tag:blogger.com,1999:blog-79772840938422433492024-02-20T11:45:28.085-08:00SOSIOLOGI HUKUMhttp//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.comBlogger61125tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-24185227134523733742011-09-16T01:33:00.000-07:002011-09-16T01:33:55.108-07:00KASUS HUKUM NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUMKASUS HUKUM NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK <br />
SOSIOLOGI HUKUM<br />
Oleh Mahasiswa S2 Hukum Univ. Borobudur:<br />
1. Andi Setiawan<br />
2. Benecditus T.T.<br />
3. Dominicus<br />
4. Lasbok Marbun<br />
5. Muhammad Reza P.<br />
<br />
Mata Kuliah : SOSIOLOGI HUKUM<br />
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali S.H. M.A.<br />
A. Pendahuluan<br />
Maraknya pemberitaan yang menyorot M. Nazarudin, bendahara partai demokrat, mengenai kasus-kasus hukum yang membelitnya nyata-nyata telah berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasus hukum yang menerpa M. Nazarudin seperti dalam kasus pengerjaan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung, dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. tidak hanya mencederai nama besar Partai demokrat dimata publik, namun juga mungkin akan mengakhiri zaman keemasan partai demokrat.<br />
Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya. <br />
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Nazarudin selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.<br />
B. Pembahasan<br />
1. Para Koruptor Kabur ke Singapura<br />
Beberapa tahun terakhir ini belasan hingga puluhan WNI yang bermasalah dengan hukum diyakini bersembunyi di sejumlah negara, terutama negeri jiran Singapura. Selain Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, masih ada juga nama lain seperti Anggoro Widjaja, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Juga Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belum lagi nama-nama buronan seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian. Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin,serta Hendra Liem alias Hendra Lim,Nader Taher, dan Agus Anwar. Status mereka di Indonesia memang benar berstatus sebagai koruptor, tetapi kenyataan di luar negeri status mereka bukan sebagai koruptor. Melainkan, mereka dijamu sebagai tamu, dan terkadang akan menjadi tamu yang baik sebab mereka membayar pajak, membelanjakan uangnya dan lain-lainnya.<br />
Kalau Densus 88 Polri bisa memburu para tersangka teroris, satuan-satuan khusus yang dibentuk Polri pun pasti mampu memburu tersangka koruptor. Kalau perburuan Nunun Nurbaeti dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, strategi yang sama mestinya bisa diterapkan untuk memburu tersangka koruptor lainnya.<br />
Kembali ke kasus Nazarudin, Kasus pemberian uang yang dilakukan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menambah panjang kontroversi yang dilakukan politisi muda tersebut. Anehnya, hal itu tidak juga membuat Partai Demokrat segera melakukan koreksi diri. Tetapi malah semakin kuat untuk membela anggotanya yang disinyalir tersandung kasus pidana. Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, inilah kesempatan emas bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki nama baik partai. Begitu jelas partai dipakai untuk kepentingan pribadi-pribadi, namun selama ini sulit bagi Partai Demokrat untuk menindak anggotanya. Sekarang ada fakta yang begitu gamblang, namun mereka mencoba menutup mata.<br />
2. Tebang Pilih Penegakan Hukum<br />
Boleh jadi, karena Nazaruddin kader Partai Demokrat, Presiden tak dapat menutup- nutupi kepentingannya dalam merespons kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang itu mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik ”menyelamatkan” Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin ”bernyanyi” dan mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario politik partai demokrat.<br />
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK harus bertindak lebih tegas dan lebih cepat menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader partai demokrat Nazarudin. Perlunya tindakan tegas dan cepat dalam penangaan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang Sumatera Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan Nazaruddin yang saat ini berada di Singapura seharusnya bisa menjelaskan kasus dugaan korupsi tersebut dengan benar tanpa harus ditutup-tutupi agar kasus tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas . Keengganan Nazarudin menjelaskan dengan tuntas kasus tersebut karena hal itu akan menyangkut nama baik diriya sebagai anggota DPR. Ada kesan bahwa KPK lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi sangat mungkin, hal itu disebabkan Nazaruddin merupakan kader partai demokrat yang merupakan partai yang berkuasa saat ini. Sehingga apabila kasus Nazarudin di telusuri lebih dalam, sangat mungkin akan mengungkap banyak hal yag berkaitan dengan tuduhan dugaan korupsi yang di arahkan padanya dan akan membuka semua borok kader-kader Partai Demokrat lainnya sehingga menyeret sejumlah orang penting di partai tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut Lord Acton menegaskan,”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” 1 <br />
Indonesia adalah negara hukum, seyogyanya siapapun yang terkait dengan kasus hukum harus ditangani dengan tegas dan tuntas apalagi bila KPK yang menanganinya, sehingga kesan di masyarakat bahwa penanganan hukum sifatnya tebang pilih bisa diminimalisir.<br />
3. Kasus Nazaruddin Akan Hilang<br />
Serangkaian kasus besar pelanggaran pidana di Indonesia terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya di awal tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja kasus bank century, kasus likuidasi BLBI, kasus Gayus, Kasus Susno Duadji dan seterusnya. Kemudian yang teranyar kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin dan masih akan ada kasus-kasus besar lainnya bermunculan. Dapat diprediksikan kalau situasi semacam ini akan terus berlanjut hingga 2014 mendatang pada akhir masa pemerintahan SBY. Sebab, tidak ada ketegasan dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul. <br />
Menyikapi keadaaan carut marut penegakan hukum seperti demikian, tampaknya masyarakat Indonesia sudah sangat jenuh dipertontonkan dengan hal semacam ini. Banyak kasus besar, namun tidak kunjung ada penyelesaiannya. Setelah satu kasus lama tak diungkap kemudian berganti lagi dengan kasus yang satu untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Kejadian semacam ini di Indonesia disebabkan kondisi politik saat ini dimana, partai politik di Indonesia belum bisa disebut partai politik yang ideal. Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau. ”2 Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan yang strategis yang nantinya akan menjadi donasi terhadap partai.<br />
4. Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Kasus Nazaruddin<br />
Dalam kasus hukum Nazarudin jelas bahwa para petinggi partai Demokrat mencoba dengan segala daya menyelamatkan partai dan para kadernya dari upaya jeratan hukum dengan kekuasaan dan kekuatan politik partai demokrat sehingga Nazarudin untouchable dari aparat hukum. Dalam masyarakat ada empat kekuataan sosial yang bersifat baik dan tidak baik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Empat kekuatan sosial itu adalah (1) kekuatan uang, (2) kekuatan politik, (3) kekuatan massa, (4) kekuatan teknologi baru. <br />
5. Yuridis Normatif<br />
Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazaruddin bisa ditangkap atau didatangkan. <br />
Rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, para anggota Partai Demokrat juga jangan mencoba lari dari substansi. Salah besar apabila rakyat dianggap tidak mencatat dan mengingat setiap tindakan yang dilakukan elite partai. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang nyeleneh dan melanggar hukum yang dilakukan para politisi. Rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan setegak-tegaknya di republik ini. Adili para pelaku korupsi ke pengadilan dan tunjukkan kesalahahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka. Pendekatan seperti ini dalam kajian sosiologi hukum disebut pendekatan yuridis normatif. <br />
6. Yuridis Empiris<br />
Begitu seringnya rangkaian kasus besar di Indonesia yang terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya dan kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin sepertinya bukanlah kasus yang terakhir tapi masih akan ada kasus-kasus besar lainnya yang akan bermunculan. Karena tiada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Celakanya tak satupun aparat penegak hukum yang mampu menangkap Nazaruddin. Dalam hal ini, yang perlu diributkan sebenarnya adalah aparat hukum yang sampai saat ini tak mampu menangkap Nazaruddin, kalau saja Nazaruddin dapat ditangkap atau didatangkan, maka semua isu yang berkembang dengan<br />
sendirinya bakal terjawab. <br />
Ada kasus besar yang terungkap ke publik bukan untuk diselesaikan tapi digunakan untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Realita ini yang sedang disajikan oleh elit partai demokrat yang sedang berkuasa di pemerintahan pada rakyat. Kenyaatan hukum ini dalam kajian sosiologi hukum disebut yuridis empiris. Hukum dengan kajian yuridis empiris tidak didasarkan pada bentuk pasal dan peraturan, melainkan bagaimana kenyataan hukum itu dalam kehidupan masyarakat. <br />
7. Solusi<br />
<br />
Persoalan 'bola panas' mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, telah menggelinding jauh ke ranah politik. Akibatnya, kasus Nazaruddin yang sebenarnya bermuara pada permasalahan hukum itu telah bergeser jauh menjadi persoalan politik. Inilah kenyataan hukum di republik ini. Hukum diombang-ambingkan ke segala arah sesuai kehendak penguasa. Sungguh ironis, undang-undang anti tindak pidana korupsi belum mampu membuat para pelaku korupsi jera, justru malah semakin menjamurnya para koruptor baru. Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum melalui mekanisme yuridis normatif patut dikedepankan dengan menghilangkan unsur tebang pilih. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem yang ada di Indonesia baik dari aspek hukum, pemerintahan, politik dan juga mengenai sistem keimigrasiannya.<br />
C. Kesimpulan<br />
Kasus Nazarudin yang tak kunjung tuntas sekali lagi telah mencoreng upaya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini murni memang bukan masalah hukum semata, belakangan bahkan masalah politik mendominasi kasus Nazarudin. Setelah ditelusuri, ternyata M.Nazarudin bukan orang “sembarangan”. Ia adalah bendahara umum partai demokrat, sebuah partai poltik yang tengah berkuasa saat ini. Dengan “kesaktiannya”, aparat penegak hukum tak mampu mengendus keberadaannya apalagi menangkapnya kembali ke tanah air. Ditenggarai, banyak kepentingan politik berada dibelakang kasus ini sehingga ia tetap tak tersentuh hukum. Hal ini selaras dengan materi kuliah Prof. Zainuddin Ali pada kuliah Sosiologi Hukum bahwa kekuatan politik dan uang dapat membelokkan upaya penegakan hukum di tanah air.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2010.<br />
____________. Sosiologi Hukum. Cet. Ke-6, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.<br />
Irsan, Koesparmono. Politik hukum, Jakarta : Universitas Brobodur, 2004<br />
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004<br />
Schmid, J.Von. Ahli-ahli pikir besar tentang negara dan hukum. Jakarta: PT Pembagunan, 2004<br />
Kasus Nazaruddin akan Hilang http://www.infoindo.com/20110710144545 Minggu,10 Juli 2011http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-14877776524978616582011-08-24T22:27:00.000-07:002011-08-24T22:27:10.498-07:00URGENSI LEGISLASI UNDANG-UNDANG HUKUM KEWARISAN DAN PROBLEMATIKANYA DI INDONESIAURGENSI LEGISLASI UNDANG-UNDANG HUKUM KEWARISAN DAN PROBLEMATIKANYA <br />
DI INDONESIA<br />
<br />
<br />
LITBANG DEPARTEMEN AGAMA KERJASAMA <br />
FAK. SYARIAH DAN HUKUM SERTA HISSI<br />
TAHUN 2011<br />
<br />
TIM PENULIS DAN PEMBAHAS<br />
Sesi I<br />
1. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA : Signifikansi Penyusunan RUU Hukum materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan di Indonesia dilihat dari Aspek Filosofis, Yuridis, Sosiologis dan Historis<br />
2. Prof. Dr. H. Jaih Mubarak, SE., M.Ag, MH: Asas-asas Hukum Kewarisan Islam<br />
3. Dr. H. Edi Riyadi, SH., MH: Paradigma Baru Hukum Waris Islam<br />
4. Ratu Haika, M.Ag: Syarat-syarat ahli waris dan Pewaris serta kelompok ahli waris dan bagian masing-masing dalam perspektif Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
5. Muhammad Adib, MA: Halangan Menerima Warisan dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
6. H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag., MH: Harta Bersama dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
Sesi II<br />
1. Dr. H. Faqihuddin Abdul Qadir, Lc., MA: Hukum Kewarisan Islam antara Taabbudy dan Ta’aqquly<br />
2. Dra. Maskufa, M. Ag: Pro dan Kontra porsi kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
3. Drs. H. Moh. Muhibin, SH., M. Hum: Wasiat Wajibah untuk anak angkat, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (anak zina dan anak nikah sirri, dan anak yang berbeda agama dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
4. Prof. Dr. H. Syahrizal Abbas, MA: Ahli waris Pengganti dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
5. Euis Nurlailawati, MA., Ph.D: Anak perempuan menghijab saudara pewaris dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
6. Sulhani Hermawan, M.Ag: Kedudukan waris anak di luar nikah dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
Sesi III<br />
1. Sri Hidayanti, M.Ag: Kewarisan Khunsa (kelamin ganda), Mafqud (orang hilang), anak dalam kandungan dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
2. Humaidi Hamid, M.Ag: Musyarrakah dan Gharawain dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
3. Zainul Mahmudi, M.Ag: Wasiat Pembagian harta Warisan sebelum pewaris meninggal dunia dan praktik hibah dihitung sebagai bagian waris dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
4. Azharuddin Latif/Ali Mansur: Konsep Perdamaian dan Taharruj dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat<br />
5. Hj. Neng Zubaidah, SH., MH: Model-model Adopsi sistem waris BW dan Hukum adat dalam KHI dan RUU Kewarisan<br />
6. Dr. Yeni Salma Barlinti, SH., MH: Keterkaitan Hukum Waris dengan hak-hak kebendaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan <br />
Pembahas sesi I<br />
1. Prof. Dr. H. Atho Mudzhar, MSPD<br />
2. Prof. Dr. H. Ahmad Rofik, MA<br />
Pembahas sesi II<br />
3. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin <br />
4. Prof. Dr. H. Muhibbin, MA<br />
Pembahas sesi III<br />
5. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA<br />
6. Dr. H. Habiburrahman, SH., MH<br />
<br />
http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-12720559972749137182011-08-24T22:23:00.000-07:002011-08-24T22:23:27.230-07:00KASUS NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUMKASUS NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM<br />
Oleh: Andi Setiawan, BenediktusTitus T., Dominicus, Lasbok Marbun (MHS S2 Magister Hukum Univ. Borobudur Jakarta<br />
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali S.H. M.A.<br />
<br />
A. PENDAHULUAN<br />
Maraknya pemberitaan yang menyorot M. Nazarudin, bendahara partai demokrat, mengenai kasus-kasus hukum yang membelitnya nyata-nyata telah berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasus hukum yang menerpa M. Nazarudin seperti dalam kasus pengerjaan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung, dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. tidak hanya mencederai nama besar Partai demokrat dimata publik, namun juga mungkin akan mengakhiri zaman keemasan partai demokrat.<br />
Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya. <br />
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Nazarudin selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.<br />
<br />
B.PEMBAHASAN<br />
PARA KORUPTOR KABUR KE SINGAPURA<br />
Beberapa tahun terakhir ini belasan hingga puluhan WNI yang bermasalah dengan hukum diyakini bersembunyi di sejumlah negara, terutama negeri jiran Singapura. Selain Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, masih ada juga nama lain seperti Anggoro Widjaja, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Juga Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belum lagi nama-nama buronan seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian. Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin,serta Hendra Liem alias Hendra Lim,Nader Taher, dan Agus Anwar. Status mereka di Indonesia memang benar berstatus sebagai koruptor, tetapi kenyataan di luar negeri status mereka bukan sebagai koruptor. Melainkan, mereka dijamu sebagai tamu, dan terkadang akan menjadi tamu yang baik sebab mereka membayar pajak, membelanjakan uangnya dan lain-lainnya.<br />
Kalau Densus 88 Polri bisa memburu para tersangka teroris, satuan-satuan khusus yang dibentuk Polri pun pasti mampu memburu tersangka koruptor. Kalau perburuan Nunun Nurbaeti dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, strategi yang sama mestinya bisa diterapkan untuk memburu tersangka koruptor lainnya.<br />
Kembali ke kasus Nazarudin, Kasus pemberian uang yang dilakukan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menambah panjang kontroversi yang dilakukan politisi muda tersebut. Anehnya, hal itu tidak juga membuat Partai Demokrat segera melakukan koreksi diri. Tetapi malah semakin kuat untuk membela anggotanya yang disinyalir tersandung kasus pidana. <br />
Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, inilah kesempatan emas bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki nama baik partai. Begitu jelas partai dipakai untuk kepentingan pribadi-pribadi, namun selama ini sulit bagi Partai Demokrat untuk menindak anggotanya. Sekarang ada fakta yang begitu gamblang, namun mereka mencoba menutup mata.<br />
TEBANG PILIH PENEGAKAN HUKUM<br />
Boleh jadi, karena Nazaruddin kader Partai Demokrat, Presiden tak dapat menutup- nutupi kepentingannya dalam merespons kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang itu mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik ”menyelamatkan” Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin ”bernyanyi” dan mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario politik partai demokrat.<br />
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK harus bertindak lebih tegas dan lebih cepat menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader partai demokrat Nazarudin. Perlunya tindakan tegas dan cepat dalam penangaan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang Sumatera Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan Nazaruddin yang saat ini berada di Singapura seharusnya bisa menjelaskan kasus dugaan korupsi tersebut dengan benar tanpa harus ditutup-tutupi agar kasus tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas . Keengganan Nazarudin menjelaskan dengan tuntas kasus tersebut karena hal itu akan menyangkut nama baik diriya sebagai anggota DPR. Ada kesan bahwa KPK lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi sangat mungkin, hal itu disebabkan Nazaruddin merupakan kader partai demokrat yang merupakan partai yang berkuasa saat ini. Sehingga apabila kasus Nazarudin di telusuri lebih dalam, sangat mungkin akan mengungkap banyak hal yag berkaitan dengan tuduhan dugaan korupsi yang di arahkan padanya dan akan membuka semua borok kader-kader Partai Demokrat lainnya sehingga menyeret sejumlah orang penting di partai tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut Lord Acton menegaskan,”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”1 <br />
Indonesia adalah negara hukum, seyogyanya siapapun yang terkait dengan kasus hukum harus ditangani dengan tegas dan tuntas apalagi bila KPK yang menanganinya, sehingga kesan di masyarakat bahwa penanganan hukum sifatnya tebang pilih bisa diminimalisir.<br />
<br />
KASUS NAZARUDDIN AKAN HILANG <br />
<br />
Serangkaian kasus besar pelanggaran pidana di Indonesia terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya di awal tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja kasus bank century, kasus likuidasi BLBI, kasus Gayus, Kasus Susno Duadji dan seterusnya. Kemudian yang teranyar kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin dan masih akan ada kasus-kasus besar lainnya bermunculan. Dapat diprediksikan kalau situasi semacam ini akan terus berlanjut hingga 2014 mendatang pada akhir masa pemerintahan SBY. Sebab, tidak ada ketegasan dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul. <br />
<br />
1Koesparmono Irsan, Politik hukum, (Jakarta : Universitas Brobodur, 2004) hal.72.<br />
Menyikapi keadaaan carut marut hukum seperti demikian, tampaknya masyarakat Indonesia sudah sangat jenuh dipertontonkan dengan hal semacam ini. Banyak kasus besar<br />
namun tidak kunjung ada penyelesaiannya. Setelah satu kasus lama tak diungkap kemudian berganti lagi dengan kasus yang satu untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Kejadian semacam ini di Indonesia disebabkan kondisi politik saat ini dimana, partai politik di Indonesia belum bisa disebut partai politik yang ideal. Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau.”2 Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan yang strategis yang nantinya akan menjadi donasi terhadap partai.<br />
<br />
KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM<br />
<br />
Dalam kasus hukum Nazarudin jelas bahwa para petinggi partai mencoba dengan segala daya menyelamatkan partai dan para kadernya dari upaya jeratan hukum dengan kekuasaan dan kekuatan politik partai demokrat sehingga Nazarudin untouchable dari aparat hukum. Dalam masyarakat ada empat kekuataan sosial yang bersifat baik dan tidak baik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Empat kekuatan sosial itu adalah (1) kekuatan uang, (2) kekuatan politik, (3) kekuatan massa, (4) kekuatan teknologi baru.3<br />
<br />
YURIDIS NORMATIF<br />
2Disampaikan pada kuliah Hukum Ekonomi di FH Program PascaSarjana Universitas Borobudur, Jakarta.<br />
Sabtu 18 Juni 2011.<br />
3Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2010) hal.33<br />
Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazaruddin bisa ditangkap atau didatangkan. <br />
<br />
Rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, para anggota Partai Demokrat juga jangan mencoba lari dari substansi. Salah besar apabila rakyat dianggap tidak mencatat dan mengingat setiap tindakan yang dilakukan elite partai. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang nyeleneh dan melanggar hukum yang dilakukan para politisi. Rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan setegak-tegaknya di republik ini. Adili para pelaku korupsi ke pengadilan dan tunjukkan kesalahahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka. Pendekatan seperti ini dalam kajian sosiologi hukum disebut pendekatan yuridis normatif.4<br />
<br />
YURIDIS EMPIRIS<br />
Begitu seringnya rangkaian kasus besar di Indonesia yang terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya dan kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin sepertinya bukanlah kasus yang terakhir tapi masih akan ada kasus-kasus besar lainnya yang akan bermunculan. Karena tiada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Celakanya tak satupun aparat penegak hukum yang mampu menangkap Nazaruddin. Dalam hal ini, yang perlu diributkan sebenarnya adalah aparat hukum yang sampai saat ini tak mampu menangkap Nazaruddin, kalau saja Nazaruddin dapat ditangkap atau didatangkan, maka semua isu yang berkembang dengan<br />
<br />
4 Ibid hal.13<br />
<br />
sendirinya bakal terjawab. <br />
Ada kasus besar yang terungkap ke publik bukan untuk diselesaikan tapi digunakan untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Realita ini yang sedang disajikan oleh elit partai demokrat yang sedang berkuasa di pemerintahan pada rakyat. Kenyaatan hukum ini dalam kajian sosiologi hukum disebut yuridis empiris. Hukum dengan kajian yuridis empiris tidak didasarkan pada bentuk pasal dan peraturan, melainkan bagaimana hukum itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat.5 <br />
SOLUSI <br />
Persoalan 'bola panas' mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, telah menggelinding jauh ke ranah politik. Akibatnya, kasus Nazaruddin yang sebenarnya bermuara pada permasalahan hukum itu telah bergeser jauh menjadi persoalan politik. Inilah kenyataan hukum di republik ini. Hukum diombang-ambingkan ke segala arah sesuai kehendak penguasa. Sungguh ironis, undang-undang anti tindak pidana korupsi belum mampu membuat para pelaku korupsi jera, justru malah semakin menjamurnya para koruptor baru. Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum melalui mekanisme yuridis normatif patut dikedepankan dengan menghilangkan unsur tebang pilih. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem yang ada di Indonesia baik dari aspek hukum, pemerintahan, politik dan juga mengenai sistem keimigrasiannya.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
5 Loc.cit hal.13<br />
KESIMPULAN<br />
Kasus Nazarudin yang tak kunjung tuntas sekali lagi telah mencoreng upaya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini murni memang bukan masalah hukum semata, belakangan bahkan masalah politik mendominasi kasus Nazarudin. Setelah ditelusuri, ternyata M.Nazarudin bukan orang “sembarangan”. Ia adalah bendahara umum partai demokrat, sebuah partai poltik yang tengah berkuasa saat ini. Dengan “kesaktiannya”, aparat penegak hukum tak mampu mengendus keberadaannya apalagi menangkapnya kembali ke tanah air. Ditenggarai, banyak kepentingan politik berada dibelakang kasus ini sehingga ia tetap tak tersentuh hukum. Hal ini selaras dengan materi kuliah Prof. Zainuddin Ali pada kuliah Sosiologi Hukum bahwa kekuatan politik dan uang dapat membelokkan upaya penegakan hukum di tanah air.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Daftar Pustaka<br />
<br />
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2010.<br />
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2005.<br />
Irsan, Koesparmono. Politik hukum, Jakarta : Universitas Brobodur, 2004<br />
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004<br />
Schmid, J.Von. Ahli-ahli pikir besar tentang negara dan hukum. Jakarta: PT Pembagunan, 2004<br />
Kasus Nazaruddin akan Hilang http://www.infoindo.com/20110710144545 Minggu,10 Juli 2011<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-58864517287049391972011-08-06T07:10:00.000-07:002011-08-06T07:10:10.679-07:00TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP SISMINBAKUMTINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP SISMINBAKUM <br />
<br />
oleh<br />
BONA (107 200 41)<br />
SYAMSUDIN (107 200 <br />
Dosen: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA<br />
<br />
ACKNOWLEDGMENTS<br />
Penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. Zaenuddin Ali, MA yang telah memberikan waktunya untuk mengajar dan memberikan tugas ini sebagai materi dalam mata kuliah Sosilogi Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur. <br />
Chapter 1<br />
KRONOLOGIS KASUS<br />
Awal Tahun 2000<br />
IMF menyarankan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra agar mempermudah pemberian izin pendirian perusahaan untuk membangkitkan perekonomian setelah krisis. Waktu itu izin ini dikelola dengan manual, makan waktu lama. Karena pemerintah tak punya biaya, dalam rapat kabinet Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan untuk mengundang swasta . <br />
Februari 2000<br />
Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita meminta John Sarodja Saleh, ahli teknologi informasi, konon rekanan Departemen Hukum, untuk merencanakan sistem informasi pemberian izin notaris.<br />
Juni 2000<br />
Tersebut sebuah perusahaan bernama PT Sarana Rekatama Dinamika. Entah bagaimana ceritanya, PT Sarana ini dikenal oleh Romli. Bisa jadi karena PT Sarana mengajukan pengesahan akta notaris ke Departemen Hukum. (Menurut Lembaran Berita Negara tentang akta pendirian perusahaan, pengesahan PT Sarana ditandatangani Dirjen Romli pada 24 Agustus 2000) <br />
Juli 2000<br />
Romli memperkenalkan John Sarodja dengan Hartono, Bambang Tanoesoedibjo, Rukman Prawirasastra, dan Yohanes Waworuntu dari PT Bhakti Investama. John Sarodja diminta bekerja sama dengan PT Bhakti untuk membuat sistem komputerisasi tersebut <br />
Agustus 2000<br />
Tapi bukan PT Bhakti yang kemudian kerja sama dengan John Sarodja, melainkan PT Sarana. Pada tanggal ini Direktur Utama PT Sarana menandatangani perjanjian kerjasama dengan John Sarodja yang karena tak terkait dengan perusahaan mana pun meminta PT Visual Teknindo Utama memberikan kuasa direksi kepadanya. Isi perjanjian, PT Sarana memberikan biaya Rp 512 juta kepada PT Visual untuk pembuatan aplikasi, pembangunan jaringan, dan pengadaan perangkat keras <br />
1 September 2000<br />
PT Sarana mengajukan permohonan sebagai pengelola dan pelaksana sistem informasi yang kemudian disebut Sisminbakum (sistem administrasi badan hukum) itu<br />
8 September 2000<br />
PT Sarana resmi bekerja sama dengan KPPDK (Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman) membuat sistem tersebut. Tampaknya ini kelaziman di Departemen Hukum, bila ada kerjasama dengan swasta, departemen diwakili oleh KPPDK. (Catatan: nama departmen satu ini berubah-ubah; sampai 1999, Departemen Kehakiman; 1999-2001, Departemen Hukum dan Perundang-undangan; 2001-2004, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 2004-2009, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2010, menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia) <br />
4 Oktober 2000<br />
Menteri Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan putusan pemberlakuan Sisminbakum.<br />
10 Oktober 2000<br />
Menteri Kehakiman dan HAM selaku Pembina KPPDK No 19/K/Kep/KPPDK/X/2000, tanggal 10 Oktober 2000,menunjuk KPPDK dan PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) selaku pengelola dan pelaksana Sisminbakum, bukan hanya sebagai penyedia jasa teknologi informasi. Inilah yang tampaknya membuat PT Sarana mempunyai akses pada Sisminbakum, termasuk proses pemberian izin akta notaris pendirian perusahaan yang seharusnya dirahasiakan. Baru setelah izin disahkan, masuk ke Lembaran Berita Negara dan bisa diakses public.<br />
8 November 2000<br />
KPPDK dan PT Sarana mengikat kontrak kerja sama. Yusril sebagai pembina Koperasi turut menandatanganinya. Jangka waktu perjanjian 10 tahun. Perjanjian juga mengatur perolehan kedua pihak, yakni 10 persen untuk Koperasi dan 90 persen untuk PT Sarana <br />
14 Januari 2001<br />
Romli selaku Dirjen AHU mengirim surat ke Koperasi Pengayoman, meminta pendapatan dari sistem itu digunakan untuk menunjang kelancaran tugas Ditjen AHU <br />
31 Januari 2001<br />
Sisminbakum diresmikan Wakil Presiden Megawati di Aula Departemen Hukum dan Perundang-undangan <br />
31 Februari 2001<br />
