kaidah-kaidah dasar yang mempunyai isi, sesuatu kaidah dari mana orang dapat mencari isi hukum, ursprungsnorm yang bersifat hipotetis hanya hendak menyatakan kesatuan formil dari seluruh sistem hukum, yang menyulap kenyataan bahwa orang-orang pemerintahan meletakan pertimbangan-pertimbangan nilai mereka sebagai peraturan yang mengikat, menjadi hukum, sehingga dengan demikian menyulap “seinskategorie” menjadi sesuatu yang menurut Kelsen merupakan kebalikannya yaitu kategori sollen.
Teori kedaulatan hukum dikemukakan oleh H. Krabbe, mengatakan bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak orang-orang tertentu yaitu orang-orang pemerintahan, orang-orang hidup di bawah kekuasaan undang-undang yang terbentuk melalui perwakilan rakyat. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Ajaran kedaulatan hukum pada asasnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Yang terutama bukanlah negara, pemerintahan, melainkan yang terutama adalah hukum. Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintahan, melainkan pemerintahan hanya memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya. Dijawab oleh Krabbe, bahwa hukum berpangkal pada perasaan hukum dan hanya memperoleh kekuasaan dari persesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Tetapi timbul kesulitan: sesuatu kaidah hukum yang berpangkal pada perasaan-perasaan hukum individu hanya menguasai kehendak individu itu sendiri. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus menguasai kehendak individu itu sendiri yang bersandar pada keyakinan hukum bersama. Akan tetapi unanimitas keyakinan hukum adalah sesuatu yang jarang didapatkan. Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat. Itu adalah conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarkat. Oleh karenanya maka keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah itu, sehingga kesadaran hukum kita memberikan nilai yang tertinggi kepada kesatuan kaidah tersebut, jika perlu dengan mengorbankan sesuatu isi yang tertentu yang lebih kita sukai.
Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma:”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia meniadakan kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut. Undang-undang seperti ini, yang tidak mengikat masyarakat dan seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan orang-orang pemerintahan lainnya.
Menurut Van Apeldoorn, maka dengan menarik konsekuensi yang sedemikian jauhnya terhadap ajarannya itu, Krabbe telah melakukan ad absurdum. Bagaimana dengan kepastian hukum dan perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasih kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan, bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan UUD) dalam melakukan tugasnya, jika menurut pertimbangan mereka undang-undang (termasuk UUD) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak, padalah hal tersebut adalah hal yang merupakan sesuatu yang tidak tentu dan tidak dapat ditentukan.
Kelemahan Krabbe tersebut terungkap, oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum, sehingga dengan kekonsekuenan Krabbe dalam implementasi teorinya, dipastikan menyebabkan terjadinya penghapusan seluruh hukum, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.
Menurut Van Apeldoorn, jika suatu tatanan masyarakat hendak merupakan lebih daripada tatanan kekuasaan belaka, maka ia juga harus merupakan tatanan hukum, harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil, karena disitulah letaknya otoritas hukum. Pada hakekatnya, sesuatu hukum kebiasaan yang timbul langsung dari masyarakat itulah yang terbanyak memenuhi tuntutan tersebut. Dengan varian atas ucapan ahli hukum Romawi Paulus, dapatlah kita katakan optima iuris interpres consuetudo (penjelmaan hukum yang terbaik adalah kebiasaan).
Diperlukan suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan dewan perwakilan rakyat dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum perundang-undangan sebagian besar tidak lain merupakan hukum kebiasaan yang ditulis dan karena itu hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokoknya tergores dalam kesadaran rakyat. Keyakinan yang berakal dari sesuatu bangsa bahwa harus ada tata tertib, sehingga harus ada hukum yang pada umumnya berisi pandangan-pandangan kesusilaan dan pandangan-pandangan hukum rakyat, menyebabkan bahwa keyakinan rakyat memberikan otoritas yang mengikat dari undang-undang, sekalipun juga seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata tidak sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat.
Jika suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut—bahwa keyakinan rakyat adalah tatanan hukum—maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah ia sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu sebagai tatanan otoritas.