Romli menerbitkan surat edaran kepada para notaris di seluruh Indonesia tentang pelaksanaan dan tarif akses ke Sisminbakum.<br />
12 Maret 2001<br />
Menteri Sekretaris kabinet Marsillam Simanjuntak menulis surat kepada Menteri Hukum bahwa Sisminbakum melanggar Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak <br />
7 Februari 2001<br />
Presiden mengganti Menteri Hukum Yusril Ihza dengan Baharuddin Lopa <br />
6 Juni 2001<br />
Lagi, pergantian Menteri Hukum, dari Baharuddin ke Marsillam Simanjuntak. Baharuddin menjadi Jaksa Agung <br />
29 Juni 2001<br />
Menteri Hukum Marsillam mengeluarkan surat keputusan yang memberlakukan kembali sistem manual dalam pengurusan badan hukum, dan memberlakukan Sisminbakum secara terbatas.<br />
30 Juni 2002<br />
Romli digantikan oleh Zulkarnain Yunus.<br />
25 April 2003<br />
Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyimpulkan Sisminbakum melanggar Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) <br />
Oktober 2008<br />
Kejaksaan Agung mulai menyelidiki dugaan korupsi Sisminbakum <br />
<br />
Chapter 2<br />
PARA TERSANGKA<br />
Tersangka I <br />
Prof. DR. Romli Atmasasmita SH, LLM <br />
Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH, LLM, dikenal sebagai aktivis antikorupsi dari kalangan akademik yang amat vokal. Guru Besar dan Koordinator Program Doktor Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, ini selain Koordinator Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004), dia juga tim ahli United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB Melawan Korupsi).<br />
Dia juga tercatat sebagai tim ahli United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Pada masa persiapan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ayah lima anak ini ditnujuk menjadi Ketua Tim Seleksi Anggota KPK, yang kemudian memilih Taufiequrrachman Ruki selaku Ketua.<br />
Di era pemerintahan Presiden Megawati, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran (Unpad) ini terlibat sebagai anggota Tim Perumus UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku sampai sekarang untuk menjerat para koruptor.<br />
Tersangka II<br />
Zulkarnain Yunus <br />
Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Zulkarnain Yunus tengah menjalani empat tahun penjara dalam perkara korupsi proyek pengadaan alat sidik jari otomatis atau automatic fingerprint identification system (AFIS)<br />
Tersangka III<br />
Dr. Syamsudin Manan Sinaga, SH, MH<br />
Lahir di Pematang Siantar, umur 56 tahun / 15 Oktober 1952, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, S-3/Doktor Ilmu Hukum<br />
Tersangka IV<br />
Ali Amran Djanah <br />
Mantan Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman<br />
Tersangka V<br />
Yohanes Waworuntu <br />
Pengusaha tulen yang bertugas menjadi President Director of PT Sarana Rekatama.<br />
Chapter 3<br />
DASAR PENETAPAN PELANGGARAN HUKUM<br />
Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP <br />
Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP <br />
Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP <br />
Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 ayat (1) b, ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 <br />
<br />
Chapter 4<br />
AMAR PUTUSAN PENGADILAN<br />
Tersangka I <br />
Menyatakan terdakwa PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi. sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana Dakwaan keempat; <br />
Menjatuhkan pidana kepada PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam penahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan <br />
Menjatuhkan pidana denda kepada PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidiair selama 2 (dua) bulan kurungan. <br />
Menetapkan agar terdakwa PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. membayar uang pengganti sebesar US$ 2,000 (dua ribu dollar Amerika) dan Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa tidak melakukan pembayaran, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk mencukupi uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka agar terdakwa dipidana penjara selama 2 (dua) bulan. <br />
Menyatakan barang bukti a. Lembar Surat Perjanjian Kerjasama Antara Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Dengan PT. Sarana Rekatama Dinamika tentang Pengelolaan Dan Pelaksanaan Sistim Administrasi Badan Hukum Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor : 135/K/ UM/KPPDK/XI/2000. b. Daftar Rekapitulasi Bagi Hasil Fee Sisminbakum Ditjen AHU Dengan KPPDK Pusat Dari Bulan April 2001 S/d September 2008. Dan seterusnya sampai dengan Nomor 1435 berupa Wireless Linksys SN : M31303118446. Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama DR. Syamsudin Manan Sinaga, SH, MH. 1.6. Menetapkan kepada terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). <br />
<br />
Tersangka II<br />
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menghukum terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b jo. Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindal Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP. Hakim Tahsin menghukum terdakwa Zulkarnain Yunus dengan kurungan 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100 juta subsider 2 bulan kurungan serta mewajibkan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 240 juta sebsuder 2 bulan kurungan.<br />
<br />
Tersangka III<br />
Menyatakan terdakwa DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah ?melakukan Tindak Pidana Korupsi,sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana Dakwaan kelima;<br />
Menjatuhkan pidana kepada DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam penahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan <br />
Menjatuhkan pidana denda kepada DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidiair selama 2 (dua) bulan kurungan. <br />
Menetapkan agar terdakwa DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. membayar uang pengganti sebesar US$ 13,000 (tiga belas ribu dollar Amerika) dan Rp. 344.570.000,- (tiga ratus empat puluh empat juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah), dan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa tidak melakukan pembayaran, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk mencukupi uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka agar terdakwa dipidana penjara selama 2 (dua) bulan. <br />
Menyatakan barang bukti <br />
Surat-surat berupa dokumen . <br />
Uang sejumlah Rp. 18,499.970.000,- (delapan belas milyar empat ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus tujuh puluh ribu rupiah) disita dari Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum dan HAM RI. <br />
Uang sejumlah Rp. 2.415.417.808,- (dua milyar empat ratus lima belas juta empat ratus tujuh belas ribu delapan ratus delapan rupiah) disita dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Depkumham RI. <br />
Uang sejumlah Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) disita dari Prof. HAS Natabaya, SH, MH. Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama terdakwa Yohanes Waworuntu, Zulkarnain Yunus, Dkk. <br />
Barang bukti berupa uang sejumlah Rp. 66.900.000,- (enam puluh enam juta sembilan ratus ribu rupiah) disita dari DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. dirampas untuk Negara. <br />
Menetapkan kepada terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). <br />
<br />
Tersangka V<br />
PT DKI Jakarta dalam putusannya Nomor : 357/PID/2009/PT DKI tanggal 01 Pebruari 2010 telah membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 28 Oktober 2009, sehinga amarnya menjadi menyatakan terdakwa Yohanes Waworuntu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, serta menghukum dengan denda sebesar Rp. 200 Juta subsidair 4 Bulan. <br />
<br />
Chapter 5<br />
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM<br />
Bahwa kasus ini cukup ‘rumit’ karena faktor penyebab awal adalah situasi dan kondisi pemerintah yang pada saat itu kebijakan negara mengatakan tidak adanya biaya sementara desakan untuk membuat sebuah sistem semakin besar dari berbagai pihak <br />
<br />
Bahwa kasus ini merupakan buah kebijakan yang di turunkan oleh melalui S.K setingkat menteri yang di jalankan oleh bawahannya dalam hal ini Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) <br />
<br />
Bahwa pihak pengusaha dalam melihat sebuah peluang untuk mendapatkan profit merupakan dasar pembuatan sebuah perusahaan. Dalam hal ini pengusaha Yohaness Wawarontu melihat peluang pada pemerintah dan kebutuhan di masyarakat dan melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah melalui KPPDK /Koperasi <br />
<br />
Bahwa pergantian Dirjen AHU tidak semerta merta menghapus semua program kebijakan yang telah di ambil oleh pejabat sebelumnya dan tidak bisa di persalahkan dalam konteks pidana karena hal tersebut adalah sebuah kebijakan <br />
<br />
Bahwa dugaan adanya korupsi ternyata masih kurang kuat karena justru pemerintah mendapatkan pemasukan melalui kerjasama yang di lakukan apabila di lihat dalam konteks penerimaan pendapatan. <br />
Muatan politis dalam kasus ini begitu kental karena melakukan penuntutan terhadap sebuah kebijakan yang di ambil dalam harus di lihat dalam situasi serta kondisi yang tengah terjadi saat pengambilan kebijakan tersebut. <br />
<br />
Bahwa pada akhir perjalanan kasus ini Prof. Yusril Ihza Mahendra melakukan tuntutan balik yang mengakibatkan Jaksa Agung di berhentikan membuat persoalan baru dimana putusan yang dibuat mengalami kecacatan hukum.<br />
<br />
Chapter 6<br />
PENUTUP – PERTANYAAN<br />
Adam Podgorecki <br />
“In a social system there exists not only legal and moral norms, but also various norms of customs, manners, religion, politics, tradition, etc. Among these categories moral and legal norms are distinct, as their role in the social systems in particularly significant and important. Legal and moral norms are the basis for order and regulation in a social system.<br />
SBY – Presiden RI <br />
“Saya mengatakan, the real policy tidak mungkin dipidanakan," kata Presiden.Namun bila dalam implementasi kebijakan itu ada aturan hukum yang dilanggar, maka harus ada pembuktian yang jelas. Suatu kebijakan hanya bisa dianggap salah bila memang terbukti dengan jelas adanya unsur korupsi, suap atau konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusannya” <br />
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)<br />
“Bahwa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh siapapun apabila ada niat dan modus utk kriminalnya dapat di pidanakan.” <br />
Apakah sebuah kebijakan yang di ambil dengan dasar hukum yang benar dan kondisi serta situasi yang mendukung saat itu bisa di pidanakan di kemudian hari ? <br />
<br />
TABIK<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, www.kejari-jaksel.go.id<br />
Komisi Pemberantasan Korupsi, www.kpk.go.id <br />
Republika Online, Jumat, 07 November 2008, www.republika.com<br />
Kompas, Liputan Khusus, Jumat, 25 Juni 2010, Kejagung Dituntut Tuntaskan Sisminbakum<br />
Majalah Tempo, Selasa, 02 Agustus 2011, Siang Ini, Putusan Praperadilan Kasus Sisminbakum.<br />
Detiknews, Rabu, 11/05/2011, KY Tidak Pernah Komentari Kasus Sisminbakum <br />
Sosiologi Hukum, Prof. Dr. Zaenuddin MA, ISBN 979-8061-29-2<br />
Multi-dimensional sociology, Adam Podgorecki , ISBN 071000293http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-89895068899421932662011-08-06T07:01:00.000-07:002011-08-06T07:01:39.268-07:00Analisis Mengenai Kasus Hukum Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) yang melaporkan Proses Penangan Perkaranya di Pengadilan yang dianggap penuh Rekayasa Kepada Komisi Yudisial di Tinjau melalui Disiplin Ilmu Sosiologi HukumAnalisis Mengenai Kasus Hukum Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) yang melaporkan Proses Penangan Perkaranya di Pengadilan yang dianggap penuh Rekayasa Kepada Komisi Yudisial di Tinjau melalui Disiplin Ilmu Sosiologi Hukum<br />
di susun oleh: YOGA HATTA ALFAJRI H., S.H.NPM : 10720047, YULI SUSIANI, S.H.NPM : 10720049<br />
Dosen :Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, S.H., M.A<br />
<br />
A. Pendahuluan<br />
<br />
Mencermati kasus Antasari dengan kembali mencuat setelah Komisi Yudisial pada 13 April menemukan indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang menangani persidangan Antasari Azhar. Seperti diketahui, KY mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran profesionalisme dari majlis hakim perkara Antasari, mulai dari tingkat pertama sampai kasasi dengan mengabaikan beberapa bukti kunci dalam perkara tersebut. <br />
Bukti yang dimaksud yakni adanya pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik, serta pengabaian bukti berupa baju korban Nasruddin Zulkarnain yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan. Selain itu Setelah mempelajari pengaduan pengacara Antasari. KY mensinyalir ada sejumlah bukti-bukti penting yang justru tidak dihadirkan hakim. Bukti penting yang diabaikan itu seperti bukti dan keterangan ahli terkait senjata dan peluru yang digunakan dan pengiriman SMS dari HP Antasari.<br />
Menurut versi Maqdir Ismail, penasihat hukum Antasari, mengatakan kejanggalan itu ditemukan selama proses persidangan di tingkat pertama,, baik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan maupun PN Tanggerang. Berikut 10 kejanggalan tersebut:<br />
1. Terkait penyitaan celana jins<br />
Terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak terhadap mobil Nasrudin.<br />
2. Terkait luka tembak<br />
Berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.<br />
"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta, bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," kata Maqdir melalui email kepada Kompas.com, Selasa ( 25/4/2011 ).<br />
3. Terkait barang bukti senjata api.<br />
Berdasarkan keterangan Dr Abdul Mun'im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik.<br />
Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.<br />
Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami.<br />
"Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3000-4000 peluru," lanjut dia.<br />
4. Terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri <br />
Ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.<br />
Menurut Maqdir, keterangan kedua saksi itu rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, tambah Maqdir, ada 2005 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.<br />
"Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono. Ahli IT Dr Agung Harsoyo menduga, pengiriman SMS ini dilakukan melalui web server.<br />
<br />
Dia juga menyatakan, tidak ada SMS dari HP Antasari kepada Nasrudin. Ia memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman rusak itu ternyata tidak bisa dibuka.<br />
5. Perbedaan kualifikasi eksekutor <br />
Ada perbedaan kualifikasi dua eksekutor, yakni antara Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo dan Hendrikus dalam keputusan di PN Tangerang dan di PN Jaksel. Dalam pertimbangan di PN Tangerang, keduanya hanya sebagai penganjur.<br />
Adapun dalam pertimbangan keputusan terdakwa Antasari Azhar, Sigid dan Wiliardi Wizar di PN Jaksel, kata Maqdir, mereka sebagai pelaku dan penganjur.<br />
6. Pertimbangan majelis hakim<br />
Ada pertimbangan majelis hakim dalam putusan Antasari yang tak jelas asalnya. Dalam berkas putusan halaman 175 , hakim menyatakan; "Menimbang bahwa Hendrikus mengikuti korban dalam waktu cukup lama, sampai akhirnya, sebagaimana keterangan saksi Parmin dipersidangan....".<br />
Maqdir menduga, pernyataan itu dikutip dari pertimbangan perkara lain.<br />
7. Ruang kerja Antasari <br />
Ada penyitaan barang bukti dari ruang kerja Antasari di KPK yang tidak berkaitan dengan perkara dan tidak dilakukan konfirmasi kepada Antasari. Bukti yang disita itu dikembalikan kepada Chesna F Anwar.<br />
Termasuk dokumen “turut tersita” adalah berkas perkara penyelidikan kasus Informasi Teknologi Komisi Pemilihan Umum (IT-KPU), dokumen kasus besar lainnya tentang kerjasama dengan BUMN dan swasta, juga dokumen tentang laporan BLBI turut tersita pihak kepolisian. Dan menurut Antasari, dokumen-dokumen tersebut belum dikembalikan.<br />
Apakah dokumen “turut tersita” tersebut adalah agenda lain, namun yang jelas ketika dilakukan penyitaan tidak melakukan konfirmasi kepada Antasari dan tidak menghadirkan antasari ke ruang kerjanya. <br />
8. Penjagaan berlebihan <br />
Penjagaan yang berlebihan oleh polisi terhadap Rani Juliani sejak diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan hingga bersaksi di persidangan. Menurut dia, hakim dalam mempertimbangkan keterangan Rani telah mengabaikan Pasal 185 Ayat 6 huruf d KUHP, yaitu cara hidup dan kesusilaan saksi.<br />
9. Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo <br />
Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.<br />
10. Pemeriksaan penyidik <br />
Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Wiliardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin<br />
B. Pembahasan<br />
1. Kekuasaan Kehakiman<br />
Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut baik buruknya tergantung pada manusia-manusia pelaksananya incasu para Hakim. Lebih lanjut di dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa : <br />
<br />
“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”. <br />
<br />
Penjelasan mengenai ayat ini merupakan penegasan agar Pengadilan dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang adil. <br />
Menurut judicial process (Henry J Abraham), dalam mengadili perkara, hakim memegang otoritas untuk menilai, menerima, atau menolak suatu bukti dan fakta persidangan. Namun, penilaian, penerimaan, atau penolakan itu harus obyektif dan berdasarkan asas hukum, ketentuan hukum, dan nurani keadilan agar dapat dicerna secara jelas dan terang terkait dengan pendirian hakim yang mengadili suatu fakta dan bukti persidangan.<br />
Laporan Tim Pengacara Antasari berkaitan dengan dugaan adanya rekayasa dalam proses Peradilan Perkara mantan ketua KPK Antasari Azhar sempat mengundang polemik, dan berkembang issue bahwa Mafia Hukum secara sistematis sedang berusaha untuk melakukan pembusukan terhadap KPK. <br />
Munculnya KPK sebagai lembaga Ad Hock dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya memunculkan ketegangan antara penegak hukum yang lain (kepolisian dan kejaksaan) yang dianggap bobrok secara system sehingga rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia terutama supremasi hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime). <br />
Mengenai Kebebasan dan kewenangan Hakim dalam mengadili suatu perkara, dipertegas dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang berkomentar sebagai berikut <br />
“Apabila ada indikasi kuat seorang hakim melanggar kode etik dan profesionalitas, saya kira mau tidak mau hakim itu harus bersedia dan diizinkan untuk diperiksa oleh KY," katanya, Selasa (19/4). Namun ia menegaskan bahwa jika hakim tidak memasukan satu fakta dalam pertimbangan hal itu tidak menjadi masalah karena sudah menjadi kewenangan hakim. Pertimbangan suatu bukti oleh hakim pun tergantung signifikansinya.<br />
<br />
“Nah, kalau alasan tidak mempertimbangkan karena tidak professional, kolusi itu yang harus dihukum," tukas Mahfud. Untuk itu, Mahfud meminta publik untuk tidak curiga kepada KY. Masalah terbukti atau tidak, tambahnya, hal itu merupakan tanggung jawab KY. “Jadi hakim juga tidak usah perlu takut dan Mahkamah Agung tidak perlu gengsi," tegasnya. <br />
<br />
2. Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pembuktian.<br />
Berpangkal tolak pada Asas ‘PRADUGA TAK BERSALAH’ maka berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah dirubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” <br />
Berkaitan dengan perkara ini, sesuai dengan tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan suatu kebenaran materiel, suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana. Hal tersebut dipertegas dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yaitu :<br />
<br />
“Tujuan dari hukum adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”<br />
Merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan :“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.” (Non Self Incrimination).<br />
<br />
Bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pasal 66 KUHAP jika ditafsirkan secara a contrario, bahwa penuntut umum lah yang dibebani untuk membuktikan perbuatan Terdakwa bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan.<br />
Selama proses persidangan di Pengadilan Negeri inilah polemic tersebut terjadi. Menurut Penasihat Hukum Antasari, bahwa Majelis Hakim telah mengabaikan beberapa bukti yang sangat berpotensi menguntungkan bagi Antasari. Bahkan, beberapa bukti seakan dihilangkan atau ditutupi agar tidak terungkap di pengadilan. Beberapa proses hukum yang janggal menurut Penasehat hukum Antasari adalah sebagai berikut :<br />
1. Terkait penyitaan celana jins<br />
Terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak terhadap mobil Nasrudin. Bahkan Pakaian yang digunakan oleh korban telah dimusnahkan padahal termasuk dalam barang bukti. <br />
<br />
2. Terkait luka tembak<br />
Berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.<br />
<br />
"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta, bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," kata Maqdir melalui email kepada Kompas.com, Selasa ( 25/4/2011 ).<br />
<br />
3. Terkait barang bukti senjata api.<br />
Berdasarkan keterangan Dr Abdul Mun'im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik. Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.<br />
<br />
Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami. Dan “Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3000-4000 peluru,” lanjut dia.<br />
<br />
4. Terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri <br />
Ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.<br />
<br />
Menurut Maqdir, keterangan kedua saksi itu rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, tambah Maqdir, ada 205 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.<br />
<br />
Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono yang menurut Dr. Agung Harsoyo Ahli Informasi Teknologi (IT) dari Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) menduga, pengiriman SMS ini dilakukan melalui web server.<br />
<br />
Dia juga menyatakan, tidak ada SMS dari HP Antasari kepada Nasrudin. Namun sebaliknya ada 4 kali sms dari Nasrudin ke Antasari yang tidak satu kalipun dibalas oleh Antasari. Ia memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman itu rusak dan ternyata tidak bisa dibuka.<br />
<br />
5. Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo <br />
Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.<br />
<br />
6. Pemeriksaan penyidik <br />
<br />
Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Wiliardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin<br />
Apabila dikaitkan dengan sistem hukum Indonesia yang menganut system Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif, maka menurut Dr. H. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana diterbitkan atas kerja sama Pusat Kajian dan Pengambangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2009. halaman 42 menyebutkan<br />
“Sistem ini adalah mendasarkan pada system pembuktian menurut Undang-undang secara positif dan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time). System pembuktian ini adalah suatu keseimbangan antara kedua system yang bertolak belakang secara ekstrim. Pembuktian menurut undang-undang secara negative menggabungkan secara terpadu, dengan rumusan yang dikenal “Bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang”. Bertitik tolak pandangan tersebut maka dapat diketahui, bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang. Keyakinan hakim harus juga didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang syah. Sehingga terjadi keterpaduan unsure subjektif dan objektif dalam menentukan kesalahan terdakwa dan tidak terjadi dominasi antar keduanya.”<br />
Mencermati penjelasan Dr. H Syaiful Bakhri, betapa pentingnya alat bukti sebagai pertimbangan Hakim dalam memperoleh keyakinan akan bersalah atau tidaknya Terdakwa. Maka menjadi sangat keliru apabila benar di dalam proses persidangan kasus Antasari Azhar Majelis Hakim mengesampingkan bukti, terutama bukti yang meringankan Terdakwa. <br />
<br />
3. Komisi Yudisial Sebagai Kontrol Dalam Proses Peradilan<br />
Kontrol social dapat dilakukan oleh masyarakat (social control by society) maupun oleh Negara (social control by government). Kontrol oleh masyarakat melalui kaidah social non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah social bersifat formal. Kenyataannya sering terjadi kondisi-kondisi nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada.<br />
Social Control maksudnya supaya semua orang punya perilaku sesuai harapan yang menimbulkan komformitas social yaitu pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga tercapai tujuan diberlakukannya suatu kaidah sosial.<br />
Sebagai lembaga negara, Kontrol terhadap lingkup peradilan dan Hakim pada khususnya berada di tangan lembaga Komisi Yudisial (KY). Maka sudah sewajarnya jika KY merasa terpanggil untuk mendorong terciptanya peradilan Indonesia yang merdeka dan bebas korupsi, sesuai kewenangan konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 24B Ayat (1) jo Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU KY No 22 Tahun 2004. Namun, pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut tidak mudah, sebab bertabrakan bahkan tumpang tindih dengan kewenangan MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat independen dari campur tangan pihak mana pun, sebagaimana diatur Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.<br />
Masalahnya, konsepsi kewenangan tersebut secara legal-akademis bersifat multitafsir sehingga belum ada kesamaan persepsi antara KY dan MA. Ketidakpastian lingkup kewenangan kedua lembaga tersebut sejatinya harus diselesaikan secara normatif agar ada kepastian hukum. Tragisnya, UU KY No 22 Tahun 2004 pun tidak secara jelas, tegas, dan limitatif mendefinisikan apa yang dimaksud dengan konsepsi yuridis ”perilaku hakim” dalam rangka menegakkan ”kehormatan” dan ”keluhuran martabat” yang dimaksud Pasal 13 huruf b jo Pasal 20 UU No 22 Tahun 2004.<br />
<br />
Ketidakjelasan tersebut memunculkan kekacauan persepsi kewenangan (dan mekanisme) pemeriksaan hakim oleh KY. Kekacauan konsepsi tersebut jadi makin parah ketika pelaksanaannya menabrak konsepsi kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, sebagaimana ditentukan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang diderivasikan ke dalam norma Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009. <br />
<br />
Beranjak dari ketentuan Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman, alih-alih KY memeriksa hakim, justru hakim yang diperiksa dapat melaporkan komisioner KY kepada pihak berwajib karena dianggap telah menodai dan mencampuri kemandirian pengadilan.<br />
Dalam konteks yuridis normatif demikian, kita dapat memahami mengapa Ketua MA Harifin A Tumpa secara tegas menolak kehendak KY memeriksa hakim yang mengadili perkara Antasari Azhar. Apalagi alat uji (getoets) yang hendak dijadikan tolok ukur KY memeriksa hakim perkara Antasari Azhar adalah ”dugaan” menyampingkan fakta dan bukti persidangan.<br />
<br />
Namun benarkah hal tersebut tidak dapat dilakukan ? Kita dapat menyimpulkannya dengan melihat apakah tindakan yang dilakukan Tim Penasihat Hukum Antasari yang melaporkan perkara tersebut kepada Komisi Yudisial dapat membantu proses Upaya Hukum Peninjauan Kembali di kemudian hari.<br />
Alasan pengajuan peninjauan kembali dasar hukum pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982 :<br />
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.<br />
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.<br />
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.<br />
4. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.<br />
5. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.<br />
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.<br />
Berdasarkan ketentuan di atas, yang apabila dikorelasikan dengan Kewenangan Komisi Yudisial dalam hal pengawasan Kode etik Hakim, maka upaya yang dilakukan oleh Tim Penasihat Hukum Antasari adalah tindakan yang masuk akal dan sesuai dengan koridor hukum.<br />
Terlepas dari perdebatan mengenai adanya pelaporan yang dilakukan oleh Tim Pengacara Antasari, sesungguhnya kita sedang di suguhi suatu dinamika hukum. Hukum menjadi hidup, dia terus berkembang sehingga hukum benar-benar melakukan penggalian atas suatu kebenaran materiel.<br />
Hal inilah yang menjadikan perlunya memandang hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Berarti hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning.<br />
Upaya Tim Pengacara Antasari dengan melaporkan hakim ketua yang memimpin persidangan dalam perkara a quo, seakan mendobrak batas-batas kekuasaan Hakim yang begitu Absolute dan tak terjamah oleh Hukum. Paradigma Hakim adalah perpanjangan Tuhan, di dobrak bahwa Hakim-pun adalah manusia yang dapat salah dan perlu untuk dikoreksi.<br />
Sebagaimana yang disampaikan Lord Acton tentang moralitas dan kekuasaan "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." Senada dengan itu adalah pendapat William Pitt, seorang politikus di Amerika (1766-1778) mengatakan "Unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it" <br />
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukan adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana pendekatan sosiologis dan positivis dapat digunakan secara sinergis dan komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif. <br />
<br />
Pendekatan hukum yang positivistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum, namun Tujuan Hukum untuk dapat memberikan nilai kemanfaatan dan keadilan belum tentu dapat terwujud. Terlebih lagi hukum yang seharusnya berlaku dimasyarakat pada akhirnya akan mendapatkan penentangan dari subjek hukum itu sendiri. Pada akhirnya Tujuan dari hukum tidak tercapai dengan semestinya.<br />
<br />
Menurut Gustav Radbruh : hukum harus mengandung tiga nilai idealitas :<br />
1. Kepastian yuridis<br />
2. Keadilan Filosofis<br />
3. Kemanfaatan Sosiologis<br />
<br />
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :<br />
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum<br />
2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum<br />
3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum sebagai tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.<br />
<br />
Adanya gejolak dari masyarakat, dan tuntutan dari masyarakat hukum untuk dilakukan penyidikan ulang terhadap proses kriminalisasi (jika boleh dianggap) terhadap mantan ketua KPK Antasari Azhar membuktikan adanya nilai-nilai “keadilan” sesungguhnya belum di dapat.<br />
Masyarakat seakan masih meyakini, bahwa kriminalisasi mantan ketua KPK Antasari Azhar tidaklah sesederhana yang terlihat. Keterlibatan Petinggi Kepolisian, Penghilangan barang bukti, Jenis senjata dan alur kronologis yang terlihat di paksakan seakan membuktikan perkara ini melibatkan suatu sistem yang sangat besar.<br />
Orang bertanya-tanya, mengapa kasus pembunuhan Jaksa Agung Baharuddin Lopa atau pembunuhan Munir sangat sulit terungkap, tapi perkara pembunuhan seorang Nasrudin Zulkarnaen dapat terbongkar dengan detail dalam hitungan bulan.<br />
<br />
C. Kesimpulan<br />
Sistem pengawasan dalam setiap kekuasaan adalah sangat penting. Berkaitan dengan proses upaya hukum yang dilakukan oleh Tim Pengacara Antasari Azhar, adalah suatu terobosan hukum yang patut di acungi jempol. Harapan untuk menemukan suatu bukti baru dengan melaporkan dugaan rekayasa dalam proses peradilan kepada Komisi Yudisial, sehingga dapat diajukan dalam proses upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali)<br />
Quad Noun, kemudian terbukti bahwa dalam proses peradilan Antasari dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung (Kasasi) telah terjadi suatu tindak rekayasa, dan keputusan itu dapat dijadikan sebagai bukti baru (novum) maka, hal tersebut adalah suatu preseden yang baik. Tidak menutup kemungkinan akan banyak masyarakat yang pernah berurusan dengan meja persidangan dan kecewa dengan proses persidangan akan melakukan hal yang sama. Semoga, hal tersebut dapat membuka dan memperbaiki system peradilan di Indonesia dari keterpurukan rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan Indonesia.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-41667666400344882552011-08-03T05:45:00.000-07:002011-08-03T05:45:09.194-07:00Pembahasan Kasus Sisminbakum dalam Tinjauan Sosiologi HukumPembahasan Kasus Sisminbakum dalam Tinjauan Sosiologi Hukum<br />
Oleh: BONA NIM : 10720041, SYAMSUDIN NIM : 10720041, dan Adsa<br />
<br />
A. Latar Belakang<br />
IMF menyarankan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra agar mempermudah pemberian izin pendirian perusahaan untuk membangkitkan perekonomian setelah krisis. Waktu itu izin ini dikelola dengan manual, makan waktu lama. Karena pemerintah tak punya biaya, dalam rapat kabinet Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan untuk mengundang swasta<br />
Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita meminta John Sarodja Saleh, ahli teknologi informasi, konon rekanan Departemen Hukum, untuk merencanakan sistem informasi pemberian izin notaris<br />
Tersebut sebuah perusahaan bernama PT Sarana Rekatama Dinamika. Entah bagaimana ceritanya, PT Sarana ini dikenal oleh Romli. Bisa jadi karena PT Sarana mengajukan pengesahan akta notaris ke Departemen Hukum. (Menurut Lembaran Berita Negara tentang akta pendirian perusahaan, pengesahan PT Sarana ditandatangani Dirjen Romli pada 24 Agustus 2000)<br />
Romli memperkenalkan John Sarodja dengan Hartono, Bambang Tanoesoedibjo, Rukman Prawirasastra, dan Yohanes Waworuntu dari PT Bhakti Investama. John Sarodja diminta bekerja sama dengan PT Bhakti untuk membuat sistem komputerisasi tersebut<br />
Tapi bukan PT Bhakti yang kemudian kerja sama dengan John Sarodja, melainkan PT Sarana. Pada tanggal ini Direktur Utama PT Sarana menandatangani perjanjian kerjasama dengan John Sarodja yang karena tak terkait dengan perusahaan mana pun meminta PT Visual Teknindo Utama memberikan kuasa direksi kepadanya. Isi perjanjian, PT Sarana memberikan biaya Rp 512 juta kepada PT Visual untuk pembuatan aplikasi, pembangunan jaringan, dan pengadaan perangkat keras<br />
PT Sarana mengajukan permohonan sebagai pengelola dan pelaksana sistem informasi yang kemudian disebut Sisminbakum (sistem administrasi badan hukum) itu.<br />
PT Sarana resmi bekerja sama dengan KPPDK (Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman) membuat sistem tersebut. Tampaknya ini kelaziman di Departemen Hukum, bila ada kerjasama dengan swasta, departemen diwakili oleh KPPDK. (Catatan: nama departmen satu ini berubah-ubah; sampai 1999, Departemen Kehakiman; 1999-2001, Departemen Hukum dan Perundang-undangan; 2001-2004, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 2004-2009, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2010, menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia)http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-76216482046786232822011-07-28T01:11:00.000-07:002011-07-28T01:11:04.814-07:00PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUMPEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM<br />
Dosen:<br />
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.<br />
Disajikan Oleh Kelompok I:<br />
1 Linda M.A. Sjamsoeddin, NIM. 10720025<br />
2 Ary Untung Suto, NIM. 10720026<br />
<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
1. Latar Belakang Maslah<br />
Kasus pemalsuan Surat Mahkamah Konstitusi (MK) berawal dari laporan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan dalam pemilu 2009 yang lalu, ada indikasi bahwa surat keputusan MK telah dipalsukan. Menurut Mahfud keluarnya surat palsu tersebut diduga melibatkan Andi Nurpati yang waktu itu tercatat sebagai salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Arsyad Sanusi yang waktu itu menjadi salah satu hakim konstitusi. Tak cukup disini kemudian beberapa nama lainnya disebut seperti mantan panitera MK Zainal Arifin Hoesien, panitera pengganti Mohammad Faiz dan juru panggil MK Masyhuri Hasan. <br />
<br />
Surat keputusan MK menyangkut soal penetapan anggota DPR RI inilah yang menjadi pokok perdebatannya. Ada dua surat MK mengenai hal ini, pertama Surat Keputusan MK No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang dinyatakan Mahfud sebagai surat yang asli, namun selain surat tersebut juga ada Surat Keputusan MK dengan nomor yang sama tertanggal 14 Agustus 2009 yang dikatakan sebagai surat palsu. Surat tersebut mengenai penjelasan MK bahwa Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat MK tersebut membantah rapat pleno KPU yang menyebutkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. <br />
<br />
Masalah ini mengemuka terkait perolehan kursi yang ditempati anggota DPR, yang bisa saja kursi yang didudukinya tidak melalui jalan dan mekanisme yang sah, namun melalui proses manipulasi seperti yang terungkap belakangan ini, bahwa mungkin ada oknum KPU dan MK yang bekerja untuk meloloskan seseorang yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan kursi tersebut. Persoalan surat palsu ini kemudian mendapat sorotan publik, majalah, tv, surat kabar dan media online ramai memberitakannya. Bukan hanya itu Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri berinisiatif untuk membentuk Panja Mafia Pemilu guna mengurai benang kusut penghitungan dan penetapan calon terpilih anggota DPR RI hasil pemilu legislatif 2009 lalu. <br />
Penghitungan dan penetapan calon terpilih memang seringkali menimbulkan polemik dan kadangkala KPU sulit untuk memutuskannya, dan karena itu harus diselesaikan melalui sidang sengketa di MK. Kasus ini juga memperlihatkan pada kita bagaimana keinginan untuk menjadi anggota Dewan dan motif-motif tertentu lainnya (bagi oknum KPU dan MK) ternyata telah mengalahkan keharusan kita untuk taat pada hukum, apalagi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah penjaga hukum itu sendiri. Dari sini berkembang dugaan bahwa di balik itu semua ternyata ada sesuatu yang kemudian orang menyatakannya sebagai mafia pemilu. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji pemalsuan surat MK ditinjau sosiologi hukum yang menyertai kasus ini.<br />
<br />
<br />
BAB II<br />
PENYEBAB PERMASALAHAN<br />
1. Kisruhnya Penghitungan dan Penetapan Caleg Terpilih <br />
Kasus mencuatnya pemalsuan surat MK disebabkan oleh ricuhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih yang masuk ke DPR, sebagai hasil dari penghitungan tahap kedua dan ketiga. Berbeda dengan caleg yang lolos ke DPR melalui penghitungan tahap pertama, maka bagi partai politik yang berhasil melewati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yakni suara sah dalam Pileg dibagi jumlah kursi yang diperebutkan, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi. Untuk tahap kedua sisa kursi akan dibagi kepada partai yang mendapatkan minimal 50% BPP. Sedangkan tahap ketiga memperebutkan sisa suara yang masih ada. Penghitungan tahap kedua dan ketiga dalam perjalanannya menuai kontroversi dan karena itu melibatkan MK untuk mengambil putusan final. Di semua tahap penghitungan, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, maka penetapan caleg terpilih didasarkan atas suara terbanyak.<br />
<br />
Untuk penetapan caleg terpilih tahap kedua, berdasarkan pasal 22 c serta pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 18 Juni 2009. MA juga meminta KPU untuk merevisi putusannya mengenai penetapan kursi bagi calon terpilih. MK selanjutnya memberikan tafsir konstitusional atas penghitungan tahap kedua, yang berkonsekwensi pada tidak berlakunya putusan MA dan peraturan KPU. Dalam kaitannya dengan hal tersebut beberapa pasal yang dipakai menimbulkan multi tafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa tidak adil dalam penetapan kursi hasil pemilu. Hal itu kemudian diluruskan oleh tafsir konstitusional oleh MK pada tanggal 7 Agustus 2009. <br />
<br />
Untuk penetapan caleg terpilih pada penghitungan tahap ketiga, berdasarkan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 juga melibatkan MK. Pada tanggal 11 Juni 2009 MK menetapkan pembagian kursi tahap ketiga. Berbeda dengan penghitungan tahap pertama dan kedua, sisa-sisa suara yang ada di daerah pemilihan (Dapil) seluruhnya disatukan ke provinsi, ada atau tidak ada sisa kursi. Hasil di tingkat provinsi kemudian dibagi dengan sisa kursi dan hasil penghitungannya kemudian menjadi BPP. Setelah BPP ditentukan kemudian dilihat partai mana yang lolos peringkat. Bagi partai yang memperoleh suara terbanyak maka partainyalah yang akan mendapatkan kursi lebih dulu. Selanjutnya kursi tersebut diserahkan pada caleg yang perolehan suaranya terbanyak dari dapil yang kursinya masih tersisa. <br />
<br />
Kasus sengketa pemilu Dewi Yasin Limpo dan Mestiriyani Hasbie seperti yang diangkat dalam tulisan ini, juga merupakan contoh dari kisruhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih, hingga akhirnya membuka peluang bagi praktek-praktek melawan hukum dan berkembangnya mafia pemilu. <br />
2. Terbongkarnya Surat Palsu MK <br />
Menurut Mahfud MD sebelum ia mengemukakan ke publik soal adanya Surat Keputusan palsu MK menyangkut sengketa pemilu antara Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra dengan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang mencuat belakangan ini, sebenarnya ia telah mengadukan hal tersebut ke kepolisian sejak tahun lalu namun hingga kini, ketika ia kembali mengemukakan hal tersebut, pengaduannya belum diproses. Ketika Mahfud kembali mengangkat kasus ini dua bulan yang lalu, ia menyebut anggota KPU, Andi Nurpati dan mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi terlibat dalam pemalsuan surat tersebut. <br />
Akibat dari diungkapkannya hal ini ke publik, belakangan tudingan Mahfud tersebut menuai polemik berkepanjangan antara dirinya dengan Arsyad Sanusi, saling bantah-batahan diantara keduanya ramai diberitakan di media massa. Bahkan saling tuding yang mengarah pada soal-soal yang menyangkut personal juga terjadi.<br />
Kasus pemalsuan surat MK kemudian ditanggapi serius oleh DPR. Komisi II yang membidangi politik dalam negeri yang salah satu mitra kerjanya adalah KPU, berinisiatif membentuk Panja Mafia Pemilu untuk menyelidiki kasus ini. Timbul dugaan bahwa praktek-praktek mafia pemilu guna memenangkan seseorang secara tidak sah, mungkin saja bukan hanya ada pada kasus sengeketa Dewi dan Hestiriyani namun bisa juga ada di kasus-kasus lain. Kalau ini benar terjadi maka maka mungkin saja saat ini ada “kursi haram” di DPR yang ditempati oleh orang yang tidak berhak. Sampai saat ini Panja mafia pemilu masih menyelidiki kasus ini dan kemungkinan adanya kasus-kasus serupa yang lain, dan pihak kepolisian pun telah mulai melakukan penyelidikan. <br />
3. Bantahan Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi<br />
Hasil penyelidikan Tim Investigasi MK dibantah oleh Arsyad Sanusi dan Andi Nurpati yang namanya disebut-sebut Mahfud MD. Arsyad Sanusi menyebut bahwa pernyataan Mahfud dan Sekretaris Jenderal MK, Janedri M. Gaffar di depan Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR RI yang mengatakan bahwa Masyhuri Hassan, juru panggil MK pernah datang ke apartemen Arsyad pada tanggal 16 Agustus 2009. Namun Arsyad membantah bahwa kedatangan Masyuhuri tersebut dalam rangka menyusun draft palsu Surat Keputusan MK terkait sengketa pemilu antara Dewi dan Mestariyani.<br />
<br />
Arsyad balik mengatakan bahwa Mahfud sebenarnya tak mengerti teknis administrasi persuratan di MK. Ia juga bahkan menuding bahwa Mahfud pernah melakukan pelanggaran kode etik, ketika melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan kuasa hukumnya ketika sedang mengajukan gugatan uji materi UU KPK. Hal ini ditampik oleh Mahfud yang menyatakan itu tidaklah benar, yang ada pertemuan tersebut sebenarnya adalah diskusi antara dirinya dengan Bibit menyangkut soal-soal yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. <br />
<br />
Arsyad juga mengatakan bahwa dirinya pernah di lobi Mahfud untuk menjadi Ketua MK dan mengatakan bahwa Ketua MK ini “bak pengemis jabatan”. Arsyad menambahkan surat palsu tersebut menandakan bahwa di MK administratif persuratan tersebut bobrok. Mahfud menolak pernyataan tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya, karena administratif MK itu “bagus, jadi ketahuan”. Mahfud mengatakan bahwa dari 1460 perkara/pemilukada, tetapi hanya satu surat saja yang bermasalah yang menyangkut sengketa Dewi dan Mestariyani. Mahfud juga menambahkan sebenarnya dari hakim-hakim MK yang menangani sengketa Dewi dan Mestariyani tersebut adalah “Pak Haryono dan bukan Arsyad”. Lebih lanjut Mahfud menambahkan vonis tersebut tidak benar karena sudah diputuskan pada Juni 2009, dan nomornya pun juga telah ada. Kenapa vonis yang sudah ketok palu tersebut harus dibuat lagi rancangannya pada tanggal 16 Agustus 2009 di rumah Arsyad ?. <br />
<br />
Andi juga menyatakan hal yang sama bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus pemalsuan surat tersebut. Ia dengan tegas menyebut mafia yang dimaksud tersebut justru ada MK sendiri. Ia mengklarifikasi soal surat Putusan MK tertanggal 14 Agustus yang dinyatakan palsu dan surat tertanggal 17 Agustus yang dinyatakan sebagai asli. Andi menyatakan keanehannya “prinsip saya setelah saya mengetahui surat itu dinyatakan palsu, saya langsung merevisi surat keputusan KPU, oleh KPU sudah diperbaiki, pada saat itu sudah clear. Tetapi kenapa baru diangkat lagi sekarang, padahal sudah dua tahun kejadiannya”. <br />
Lagi pula menurut Andi, dalam rapat pleno KPU tanggal 14 Agustus 2009 yang menetapkan caleg Partai Hanura yang memenangkan kursi dari dapil Sulawesi Selatan I, perwakilan MK juga turut hadir dan mereka tidak ada yang keberatan. <br />
4. Kronologis Pemalsuan Surat MK<br />
Pada tanggal 14 Agustus 2011, mantan panitera MK Zainal Abidin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan MK atas pemilik kursi di dapil Sulawesi Selatan I yang diperebutkan oleh Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura dan Hasteriyani Hasbie dari Partai Gerindra. <br />
<br />
Untuk menjawab surat tersebut kemudian MK mengirimkan surat No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus yang menyatakan bahwa pemilik kursi tersebut adalah caleg dari Partai Gerindra, Hestiriyanie Hasbie. Namun tiga hari sebelum itu, pada tanggal 14 Agustus 2009, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Andi Nurpati telah memutuskan untuk memberikan kursi tersebut pada Dewi Yasin Limpo berdasarkan surat yang diterima KPU dari MK tertanggal 14 Agustus. <br />
<br />
Keputusan tersebut tentu membuat MK terkejut. MK kemudian mengecek surat tanggal 14 Agustus yang dimaksud KPU dan membandingkannya dengan surat yang dikirimkan MK ke KPU tertanggal 17 Agustus. Hasilnya ternyata bertolak belakang dengan apa yang diputuskan oleh MK. MK memutuskan bahwa Hestiriyani Hasbie lah sebagai pemilik kursi tersebut, tapi kenapa KPU justru memutuskan sebaliknya, Dewi Yasin Limpo ?. KPU seharusnya menetapkan apa yang diputuskan oleh MK, karena memang MK-lah lembaga yang diberikan wewenang untuk memutuskan sengketa pemilu. MK kemudian menyatakan bahwa surat tanggal 14 Agustus 2011 yang dimaksud KPU adalah palsu dan menyatakan bahwa yang benar adalah yang tertanggal 17 Agustus 2011. <br />
<br />
MK curiga ada pemalsuan Putusan MK dan karena itu Ketua MK , Mahfud MD berinisitif membentuk Tim Investigas yang diketuai oleh Abdul Mukti Fadjar. Tim Investigasi menyebut ada indikasi kuat surat MK yang dimaksud telah dipalsukan demi meloloskan Dewi Yasin Limpo. Tim Investigasi juga menyebut beberapa nama yang terkait kasus tersebut, diantaranya mantan Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, Juru Panggil MK, Masyhuri Hasan, Panitera Pengganti Pan, Mohammad Faiz dan Nallom Kurniawan. Untuk orang-orang internal MK yang terlibat, MK telah memberikan sanksi, sedangkan bagi orang-orang eksternal Dewi Yasin Limpo dan Andi Nurpati, MK tentu memiliki keterbatasan dan harus menunggu proses hukum berjalan. <br />
<br />
Menurut Sekjend MK Janedri M. Gaffar yang membuka hasil pemeriksaan Tim Investigasi MK, surat MK tertanggal 14 Agustus 2011 tersebut dibuat oleh Masyhuri Hasan. Masih menurut Janedri pada tanggal 14 Agustus 2009, Zainal Arifin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan atas Putusan MK No. 84/PHPU.C-VII/2009. Setelah meminta konfirmasi dari Andi Nurpati, Zainal kemudian menulis surat balasan yang diketik oleh Masyhuri Hasan. Hari berikutnya, Sabtu, Hasan datang ke kantor dengan alasan untuk mempersiapkan sidang pada hari Senin. Hari itu juga Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi menelpon Panitera untuk menanyakan mengenai adanya kata-kata “penambahan suara” dalam Putusan MK No. 84/2009. Panitera menjawab tidak ada kata-kata “penambahan suara” tersebut.<br />
<br />
Menurut Janedri, Kesokan harinya, hari Minggu, Nesha, putri Arsyad Sanusi, menelpon Hasan untuk memintanya datang ke kediaman Arsyad di apartemen pejabat negara Kemayoran dengan membawa copy konsep surat balasan MK untuk KPU. Pengakuan Hasan pada Tim Investigasi MK bahwa ia tidak mengubah subtansi konsep surat tersebut. Di apartemen Arsyad, seperti yang dikatakatan Janedri sudah menunggu Dewi Yasin Limpo. Dewi pada hari itu juga memaksa bertemu Panitera, namun ditolak. Kemudian Dewi datang ke rumah Panitera untuk meminta dalam surat balasan MK tersebut agar dicantumkan tambahan kata “penambahan suara”, namun permintaan tersebut juga tetap ditolak. <br />
<br />
Masih menurut Janedri kemudian pada Seninnya, tanggal 17 Agustus 2011, Zainal Arifin berkonsultasi dengan Ketua MK, Mahfud MD mengenai perihal surat balasan MK tertanggal 14 Agustus 2011. “Ketua MK memerintahkan agar disamakan dengan putusan MK tanpa ada kata “penambahan suara”. Hari itu juga surat disampaikan ke KPU. Namun karena di KPU semua komioner KPU tidak ada dan atas usul Ibu Andi Nurpati surat tersebut diserahkan kepadanya di JAKTV. Namun begitu menerima surat tersebut, Andi mengatakan seharusnya tidak seperti ini” dan “kalau tidak mengubah suara, kenapa dikabulkan ? dan menolak menandatangai surat tanda terima. Ibu Andi meminta surat tersebut diserahkan pada supirnya” demikian ujar Janedri. <br />
<br />
BAB III<br />
PEMBAHASAN<br />
<br />
1. Definisi Sosiologi Hukum<br />
Ditinjau dari aspek sosiologi hukum kasus ini menarik karena memperlihatkan pada kita bagaimana hukum memiliki hubungan timbal balik dengan konteks sosial masyarakat tempat dimana hukum itu diterapkan. Jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah “ilmu hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis”. Studi sosiologi hukum memiliki beberapa karakteristik yakni :<br />
<br />
Pertama, sosiologi hukum bermaksud untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, praktek dan perilaku koruptif yang dilakukan oleh para penegak hukum seperti polisi, kejaksaan maupun hakim, atau juga praktek peradilan yang di dalamnya termasuk mafia peradilan dan mafia pemilu yang melibatkan oknum-oknum KPU dan MK yang didisain demi menguntungkan seseorang agar terpilih sebagai anggota Dewan-seperti yang diangkat dalam makalah ini. Sosiologi hukum ingin menjelaskan mengapa praktek demikian terjadi, apa penyebabnya dan latar belakang sosial macam apa hingga itu semua terjadi. Max Weber mengatakan bahwa cara ini adalah interpretative understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya melihat dari aspek luar yang tertampakan dalam perilaku seseorang saja, namun juga ingin melihat dari sisi dalam internal seseorang menyangkut motif-motif seseorang untuk bertindak. Disini perilaku yang taat pada hukum maupun yang menyimpang tidak dibedakan karena keduanya merupakan obyek dari studi sosiologi hukum.<br />
<br />
Kedua, sosiologi hukum berusaha untuk menguji keabsahan empiris, dengan berusaha melihat kaedah hukum (sesuatu yang digariskan oleh hukum) dengan fakta-fakta empiris yang terjadi sesungguhnya dalam praktek.<br />
<br />
Ketiga, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap hukum. Praktek yang menyimpang dari hukum dan ketaatan pada hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan. Ia tidak menilai apakah ketaatan pada hukum lebih tinggi daripada perilaku sikap-sikap melawan hukum. Fokus sosiologi hukum hanyalah memberikan penjelasan obyektif dan empiris mengenai hal-hal yang dipelajari oleh sosiologi hukum, jadi dalam hal ini dapat dikatakan sosiologi hukum itu netral dan hanya bersifat memberi penjelasan. Pendekatan seperti ini sering menimbulkan kesan bahwa sosiologi hukum tidak bersikap terhadap praktek-praktek hukum, bahkan terkesan membenarkan praktek-praktek yang menyimpang dan bertentangan dengan hukum. Tentu tidaklah demikian, sosiologi hukum kekuatannya justru ada pada fokus ekpalanasinya (memberikan penjelasan) dengan mendekati hukum dari sisi obyektif semata dengan tujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum yang ada. <br />
<br />
Ciri khas sosiologi hukum seperti yang diterangkan diatas menurut Satjipto Raharjo merupakan kunci bagi peneliti yang ingin mengkaji sosiologi hukum. Dengan model penyelidikan seperti itu maka orang akan langsung berada di tengah-tengah sosiologi hukum. <br />
2. Hukum Sebagai Kontrol Sosial<br />
Kontrol sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baikyang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi maupun konsiliasi. Fungsi hukum adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi sekelompok masyarakat .<br />
<br />
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut . <br />
<br />
Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam KUHP digolongkan menjadi 4 golongan, yakni:<br />
a. Kejahatan sumpah palsu.<br />
b. Kejahatan pemalsuan uang.<br />
c. Kejahatan pemalsuan materai dan merk.<br />
d. Kejahatan pemalsuan surat.<br />
<br />
Penggolongan tersebut didasarkan atas objek dari pemalsuan. Dengan demikian kasus pemalsuan surat MK termasuk dalam kejahatan pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:<br />
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.<br />
b. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat .<br />
<br />
Perbuatan memalsu surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/ berbeda dengan isi surat semula . Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ini ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat.<br />
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s.d 276. Pemalsuan surat pada umumnya, yaitu berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar), diatur dalam Pasal 263, yaitu:<br />
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebanan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.<br />
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.<br />
<br />
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu atau membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu . Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Berbeda dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan itu dilakukan, sudah ada sebuah surat (disebut surat asli). Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.<br />
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1), yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian harus sudah ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. <br />
Pada unsur atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung makna :<br />
(1) Adanya orang-orang yang terperdaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian.<br />
(2) Surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.<br />
<br />
Unsur lain dari pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakai surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan petindak. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya bedasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya dapat terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Tidak penting bagi siapa kerugian yang dapat timbul akibat pemakaian surat palsu atau surat yang dipalsu itu. Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Artinya petindak menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian harus dibuktikan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Perbandingan antara Surat MK yang asli dan palsu adalah sebagai berikut :<br />
<br />
URAIAN ASLI PALSU<br />
Nomor Surat 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik) 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik)<br />
Nomor Perkara 84/PHPU.C/VII/2009 84/PHPU.C/VII/2009<br />
Tanggal surat 17 Agustus 2009 14 Agustus 2009<br />
Obyek yang dimohonkan Mencantumkan poin berisi jumlah suara Pemohon (Partai Hanura) sebagai obyek yang dimohonkan. Dilanjutkan poin amar putusan yang mencantumkan penambahan jumlah suara Tidak mencantumkan poin jumlah suara sebagai obyek yang dimohonkan. Langsung mencantumkan amar putusan berupa jumlah penambahan suara<br />
Perolehan Suara Obyek yang dimohonkan:<br />
• Kab.Gowa: 12.879<br />
• Kab.Takalar: 5.414<br />
• Kab. Jeneponto: 5.883<br />
Amar Putusan:<br />
• Kab.Gowa: 13.012<br />
• Kab.Takalar: 5.443<br />
• Kab. Jeneponto: 4.206 Amar Putusan, berupa penambahan suara:<br />
• Kab.Gowa: 13.012<br />
• Kab.Takalar: 5.443<br />
• Kab. Jeneponto: 4.206<br />
<br />
Dalam kasus pemalsuan surat MK, pihak MK telah melakukan membentuk tim investigasi internal pada tanggal 21 Oktober 2009. Tim tersebut menemukan adanya perbedaan antara surat asli MK dan surat palsu, dimana pada surat palsu terdapat kata “penambahan” dan tertanggal 14 Agustus 2009. Berdasarkan hasil temuan tim investigasi MK telah melaporkan kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat kepada Polri pada tanggal 12 Februari 2010.<br />
Dalam penerapan hukum sebagai kontrol sosial, maka peranan penegak hukum menjadi sangat penting. Penegakan hukum pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga masyarakat merasa dapat memperoleh hakny, dan manakala haknya telah didapatkan, maka hak tersebut dapat dilindungi. Penegakan hukum juga dilihat sebagai upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat control (pengendali sosial) resmi yang memaksakan internalisasi hukum dalam masyarakat .<br />
3. Dimensi Politik<br />
Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan surat MK. Panja DPR Pemalsuan Surat MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu. Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan surat MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009. Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.<br />
<br />
Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat MK oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya. Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009. Ketua MK telah menyatakan bahwa terdapat 16 surat MK lain yang diduga dipalsukan. Juga adanya pernyataan hakim konstitusi Akil Mochtar tentang system penghitungan putaran ketiga yang sudah diputuskan MK, tetapi ditengarai ditafsirkan berbeda oleh KPU .<br />
<br />
Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik. Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.<br />
<br />
Dari sisi kriminalitas, tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan dengan konsekuensi hukum pidana biasa. Tetapi jika dikontekstualisasi secara substansial maka tindakan ini memiliki sejumlah implikasi sangat serius, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa karena dijalankan secara konspiratif. Menurut pakar Konspirasi, Karl Poper (2006) dunia politik merupakan panggung penerapan konspirasi yang dibangun secara delusif, diteorisasi, dan diaplikasikan secara sempurna. Karena itu, pentas politik tidak mudah untuk dipahami dan diurai secara sederhana, butuh kedalaman pengamatan dan kecermatan untuk memahami dimensi-dimensi anatomisnya. Sedangkan dampak dari kejahatan Pemilu itu sendiri adalah :<br />
1. Pemilu merupakan sarana rakyat menyalurkan aspirasinya secara jujur dan tulus untuk menentukan siapa wakil yang dikehendaki untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Karena itu, pilihan rakyat dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan secara mutlak. Siapapun yang mengubah hasil pilihan rakyat, sesungguhnya dia telah mengubah secara sepihak kepercayaan rakyat. Jadi, mengubah keputusan rakyat dapat dipandang sebagai tindakan mengingkari aspirasi rakyat.<br />
2. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dalam penentuan hasil pemilu, berimplikasi terhadap legalitas seseorang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Hanya mereka yang dipilih yang bisa dengan legal menggunakan legitimasi rakyat untuk menindak, memutuskan, dan mengambil kebijakan di tingkat negara. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggeser suara pilihan rakyat kepada orang lain yang bukan pilihan rakyat maka segala keputusan yang dia lakukan merupakan produk tidak legal dan melanggar asas perwakilan rakyat.<br />
<br />
Persoalannya adalah, jika terbukti bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 dipenuhi sejumlah kecurangan fundamental, merekayasa yang kalah menjadi pemenang, mengubah yang tidak menduduki kursi legislatif menjadi bisa menduduki maka seluruh produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan cacat secara hukum.<br />
Kasus pemalsuan surat MK adalah satu dari sekian banyak kasus kecurangan nyata yang terjadi. Negara gagal menciptakan sistem yang sensitif terhadap kemungkinan politisasi hasil Pemilu maupun Pemilukada. Bahkan sebaliknya, sistem memberi akses luas bagi adanya intervensi politik kasus-kasus sengketa Pilkada atau Pemilu meski di ranah hukum sekalipun. Tuduhan ketidaknetralan Andi Nurpati ketika menjabat sebagai anggota KPU, pun bukan tanpa alasan. Seleksi keanggotaan institusi penyelenggara ini memang sulit dipisahkan dari kepentingan tertentu terutama partai politik. Suaka politik dan balas jasa yang dilakukan partai politik terhadap mantan anggota KPU, tidak hanya pada Andi Nurpati, tetapi ada sejumlah anggota KPU di daerah misalnya bahkan mundur di tengah jalan lalu masuk ke dalam struktur partai. Tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena itu adalah keputusan pribadi. Akan tetapi, trend seperti ini semakin menguatkan dugaan publik terhadap ketidaknetralan sebagian penyelenggara Pemilu. Oleh sebab itu, harus ada langkah strategis dengan mereformasi mekanisme pemilihan penyelenggara Pemilu. Tidak sekedar netralitas secara formal bahwa tidak sedang menjabat sebagai pengurus partai politik, tetapi juga latar belakang personalnya. Apakah itu pernah terlibat dalam relasi institusional dalam organisasi sayap partai atau simpul-simpul kepentingan partai politik. Termasuk pola seleksi penyelenggara anggota KPU yang selama ini disadari atau tidak sangat bernuansa politis, tidak saja karena keterlibatan parlemen yang notabene merepresentasikan kepentingannya, tetapi juga dominasi kepentingan garis kepentingan tertentu baik itu kelompok masyarakat maupun organisasi massa.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-65075055055919864882011-07-28T01:07:00.000-07:002011-07-28T01:07:44.358-07:00KASUS MOHAMMAD NAZARUDDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUMKASUS MOHAMMAD NAZARUDDIN DITINJAU DARI ASPEK <br />
SOSIOLOGI HUKUM<br />
Oleh :<br />
1.Andi Setiawan<br />
2.Titus Kalingkas<br />
3.Dominicus<br />
4.Lasbok Marbun<br />
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan, 23 Juli 2011<br />
Mata Kuliah : SOSIOLOGI HUKUM<br />
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali S.H. M.A.<br />
<br />
A. Pendahuluan<br />
Maraknya pemberitaan yang menyorot M. Nazarudin, bendahara partai demokrat, mengenai kasus-kasus hukum yang membelitnya nyata-nyata telah berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasus hukum yang menerpa M. Nazarudin seperti dalam kasus pengerjaan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung, dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. tidak hanya mencederai nama besar Partai demokrat dimata publik, namun juga mungkin akan mengakhiri zaman keemasan partai demokrat.<br />
Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya. <br />
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Nazarudin selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.<br />
<br />
B. Pembahasan<br />
1. Ramai-Ramai Para Koruptor ke Singapura<br />
Beberapa tahun terakhir ini belasan hingga puluhan WNI yang bermasalah dengan hukum diyakini bersembunyi di sejumlah negara, terutama negeri jiran Singapura. Selain Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, masih ada juga nama lain seperti Anggoro Widjaja, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Juga Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belum lagi nama-nama buronan seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian. Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin,serta Hendra Liem alias Hendra Lim,Nader Taher, dan Agus Anwar. Status mereka di Indonesia memang benar berstatus sebagai koruptor, tetapi kenyataan di luar negeri status mereka bukan sebagai koruptor. Melainkan, mereka dijamu sebagai tamu, dan terkadang akan menjadi tamu yang baik sebab mereka membayar pajak, membelanjakan uangnya dan lain-lainnya.<br />
<br />
Kalau Densus 88 Polri bisa memburu para tersangka teroris, satuan-satuan khusus yang dibentuk Polri pun pasti mampu memburu tersangka koruptor. Kalau perburuan Nunun Nurbaeti dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, strategi yang sama mestinya bisa diterapkan untuk memburu tersangka koruptor lainnya.<br />
Kembali ke kasus Nazarudin, Kasus pemberian uang yang dilakukan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menambah panjang kontroversi yang dilakukan politisi muda tersebut. Anehnya, hal itu tidak juga membuat Partai Demokrat segera melakukan koreksi diri. Tetapi malah semakin kuat untuk membela anggotanya yang disinyalir tersandung kasus pidana. <br />
Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, inilah kesempatan emas bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki nama baik partai. Begitu jelas partai dipakai untuk kepentingan pribadi-pribadi, namun selama ini sulit bagi Partai Demokrat untuk menindak anggotanya. Sekarang ada fakta yang begitu gamblang, namun mereka mencoba menutup mata.<br />
2. Tebang Pilih Penegakan Hukum<br />
Boleh jadi, karena Nazaruddin kader Partai Demokrat, Presiden tak dapat menutup- nutupi kepentingannya dalam merespons kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang itu mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik ”menyelamatkan” Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin ”bernyanyi” dan mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario politik partai demokrat.<br />
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK harus bertindak lebih tegas dan lebih cepat menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader partai demokrat Nazarudin. Perlunya tindakan tegas dan cepat dalam penangaan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang Sumatera Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan Nazaruddin yang saat ini berada di Singapura seharusnya bisa menjelaskan kasus dugaan korupsi tersebut dengan benar tanpa harus ditutup-tutupi agar kasus tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas . Keengganan Nazarudin menjelaskan dengan tuntas kasus tersebut karena hal itu akan menyangkut nama baik diriya sebagai anggota DPR. Ada kesan bahwa KPK lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi sangat mungkin, hal itu disebabkan Nazaruddin merupakan kader partai demokrat yang merupakan partai yang berkuasa saat ini. Sehingga apabila kasus Nazarudin di telusuri lebih dalam, sangat mungkin akan mengungkap banyak hal yag berkaitan dengan tuduhan dugaan korupsi yang di arahkan padanya dan akan membuka semua borok kader-kader Partai Demokrat lainnya sehingga menyeret sejumlah orang penting di partai tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut Lord Acton menegaskan,”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” 1 <br />
Indonesia adalah negara hukum, seyogyanya siapapun yang terkait dengan kasus hukum harus ditangani dengan tegas dan tuntas apalagi bila KPK yang menanganinya, sehingga kesan di masyarakat bahwa penanganan hukum sifatnya tebang pilih bisa diminimalisir.<br />
3. Kasus Hukum Mohammad Nazaruddin akan dikaburkan/hilang<br />
Serangkaian kasus besar pelanggaran pidana di Indonesia terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya di awal tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja kasus bank century, kasus likuidasi BLBI, kasus Gayus, Kasus Susno Duadji dan seterusnya. Kemudian yang teranyar kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin dan masih akan ada kasus-kasus besar lainnya bermunculan. Dapat diprediksikan kalau situasi semacam ini akan terus berlanjut hingga 2014 mendatang pada akhir masa pemerintahan SBY. Sebab, tidak ada ketegasan dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul. <br />
<br />
Menyikapi keadaaan carut marut hukum seperti demikian, tampaknya masyarakat Indonesia sudah sangat jenuh dipertontonkan dengan hal semacam ini. Banyak kasus besar<br />
namun tidak kunjung ada penyelesaiannya. Setelah satu kasus lama tak diungkap kemudian berganti lagi dengan kasus yang satu untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Kejadian semacam ini di Indonesia disebabkan kondisi politik saat ini dimana, partai politik di Indonesia belum bisa disebut partai politik yang ideal. Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau.” Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan yang strategis yang nantinya akan menjadi donasi terhadap partai.<br />
<br />
a. Aspek Sosiologi Hukum <br />
Dalam kasus hukum Nazarudin jelas bahwa para petinggi partai mencoba dengan segala daya menyelamatkan partai dan para kadernya dari upaya jeratan hukum dengan kekuasaan dan kekuatan politik partai demokrat sehingga Nazarudin untouchable dari aparat hukum. Dalam masyarakat ada empat kekuataan sosial yang bersifat baik dan tidak baik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Empat kekuatan sosial itu adalah (1) kekuatan uang, (2) kekuatan politik, (3) kekuatan massa, (4) kekuatan teknologi baru. <br />
<br />
b. Yuridis Normatif<br />
<br />
Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazaruddin bisa ditangkap atau didatangkan. <br />
<br />
Rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, para anggota Partai Demokrat juga jangan mencoba lari dari substansi. Salah besar apabila rakyat dianggap tidak mencatat dan mengingat setiap tindakan yang dilakukan elite partai. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang nyeleneh dan melanggar hukum yang dilakukan para politisi. Rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan setegak-tegaknya di republik ini. Adili para pelaku korupsi ke pengadilan dan tunjukkan kesalahahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka. Pendekatan seperti ini dalam kajian sosiologi hukum disebut pendekatan yuridis normatif. <br />
<br />
c. Yuridis Empiris<br />
Begitu seringnya rangkaian kasus besar di Indonesia yang terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya dan kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin sepertinya bukanlah kasus yang terakhir tapi masih akan ada kasus-kasus besar lainnya yang akan bermunculan. Karena tiada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Celakanya tak satupun aparat penegak hukum yang mampu menangkap Nazaruddin. Dalam hal ini, yang perlu diributkan sebenarnya adalah aparat hukum yang sampai saat ini tak mampu menangkap Nazaruddin, kalau saja Nazaruddin dapat ditangkap atau didatangkan, maka semua isu yang berkembang dengan<br />
sendirinya bakal terjawab. <br />
Ada kasus besar yang terungkap ke publik bukan untuk diselesaikan tapi digunakan untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Realita ini yang sedang disajikan oleh elit partai demokrat yang sedang berkuasa di pemerintahan pada rakyat. Kenyaatan hukum ini dalam kajian sosiologi hukum disebut yuridis empiris. Hukum dengan kajian yuridis empiris tidak didasarkan pada bentuk pasal dan peraturan, melainkan bagaimana hukum itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat. <br />
SOLUSI <br />
Persoalan 'bola panas' mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, telah menggelinding jauh ke ranah politik. Akibatnya, kasus Nazaruddin yang sebenarnya bermuara pada permasalahan hukum itu telah bergeser jauh menjadi persoalan politik. Inilah kenyataan hukum di republik ini. Hukum diombang-ambingkan ke segala arah sesuai kehendak penguasa. Sungguh ironis, undang-undang anti tindak pidana korupsi belum mampu membuat para pelaku korupsi jera, justru malah semakin menjamurnya para koruptor baru. Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum melalui mekanisme yuridis normatif patut dikedepankan dengan menghilangkan unsur tebang pilih. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem yang ada di Indonesia baik dari aspek hukum, pemerintahan, politik dan juga mengenai sistem keimigrasiannya.<br />
<br />
C. Kesimpulan<br />
Kasus Nazarudin yang tak kunjung tuntas sekali lagi telah mencoreng upaya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini murni memang bukan masalah hukum semata, belakangan bahkan masalah politik mendominasi kasus Nazarudin. Setelah ditelusuri, ternyata M.Nazarudin bukan orang “sembarangan”. Ia adalah bendahara umum partai demokrat, sebuah partai poltik yang tengah berkuasa saat ini. Dengan “kesaktiannya”, aparat penegak hukum tak mampu mengendus keberadaannya apalagi menangkapnya kembali ke tanah air. Ditenggarai, banyak kepentingan politik berada dibelakang kasus ini sehingga ia tetap tak tersentuh hukum. Hal ini selaras dengan materi kuliah Prof. Zainuddin Ali pada kuliah Sosiologi Hukum bahwa kekuatan politik dan uang dapat membelokkan upaya penegakanhukum di tanah air.<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta, Cet. Ke 3, Sinar Grafika, 2010.<br />
-------------., Sosiologi Hukum. Jakarta, Cet. Ke 4, Sinar Grafika, 2010.<br />
Irsan, Koesparmono. Politik hukum, Jakarta : Universitas Brobodur, 2004<br />
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004<br />
Schmid, J.Von. Ahli-ahli pikir besar tentang negara dan hukum. Jakarta: PT Pembagunan, 2004<br />
Kasus Nazaruddin akan Hilang http://www.infoindo.com/20110710144545 Minggu,10 Juli 2011http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-52552766372655839822011-07-22T02:12:00.000-07:002011-07-22T02:12:37.786-07:00PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUMPEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM<br />
Disajikan Oleh Kelompok I:<br />
1 Linda M.A. Sjamsoeddin NIM. 10720025<br />
2 Ary Untung Suto NIM. 10720026<br />
<br />
UNIVERSITAS BOROBUDUR<br />
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM<br />
<br />
<br />
Makalah<br />
PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI <br />
DAN MAFIA PEMILU: <br />
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM<br />
Mata Kuliah:<br />
SOSIOLOGI HUKUM<br />
Dosen:<br />
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.<br />
Disajikan Oleh Kelompok I:<br />
1. Linda M.A. Sjamsoeddin NIM. 10720025<br />
2. Ary Untung Suto NIM. 10720026<br />
<br />
BAB I<br />
PENDAHULUAN<br />
1. Latar Belakang Maslah<br />
Kasus pemalsuan Surat Mahkamah Konstitusi (MK) berawal dari laporan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan dalam pemilu 2009 yang lalu, ada indikasi bahwa surat keputusan MK telah dipalsukan. Menurut Mahfud keluarnya surat palsu tersebut diduga melibatkan Andi Nurpati yang waktu itu tercatat sebagai salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Arsyad Sanusi yang waktu itu menjadi salah satu hakim konstitusi. Tak cukup disini kemudian beberapa nama lainnya disebut seperti mantan panitera MK Zainal Arifin Hoesien, panitera pengganti Mohammad Faiz dan juru panggil MK Masyhuri Hasan. <br />
<br />
Surat keputusan MK menyangkut soal penetapan anggota DPR RI inilah yang menjadi pokok perdebatannya. Ada dua surat MK mengenai hal ini, pertama Surat Keputusan MK No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang dinyatakan Mahfud sebagai surat yang asli, namun selain surat tersebut juga ada Surat Keputusan MK dengan nomor yang sama tertanggal 14 Agustus 2009 yang dikatakan sebagai surat palsu. Surat tersebut mengenai penjelasan MK bahwa Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat MK tersebut membantah rapat pleno KPU yang menyebutkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. <br />
<br />
Masalah ini mengemuka terkait perolehan kursi yang ditempati anggota DPR, yang bisa saja kursi yang didudukinya tidak melalui jalan dan mekanisme yang sah, namun melalui proses manipulasi seperti yang terungkap belakangan ini, bahwa mungkin ada oknum KPU dan MK yang bekerja untuk meloloskan seseorang yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan kursi tersebut. Persoalan surat palsu ini kemudian mendapat sorotan publik, majalah, tv, surat kabar dan media online ramai memberitakannya. Bukan hanya itu Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri berinisiatif untuk membentuk Panja Mafia Pemilu guna mengurai benang kusut penghitungan dan penetapan calon terpilih anggota DPR RI hasil pemilu legislatif 2009 lalu. <br />
Penghitungan dan penetapan calon terpilih memang seringkali menimbulkan polemik dan kadangkala KPU sulit untuk memutuskannya, dan karena itu harus diselesaikan melalui sidang sengketa di MK. Kasus ini juga memperlihatkan pada kita bagaimana keinginan untuk menjadi anggota Dewan dan motif-motif tertentu lainnya (bagi oknum KPU dan MK) ternyata telah mengalahkan keharusan kita untuk taat pada hukum, apalagi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah penjaga hukum itu sendiri. Dari sini berkembang dugaan bahwa di balik itu semua ternyata ada sesuatu yang kemudian orang menyatakannya sebagai mafia pemilu. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji pemalsuan surat MK ditinjau sosiologi hukum yang menyertai kasus ini.<br />
<br />
BAB II<br />
PENYEBAB PERMASALAHAN<br />
1.Kisruhnya Penghitungan dan Penetapan Caleg Terpilih <br />
Kasus mencuatnya pemalsuan surat MK disebabkan oleh ricuhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih yang masuk ke DPR, sebagai hasil dari penghitungan tahap kedua dan ketiga. Berbeda dengan caleg yang lolos ke DPR melalui penghitungan tahap pertama, maka bagi partai politik yang berhasil melewati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yakni suara sah dalam Pileg dibagi jumlah kursi yang diperebutkan, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi. Untuk tahap kedua sisa kursi akan dibagi kepada partai yang mendapatkan minimal 50% BPP. Sedangkan tahap ketiga memperebutkan sisa suara yang masih ada. Penghitungan tahap kedua dan ketiga dalam perjalanannya menuai kontroversi dan karena itu melibatkan MK untuk mengambil putusan final. Di semua tahap penghitungan, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, maka penetapan caleg terpilih didasarkan atas suara terbanyak.<br />
<br />
Untuk penetapan caleg terpilih tahap kedua, berdasarkan pasal 22 c serta pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 18 Juni 2009. MA juga meminta KPU untuk merevisi putusannya mengenai penetapan kursi bagi calon terpilih. MK selanjutnya memberikan tafsir konstitusional atas penghitungan tahap kedua, yang berkonsekwensi pada tidak berlakunya putusan MA dan peraturan KPU. Dalam kaitannya dengan hal tersebut beberapa pasal yang dipakai menimbulkan multi tafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa tidak adil dalam penetapan kursi hasil pemilu. Hal itu kemudian diluruskan oleh tafsir konstitusional oleh MK pada tanggal 7 Agustus 2009. <br />
<br />
Untuk penetapan caleg terpilih pada penghitungan tahap ketiga, berdasarkan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 juga melibatkan MK. Pada tanggal 11 Juni 2009 MK menetapkan pembagian kursi tahap ketiga. Berbeda dengan penghitungan tahap pertama dan kedua, sisa-sisa suara yang ada di daerah pemilihan (Dapil) seluruhnya disatukan ke provinsi, ada atau tidak ada sisa kursi. Hasil di tingkat provinsi kemudian dibagi dengan sisa kursi dan hasil penghitungannya kemudian menjadi BPP. Setelah BPP ditentukan kemudian dilihat partai mana yang lolos peringkat. Bagi partai yang memperoleh suara terbanyak maka partainyalah yang akan mendapatkan kursi lebih dulu. Selanjutnya kursi tersebut diserahkan pada caleg yang perolehan suaranya terbanyak dari dapil yang kursinya masih tersisa. <br />
<br />
Kasus sengketa pemilu Dewi Yasin Limpo dan Mestiriyani Hasbie seperti yang diangkat dalam tulisan ini, juga merupakan contoh dari kisruhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih, hingga akhirnya membuka peluang bagi praktek-praktek melawan hukum dan berkembangnya mafia pemilu. <br />
2.Terbongkarnya Surat Palsu MK <br />
Menurut Mahfud MD sebelum ia mengemukakan ke publik soal adanya Surat Keputusan palsu MK menyangkut sengketa pemilu antara Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra dengan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang mencuat belakangan ini, sebenarnya ia telah mengadukan hal tersebut ke kepolisian sejak tahun lalu namun hingga kini, ketika ia kembali mengemukakan hal tersebut, pengaduannya belum diproses. Ketika Mahfud kembali mengangkat kasus ini dua bulan yang lalu, ia menyebut anggota KPU, Andi Nurpati dan mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi terlibat dalam pemalsuan surat tersebut. <br />
Akibat dari diungkapkannya hal ini ke publik, belakangan tudingan Mahfud tersebut menuai polemik berkepanjangan antara dirinya dengan Arsyad Sanusi, saling bantah-batahan diantara keduanya ramai diberitakan di media massa. Bahkan saling tuding yang mengarah pada soal-soal yang menyangkut personal juga terjadi.<br />
Kasus pemalsuan surat MK kemudian ditanggapi serius oleh DPR. Komisi II yang membidangi politik dalam negeri yang salah satu mitra kerjanya adalah KPU, berinisiatif membentuk Panja Mafia Pemilu untuk menyelidiki kasus ini. Timbul dugaan bahwa praktek-praktek mafia pemilu guna memenangkan seseorang secara tidak sah, mungkin saja bukan hanya ada pada kasus sengeketa Dewi dan Hestiriyani namun bisa juga ada di kasus-kasus lain. Kalau ini benar terjadi maka maka mungkin saja saat ini ada “kursi haram” di DPR yang ditempati oleh orang yang tidak berhak. Sampai saat ini Panja mafia pemilu masih menyelidiki kasus ini dan kemungkinan adanya kasus-kasus serupa yang lain, dan pihak kepolisian pun telah mulai melakukan penyelidikan. <br />
3. Bantahan Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi<br />
Hasil penyelidikan Tim Investigasi MK dibantah oleh Arsyad Sanusi dan Andi Nurpati yang namanya disebut-sebut Mahfud MD. Arsyad Sanusi menyebut bahwa pernyataan Mahfud dan Sekretaris Jenderal MK, Janedri M. Gaffar di depan Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR RI yang mengatakan bahwa Masyhuri Hassan, juru panggil MK pernah datang ke apartemen Arsyad pada tanggal 16 Agustus 2009. Namun Arsyad membantah bahwa kedatangan Masyuhuri tersebut dalam rangka menyusun draft palsu Surat Keputusan MK terkait sengketa pemilu antara Dewi dan Mestariyani.<br />
<br />
Arsyad balik mengatakan bahwa Mahfud sebenarnya tak mengerti teknis administrasi persuratan di MK. Ia juga bahkan menuding bahwa Mahfud pernah melakukan pelanggaran kode etik, ketika melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan kuasa hukumnya ketika sedang mengajukan gugatan uji materi UU KPK. Hal ini ditampik oleh Mahfud yang menyatakan itu tidaklah benar, yang ada pertemuan tersebut sebenarnya adalah diskusi antara dirinya dengan Bibit menyangkut soal-soal yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. <br />
<br />
Arsyad juga mengatakan bahwa dirinya pernah di lobi Mahfud untuk menjadi Ketua MK dan mengatakan bahwa Ketua MK ini “bak pengemis jabatan”. Arsyad menambahkan surat palsu tersebut menandakan bahwa di MK administratif persuratan tersebut bobrok. Mahfud menolak pernyataan tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya, karena administratif MK itu “bagus, jadi ketahuan”. Mahfud mengatakan bahwa dari 1460 perkara/pemilukada, tetapi hanya satu surat saja yang bermasalah yang menyangkut sengketa Dewi dan Mestariyani. Mahfud juga menambahkan sebenarnya dari hakim-hakim MK yang menangani sengketa Dewi dan Mestariyani tersebut adalah “Pak Haryono dan bukan Arsyad”. Lebih lanjut Mahfud menambahkan vonis tersebut tidak benar karena sudah diputuskan pada Juni 2009, dan nomornya pun juga telah ada. Kenapa vonis yang sudah ketok palu tersebut harus dibuat lagi rancangannya pada tanggal 16 Agustus 2009 di rumah Arsyad ?. <br />
<br />
Andi juga menyatakan hal yang sama bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus pemalsuan surat tersebut. Ia dengan tegas menyebut mafia yang dimaksud tersebut justru ada MK sendiri. Ia mengklarifikasi soal surat Putusan MK tertanggal 14 Agustus yang dinyatakan palsu dan surat tertanggal 17 Agustus yang dinyatakan sebagai asli. Andi menyatakan keanehannya “prinsip saya setelah saya mengetahui surat itu dinyatakan palsu, saya langsung merevisi surat keputusan KPU, oleh KPU sudah diperbaiki, pada saat itu sudah clear. Tetapi kenapa baru diangkat lagi sekarang, padahal sudah dua tahun kejadiannya”. <br />
Lagi pula menurut Andi, dalam rapat pleno KPU tanggal 14 Agustus 2009 yang menetapkan caleg Partai Hanura yang memenangkan kursi dari dapil Sulawesi Selatan I, perwakilan MK juga turut hadir dan mereka tidak ada yang keberatan. <br />
4. Kronologis Pemalsuan Surat MK<br />
Pada tanggal 14 Agustus 2011, mantan panitera MK Zainal Abidin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan MK atas pemilik kursi di dapil Sulawesi Selatan I yang diperebutkan oleh Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura dan Hasteriyani Hasbie dari Partai Gerindra. <br />
<br />
Untuk menjawab surat tersebut kemudian MK mengirimkan surat No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus yang menyatakan bahwa pemilik kursi tersebut adalah caleg dari Partai Gerindra, Hestiriyanie Hasbie. Namun tiga hari sebelum itu, pada tanggal 14 Agustus 2009, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Andi Nurpati telah memutuskan untuk memberikan kursi tersebut pada Dewi Yasin Limpo berdasarkan surat yang diterima KPU dari MK tertanggal 14 Agustus. <br />
<br />
Keputusan tersebut tentu membuat MK terkejut. MK kemudian mengecek surat tanggal 14 Agustus yang dimaksud KPU dan membandingkannya dengan surat yang dikirimkan MK ke KPU tertanggal 17 Agustus. Hasilnya ternyata bertolak belakang dengan apa yang diputuskan oleh MK. MK memutuskan bahwa Hestiriyani Hasbie lah sebagai pemilik kursi tersebut, tapi kenapa KPU justru memutuskan sebaliknya, Dewi Yasin Limpo ?. KPU seharusnya menetapkan apa yang diputuskan oleh MK, karena memang MK-lah lembaga yang diberikan wewenang untuk memutuskan sengketa pemilu. MK kemudian menyatakan bahwa surat tanggal 14 Agustus 2011 yang dimaksud KPU adalah palsu dan menyatakan bahwa yang benar adalah yang tertanggal 17 Agustus 2011. <br />
<br />
MK curiga ada pemalsuan Putusan MK dan karena itu Ketua MK , Mahfud MD berinisitif membentuk Tim Investigas yang diketuai oleh Abdul Mukti Fadjar. Tim Investigasi menyebut ada indikasi kuat surat MK yang dimaksud telah dipalsukan demi meloloskan Dewi Yasin Limpo. Tim Investigasi juga menyebut beberapa nama yang terkait kasus tersebut, diantaranya mantan Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, Juru Panggil MK, Masyhuri Hasan, Panitera Pengganti Pan, Mohammad Faiz dan Nallom Kurniawan. Untuk orang-orang internal MK yang terlibat, MK telah memberikan sanksi, sedangkan bagi orang-orang eksternal Dewi Yasin Limpo dan Andi Nurpati, MK tentu memiliki keterbatasan dan harus menunggu proses hukum berjalan. <br />
<br />
Menurut Sekjend MK Janedri M. Gaffar yang membuka hasil pemeriksaan Tim Investigasi MK, surat MK tertanggal 14 Agustus 2011 tersebut dibuat oleh Masyhuri Hasan. Masih menurut Janedri pada tanggal 14 Agustus 2009, Zainal Arifin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan atas Putusan MK No. 84/PHPU.C-VII/2009. Setelah meminta konfirmasi dari Andi Nurpati, Zainal kemudian menulis surat balasan yang diketik oleh Masyhuri Hasan. Hari berikutnya, Sabtu, Hasan datang ke kantor dengan alasan untuk mempersiapkan sidang pada hari Senin. Hari itu juga Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi menelpon Panitera untuk menanyakan mengenai adanya kata-kata “penambahan suara” dalam Putusan MK No. 84/2009. Panitera menjawab tidak ada kata-kata “penambahan suara” tersebut.<br />
<br />
Menurut Janedri, Kesokan harinya, hari Minggu, Nesha, putri Arsyad Sanusi, menelpon Hasan untuk memintanya datang ke kediaman Arsyad di apartemen pejabat negara Kemayoran dengan membawa copy konsep surat balasan MK untuk KPU. Pengakuan Hasan pada Tim Investigasi MK bahwa ia tidak mengubah subtansi konsep surat tersebut. Di apartemen Arsyad, seperti yang dikatakatan Janedri sudah menunggu Dewi Yasin Limpo. Dewi pada hari itu juga memaksa bertemu Panitera, namun ditolak. Kemudian Dewi datang ke rumah Panitera untuk meminta dalam surat balasan MK tersebut agar dicantumkan tambahan kata “penambahan suara”, namun permintaan tersebut juga tetap ditolak. <br />
<br />
Masih menurut Janedri kemudian pada Seninnya, tanggal 17 Agustus 2011, Zainal Arifin berkonsultasi dengan Ketua MK, Mahfud MD mengenai perihal surat balasan MK tertanggal 14 Agustus 2011. “Ketua MK memerintahkan agar disamakan dengan putusan MK tanpa ada kata “penambahan suara”. Hari itu juga surat disampaikan ke KPU. Namun karena di KPU semua komioner KPU tidak ada dan atas usul Ibu Andi Nurpati surat tersebut diserahkan kepadanya di JAKTV. Namun begitu menerima surat tersebut, Andi mengatakan seharusnya tidak seperti ini” dan “kalau tidak mengubah suara, kenapa dikabulkan ? dan menolak menandatangai surat tanda terima. Ibu Andi meminta surat tersebut diserahkan pada supirnya” demikian ujar Janedri. <br />
<br />
BAB III<br />
PEMBAHASAN<br />
<br />
1. Definisi Sosiologi Hukum<br />
Ditinjau dari aspek sosiologi hukum kasus ini menarik karena memperlihatkan pada kita bagaimana hukum memiliki hubungan timbal balik dengan konteks sosial masyarakat tempat dimana hukum itu diterapkan. Jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah “ilmu hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis”. Studi sosiologi hukum memiliki beberapa karakteristik yakni :<br />
<br />
Pertama, sosiologi hukum bermaksud untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, praktek dan perilaku koruptif yang dilakukan oleh para penegak hukum seperti polisi, kejaksaan maupun hakim, atau juga praktek peradilan yang di dalamnya termasuk mafia peradilan dan mafia pemilu yang melibatkan oknum-oknum KPU dan MK yang didisain demi menguntungkan seseorang agar terpilih sebagai anggota Dewan-seperti yang diangkat dalam makalah ini. Sosiologi hukum ingin menjelaskan mengapa praktek demikian terjadi, apa penyebabnya dan latar belakang sosial macam apa hingga itu semua terjadi. Max Weber mengatakan bahwa cara ini adalah interpretative understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya melihat dari aspek luar yang tertampakan dalam perilaku seseorang saja, namun juga ingin melihat dari sisi dalam internal seseorang menyangkut motif-motif seseorang untuk bertindak. Disini perilaku yang taat pada hukum maupun yang menyimpang tidak dibedakan karena keduanya merupakan obyek dari studi sosiologi hukum.<br />
<br />
Kedua, sosiologi hukum berusaha untuk menguji keabsahan empiris, dengan berusaha melihat kaedah hukum (sesuatu yang digariskan oleh hukum) dengan fakta-fakta empiris yang terjadi sesungguhnya dalam praktek.<br />
<br />
Ketiga, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap hukum. Praktek yang menyimpang dari hukum dan ketaatan pada hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan. Ia tidak menilai apakah ketaatan pada hukum lebih tinggi daripada perilaku sikap-sikap melawan hukum. Fokus sosiologi hukum hanyalah memberikan penjelasan obyektif dan empiris mengenai hal-hal yang dipelajari oleh sosiologi hukum, jadi dalam hal ini dapat dikatakan sosiologi hukum itu netral dan hanya bersifat memberi penjelasan. Pendekatan seperti ini sering menimbulkan kesan bahwa sosiologi hukum tidak bersikap terhadap praktek-praktek hukum, bahkan terkesan membenarkan praktek-praktek yang menyimpang dan bertentangan dengan hukum. Tentu tidaklah demikian, sosiologi hukum kekuatannya justru ada pada fokus ekpalanasinya (memberikan penjelasan) dengan mendekati hukum dari sisi obyektif semata dengan tujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum yang ada. <br />
<br />
Ciri khas sosiologi hukum seperti yang diterangkan diatas menurut Satjipto Raharjo merupakan kunci bagi peneliti yang ingin mengkaji sosiologi hukum. Dengan model penyelidikan seperti itu maka orang akan langsung berada di tengah-tengah sosiologi hukum. <br />
2. Hukum Sebagai Kontrol Sosial<br />
Kontrol sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baikyang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi maupun konsiliasi. Fungsi hukum adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi sekelompok masyarakat .<br />
<br />
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut . <br />
<br />
Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam KUHP digolongkan menjadi 4 golongan, yakni:<br />
a.Kejahatan sumpah palsu.<br />
b.Kejahatan pemalsuan uang.<br />
c.Kejahatan pemalsuan materai dan merk.<br />
d.Kejahatan pemalsuan surat.<br />
<br />
Penggolongan tersebut didasarkan atas objek dari pemalsuan. Dengan demikian kasus pemalsuan surat MK termasuk dalam kejahatan pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:<br />
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.<br />
b. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat .<br />
<br />
Perbuatan memalsu surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/ berbeda dengan isi surat semula . Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ini ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat.<br />
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s.d 276. Pemalsuan surat pada umumnya, yaitu berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar), diatur dalam Pasal 263, yaitu:<br />
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebanan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.<br />
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.<br />
<br />
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu atau membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu . Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Berbeda dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan itu dilakukan, sudah ada sebuah surat (disebut surat asli). Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.<br />
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1), yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian harus sudah ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu. <br />
Pada unsur atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung makna :<br />
(1) Adanya orang-orang yang terperdaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian.<br />
(2) Surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.<br />
<br />
Unsur lain dari pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakai surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan petindak. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya bedasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya dapat terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Tidak penting bagi siapa kerugian yang dapat timbul akibat pemakaian surat palsu atau surat yang dipalsu itu. Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Artinya petindak menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian harus dibuktikan.<br />
<br />
Perbandingan antara Surat MK yang asli dan palsu adalah sebagai berikut :<br />
URAIAN ASLI PALSU<br />
Nomor Surat 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik) 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik)<br />
Nomor Perkara 84/PHPU.C/VII/2009 84/PHPU.C/VII/2009<br />
Tanggal surat 17 Agustus 2009 14 Agustus 2009<br />
Obyek yang dimohonkan Mencantumkan poin berisi jumlah suara Pemohon (Partai Hanura) sebagai obyek yang dimohonkan. Dilanjutkan poin amar putusan yang mencantumkan penambahan jumlah suara Tidak mencantumkan poin jumlah suara sebagai obyek yang dimohonkan. Langsung mencantumkan amar putusan berupa jumlah penambahan suara<br />
Perolehan Suara Obyek yang dimohonkan:<br />
•Kab.Gowa: 12.879<br />
•Kab.Takalar: 5.414<br />
•Kab. Jeneponto: 5.883<br />
Amar Putusan:<br />
•Kab.Gowa: 13.012<br />
•Kab.Takalar: 5.443<br />
•Kab. Jeneponto: 4.206 Amar Putusan, berupa penambahan suara:<br />
•Kab.Gowa: 13.012<br />
•Kab.Takalar: 5.443<br />
•Kab. Jeneponto: 4.206<br />
<br />
Dalam kasus pemalsuan surat MK, pihak MK telah melakukan membentuk tim investigasi internal pada tanggal 21 Oktober 2009. Tim tersebut menemukan adanya perbedaan antara surat asli MK dan surat palsu, dimana pada surat palsu terdapat kata “penambahan” dan tertanggal 14 Agustus 2009. Berdasarkan hasil temuan tim investigasi MK telah melaporkan kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat kepada Polri pada tanggal 12 Februari 2010.<br />
Dalam penerapan hukum sebagai kontrol sosial, maka peranan penegak hukum menjadi sangat penting. Penegakan hukum pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga masyarakat merasa dapat memperoleh hakny, dan manakala haknya telah didapatkan, maka hak tersebut dapat dilindungi. Penegakan hukum juga dilihat sebagai upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat control (pengendali sosial) resmi yang memaksakan internalisasi hukum dalam masyarakat .<br />
3. Dimensi Politik<br />
Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan surat MK. Panja DPR Pemalsuan Surat MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu. Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan surat MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009. Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.<br />
<br />
Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat MK oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya. Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009. Ketua MK telah menyatakan bahwa terdapat 16 surat MK lain yang diduga dipalsukan. Juga adanya pernyataan hakim konstitusi Akil Mochtar tentang system penghitungan putaran ketiga yang sudah diputuskan MK, tetapi ditengarai ditafsirkan berbeda oleh KPU .<br />
<br />
Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik. Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.<br />
<br />
Dari sisi kriminalitas, tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan dengan konsekuensi hukum pidana biasa. Tetapi jika dikontekstualisasi secara substansial maka tindakan ini memiliki sejumlah implikasi sangat serius, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa karena dijalankan secara konspiratif. Menurut pakar Konspirasi, Karl Poper (2006) dunia politik merupakan panggung penerapan konspirasi yang dibangun secara delusif, diteorisasi, dan diaplikasikan secara sempurna. Karena itu, pentas politik tidak mudah untuk dipahami dan diurai secara sederhana, butuh kedalaman pengamatan dan kecermatan untuk memahami dimensi-dimensi anatomisnya. Sedangkan dampak dari kejahatan Pemilu itu sendiri adalah :<br />
1. Pemilu merupakan sarana rakyat menyalurkan aspirasinya secara jujur dan tulus untuk menentukan siapa wakil yang dikehendaki untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Karena itu, pilihan rakyat dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan secara mutlak. Siapapun yang mengubah hasil pilihan rakyat, sesungguhnya dia telah mengubah secara sepihak kepercayaan rakyat. Jadi, mengubah keputusan rakyat dapat dipandang sebagai tindakan mengingkari aspirasi rakyat.<br />
2. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dalam penentuan hasil pemilu, berimplikasi terhadap legalitas seseorang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Hanya mereka yang dipilih yang bisa dengan legal menggunakan legitimasi rakyat untuk menindak, memutuskan, dan mengambil kebijakan di tingkat negara. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggeser suara pilihan rakyat kepada orang lain yang bukan pilihan rakyat maka segala keputusan yang dia lakukan merupakan produk tidak legal dan melanggar asas perwakilan rakyat.<br />
<br />
Persoalannya adalah, jika terbukti bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 dipenuhi sejumlah kecurangan fundamental, merekayasa yang kalah menjadi pemenang, mengubah yang tidak menduduki kursi legislatif menjadi bisa menduduki maka seluruh produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan cacat secara hukum.<br />
Kasus pemalsuan surat MK adalah satu dari sekian banyak kasus kecurangan nyata yang terjadi. Negara gagal menciptakan sistem yang sensitif terhadap kemungkinan politisasi hasil Pemilu maupun Pemilukada. Bahkan sebaliknya, sistem memberi akses luas bagi adanya intervensi politik kasus-kasus sengketa Pilkada atau Pemilu meski di ranah hukum sekalipun. Tuduhan ketidaknetralan Andi Nurpati ketika menjabat sebagai anggota KPU, pun bukan tanpa alasan. Seleksi keanggotaan institusi penyelenggara ini memang sulit dipisahkan dari kepentingan tertentu terutama partai politik. Suaka politik dan balas jasa yang dilakukan partai politik terhadap mantan anggota KPU, tidak hanya pada Andi Nurpati, tetapi ada sejumlah anggota KPU di daerah misalnya bahkan mundur di tengah jalan lalu masuk ke dalam struktur partai. Tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena itu adalah keputusan pribadi. Akan tetapi, trend seperti ini semakin menguatkan dugaan publik terhadap ketidaknetralan sebagian penyelenggara Pemilu. Oleh sebab itu, harus ada langkah strategis dengan mereformasi mekanisme pemilihan penyelenggara Pemilu. Tidak sekedar netralitas secara formal bahwa tidak sedang menjabat sebagai pengurus partai politik, tetapi juga latar belakang personalnya. Apakah itu pernah terlibat dalam relasi institusional dalam organisasi sayap partai atau simpul-simpul kepentingan partai politik. Termasuk pola seleksi penyelenggara anggota KPU yang selama ini disadari atau tidak sangat bernuansa politis, tidak saja karena keterlibatan parlemen yang notabene merepresentasikan kepentingannya, tetapi juga dominasi kepentingan garis kepentingan tertentu baik itu kelompok masyarakat maupun organisasi massa.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-7333105279884663792011-07-05T22:43:00.000-07:002011-07-05T22:43:31.458-07:00SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA (FILOSOFIS, YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA <br />
(FILOSOFIS, YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)<br />
<br />
Oleh: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA<br />
<br />
A. Pendahuluan<br />
Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama Islam di Indonesia dari masa ke masa. <br />
Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur hukum di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.<br />
1.Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi<br />
2.Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan<br />
3.Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);<br />
4.Kaidah hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan sejarah hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesiaan. <br />
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke empat unsur kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicitacitakan (ius constituendum); (2) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (3) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (4) apabila hanya berlaku secara historis, maka kemungkinan kaidah itu tidak sesuai dengan legal cultuure ke Indonesiaan. Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyelesaian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala. Hal dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang bidang hukum kewarisan.<br />
B. Permasalahan <br />
1.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis?<br />
2.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis?<br />
3.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis<br />
4.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis<br />
5.Bagaimana karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala <br />
C. Pembahasan<br />
1.Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis <br />
Membicarakan siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis, maka tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu ummat Islam. Ummat Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di Indonesia. Karena itu, ummat Islam tidak dapat dicerai pisahkan dengan hukum Islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan Dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa” <br />
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali) mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut. <br />
a.Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam bagi ummat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara Rapublik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia;<br />
b.Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, Syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan syari’at yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Syari’at yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut syari’at Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum-hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara untuk menjalankannya secara sempurna. Yang dimaksud adalah misalnya, hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum pidana (Islam) seperti zina, pencurian, pembunuhan yang memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syari’at yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan ummat Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia.<br />
c.Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-masing. <br />
2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Yuridis<br />
Perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini: <br />
a.DR. Muhammad Hatta (almarhum) ketika menjelaskan arti perkataan “kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut. Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab agama. Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945 itu, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu bahwa dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah, kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; (c) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian dan penjelsan di atas, maka dapat diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Demikian juga beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan hukum Islam Selain itu, juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Pedoman bagi para hakim di Peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia. Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma-norma hukum yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Karena itu, keberlakuan dan kekuatan hukum Islam secara ketata negaraan di negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.<br />
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Sosiologis<br />
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio a contrario. Teori receptio a contrario dimaksud, dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan dikembangkan secara sistematis dan diperaktekkan oleh murid-muridnya (Sajuti Talib, H Mohammad Daud Ali, Bismar Siregar, H.M. Tahir Azhary, dan sebagainya). Menurut mereka hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua) buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan yang menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum Islam tidak dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan dimaksud sebagai berikut.<br />
a.Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam, bila mereka membagi harta warisan maka ia menggunakan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan panasnya anak perempuan di dapur sehingga bagian warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisaan anak perempuan. Namun sesudah mereka memeluk agama Islam maka hukum adat kewarisan itu digantikan posisinya oleh hukum Islam berdasarkan ungkapan langgai molemba mobine manggala (anak laki-laki memikul dan anak perempuan menggendong). Hal itu berarti bagian harta warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan.<br />
b.Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian harta warisan seorang anak perempuan (sama wae asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud, berubah untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis “majjujung makkunraie mallempa oroane”.<br />
c.Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah: “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Artinya: hukum adat bersumber dari hukum Islam, hukum Islam bersumber dari Alqur’an.<br />
d.Suku Aceh di Sumatera Utara membuat pepatah: “Adek dan syara’ sanda menyanda, syara mengato adek memakai”. Artinya: hubungan hukum adat dengan hukum Islam erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam menentukan, hukum adat melaksanakan. <br />
Berdasarkan dua buah contoh dan dua buah ungkapan tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa sistem hukum Islam di negara republik Indonesia berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum majemuk. Namun demikian, sistem-sistem hukum dimaksud merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan hukum nasional yang berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap norma-norma hukum lainnya termasuk Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang, dan peraturan-peraturan lainnya di satu pihak dan pihak lainnya sebagai dasar negara republik Indonesia.<br />
Selain itu, menunjukkan bahwa Sistem Hukum Indonesia adalah sistem hukum yang menjadikan Pancasila sebagai recht idee di satu pihak dan recht staat dipihak lainnya atau sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.<br />
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis<br />
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori receptio in complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara menyeluruh. Sebagai bukti teori dimaksud, diuraikan sebagai berikut.<br />
a.Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642 menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini terkenal dengan sebutan Compendium Freijer. <br />
b.Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan. Karena itu, selama VOC berkuasa dua abad (602-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan ummat Islam Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa dari para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu. Demikian juga jasa Naruddin al-Raniri yang menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke seluruh Wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan ummat Islam. Kitab ini dianalisis oleh Sjekh Arsyad al-Banjari kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab yang diberi judul Sabil al-Mukhtadin (jalan orang yang diberi petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antar ummat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.<br />
c.Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan yang senada dimaksud, yang kemudian diberi nama Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (1823-1868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.<br />
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala<br />
Ada dua permasalahan pokok yang dijadikan kajian utama pada penyusunan pokok bahasan makalah ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam di luar dan di dalam Pengadilan Agama, dan (2) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya di luar dan di dalam Pengadilan Agama.<br />
Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6) bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli waris; (8) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala untuk melaksa-nakan hukum kewarisan Islam. <br />
a. Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis<br />
1) Kerangka Dalil<br />
a) Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan Islam, di antaranya: <br />
(1) Qur`an Surah IV: 11 <br />
Qur`an Surah IV: 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu: (1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu: 2:1; (2) mengatur tentang perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang, mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan; (3) mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari harta peninggalan; (4) mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seper enam dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak; (5) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perolehan ibu sepertiga dari harta peninggalan; (6) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 6 itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris. <br />
(2) Qur`an Surah IV: 12. <br />
Qur`an Surah IV: 12 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu (1) Duda karena kematian isteri mendapat pembagian seperdua dari harta peninggalan isterinya kalau si isteri tidak meninggalkan anak; (2) duda karena kematian isteri mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan isterinya kalau si isteri meninggalkan anak; (3) janda karena kematian suami mendapat pembagian seperempat dari harta suaminya kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan pembagian termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka itu memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris. <br />
(3) Qur`an Surah IV; 176.<br />
Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada engkau Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu mendapat pembagian 1/2 dari harta peninggalan saudaranya; (3) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian harta warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggala; (4) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan; (5) Allah menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan apabila terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah itu mengetahui segala sesuatunya.10 <br />
(4) Qur`an Surah IV: 33.<br />
Qur`an surah IV: 33 mengandung empat garis hukum, yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (2) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (3) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (4) atas alasan termaksud dalam garis hukum nomor 1, 2, dan 3 di atas, maka berikanlah kepada mereka (mawali) itu bagiannya masing-masing.11 <br />
b) Hadis Rasulullah yang berhubungan dengan Hukum Kewarisan Islam, di antaranya: <br />
(1) Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud Dawud dan at-Tirmizi.<br />
Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah memba-wa kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad bin Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama Anda. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si paman anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta warisan untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu mereka, dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12<br />
(2) Hadis Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah.<br />
Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.13 <br />
(3) Hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang Diriwayatkan oleh ibn Majah dan at-Tirmizi. <br />
Seorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya.14 <br />
c) Ketentuan Hukum kewarisan Islam yang bersumber dari Ijtihad, yaitu: <br />
1) Kewarisan Cucu<br />
Kewarisan cucu15 secara tegas tidak dijumpai di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid (termasuk Hazarin) menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata walad (anak) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 11, yaitu bukan saja berarti anak yang langsung dilahirkan, melainkan pengertian walad (anak) itu, juga termasuk keturunannya ke bawah (cucu).16 <br />
2) Ketentuan Kewarisan Anak Saudara.<br />
Ketentuan kewarisan anak saudara si pewaris (kemanakan si pewaris) secara tegas tidak ditemukan di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisan-nya berdasarkan perluasan pengertian kata akhun (saudara) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 176, yaitu bukan saja berarti saudara kandung atau se ayah, melainkan pengertian akhun (saudara) itu, juga termasuk keturunannya.<br />
3) Ketentuan Kewarisan Paman.<br />
Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadis Rasulullah dari Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek dan nenek itu dapat diartikan dengan memasukkan keturunannya ke bawah yakni paman.17<br />
2) Kerangka Teoretis<br />
Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan sengit antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam dan hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai hubungan hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori receptio in complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a contrario.20 Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu kerangka teoretis dalam penulisan disertasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa berlakunya hukum kewarisan Islam di Indonesia bukan melalui teori receptio in complexu dan teori receptie melainkan hukum kewarisan Islam berlaku di Indonesia karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Selain teori receptio a contrario yang disebutkan di atas, juga digunakan rumusan-rumusan garis hukum di dalam perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan kerangka teoretis.21<br />
b. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala21a <br />
1) Pendahuluan <br />
Bila hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan di Kabupaten Donggala diuraikan, maka perlu diungkapkan: (1) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di luar Pengadilan Agama, yaitu: (1.1) musyawarah ahli waris, (1.2) musyawarah Dewan Adat, dan (1.3) Pengadilan Negeri, (2) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di Pengadilan Agama. Dalam bab ini juga akan diuraikan persesuaian hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat dan perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala.<br />
2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama <br />
Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3 (tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala. Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan masing-masing contohnya sebagai berikut. <br />
a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris<br />
Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli waris berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan (Palu), pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo) maupun wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan Tawaeli). Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli waris yang dituakan atau adanya kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa bukti pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris di Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai tahun 1993 sebagai berikut. <br />
(1) Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 2 (dua) areal kebun kelapa, tanah perumahan seluas 946 M2, dan sebuah perhiasan kalung emas. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka.23 Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berdasarkan hukum Islam karena ada di antara ahli waris yang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dan disetujui oleh ahli waris lainnya, yaitu anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal dan sebuah perhiasan kalung emas, 2 (dua) orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing satu areal kebun kelapa dan tanah perumahan 473 M2. Musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Ahkam tersebut, dapat terlaksana karena adanya kerukunan di antara para ahli waris dan adanya ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya3<br />
(2) Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6 (enam) ekor kambing, dan tanah perumahan seluas 700 M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka24 <br />
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berda-sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing tanah perumahan seluas 200 M2, seorang anak perempuan mendapat bagian tanah perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui musyawarah karena orangtua mereka sudah membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam kehidupan rumah tangganya"25. <br />
Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima) buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan (4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak lain asas hukum kewarisan adat suku Kaili yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ke empat bentuk asas-asas hukum kewarisan tersebut akan diuraikan penyebabnya sebagai berikut.<br />
(a) Asas hukum kewarisan Islam tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris karena ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan dan/atau hukum kewarisan Islam itu sudah menjadi budaya hukum secara turuntemurun dalam keluarga pewaris. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 31, 32, 33, dan 34. <br />
(b) Asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan tetapi harta warisan mereka relatip sedikit, baik harta warisan yang terdiri atas kebun kelapa, kebun kapok, tanah sawah, maupun harta warisan yang sifatnya usaha. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 6, 8, 9, 12, 18, 20, 25, 27, dan 28. <br />
(c) Asas hukum kewarisan adat lama tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang menginginkan tidak dibedakan bagian harta warisan anak perempuan dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai akibat kurang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa dalam pembagian harta warisan, sehingga merelakan sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 15, 24, 26, dan 35.<br />
(d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian harta warisan bila ada di antara ahli waris yang dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga pewaris. Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30. <br />
b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan Adat<br />
Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil) membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara mereka. Kegagalan itu ada yang disebabkan oleh kesalah pahaman mengenai harta yang diperoleh salah seorang ahli waris ketika orangtua mereka masih hidup, dan ada yang disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya.27 Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan oleh penulis 16 buah pembagian harta warisan dan dua kasus diuraikan sebagai berikut. <br />
(1) Abbas meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Harta warisan itu terdiri atas Rp.1.000.000. Harta warisan tersebut dimusyawa-rahkan oleh ahli waris berkenaan dengan status pembagiannya. Namun, musyawarah itu tidak berhasil sehingga diajukan pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat di Desa Baiya28<br />
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris bersama Dewan Adat berdasarkan kerelaan para ahli waris (as-sulhu, yaitu seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp. 400.000 dan 2 orang anak perempuan mendapat bagian masing-masing Rp. 300.000). Kesepakatan itu disetujui oleh para ahli waris. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat karena anak perempuan menghendaki bagian warisannya tidak dibedakan dengan bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak perempuan tersebut rela bila bagian warisannya kurang dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa di antara mereka sehingga rela menerima sesuai kehendak saudara perempuannya.29 <br />
Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 500.000 dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 500.000. Namun, ke dua sistem hukum itu tidak diterapkan karena mereka menghendaki kerelaan menerima warisan yang telah disebutkan.<br />
(2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiriatas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas berupa kalung, dan tanah perumahan seluas 1.312,50 M2. Harta warisan tersebut dikuasai sebagian oleh anak yang kedua laki-laki, sehingga ahli waris lainnya menuntut haknya melalui Dewan Adat di Kelurahan Balaroa.30.<br />
Musyawarah tersebut, Dewan Adat menerapkan hukum Islam, yaitu anak terakhir laki-laki mendapat bagian kebun kelapa, anak kedua laki-laki mendapat tanah perumahan, anak pertama perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal, dan anak ketiga perempuan mendapat tanah perumahan bersama perhiasan emas. Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat atas persetujuan ahli waris ketika tokoh agama sudah menyampaikan nasehat kepada ahli waris mengenai keadilan yang dikandung oleh hukum kewarisan Islam dan pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan.31 <br />
Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat yang telah diuraikan 16 (enam belas) buah kasus, tampak 15 (lima belas) buah kasus mencerminkan asas hukum kewarisan Islam, yaitu kasus nomor 2 sampai 16. Hal itu menunjukkan peranan ketua dan anggota Dewan Adat dalam menerapkan hukum kewarisan Islam amat besar. Peranan ketua dan anggota Dewan Adat itu tampak karena ada di antara ketua dan anggota Dewan Adat yang berasal dari tokoh agama Islam yang menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan pembagian harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan tidak bertentangan hukum kewarisan Islam karena masing-masing ahli waris rela menerima bagian warisan yang disepakati melalui musyawarah Dewan Adat. Kerelaan kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu. <br />
c) Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di Kab. Donggala.<br />
Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala, maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut.<br />
(1) Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990. Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak ikut menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan oleh Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia menggugat Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Gugatan tersebut menyatakan bahwa Lawasi meninggal tahun 1987 di Tawaeli meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki bersama 5 (lima) orang anak perempuan dan berupa harta yang terdiri atas sebuah kebun kelapa 100 pohon. Harta tersebut dijual oleh anak laki-laki yang pertama dan disetujui oleh 8 orang saudaranya.<br />
Pada gugatan tersebut, penggugat mengemukakan bahwa harta warisan yang menjadi obyek sengketa adalah harta peninggalan Lawasi (ayah penggugat dan tergugat) yang belum terbagi kepada ahli warisnya, sehingga perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat cs bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Donggala karena tanpa sepengetahuan penggugat sebagai ahli waris. Karena itu, penggugat memohon sita jaminan pada harta yang menjadi obyek sengketa kepada ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, maka tergugat mengemukakan jawaban bawa ia tidak memberitahukan kepada penggugat karena tidak ada di Palu, melainkan ia berada di Jakarta. Selain itu, tergugat mengemukakan bahwa akan memberikan harta peninggalan lainnya bila tergugat menuntut hak warisannya. Berdasarkan gugatan ini, hakim memeriksa perkara tersebut dalam 12 kali sidang. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan ke dua pihak dan akhirnya berhasil. Pada sidang yang ke-12 pihak penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat menginginkan pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris. Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat lama, yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-masing Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.32<br />
Putusan pengadilan tersebut mencerminkan hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang berlaku dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak. <br />
(2) Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn. Palu, 6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga, sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada gugatan itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di Palu; meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan dan harta terdiri atas tanah kebun seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh saudara pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian dengan harga Rp.510.000.- <br />
Pada gugatan tersebut, penggugat menyatakan bahwa tergugat tidak berhak menjual harta peninggalan Sunga tanpa sepengetahuan ahli warisnya (para penggugat). Karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku di Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang menjadi obek sengketa adalah harta peninggalan ayahnya yang belum dibagi waris kepada ahli warisnya sehingga ia berhak menguasainya. Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat, hakim memeriksa alasan-alasan, saksi-saksi dan bukti-bukti penggugat dan tergugat dalam 7 kali sidang dan ternyata tergugat tidak mempunyai alat bukti. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan ke dua pihak dan dibantu oleh pihak keluarga Baiduri sehingga mereka mau berdamai. Pada sidang terakhir penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat ingin melakukan musyawarah di antara mereka. Karena itu, saudara pewaris (Baiduri) mengembalikan tanah kebun dan harga tanah kepada Moh. Kasim cs. Hasil perdamaian itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.33<br />
Hasil kesepakatan tersebut, mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili di satu pihak, yakni tergugat tidak berhak mewarisi harta peninggalan Sunga karena pewaris meninggalkan anak sehingga ia mengembalikan kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris mengembalikan harta warisan kepada ahli waris Sunga (penggugat) sebagai orang yang berhak mewaris. <br />
Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala yang telah telah diuraikan, ditemukan pencerminan hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam sebanyak 7 (tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8, 11, 13, 17, 19, dan 21. Demikian juga putusan pengadilan yang mencerminkan hukum kewarisan adat yang berasaskan musyawarah mufakat antara penggugat dan tergugat dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam, yaitu kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5. <br />
Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan Islam yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas hukum kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus nomor 11. Sebalik¬nya, ditemukan juga putusan pengadilan yang tidak men¬cerminkan asas-asas hukum, baik asas hukum adat maupun asas hukum Islam, melainkan hal itu hanya berpedoman kepada formalitas beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor 6, 9, 10, 12, 14, 15, 18, dan 20.<br />
d) Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama Kabupaten Donggala<br />
Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah kasus pembagian harta warisan dan dua kasus diantaranya dikemukakan sebagai berikut.<br />
(1) H. Baharuddin dan Rabiah bin H. Baele v. Hj. Hajare binti H. Baele cs, 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990. H. Baharuddin dan Rabiah H. Baele dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki dan perempuan, sedang Hj. Hadjare cs adalah ahli waris anak perempuan bersama janda isteri ke dua dan anaknya sebagai penguasa harta peninggalan H. Baele yang belum terbagi kepada ahli warisnya. Karena itu, H. Baharuddin dan Rabiah menggugat Hj. Hajare cs berdasarkan hukum Islam ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperolah hak warisannya dengan cara menjual rumah. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa H. Baele meninggal tahun 1988 di Palu. Ia meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 orang anak perempuan bersama 2 orang anak laki-laki dari isteri pertama, seorang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki dari isteri kedua, janda isteri kedua; harta yang ditinggalkannya terdiri atas dua buah rumah tempat tinggal. Harta berupa sebuah rumah tempat tinggal dikuasai oleh isteri kedua dan sebuah rumah lainnya dikuasai oleh anak kedua sampai anak kelima dari isteri pertama. Pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang dikuasinya adalah harta peninggalan pewarisnya dan ia adalah termasuk ahli waris sehingga ia berhak menempati rumah yang menjadi obyek sengketa warisan.34<br />
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti, ternyata bahwa penggugat dan tergugat belum memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim memutuskan bahwa gugatan penggugat diterima sebagian, yaitu 5 (lima) orang anak dari isteri pertama mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Palu, sedangkan isteri kedua bersama dua orang anaknya mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Tawaili.35 <br />
Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga memungkinkan muncul masalah baru kepada yang berhak menerima warisan kollektip.<br />
(2) Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23 Juli 1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua) orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama seorang anak perempuan melalui anak perempuan pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui anak laki-laki ketiga yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya.36<br />
Harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas kebun kelapa 764 pohon, tanah perumahan 1200 meter. Harta tanah perumahan itu belum terbagi kepada ahli warisnya dan dikuasai oleh anak laki-laki dan perempuan melalui anak pertama perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya berdasarkan wasiat pewaris. Karena itu, penggugat menuntut warisannya berdasarkan hukum Islam. Pihak penggugat menge-mukakan bahwa harta yang dikuasainya adalah pemberian pewaris melalui surat wasiat.37<br />
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti dalam persidangan, terungkap bahwa wasiat pewaris tidak disetujui oleh ahli waris lainnya. Karena itu, hakim membatalkan wasiat pewaris dan harta peninggalan dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum kewarisan Islam, yaitu anak laki-laki dan perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya digantikan kedudukannya oleh anaknya atau keturunannya. Selain itu, bagian warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan38<br />
Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari orangtuanya digantikan oleh turunannya.<br />
D. Kesimpulan<br />
1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis berdasarkan Sila Pertama Pancasila<br />
2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis berdasarkan Pasal 29 UUD 1945<br />
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis diterima oleh masyarakat muslim yang mendiami negara republik Indonesia berdasarkan fakta hukum melalui putusan Pengadilan Agama<br />
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis berdasarkan teori recepcie in complexu dan teori receptio a contrario<br />
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4 (empat) bentuk, yaitu Melalui musyawarah ahli waris, melalui musyawarah dewan adat, melalui Pengadilan Agama, dan Melalui Pengadilan Umum (Negeri). Ke empat bentuk penyelesaian pembagian harta warisan dimaksud, mencerminkan asas-asas hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat yang menjiwai hukum kewarisan Islam, dan asas hukum kewarisan adat lama sebagai akibat ketidak tahuan filosofi hukum kewarisan Islam. <br />
<br />
KEPUSTAKAAN<br />
<br />
Abdrrahman, H., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992<br />
Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press, 1984<br />
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952<br />
Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966<br />
Ali, Mohammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah, 1985.<br />
---------. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991<br />
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998<br />
---------. Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta: Sinar Grafika, 2010<br />
---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010<br />
Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938<br />
Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al. Sunan Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952.<br />
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Jogyakarta: Nurcahaya, 1983.<br />
Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-Hild-Co, 1992.<br />
B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953 <br />
Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8, Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun.<br />
David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, America: International Microfilms University Press, 1986 <br />
Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbanding-an". Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993.<br />
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith. Jakarta: Tintamas, 1990.<br />
Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971 <br />
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun<br />
Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978 <br />
Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-Wasiyyat, Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun<br />
Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977 <br />
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1981<br />
Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadis lit-tab`i wannasyar, 1962<br />
Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, Myland: Amana Corp Brentwood, 1983http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-81177586624139881842011-05-17T18:45:00.000-07:002011-05-17T18:45:31.334-07:00RIBA DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAHRIBA DALAM HUKUM EKONOMI SYARIAH<br />
Oleh: Zainuddin Ali<br />
A. Riba dalam sudut pandang Ajaran Agama dan Sejarah<br />
1. Pengertian Riba berdasarkan Hukum Islam<br />
Riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.<br />
Mengenai hal ini Allah mengingatkan dalam Alqurán Surat An-Nisa/4: 29 sebagai berikut.<br />
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ<br />
Dalam transaksi simpan-pinjam dana misalnya, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Namun, yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi.<br />
2. Jenis-Jenis Riba<br />
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.<br />
a. Riba Qardh ( ربِا القرض )<br />
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). <br />
b. Riba Jahiliyyah (ربِا الجاهلية )<br />
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. <br />
c. Riba Fadhl (ربِا الفضل )<br />
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.<br />
d. Riba Nasi’ah ( ربِا النسيئة )<br />
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. <br />
2. Konsep Riba dalam Perspektif Non-Muslim<br />
Riba bukan hanya merupakan persoalan dalam masyara-kat Islam, melainkan menjadi persoalan berbagai kalangan di luar Islam. Karena itu, kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun yang silam. Masalah riba telah menjadi pembahasan di kalangan penganut agama Yahudi, bangsa Yunani, bangsa Romawi, penganut agama Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba. Karena itu, sepantasnya bila kajian tentang riba dilihat dari perspektif kalangan non-Muslim dimaksud. Ada beberapa alasan mengapa pandangan dari kalangan non-Muslim dimaksud, perlu dilihat kajiannya. Hal itu, diuraikan sebagai berikut. <br />
a. agama Islam mengimani dan menghormati Nabi Ibrahim, Ishak, Musa, dan Isa. Nabi-nabi tersebut diimani juga oleh orang Yahudi dan Nasrani. Ummat Islam mengakui juga kedua kaum ini sebagai Ahli Kitab karena pemeluk agama Yahudi dikaruniai Allah kitab Taurat; Sedangkan penganut agama Kristen dikaruniai kitab Injil.<br />
b. pemikiran kaum Yahudi dan Kristen perlu dikaji karena sangat banyak tulisan mengenai bunga yang dibuat oleh para pemuka agama tersebut.<br />
c. pendapat orang-orang Yunani dan Romawi juga perlu di-perhatikan karena mereka memberikan kontribusi yang besar pada peradaban manusia. Pendapat mereka juga banyak mempengaruhi orang-orang Yahudi dan Kristen serta Islam dalam memberikan argumentasi dalam kaitannya dengan riba. Hal dimaksud, diuraikan sebagai berikut.<br />
1) Konsep Bunga bagi pemeluk agama Yahudi<br />
Orang-orang Yahudi dilarang mempraktekkan pengambilan bunga. Pelarangan dimaksud, banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Perjanjian Lama (Old Testament) maupun undang-undang Talmud. Kitab Exodus (Keluaran ). Misalnya: Pasal 22 ayat (25) menyatakan: "Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya." Selain itu, Kitab Deuteronomy (Ulangan) Pasal 23 ayat (19) menyatakan: "Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan." Demikian juga Kitab Levicitus (Imamat) Pasal 35 ayat (7) menyatakan: "Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba."<br />
2) Konsep Bunga di Kalangan Yunani dan Romawi<br />
Pada masa Yunani, sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga I Masehi, telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi tergantung kegunaannya. Secara umum, nilai bunga tersebut mempunyai kategori seperti diungkapkan dalam bentuk Tabel 3-1 di bawah ini<br />
TABEL -3.1<br />
VARIASI BUNGA DI KALANGAN<br />
YUNANI DAN ROMAWI<br />
Pinjaman biasa<br />
Pinjaman properti<br />
Pinjaman antarkota<br />
Pinjaman perdagangan dan industri 6 % - 18 %<br />
6 % - 12 %<br />
7 % - 12 %<br />
12 % - 18 %<br />
<br />
Pada masa Romawi, sekitar abad V Sebelum Masehi hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan ‘tingkat maksimal yang dibenarkan hukum' (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double countable).<br />
Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan peng-ambilan bunga tidak diperbolehkan. Tetapi, pada masa Unciaria (88 SM) praktik tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Terdapat empat jenis tingkat bunga pada zaman Romawi yaitu:<br />
TABEL-3-2<br />
JENIS TINGKATAN BUNGA<br />
Bunga maksimal yang dibenarkan<br />
Bunga pinjaman biasa di Roma<br />
Bunga untuk wilayah (daerah taklukan Roma)<br />
Bunga khusus Byzantium 8 – 12 %<br />
4 – 12 %<br />
6 –100 %<br />
4 – 12 %<br />
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato (427 – 347 SM) dan Aristoteles (384 – 322 SM), mengecam praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234 – 149 SM) dan Cicero (106 – 43 SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktekkan pengambilan bunga. <br />
Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Per-tama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin; Sedangkan Aristoteles, dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya, bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga. Ia juga menyebut bunga sebagai uang yang berasal dari uang yang keberadaannya dari sesuatu yang belum tentu pasti terjadi. Dengan demikian, pengambilan bunga secara tetap merupakan sesuatu yang tidak adil.<br />
3) Konsep Bunga di Kalangan pemeluk agama Kristen<br />
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6: 34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat dimaksud, menyatakan: "Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat."<br />
Ketidaktegasan ayat di atas, sehingga muncul berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu: <br />
a) pandangan para pendeta agama Kristen pada awal abad I-XII M yang mengharamkan bunga; <br />
b) pandangan para sarjana pemeluk agama Kristen pada abad XII–XVI M yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan; dan pandangan para reformis pemeluk agama Kristen pada Abad XVI– XIX yang menghalalkan bunga. <br />
3. Pandangan Reformis Kristen pada Abad XVI-XIX M <br />
Para reformis di kalangan pemeluk agama Kristen telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu, di antaranya: John Calvin (1509-1564), Charles du Moulin (1500 –1566), Claude Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli (1484-1531).<br />
Beberapa pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain, yaitu: (a) Dosa apabila bunga memberatkan, (b) Uang dapat membiak (kontra dengan Aristoteles), (c) Tidak menjadikan pengambil bunga sebagai profesi, (d) Jangan mengambil bunga dari orang miskin.<br />
Du Moulin mendesak agar pengambilan bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.<br />
d. Konsep Riba di dalam Hukum Islam<br />
1) Tahap Pertama<br />
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba adalah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah Swt. dalam Alqurán Surat Ar Rum: 39 <br />
2) Tahap Ke dua<br />
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Karena itu, Allah swt mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Ancaman Allah swt dimaksud, diungkapkan dalam Alqurán Surat An Nisa: 160-161 <br />
3)Tahap ketiga<br />
Peringatan Allah swt dalam Alqurán mengenai riba yang berlipat Ganda. Riba yang diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah berfirman dalam Alqurán Surat Ali Imran: 130 <br />
4) Tahap ke empat atau tahap terakhir<br />
Peringatan Allah swt dalam Alqurán sebagai peringatan terakhir mengenai riba secara jelas dan tegas mengharamkan riba dalam berbagai jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Larangan dimaksud, Allah Swt berfirman di dalam Alqurán surat Al Baqarah: 278-279http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-91573725320872350162011-05-17T18:43:00.001-07:002011-05-17T18:43:53.681-07:00BEBERAPA PERBEDAAN RIBA DENGAN USAHA LAINNYABEBERAPA PERBEDAAN RIBA DENGAN USAHA LAINNYA<br />
Oleh: Zainuddin Ali<br />
<br />
<br />
A. Perbedaan investasi dengan membungakan uang<br />
Ada 2 (dua) perbedaan mendasar antara investasi dengan membungakan uang. Perbedaan tersebut dapat dianalisis melalui definisi hingga makna masing-masing dari ke dua istilah dimaksud, yaitu: (a) Investasi adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan unsur ketidak pastian. Karena itu, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak tetap; dan (b) Membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan selalu menguntungkan pihak yang membungakan uang. <br />
Bila hukum Islam dicermati mengenai investasi maka dapat dapahami bahwa hal dimaksud, mendorong warga masyarakat ke arah usaha nyata yang produktif. Selain itu, dapat dipahami bahwa investasi dihalalkan dan membungakan uang di larang oleh hukum Islam. Demikian juga menyimpan uang di bank yang yang menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam termasuk kategori kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan amat tergantung kepada hasil usaha yang benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pihak bank sebagai mudharib atau pengelola dana. Karena itu, bank Islam (baik bank muamalah maupun bank syariah dan/atau bank konvensional yang menggunakan prinsip syariah) tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana atau investor.<br />
B. Perbedaan hutang uang dengan hutang barang<br />
Ada dua jenis hutang yang berbeda, yaitu hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang dan hutang yang terjadi karena pengadaan barang. Hutang yang terjadi karena pinjam-meminjam uang tidak boleh ada tambahan, kecuali dengan alasan yang pasti dan jelas, seperti biaya materai, biaya notaris, dan studi kelayakan. Tambahan lain yang sifatnya tidak pasti dan tidak jelas, seperti inflasi dan deflasi, tidak diperbolehkan oleh sistem perbankan yang menggunakan prinsip syariah. <br />
Hutang yang terjadi karena pembiayaan pengadaan barang harus jelas dalam satu kesatuan yang utuh atau disebut harga jual. Harga jual itu sendiri terdiri dari harga pokok barang plus keuntungan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli. Karena itu, kalau harga jual sudah menjadi kesepakatan, maka selamanya tidak dapat berubah, baik barang itu naik harganya maupun turun. Dalam pelaksanaan transaksi perbankan syariah yang muncul adalah kewajiban dalam bentuk hutang pengadaan barang, bukan hutang uang.<br />
C. Perbedaan antara bunga dan bagi hasil<br />
Ajaran Islam mendorong kepada warga masyarakat untuk melakukan praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata dan mendasar. Perbedaan itu, dapat dilihat pada Tabel-3.3 sebagai berikut.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
TABEL-3.3<br />
PERBEDAAN BUNGA DAN BAGI HASIL<br />
BUNGA BAGI HASIL<br />
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung a. Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung atau rugi<br />
b. Besarnya persentase berdasar-kan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan b. Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh<br />
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. c. Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang di-jalankan. Bila usaha merugi, ke-rugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.<br />
d. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang "booming". d. Jumlah pembagian laba me-ningkat sesuai dengan pe-ningkatan jumlah pendapatan.<br />
<br />
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam. e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasilhttp//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-8648026342872580592011-05-17T18:38:00.000-07:002011-05-17T18:38:14.352-07:00Muhammadiyah dan Pembentukan Masyarakat IslamMuhammadiyah dan Pembentukan Masyarakat Islam<br />
Oleh: Dr. Haedar Nashir<br />
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam memiliki cita-cita ideal yaitu mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Dengan cita-cita yang ingin diwujudkan itu Muhammadiyah memiliki arah yang jelas dalam gerakannya. Cita-cita ideal yang ingin diwujudkan Muhammadiyah terkandung dalam rumusan maksud dan tujuan, yakni menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. <br />
Sering muncul pertanyaan seputar makna atau kandungan isi dari maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut. Apakah yang dimaksudkan dengan kalimat menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam itu? Apa pula, dan ini lebih sering dipertanyakan, yang dimaksud dengan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya itu? Dua pertanyaaan yang elementer, Tetapi memang sangat penting untuk diketahui dan dipahami khususnya oleh anggota Muhammadiyah. Guna menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu diketahui konteks lahirnya perumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah tersebut, yang kedua substansi atau isinya dengan merujuk pada pemikiran-pemikiran yang selama ini berkembang dalam Muhammadiyah. <br />
Jika dilacak pada rumusan Anggaran Dasar (Statuten) Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912 hingga Muktamar ke-45 tahun 2005, Muhammadiyah telah menyusun dan melakukan perubahan Anggaran Dasar (AD) sebanyak 15 (lima belas) kali yaitu pada berturut-turut pada tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Adapun untuk Anggaran Rumah Tangga (ART) sebanyak 8 (delapan) kali dimulai dan berturut tahun 1922, 1933, 1952, 1961, 1967, 1969, 1987, 2000, dan 2005. Dari kandungan isi AD/ART Muhammadiyah tersebut ditemukan data bahwa rumusan tujuan mewujudkan/terwujudnya “masyarakat Islam yang sebenarbenarnya ditetapkan pada AD tahun 1946, sedangkan sejak berdirinya sampai awal tahun kemerdekaan Indonesia tersebut tidak ditemukan rumusan tujuan sebagaimana dimaksud. <br />
Dari data yang dihimpun Mh. Djaldan (1998), ditemukan pula bahwa rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sebagaimana dimaksud, mengalami perubahan redaksional yang sedikit berbeda yakni, tahun 1946 dan 1959, serta perubahan isi pada tahun 1985. Pada AD tahun 1946 tertera kalimat “Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarbenarnya, sementara pada AD tahun 1959 berbunyi; Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. <br />
Pada tahun 1985, maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami perubahan isi menjadi “Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala. Penggantian tahun 1985, terjadi karena pemaksaan rezim Soeharto di era Orde Baru yang melalui Undang-Undang Tahun 1985 yang mengharuskan seluruh organisasi politik dan kemasyarakatan untuk berasas (tunggal) Pancasila, sehingga Muhammadiyah diharuskan selain mengganti asas Islam yang telah dirumuskan sejak tahun 1959 menjadi asas Pancasila, sekaligus mengubah rumusan tujuannya melalui proses yang sangat alot hingga menunda muktamarnya selama dua tahun. <br />
Dalam Statuten (Anggaran Dasar) pertama tahun rumusan maksud/tujuan Muhammadiyah belum mengarah ke format masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, kendati spiritnya boleh jadi sama. Pada Statuten 1912 artikel (pasal?) kedua dinyatakan sebagai berikut: “Maka perhimpunan itu maksudnya: <br />
a. Menyebarluaskan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan<br />
b. Memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.” Agar memperoleh gambaran yang lengkap mengenai rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah dalam rentang perubahan AD/ART Muhammadiyah tersebut berikut penulis cuplikan dalam tabel: Maksud dan Tujuan Muhammadiyah 1912 2005<br />
1. 1912 “Maka perhimpunan itu maksudnya: a. Menyebarluaskan pengajaran Agama Kangjeng Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan b. Memajukan hal Agama kepada anggauta-anggautanya<br />
2. 1914 Maksud Persyarikatan ini yaitu: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Agama Islam di Muhammadiyah di zaman Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.<br />
3. 1921 Maksud Persyarikatan ini yaitu: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.<br />
4. 1934 Hajat Persyarikatan itu: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).<br />
5. 1941 Hajat Persyarikatan: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Indonesia, dan b. Memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya (segala sekutunya).<br />
6. 1943 Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama seluruh Asia Raya, di bawah pimpinan Dai Nippon, dan memang diperintahkan oleh Tuhan Allah, maka perkumpulan ini: a. hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntunannya, b. hendak melakukan pekerjaan kebaikan kebaikan umum, c. hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggauta-anggautanya; kesemuanya itu ditujukan untuk berjasa mendidik masyarakat ramai.<br />
7. 1946 Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.<br />
8. 1950 (1) Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.<br />
9. 1950 (2) Maksud dan tujuan Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.<br />
10. 1959 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. <br />
11. 1966 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. <br />
12. 1968 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.<br />
13. 1985 Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata‘ala.<br />
14. 2000 Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.<br />
15. 2005 Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. <br />
Perubahan substansi dan formulasi tujuan Muhammadiyah tersesbut tampaknya menggambarkan perkembangan cara berpikir dan konteks yang dihadapi Muhammadiyah pada setiap babakan sejarah tertentu. Menurut Prof. KH. Farid Ma’ruf dalam buku Pendjelasan Tentang Maksud dan Tudjuan Muhammadijah (Jakarta: Penerbit Yayasan Santakam, 1966, hal. 8) bahwa “perubahan yang bertingkat-tingkat seperti tersebut di atas itu membayangkan dengan jelas, kemajuan hasil yang telah dicapai oleh Muhammadiyah dengan bertingkat-tingkat, dan juga menggambarkan dengan nyata perkembangan berpikir dari para pemimpin dan anggauta-anggautanya yang tambah lama semakin maju juga.” Jadi, terdapat sistematisasi pemikiran yang lebih maju dari perubahan formulasi tujuan Muhammadiyah sebagaimana dalam pemikiran-pemikiran formal lainnya. Namun, kendati terjadi perubahan formulasi tujuan, terdapat konsistensi yakni ruh atau spirit gerakan yang tetap konsisten untuk mengemban risalah Islam dan orientasi pada usaha menyebarluaskan dan memajukan kehidupan sepanjang kemauan ajaran Islam melalui lapangan kemasyarakatan dan tidak melalui jalur kekuasaan-negara. Dalam penjelasan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tafsir Anggaran Dasar Muhammadijah Lengkap dengan Muqaddimahnya (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1954, hal. 16 ) mengenai perubahan redaksional maksud dan tujuan Muhammadiyah itu dikemukakan sebagai berikut: “Kalau orang mengikuti perkembangan Muhammadiyah melalui berbagai aman yang berlainan coraknya, adalah memang sedemikian harusnya mencantumkan maksud dan tujuannya. Akan tetapi, intinya tetap, mewujudkan ISLAM bagaimana dan apa mestinya.”http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-28106378716711067242011-05-17T18:20:00.000-07:002011-05-17T18:20:02.546-07:00MENGAPA ORANG MENAATI HUKUMMENGAPA ORANG MENAATI HUKUM<br />
Oleh: Kelompok V :<br />
1. Nanang Suryana<br />
2. Parningotan Simbolon<br />
3. Bona<br />
4. Adli Yunus Ahmad<br />
5. Dedi Wahyudin<br />
6. Megawati<br />
(Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Program MH, Angk. 14, Universitas Borobudur 2011)<br />
A. Pendahuluan<br />
Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar itu, filsafat hukum bisa dibandingkan dengan dengan ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang sangat berbeda. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.<br />
Filsafat hukum menghendaki jawaban atas pertanyaan: “Apa yang dimaksud dengan hokum ?” Filsafat hukum menginginkan kita berfikir secara mendalam dan bertanya pada diri sendiri: “Apa pendapat kita mengenai hukum?” Apakah ilmu hukum positif dapat menjawab dua pertanyaan tersebut? Jawabannya adalah dapat. Namun ilmu hukum tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, karena jawaban yang dihasilkan tidak akan sekomprehensif bila dijawab oleh filsafat hukum. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum saja, yang hanya dapat dilihat dengan pancaindra, yang menjelma dalam perbuatan-perbuatan manusia dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan dalam kebiasaan-kebiasaan hukum. <br />
Ilmu hukum positif tidak dapat mengamati kaidah-kaidah hukum yang merupakan pertimbangan nilai-nilai, karena berada jauh di luar pandangannya. Kaidah hukum masuk dalam tataran dunia nilai, tataran sollen. Ketika ilmu hukum tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan (penting) mengenai hukum, maka saat itu pulalah filsafat hukum mulai bekerja dalam mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab tersebut. Kaidah-kaidah hukum adalah pertimbangan nilai-nilai, yaitu pertimbangan-pertimbangan tentang sesuatu yang seharusnya kita lakukan atau tidak kita lakukan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Kaidah hukum menghendaki diikuti sebagai sebuah otoritas sehingga dengan demikian mempunyai sifat perintah, suruhan dan larangan. Suatu kaidah dapat berubah menjadi kaidah hukum, jika kaidah tersebut dikeluarkan oleh negara berupa peraturan-peraturan yang harus menjadi pedoman bagi pemerintah dan bagi kekuasaan pengadilan saat melakukan tugasnya serta kaidah hukum mempunyai ciri bahwa ia dipertahankan oleh paksaan pemerintahan atau setidak-tidaknya oleh paksaan yang terorganisir. Jika diamati, maka ketiga pengertian tersebut memiliki persamaan yaitu meletakkan hubungan yang erat antara hukum dan negara (atau penguasa) dan bahwa ketiga pengertian tersebut merupakan hasil dari penelitian secara empiris dalam mencari ciri persekutuan untuk peraturan-peraturan yang biasanya disebut peraturan-peraturan hukum.<br />
<br />
B. Kerangka Pikir<br />
Benarkah kaidah hukum memperoleh otoritasnya—dan oleh karenanya masyarakat mengakui kaidah tersebut dengan cara mentaatinya, semata-mata <br />
1. hanya karena orang-orang yang menciptakannya, <br />
2. karena orang-orang yang mengakuinya sebagai hukum, <br />
3. karena nilai batinnya/nilai keadilannya sendiri <br />
Dari mana pemerintah/penguasa pada suatu negara memperoleh hak untuk memaksakan pertimbangan-pertimbangan nilainya kepada orang lain sebagai suatu perintah? Secara garis besar, terdapat tiga ajaran yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu: <br />
(1) raja dianggap memperoleh kekuasaannya karena langsung diangkat oleh Tuhan, merupakan kehendak Tuhan (theocratisch atau hukum kodrat), <br />
(2) pemerintah langsung memperoleh kekuasaannya dari kehendak rakyat dan hanya secara tidak langsung dari Tuhan (scholastik pada abad pertengahan), <br />
(3) segala hukum adalah hukum manusia (rasionalisme dari aufklarung abad ke 18).<br />
Pada abad ke 19, ajaran theocratisch masih terus hidup dalam berbagai corak dan bentuk, namun ajaran tersebut tidak lagi memberikan kewenangan kepada pemerintah dalam pemberian sanksi-sanksi tertentu kepada masyarakat dalam pelanggaran terhadap hukum. Hal ini disebabkan, pada abad tersebut pemerintah tidak lagi merupakan penjelmaan agama dan tak mengakui kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat. Pembela ajaran ini di abad 19 adalah Julius Stahl (1802-1861): “Negara adalah badan yang diberikan kuasa penuh oleh Tuhan, akan tetapi yang diberikan wewenang penuh bukanlah aparatur pemerintahan, akan tetapi negara sendiri sebagai badan”. Hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari ordonansi ketuhanan yang merupakan dasar suatu negara. Meskipun hukum merupakan buatan manusia, namun ia digunakan untuk membantu mempertahankan tata tertib dunia ketuhanan. <br />
Teori perjanjian mendalilkan ajarannya bahwa sumber kekuasaan pemerintah berada pada kehendak manusia/warganegara sendiri. Warganegara wajib taat kepada pemerintahan dan hukum, karena dengan tegas atau dengan diam-diam mereka dengan keinginan dan kesadaran sendiri secara penuh telah membuat perjanjian seperti itu. Ajaran ini diperkenalkan dan dipraktekkan melalui berbagai cara pertama kali pada zaman Yunani oleh kaum sophist dan epicurust. Dalam abad pertengahan, pikiran seperti itu semakin meluas meskipun tidak dapat dilaksanakan secara penuh, oleh karena bertentangan dengan pandangan keagamaan pada saat itu. Sehingga pikiran baru tersebut dilakukan dalam bentuk lama: Tuhan memberi rakyat kewenangan untuk membentuk pemerintah, dan rakyatpun mempergunakan kewenangan itu dengan menyerahkannya kepada raja atas dasar suatu perjanjian. Oleh kaum monarchomachen pada abad XVI ajaran tersebut digunakan untuk melakukan pembelaan terhadap “hak suci memberontak” terhadap raja-raja lalim, yang melakukan pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian yang telah dibuat. Pada abad ke XVII terjadinya negara dan tata hukum didasarkan atas perjanjian, yang tidak semata-mata merupakan perjanjian yang dilakukan oleh rakyat dan raja (perjanjian penaklukan), tetapi adalah sesuatu perjanjian yang diadakan oleh manusia yang satu dengan yang lain untuk mendirikan negara dan tata hukum (perjanjian masyarakat). Ajaran ini menjadi sangat terkenal ketika Rosseau memperkenalkannya dengan nama contract social. Ajaran ini pada saat sekarang sudah tidak lagi banyak dianut, oleh karena pada teori ini disana-sini ditemukan kelemahan-kelemahan, salah satunya adalah: janji hanyalah merupakan sesuatu hal yang abstrak dan menggantungkan kewajiban seseorang kepada kehendak suatu janji bukankah itu berarti menghapuskan segala kewajiban. Kemudian, bagaimana hukum dapat memperoleh kekuatan mengikat dari suatu kontrak yang agar dapat mengikat mengandaikan adanya hukum?<br />
Ajaran kedaulatan negara muncul pada abad ke XIX, abad ilmu alam, yang mendasarkan kekuatan mengikat dari hukum adalah kehendak negara dan mendasarkan adanya kekuasaan negara pada sesuatu hukum kodrat (yang lebih kuat menguasai yang lebih lemah). Oleh karena daya hukum itulah maka terjadi negara yang bukan buatan manusia melainkan hasil alam. Melakukan kekuasaan pemerintahan bukan melakukan sesuatu hak yang meminta pembenaran, kekuasaan pemerintahan adalah suatu kenyataan yang dapat diterangkan dengan jalan ilmu pengetahuan dari jalannya hukum kodrat, yang diperoleh dengan cara melihat kenyataan empiris. Sementara itu, pada tingkat terakhir dari ajaran kedaulatan negara, juga memberi kemungkinan menunjuk kepada kehendak Tuhan sebagai yang mengadakan hukum kodrat itu. Yang meletakkan dasar teori ini adalah seorang swiss, Karl Ludwig von Haller.<br />
Ajaran hukum “reine rechtslehre/normatif rechtsleer” dari Hans Kelsen yang ingin memurnikan ajaran hukum dari segala anasir yang bukan yuridis (politik, kesusilaan, sosiologi). Negara bukan merupakan dunia sein (undang-undang kausal) tetapi dunia sollen (undang-undang normatif). Dipandang dari sudut yuridis, negara adalah tata hukum itu sendiri. Negara dan hukum adalah sama, negara adalah penjelmaan dari hukum. Menurut Kelsen adalah tidak benar menjawab pertanyaan tentang alasan berlakunya hukum (sesuatu sollen) dengan sein. Saya seharusnya bertindak demikian, bukan karena Tuhan menghendakinya, melainkan karena saya seharusnya mengikuti perintah Tuhan. Itu adalah dasar terakhir yang tidak dapat diuraikan lebih lanjut untuk “sollen” yang bersifat agama. Dasar berlakunya suatu kaidah hanya dapat diketemukan dalam kaidah yang lain. Kaidah yang ditentukan dengan keputusan hakim, memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang yang lebih tinggi dan kaidah undang-undang memperoleh kekuatan berlakunya dari kaidah undang-undang dasar yang lebih tinggi. Kaidah yang lebih tinggi dari undang-undang dasar tidak ada. Dengan demikian, terpaksa kita menerima undang-undang dasar sebagai dasar berlakunya dari seluruh hukum positif, sesuatu kaidah dasar/ursprungsnorm tetapi sesuatu kaidah yang tidak boleh dipandang sebagai kaidah-kaidah dasar yang mempunyai isi, sesuatu kaidah dari mana orang dapat mencari isi hukum, ursprungsnorm yang bersifat hipotetis hanya hendak menyatakan kesatuan formil dari seluruh sistem hukum, yang menyulap kenyataan bahwa orang-orang pemerintahan meletakan pertimbangan-pertimbangan nilai mereka sebagai peraturan yang mengikat, menjadi hukum, sehingga dengan demikian menyulap “seinskategorie” menjadi sesuatu yang menurut Kelsen merupakan kebalikannya yaitu kategori sollen.<br />
Teori kedaulatan hukum dikemukakan oleh H. Krabbe, mengatakan bahwa hukum memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak orang-orang tertentu yaitu orang-orang pemerintahan, orang-orang hidup di bawah kekuasaan undang-undang yang terbentuk melalui perwakilan rakyat. Undang-undang tidak mengikat karena pemerintah menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan kesadaran hukum dari rakyat. Undang-undang berlaku berdasarkan nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma didalamnya. Ajaran kedaulatan hukum pada asasnya tidak mengakui kekuasaan seseorang, ia hanya mengakui kekuasaan batin dari hukum; ia tidak menerima kekuasaan pemerintahan yang dilakukan oleh orang yang memerintah atas kuasa diri sendiri (suo jure), akan tetapi semata-mata menerima kekuasaan pemerintahan yang dikeluarkan oleh hukum dan yang berlaku menurut peraturan-peraturan hukum. Yang terutama bukanlah negara, pemerintahan, melainkan yang terutama adalah hukum. Hukum tidak memperoleh kekuatan mengikatnya dari kehendak pemerintahan, melainkan pemerintahan hanya memperoleh kekuasaannya dari hukum. Akan tetapi dari manakah datangnya hukum itu dan bagaimanakah ia memperoleh kekuatan mengikatnya. Dijawab oleh Krabbe, bahwa hukum berpangkal pada perasaan hukum dan hanya memperoleh kekuasaan dari persesuaiannya dengan perasaan-perasaan individu. Tetapi timbul kesulitan: sesuatu kaidah hukum yang berpangkal pada perasaan-perasaan hukum individu hanya menguasai kehendak individu itu sendiri. Akan tetapi hukum sebagai kaidah masyarakat harus menguasai kehendak individu itu sendiri yang bersandar pada keyakinan hukum bersama. Akan tetapi unanimitas keyakinan hukum adalah sesuatu yang jarang didapatkan. Perasaan hukum dan keyakinan hukum seseorang akan sangat berbeda dengan yang lainnya. Sehingga konsekuensi dari ajaran Krabbe adalah timbulnya kaidah yang beraneka ragam, sebanyak keyakinan hukum sebanyak itu pulalah jumlah kaidah. Akan tetapi pergaulan hidup menghendaki kesatuan kaidah hukum: hukum harus sama untuk semua anggota masyarakat. Itu adalah conditio sine qua non untuk mencapai tujuan hukum, yakni mengatur masyarkat. Oleh karenanya maka keseragaman kaidah hukum lebih penting daripada isi kaidah itu, sehingga kesadaran hukum kita memberikan nilai yang tertinggi kepada kesatuan kaidah tersebut, jika perlu dengan mengorbankan sesuatu isi yang tertentu yang lebih kita sukai.<br />
Karena keyakinan-keyakinan hukum orang berlainan, kita harus memilih antara berbagai isi hukum untuk mencapai kesatuan hukum. Bagaimanakah kita harus memilih? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Krabbe bertitik pangkal kepada apa yang dipandangnya sebagai aksioma:”persamaan derajat individu-individu yang turut membentuk hukum, atau dengan perkataan lain, persamaan kualitatif kesadaran hukum yang ada pada diri tiap-tiap orang”. Krabbe menarik kesimpulan, bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi kesadaran hukum rakyat terbanyak dan dari mayoritas mutlak. Rumus tersebut dilakukannya sedemikian konsekuen, sehingga ia meniadakan kekuatan mengikat dari undang-undang yang tidak sesuai dengan kesadaran hukum orang terbanyak tersebut. Undang-undang seperti ini, yang tidak mengikat masyarakat dan seharusnya tidak diberlakukan lagi oleh hakim dan orang-orang pemerintahan lainnya.<br />
Menurut Van Apeldoorn, maka dengan menarik konsekuensi yang sedemikian jauhnya terhadap ajarannya itu, Krabbe telah melakukan ad absurdum. Bagaimana dengan kepastian hukum dan perlindungan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan hakim dan birokrasi. Dan bagaimana halnya nasih kesatuan kaidah hukum, jika para hakim dan aparatur pemerintah diperkenankan, bahkan diserahi kewajiban untuk menyampingkan undang-undang (bahkan UUD) dalam melakukan tugasnya, jika menurut pertimbangan mereka undang-undang (termasuk UUD) tidak sesuai dengan kesadaran hukum dari rakyat terbanyak, padalah hal tersebut adalah hal yang merupakan sesuatu yang tidak tentu dan tidak dapat ditentukan.<br />
Kelemahan Krabbe tersebut terungkap, oleh karena ia menyamakan hukum dengan kesadaran hukum, sehingga dengan kekonsekuenan Krabbe dalam implementasi teorinya, dipastikan menyebabkan terjadinya penghapusan seluruh hukum, yang berarti lumpuhnya kewibawaan undang-undang.<br />
Menurut Van Apeldoorn, jika suatu tatanan masyarakat hendak merupakan lebih daripada tatanan kekuasaan belaka, maka ia juga harus merupakan tatanan hukum, harus memenuhi kesadaran kesusilaan dan kesadaran rakyat itu sendiri, artinya memenuhi pandangan-pandangan yang berlaku didalam masyarakat itu tentang apa yang baik dan adil, karena disitulah letaknya otoritas hukum. Pada hakekatnya, sesuatu hukum kebiasaan yang timbul langsung dari masyarakat itulah yang terbanyak memenuhi tuntutan tersebut. Dengan varian atas ucapan ahli hukum Romawi Paulus, dapatlah kita katakan optima iuris interpres consuetudo (penjelmaan hukum yang terbaik adalah kebiasaan).<br />
Diperlukan suatu kerjasama yang kondusif antara pemerintah dengan dewan perwakilan rakyat dalam menyusun suatu perundang-undangan yang berdasarkan kesadaran kesusilaan dan kesadaran hukum rakyat. Hukum perundang-undangan sebagian besar tidak lain merupakan hukum kebiasaan yang ditulis dan karena itu hal-hal yang merupakan dasar-dasar pokoknya tergores dalam kesadaran rakyat. Keyakinan yang berakal dari sesuatu bangsa bahwa harus ada tata tertib, sehingga harus ada hukum yang pada umumnya berisi pandangan-pandangan kesusilaan dan pandangan-pandangan hukum rakyat, menyebabkan bahwa keyakinan rakyat memberikan otoritas yang mengikat dari undang-undang, sekalipun juga seandainya undang-undang atau peraturan-peraturan tertentu ternyata tidak sesuai dengan pandangan-pandangan yang berlaku dalam masyarakat.<br />
Jika suatu tatanan hukum kehilangan dasar tersebut—bahwa keyakinan rakyat adalah tatanan hukum—maka lenyaplah segala otoritasnya dan berakhirlah ia sebagai hukum, walaupun ia dapat hidup terus beberapa waktu sebagai tatanan otoritas.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-84165406681519075802011-02-26T18:00:00.000-08:002011-02-26T18:00:23.207-08:00“PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN NEGARA DARI SUDUT SELF ASSESSMENT SYSTEM BERDASARKAN PASAL 25 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008”“PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN NEGARA DARI SUDUT SELF ASSESSMENT SYSTEM BERDASARKAN PASAL 25 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008”<br />
<br />
Oleh: Fahruddin (Mahasiswa S2 Hukum Univ. 17 Agustus 1945<br />
Pembimbing: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA<br />
<br />
A. Latar Belakang Masalah<br />
Salah satu sumber pendapatan negara yang penting adalah dari sektor pajak. Hal ini bisa dilihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dimana sektor pajak merupakan salah satu dari tiga sumber utama penerimaan negara seperti berikut: <br />
a. Penerimaan dari sektor pajak;<br />
b. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi); <br />
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.<br />
Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil yang besar bagi penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak beberapa tahun terakhir dapat dikatakan sebagai tulang punggung penerimaan negara oleh karena besarnya kontribusi sektor pajak dalam memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan negara, sekarang sudah tidak bisa diharapkan lagi sebagai penyumbang utama dalam memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini disebabkan antara lain oleh sifatnya sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui lagi (non-renewable resources) yang suatu saat bisa habis. Berbeda dengan pajak yang bisa diperbaharui lewat berbagai peraturan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat. <br />
Besarnya peranan sektor pajak untuk memenuhi kebutuhan dana bagi negara semakin nyata terutama dalam beberapa tahun terakhir, dimana lebih dari 50% penerimaan dalam negeri berasal dari penerimaan pajak. Besarnya peranan sektor pajak juga nampak ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan Nota Keuangan Tahun 2009, pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah anggaran yang diperlukan untuk pengeluaran negara sebesar Rp 1.203,3 triliun, dari jumlah tersebut penerimaan dalam negeri direncanakan sebesar Rp1.123,0 triliun. Dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1.123,0 triliun, kontribusi pajak pajak Rp 748,9 triliun (67 persen), meningkat Rp 157 triliun (26,59 persen) dari rencana penerimaan 2008 (Rp 591,9 triliun). <br />
Oleh karena besarnya kontribusi yang diharap dari sektor pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maka diperlukan kerja keras Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, khususnya seluruh aparat Direktorat Jenderal Pajak, agar target penerimaan pajak yang telah ditetapkan dapat terpenuhi. Sebaliknya dari pihak Wajib Pajak juga dituntut kesadarannya untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. <br />
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang dinamis menuntut adanya sikap pemerintah yang responsif untuk mengadakan penyesuaian dengan melakukan berbagai perubahan peraturan perpajakan termasuk Undang-Undang Pajak. Perubahan peraturan perpajakan diutamakan untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan melakukan pemungutan pajak secara optimal sesuai dengan potensi pajak yang ada dengan dilandasi keadilan dalam pemungutannya. Apabila pemungutan pajak dilandasi dengan keadilan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat sebagai pembayar pajak, maka diharapkan kesadaran rakyat untuk membayar pajak sebagai partisipasi aktif dalam pembiayaan pembangunan juga meningkat.<br />
Untuk memenuhi tuntutan jaman sesuai kondisi sosial politik, ekonomi negara saat itu maka dikeluarkanlah peraturan perpajakan dalam bentuk undang undang pajak masing-masing Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPn BM). Selanjutnya pada tahun 1985 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, kemudian dikeluarkan pula Undang-Undang Nomor 13 tentang Bea Meterai. Bisa dikatakan reformasi perpajakan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1983. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH. Pembaharuan perundang-undangan perpajakan itu untuk mengadakan perombakan yang mencakup: <br />
a. Penyederhanaan jumlah dan jenis pajak<br />
b. Penyederhanaan tarif pajak<br />
c. Penyederhanaan tata cara perpajakan<br />
d. Pembenahan aparatur perpajakan<br />
e. Pemberian kepastian hukum. <br />
Dalam undang-undang pajak produk kolonial yang sistem pemungutannya dikenal dengan istilah Official Assessment System, dimana rakyat sebagai pembayar pajak lebih dianggap sebagai “obyek”, tetapi dengan berlakunya Undang-undang pajak yang baru maka Wajib Pajak merupakan “subyek” yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan. <br />
Sistem pemungutan pajak yang berlaku dengan Undang-Undang ini adalah Self Assessment System sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum angka 3 huruf c Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009. Dalam Self Assessment System dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri mulai dari menghitung sendiri berapa penghasilannya kemudian menghitung berapa pajaknya, menyetorkan dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya.<br />
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali diadakan perubahan terakhir dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008. Undang-undang ini merupakan pengganti undang-undang perpajakan sebelumnya yang merupakan undang-undang peninggalan kolonial atau yang masih dipengaruhi oleh kolonial, seperti Pajak Orang Pribadi yang diatur dalam Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 dan Pajak Perseroan yang diatur dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 serta pajak atas bunga , dividen, dan royalti yang diatur dalam Undang-undang pajak atas Bunga, Dividen, dan royalti tahun 1970. <br />
Sesuai dengan ketentuan tentang Undang-Undang PPh, Subjek Pajak dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Ada dua unsur yang harus dipenuhi untuk pemungutan PPh yaitu pertama subyek pajaknya dan yang kedua obyek pajaknya yaitu penghasilan yang dikenakan pajak. . Subyek pajak yang menerima penghasilan disebut wajib pajak, yang dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak, atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Adapun yang dimaksud tahun pajak dalam Undang-undang PPh adalah tahun takwim yaitu tahun yang dimulai dari tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember. <br />
Yang dimaksud dengan Obyek Pajak sebagai mana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, adalah: <br />
“Obyek PPh adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.” <br />
<br />
Oleh karena itu maka kejujuran dari wajib pajak sangatlah penting yaitu dengan cara melaporkan seluruh penghasilan yang merupakan objek PPh, kemudian menghitung berapa pajak yang semestinya dibayar dan melaporkannya ke Direktorat Jenderal Pajak. <br />
Salah satu indikasi keberhasilan pemungutan pajak pada suatu negara adalah adanya kepatuhan masyarakat (wajib pajak) untuk membayar pajak terutang yang menjadi kewajibannya tepat pada waktunya. Hal ini sangat diperlukan untuk menjamin tersedianya dana bagi negara yang berasal dari masyarakat dengan membayar pajak dalam rangka ikut serta dalam pembiayaan negara. Kewajiban membayar Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan berbagai mekanismenya, baik yang pembayarannya dilaksanakan sendiri oleh wajib pajak, maupun yang dilakukan dengan cara pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Kewajiban membayar sendiri pajak penghasilan oleh wajib pajak pada tahun berjalan, diatur dalam undang-undang tersebut pada Pasal 25 ayat (1) yaitu sebagai berikut:<br />
“Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:<br />
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagimana dimaksud dalam pasal 22; dan <br />
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,<br />
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.”<br />
<br />
Sebagai upaya preventif terhadap kemungkinan adanya pelanggaran atas ketentuan di atas, maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pepajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 14 ayat (1) memuat adanya sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, yaitu:<br />
“Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:<br />
a) Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;<br />
b) Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;<br />
c) Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga <br />
Kewajiban membayar Pajak Penghasilan pada tahun berjalan (PPh Pasal 25) sebagaimana disebut di atas merupakan kebijakan yang bertujuan untuk menghimpun dana pajak pada tahun berjalan. Kebijakan tersebut juga bisa dijadikan tolok ukur sejauh mana kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiaban perpajakannya. Hal ini dikarenakan pembayaran PPh Pasal 25 dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Berbeda halnya dengan pajak penghasilan lainnya yang pembayarannya dilakukan oleh wajib pajak pemotong dan/atau pemungut pajak seperti diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Pasal 21, 22 dan Pasal 23. Akan tetapi, kondisi ideal ini tidak selalu terjadi, karena ada pula wajib pajak yang berusaha untuk menghindari beban pajak yang dikenakan kepadanya. Menghadapi hal seperti ini diperlukan sikap tegas dari Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sebagai fiskus dengan menegakan hukum (law enforcement) sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku. <br />
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, fungisi pengawasan sekaligus pembinaan merupakan konsekuensi dari pemberian kepercayaan kepada wajib pajak. Oleh karena itu, selain fungsi pengawasan dan pembinaan yang harus dijalankan oleh pemerintah perlu juga dibarengi dengan upaya penegakan hukum (law enforcement) yang diwujudkan dalam pengenaan sanksi, tujuannya untuk mencapai tingkat keadilan yang diharapkan dalam pemungutan pajak. <br />
Penegakan hukum dalam self assessment system merupakan hal yang penting. Oleh karena dalam sistem perpajakan ini diharapkan adanya kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari wajib pajak. Karena tuntutan peran aktif dari wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, maka kepatuhan dari wajib pajak sangatlah penting. Sedangkan kepatuhan wajib pajak perlu ditegakkan salah satu caranya adalah dengan tax enforcement . Adapun pilar-pilar penegakakan hukum pajak (tax enforcement) di antaranya adalah pemeriksaan pajak (tax audit), penyidikan pajak (tax investigation), dan penagihan pajak (tax collection). <br />
Law enforcement di bidang perpajakan sangat diperlukan oleh karena masih adanya sebagian masyarakat yang enggan untuk membayar pajak yang menjadi kewajibannya. Penerapan undang-undang perpajakan dengan tegas tanpa pandang bulu terhadap setiap pelanggaran di bidang perpajakan diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran maupun bagi yang ingin melakukan pelanggaran. <br />
Akan tetapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak masih saja terdapat kendala, antara lain masih adanya sebagian masyarakat yang tidak mau membayar pajak oleh karena masih ada anggapan bahwa pajak merupakan beban sehingga selalu dicari upaya untuk menghindari pajak. Bermacam cara yang dilakukan oleh wajib pajak untuk tidak membayar pajak antara lain dengan menyembunyikan data atau juga dengan tidak melunasi utang pajak. Selain daripada itu, ada pula sebagian anggota masyarakat yang dengan sengaja tidak mau mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), meskipun dari segi penghasilan sudah memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (WP) dan memperoleh NPWP.<br />
Dalam implementasinya pemungutan pajak tidak semudah yang diharapkan meskipun dengan Self Assessment System Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri tetapi tetap saja ada sebagian masyarakat (wajib pajak) yag enggan untuk membayar pajak, termasuk pajak tahun berjalan. Selain itu ada pula pendapat yang mempersoalkan tentang ketentuan kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Masalahnya adalah besaran PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, setiap bulan pada tahun bejalan didasarkan pada perhitungan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun yang lalu, bukan atas dasar penghasilan pada tahun pajak berjalan. Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat dalam buku mereka yang berjudul: “Hukum Pajak dan Permasalahannya” mengatakan, bahwa:<br />
“Secara materiil/substansial, kaidah-kaidah hukum yang mengatur Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, sampai menjadi Surat Tagihan Pajak (STP), bertentangan dengan asas-asas hukum administrasi (pajak), karena peraturan perundang-undangan perpajakan menerapkan stelsel memungut pajak dengan sistem campuran. Padahal sistem nyata (riil) lebih sesuai dengan self assessment system sebagai penetapan pajak yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia dan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan masih dimungkinkan untuk itu.” <br />
<br />
Seperti diketahui bahwa dana yang diperlukan pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan harus selalu tersedia sepanjang tahun. Untuk itu diperlukan adanya instrumen dalam hal ini suatu peraturan tentang pemungutan pajak dengan cara wajib pajak melakukan sendiri pembayaran pajak setiap bulan atas penghasilan yang diperolehnya pada tahun berjalan. Untuk mencapai hal tersebut maka dibuatlah ketentuan tentang kewajiban membayar pajak penghasilan setiap bulan atas wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan yang dituangkan di dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. <br />
Oleh karena itu penulis mencoba untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diuraikan di atas, dengan judul: “PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN NEGARA DARI SUDUT SELF ASSESSMENT SYSTEM BERDASARKAN PASAL 25 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008”<br />
<br />
B. Perumusan Masalah<br />
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dalam penyusunan penulisan penelitian ini, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:<br />
a. Apakah Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan Self Assessment System sebagai sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia?<br />
b. Bagaimanakah peranan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagai upaya pengamanan penerimaan dari sudut self assessment system? <br />
c. Apakah penerbitan Surat Tagihan Pajak atas pelanggaran pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan norma norma pemungutan pajak yang adil? <br />
<br />
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.<br />
1. Tujuan Penelitian<br />
Sebagaimana diadakannya penelitian yang tentunya mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai, maka peneliti dalam usulan penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:<br />
a) Untuk mengetahui apakah Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan secara yuridis sesuai dengan self assessmen sebagai system sebagai system pajak yang diterapkan di Indonesia? <br />
b) Untuk mengetahui sejauh mana kesadaran wajib pajak membayar sendiri pajak tahun berjalan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai wujud partisipasi aktif secara sukarela selaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. <br />
2. Kegunaan Penulisan:<br />
Peneliti berharap bahwa penulisan penelitian ini kiranya dapat berguna untuk:<br />
a) Secara Teoritis<br />
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum pajak khususnya mengenai peraturan tentang pemungutan pajak dengan cara angsuran, seperti yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan;<br />
b) Secara Praktis<br />
Memberi kegunaan atau manfaat sebagai bahan informasi dan masukan bagi instansi terkait terutama pembuat kebijakan di bidang perpajakan. <br />
<br />
D. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual<br />
1) Kerangka Teoritis<br />
Pada prinsipnya tugas pemerintah suatu negara berusaha dan betujuan untuk dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk mencapai dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya yang sangat besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dijalankan yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi yang penting. Di negara-negara yang sudah maju, pajak sudah merupakan kebutuhan mutlak bagi pembiayaan keuangan negara. Tanpa pemungutan pajak bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh, lebih-lebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia atau negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi tubuh negara. <br />
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan “Benefit Approach” atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas filosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai pungutan yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan memaksa. Pendekatan manfaat (benefit approach) ini mendasarkan suatu falsafah: oleh karena ‘negara menciptakan manfaat’ yang dapat dinikmati oleh seluruh warga negara yang berdiam dalam negara tersebut, maka negara berwenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan. <br />
Bentuk manfaat yang bisa dinikmati oleh warga negara adalah: kesejahteraan, pelayanan umum, perlindungan hukum, kebebasan penggunaan fasilitas umum, seperti: lembaga lembaga pendidikan, rumah sakit, pusat kesehatan masyakat, pelabuhan, jalanan, jembatan, tempat-tempat hiburan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manfaat tersebut. Penyediaan jasa atau fasilitas-fasilitas umum tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri oleh perseorangan atau pun pihak swasta lainnya. Oleh karena itu negara tampil sebagai pelopor dalam mewujudkan atau menciptakan kesejahteraan untuk seluruh warganya. Pengadaan berbagai fasilitas umum tersebut di atas sudah tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karenanya diperlukan adanya kebijakan pemungutan pajak yang dipungut dari warga negara/masyarakat baik bersifat perseorangan maupun badan yang menurut ketentuan harus dikenakan pajak. Tentu saja pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara perlu landasan kebijakan dan untuk Indonesia dasar hukum dari pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara (pemerintah) terdapat dalam Undang-Undang 1945.pasal 23 ayat (2). <br />
Dalam pemungutan pajak terdapat sejumlah teori yang dapat digunakan oleh negara sebagai acuan guna memperkokoh dasar kebijakan pemungutan pajak terhadap masyarakat. Adapun teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan bagi negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan, adalah: <br />
1. Teori asuransi<br />
Menurut teori ini, negara dalam melaksanakan tugasnya mencakup pula tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu negara disamakan dengan perusahaan asuransi, dimana untuk mendapatkan perlindungan warga negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tidak ada pembelanya lagi, sebab tidak cocok dengan kenyataan. Sebagai misal yakni jika seseorang meniggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dalam assuransi. Di samping itu tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai perlindungannya terhadap pembayar pajak. <br />
2. Teori kepentingan<br />
Menurut teori ini pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya. Teori ini meskipun masih berlaku pada retribusi sukar pula dipertahankan, sebab seorang miskin dan penganggur yang memperoleh bantuan pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara, tetapi mereka justru tidak membayar pajak. <br />
3. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti<br />
Teori ini didasari pada faham bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak. Dengan sifat seperti itu maka negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.<br />
Kelemahan dari teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.<br />
4. Teori Daya Bali. <br />
Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak melainkan banyak melihat kepada “efeknya” dan memandang kepada efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. <br />
Menurut teori maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa menyelenggarakan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu.<br />
Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fugsi kedua dari pemungutan pajak, yakni fungsi mengatur. Menurut penganutnya, termasuk Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam ekonomi bebas maupun ekonomi perencanaan yang terpimpin/sosialis.<br />
Teori ini juga menekankan perlunya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara. <br />
5. Teori Daya Pikul/Teori Gaya Pikul<br />
Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari Wajib Pajak (individu-individu) jadi tekanan pada kemampuan masing-masing individu wajib pajak. Artinya bahwa keadilan dan kebenaran negara dalam memungut pajak dari warganya didasarkan pada kemampuan dan kekuatan setiap pribadi masyarakatnya, dan bukan pada besar kecilnya kepentingan tiap-tiap penduduk, seperti pada Teori Kepentingan. Kemampuan dan kekuatan dari pribadi dan suatu entitas yang membayar pajak merupakan kemampuan dan kekuatan untuk memperoleh penghasilan, harta, kekayaan dan konsumsi dengan tujuan dari itu adalah dapat menghidupi diri sendiri dan kemampuan untuk memikul beban kehidupan lainnya.<br />
Menurut Bohari Gaya pikul dalam pemungutan pajak dipengaruhi oleh oleh bermacam-macam komponen, terutama: <br />
1 Pendapatan;<br />
3. Kekayaan dan<br />
4. Susunan keluarga dari wajib pajak dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keadaannya.<br />
A.J. Cohen Stuart mengumpamakan daya pikul dengan sebuah jembatan, yang pertama harus dipikul adalah bobot jembatan itu sendiri baru kemudian dibebani dengan beban yang lain. Stuart berpendapat bahwa: <br />
“yang sangat diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan ke dalam daya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup sudah tersedia. Oleh karena hak manusia yang pertama adalah hak untuk hidup, maka sebagai anasir yang pertama yang harus diperhatikan adalah minimum kehidupan. Apabila kebutuhan minimum telah terpenuhi, barulah kewajiban membayar pajak dapat dibebankan kepadanya.” <br />
<br />
Pendapat yang hampir sama dengan redaksi yang berbeda dikemukakan oleh W.J de Langen yang mengatakan bahwa: <br />
“Daya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi yang mutlak, kebutuhan yang primer (biaya hidup yang sangat mendasar). Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada Negara (pajak) barulah ada, jika kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak yang pertama bagi manusia adalah hak untuk hidup, maka sebagai analisir yang pertama adalah minimum kehidupan (bestaans minimum).”<br />
<br />
Dari kelima teori pemungutan pajak seperti yang diuraikan di atas, tulisan ini menggunakan teori gaya pikul untuk menganalisis praktek pemungutan pajak pajak di Indonesia, khususnya tentang pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 25. Apakah teori tersebut aplikatif dalam sistem perpajakan di Indonesia. Bagaimana pula teori tersebut dikaitkan dengan sistem Self Assesment sebagai sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia. Pembahasan tentang ini akan diuraikan di bab lain. <br />
.Selain daripada itu, pemerintah selaku pemungut pajak perlu pula memperhatikan prinsip prinsip pemungutan pajak jangan sampai terkesan adanya arogansi kekuasaan dan penindasan serta kesewenangan penguasa. Suatu pemungutan pajak harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Adam Smith yang dianggap bapak aliran ekonomi klasik dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut “The four maxims” dengan uraian sebagai berikut: dengan uraian sebagai berikut: <br />
1. Equality (asas persamaan). Asas ini menekankan bahwa warga negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangan pada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di bawah perlindungan negara. Yang dimaksud dengan “keuntungan” di sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak. <br />
2. Certainty (asas kepastian). Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah dan cara pembayaran pajak. Dalam asa ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak. <br />
3. Convenience of payment (asas menyenangkan dalam pembayaran). Pajak seharusnya dipungut pada saat yang tepat, saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak yakni pada saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan yang bersangkutan; Pajak Bumi dan Bangunan bagi petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang, waktu panen.<br />
4. Low Cost of Collection (asas efisiensi). Asas ini dimaksudkan agar pemungutan pajak dilakukan sehemat-hematnya, jangan sampai biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara.<br />
Dari beberapa prinsip atau asas dalam pemungutan pajak di atas maka prinsip keadilan merupakan prinsip yang utama. Dengan prinsip keadilan atau equality dalam pemungutan pajak diharapkan masyarakat wajib pajak dapat berpartisipasi secara aktif dan sadar untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara proporsional sesuai kemampuannya masing-masing.<br />
Sistem perpajakan dapat dikatakan adil apabila ada perlakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam situas, level ekonomi yang sama. Apabila penghasilan yang diperoleh sama, maka akan dikenakan pajak dengan jumlah yang sama. Hal tersebut dikatakan sebagai keadilan secara horizontal (horizontal equity). Sebaliknya, memberikan perlakuan yang berbeda terhadap orang atau badan yang berada dalam keadaan ekonomi yang berbeda tingkatannya. Apabila penghasilan yang diperoleh masing-masing individu berbeda, maka akan dikenakan jumlah pajak yang berbeda berdasarkan kepada tingkat penghasilan seseorang. Semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus ditanggungnya, sebaliknya semakin kecil penghasilan seseorang maka jumlah pajak yang dibayarnya tentu lebih kecil, bahkan untuk Wajib Pajak orang pribadi bisa tidak kena pajak, karena ada batas minimum pengenaan pajak. Keadilan seperti ini lebih dikenal sebagai keadilan secara vertikal (vertical equity). <br />
Untuk memenuhi asas keadilan, khususnya keadilan vertikal maka dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan tarif umum PPh sebagai mana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh dibuat berjenjang yang disebut dengan tarif progresif. Hal ini dimaksudkan supaya ada rasa keadilan bagi pembayar pajak, yaitu antara Wajib Pajak yang berpenghasilan lebih kecil dengan Wajib Pajak yang berpenghasilan besar. Dengan tarif seperti ini maka wajib pajak berpenghasilan besar akan membayar pajak lebih besar. Seperti halnya dengan sumbangan, tentunya orang kaya diharap menyumbang lebih besar dibandingkan dengan orang yang kehidupannya sederhana, keuangannya sedikit. Hal ini wajar dan proporsional, justru kalau sama ada perasaan tidak adil.<br />
Pelaksanaan pajak tidak terlepas dari teknik pemungutan pajak itu sendiri. AJ. Adriani membagi teknik pemungutan pajak menjadi tiga, yaitu: <br />
1. Wajib Pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang;<br />
2. Ada kerjasama antara wajib pajak dengan fiskus;<br />
3. Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang.<br />
Sedangkan dalam literatur yang terbaru, sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi sebagai berikut: <br />
1. Official assessment system, adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. <br />
2. Semi self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang.<br />
3. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi.wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan , menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. <br />
4. With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. Ide pemungutan pajak dengan cara ini pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1943 dalam rangka mempercepat pengumpulan atau pemungutan pajak selama Perang Dunia II. Karena terbukti efisien dan efektif, sistem withholding ini dengan cepat diadopsi oleh negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.<br />
<br />
2. Kerangka Konseptual<br />
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak langsung yang dipungut oleh Pemerintah Pusat (sebagai Pajak Negara) berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapakali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Sebagai pajak langsung maka pajak penghasilan menjadi beban atau tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan. Disebut pajak langsung karena pajak tersebut langsung dikenakan kepada wajib pajak yang menerima penghasilan dan kewajiban ini tidak dapat dibebankan kepada pihak lain. Terwujudnya pemungutan pajak penghasilan disyaratkan oleh adanya dua unsur yaitu: syarat pertama, adanya subyek pajak yang menerima penghasilan. Syarat yang kedua adalah adanya obyek pajak, dalam hal ini penghasilan (penghasilan yang merupakan obyek pajak). <br />
Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pada dasarnya dapat dilakukan selama tahun pajak (tahun pajak berjalan) dan pada akhir tahun pajak, sebelum penyampaian SPT Tahunan. Pembayaran pajak selama tahun pajak dapat melalui pihak lain (dipungut atau dipotong) dan disetorkan oleh Pemberi Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 21, 22, 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan terakhir dengan Undang Nomor 36 tahun 2008 dan pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 serta pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (sebagai angsuran) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai mana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. PPh Pasal 25 harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam jumlah yang sama besar selama satu tahun pajak, selambat lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.<br />
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Subyek pajak penghasilan adalah mereka yang secara obyektif berkewajiban untuk membayar atau dikenakan pajak penghasilan. . Adapun obyek dari pajak penghasilan adalah penghasilan (penghasilan yang merupakan obyek pajak).<br />
Pasal 4 ayat (i) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menegaskan bahwa yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu: <br />
“Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun”.<br />
<br />
Berdasarkan redaksi dari pasal 4 ayat (1) di atas maka seluruh penghasilan tersebut berpotensi untuk dijadikan dasar perhitungan pajak terutang dalam tahun pajak ketika penghasilan itu diterima, ketika saat diterima. Selain daripada itu bila melihat dari redaksi pasal 4 ayat (1) di atas jelas untuk menghitung pajak penghasilan maka seluruh penghasilan yang diterima, baik dari dalam maupun luar negeri (World Wide Income). harus dihitung terlebih dahulu, baru kemudian dihitung berapa besar pajak terutang yang harus dibayar. <br />
Demikian pula PPh Pasal 25 yang merupakan angsuran bulanan pada tahun berjalan. Oleh karena dasar perhitungannya adalah berdasarkan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun sebelumnya maka tentunya SPT PPh tersebut sudah seharusnya mencantumkan seluruh penghasilan yang merupakan obyek PPh dan berapa pula PPh yang sudah dipotong dan atau dipungut oleh pihak ketiga yang merupakan kredit pajak, (dapat dikreditkan) untuk diperhitungkan kembali pada akhir tahun, ketika Wajib Pajak menyusun SPT PPh. <br />
Dalam pemungutan pajak di Indonesia telah dicoba berbagai sistem pemungutan pajak seperti sistem official assessment atau semi official assessment yang tujuannya agar dapat menghimpun dana pajak semaksimal mungkin bagi kepentingan negara dan agar pemerintah dapat menjalankan roda pemerintahan sebaik baiknya. Pelaksanaan official assessment system telah berakhir pada tahun 1967 yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944. Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925 dengan Tata Cara MPS dan MPO. Dalam official assessment system, fiskus mengeluarkan “Surat Ketetapan Sementara” pada awal tahun, yang kemudian dikeluarkan lagi “Surat Ketetapan Pajak Rampung” pada akhir tahun pajak untuk menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya terutang. <br />
Tahun 1968 sampai dengan 1983 masih menggunakan sistem semi self assessment dan withholding dengan tata cara yang disebut Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang (MPO). Barulah pada tahun 1983 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-undang KUP) yang mulai berlaku pada 1 Januari 1984. Penggunaan konsep Self Assessment System dalam pemungutan pajak di Indonesia secara tegas dimuat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 angka 3 huruf c, sebagai berikut:<br />
“anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitug, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.” <br />
<br />
Sistem self assessment mengandung beberapa hal penting yang diharapkan ada pada pihak Wajib Pajak, yaitu:<br />
1. Kesadaran pajak dari wajib pajak;<br />
2. Kejujuran Wajib Pajak;<br />
3. Wajib pajak memiliki hasrat untuk membayar pajak<br />
4. Disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan pajak. Sehingga pada waktunya WP dengan sendirinya memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang dan peraturan-peraturan di bawahnya, seperti membayar pajak pada waktunya, memasukkan SPT pada waktunya dan sebagainya.<br />
<br />
E. Asumsi<br />
Pada dasarnya tidak ada orang yang rela untuk membayar pajak, karena tidak ada kontra prestasi secara langsung yang didapat dari pajak yang dibayarnya. Potensi untuk bertahan atau menghindar terhadap pembayaran pajak sudah melekat pada diri wajib pajak seperti asumsi Leon Yudkin yang mengatakan: <br />
a) wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin, sepanjang usaha itu dimungkinkan oleh ketentuan perundang-undangan perpajakan;<br />
b) wajib pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax avasion) yaitu usaha penghindaran pajak secara illegal, sepanjang wajib pajak tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan, bahwa akibat dari perbuatannya tersebut kemungkinan besar mereka tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa rekan-rekannya melakukan hal yang sama.<br />
Dari asumsi yang dikemukakan oleh Leon Yudkin tersebut maka sikap tegas fiskus sangat diperlukan untuk memberi sanksi kepada para wajib pajak yang “nakal” dalam rangka law enforcement dan juga agar wajib pajak yang sudah patuh tidak ikut terpengaruh. <br />
Untuk menghadapi wajib pajak yang tidak melakukan kewajiban pajaknya dengan benar tindakan tegas sangat diperlukan, seperti melakukan pemeriksaan dan/atau penyidikan. Dengan demikian tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak membayar pajak yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ahli perpajakan yang mendukung terhadap ditetapkannya pajak sebagai sesuatu yang benar dan dapat dipaksakan adalah Oliver Wendell Colmes (Amerika Serikat), yang berpendapat bahwa “ taxes are the price we pay for civilization,” (bahwa pajak merupakan harga yang dibayar untuk suatu peradaban). Dari pendapatnya tersebut menunjukkan bahwa Oliver membenarkan adanya pungutan pajak sebagai sesuatu yang harus dilakukan untuk memajukan suatu negara. <br />
Benyamin Franklin merupakan orang Amerika Serikat lainnya yang berpendapat bagaimana pajak merupakan sesuatu yang penting dan selalu ada dalam kehidupan manusia dengan ungkapannya “nothing is certain but tax and dead,” bahwa tidak ada seorangpun yang tidak akan tersentuh oleh pajak dan kematian. <br />
Dengan asumsi bahwa tidak ada orang yang mau dengan sukarela untuk membayar pajak oleh karena tidak ada kontra prestasi secara langsung yang diperolehnya maka diperlukan adanya sanksi yang tegas atas pelanggaran terhadap ketentuan perpajakan. Oleh karena itu dalam hal pemungutan pajak di Indonesia untuk kesejahteraan bersama, dalam rangka law enforcement maka sikap tegas dari fiskus untuk memberikan sanksi terhadap wajib pajak atas setiap pelanggaran yang dilakukannya merupakan suatu keniscayaan.<br />
Bila Leon Yudkin berasumsi bahwa Wajib selalu berusaha untuk menyelundupkan pajak dan andaikan membayar maka diupayakan pembayaran tersebut sekecil mungkin. Maka Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang mengharuskan Wajib Pajak membayar Pajak Penghasilan secara angsuran, maka besaran angsuran tersebut juga didasarkan atas asumsi dimana perhitungannya didasarkan atas laporan SPT PPh tahun sebelumnya. Diasumsikan penghasilan Wajib Pajak pada tahun di muka sama besarnya dengan penghasilan tahun sebelumnya. <br />
Keberhasilan self assessment system sebagai konsep pemungutan pajak, dapat diukur dari jumlah pembayaran pajak penghasilan pasal 25 terhadap keseluruhan penerimaan pajak penghasilan dalam satu tahun. Oleh karena pembayaran PPh Pasal 25 dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Berbeda dengan beberapa jenis pajak penghasilan yang lainnya yang pembayarannya melalui pemotongan dan atau pemungutan oleh pihak ketig, seperti PPh Pasal 21,22 dan 23. <br />
<br />
F. Metode Penelitian <br />
Dalam suatu karya ilmiah. Metode penelitian merupakan suatu hal yang penting, demikian pula dengan penulisan penelitian ini digunakan langkah-langkah sebagai berikut:<br />
1. Metode Pendekatan<br />
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan secara yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji, menguji dan menelaah aspek hukum dalam pemungutan pajak, khususnya Pajak Penghasilan lebih khusus lagi mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25)<br />
2. Spesisifikasi Penelitian<br />
Spesisifikasi penelitian dalam usulan penelitian ini, adalah termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, tetapi juga peraturan dalam hukum mengenai pajak, selanjutnya menjelaskan asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum mengenai implementasi dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak penghasilan pasal 25.<br />
<br />
3. Tahap Penelitian<br />
Tahap penelitian kepustakaan, maksudnya adalah untuk memperoleh data sekunder yang dapat berupa bahan hukum primer, seperti perundang- undangan (Undang-Undang No. 6Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Peradilan Pajak) dan data lain yang berhubungan dengan usulan penelitian ini. Selain itu juga ditunjang dengan bahan hukum sekunder seperti karya-karya ilmiah dan pendapat para ahli. Penulisan ini dimaksudkan untuk mencari landasan teoritis atau yuridis juga informasi-informasi yang berhubungan dengan topik penelitian;<br />
4. Teknik Pengumpulan Data<br />
Sesuai dengan tahap penelitian tersebut di atas, maka data yang diperoleh menggunakan teknik studi dokumen, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berupa perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian, di samping itu dilakukan pula wawancara dengan nara sumber lainnya;<br />
<br />
<br />
5. Analisis Data<br />
Akhirnya data yang telah diperoleh, dianalisa dengan menggunakan metode analisa normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif. Sedangkan kualitatif yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara uraian kalimat, sehingga tidak mempergunakan rumus maupun angka-angka. <br />
<br />
G. Sistematika Penulisan <br />
Pada bagian ini penulis akan menguraikan sistematika penulisan dengan maksud mempermudah penulisan dan pembahasan selanjutnya.<br />
Bab I Pendahuluan<br />
Dalam bab pertama ini penulis mencoba menguraikan Latar Belakang Masalah, Penelitian Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian dan diakhiri dengan Sistematika Penulisan.<br />
Bab II Tinjauan Pustaka Pajak Di Indonesia<br />
Dalam bab ini diuraikan tentang Pengertian dan Fungsi Pajak Dalam Penyelenggaraan Negara, pengertian dan Kedudukan Hukum Pajak di Indonesia, Asas-Asas dan Teori-Teori Pemungutan Pajak serta Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia <br />
<br />
Bab III Pajak Sebagai Sumber Utama Penerimaan Negara<br />
Dalam bab ini diketengahkan tentang Subyek dan Obyek Pajak, Pajak Penghasilan Sebagai Pajak Yang Potensial dan Sistem Pemungutannya, serta Menghitung Pajak Penghasilan<br />
Bab IV Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 25 Sebagai Upaya Pengamanan Penerimaan Negara Dari Sektor Pajak Dari Sudut Self Assessment System<br />
Pada bab ini diuraikan tentang Ketentuan yang Menjadi Dasar Pemungutan PPh Pasal 25, PPh Pasal 25 Dari Sudut Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dan Tinjauan Yuridis Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam Pemungutannya<br />
Bab V Penutup<br />
Bab ini merupakan bab penutup dari tulisan ini yang berisikan Kesimpulan penulis tentang tulisan ini dan saran yang diharapkan penulis bisa digunakan bagi perbaikan sistem perpajakan di Indonesiahttp//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-33175650190806154372011-02-26T17:51:00.000-08:002011-02-26T17:51:18.182-08:00TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TENTANG PERKAWINAN YANG DI LAKUKAN OLEH SYEH PUJI DAN ULFATINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TENTANG PERKAWINAN YANG DI LAKUKAN OLEH SYEH PUJI DAN ULFA<br />
Matakuliah Sosiologi Hukum<br />
Tugas Kelompok V Kelas B/MA<br />
Oleh : Yuhendra ( 71010161 )<br />
: M. Ikhsan ( 71010158 ) <br />
: Asep Darajat ( 7110123 ) <br />
Dosen : Prof Dr H Zainudin Ali, MA.<br />
<br />
A. Latar belakang masalah<br />
Hukum Positif indonesia mengatur tentang Pernikahn yang tertuang di dalam UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah ikatan Lahir bathin antara seseorang Pria dengan seseorang Wanita sebagai Suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa “ Bagi pernikahan tersebut tentu harus dapat di perboleh kan bagi mereka yang telah memenuhi batasan usia tuk melangsungkan Pernikahan seperti dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 ayat 1 tertera bahwa batasan usia tuk melangsungkan Pernikahan itu Pria sudah berusia 19 tahun ( sembilan belas )tahun dan Wanita sudah mencapai usis 16 tahun ( enam belas )tahun secara eksplisit ketentuan tersebut di tegas kan bahwa setiap perkawinan atau Pernikahan yang di lakukan oleh calon Pengantin yang Pria nya belom berusia 19 tahun atau wanitanya 16 tahun di sebut sebagai Pernikahan di bawah Umur. bagi pernikahan di bawah umur yang belum memenuhi batas usia pernikahan pada hakekat nya <br />
di sebut masih berusia muda ( anak-anak ) yang di tegaskan dalam <br />
__________<br />
1 Undang-Undang, No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.<br />
UU Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat 2 UU NO 23 tahun 2002 Bahwa Anak adalah seseorang yang belom berusia 18 ( delapan belas )tahun di kategorikan masih k<br />
anak-anak, juga termasuk anak yang masih di dalam kandungan. apabila melangsung kan pernikahan tegas di katakan adalah Pernikahan anak di bawah Umur.<br />
dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak si anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai Remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang di garas bawahi agama. kalau anak baerusia muda tersebut bisa di katakan kekerasan dan dikriminasi terhadap anak-anak seperti yang di katakan pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23 tahun 2002 tersebut. jelas bagi orang tua berkewajiban ntuk mencegah adanya Perkawinan pada usia muda.<br />
<br />
Di tinjau dari Perkawinan yang di lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias syeh Puji dan anak di bawah umur ( Luthfiana Ulfa ) yang telah di jatuhi putusan Sela nomor 233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah pada tanggal 13 oktober 2009 Batal demi hukum. karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi sarat yang ada pada pasal 143, ayat (2) huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan posisi terdakwa melakukan persetubuhan terhadap korban.<br />
Sementara itu dari pihak kejaksaan Tinggi jawa tengah dalam hal ini Jaksa Suningsih selaku jaksa penuntut umum menyatakan bahwa dakwaan tidak harus detail dan Vulgar, yang penting mengungkap pidana nya, karena disana ada konteks dalam hal perlindungan anak justru bukan dalam hal Pornografi yang harus secara detail di terangkan di muka majelis. dan dalam hal perkawinan ini tidak mungkin harus di terangkan secara detail persetubuhan yang di lakukan terdakwa karena terdakwa menolak untuk memberikan keterangan secara rinci. Tapi timbul di saat putusan akhir dari kasus perkawinan antara syeh puji dan Ulfa dalam amar putusannya majelis hakim memvonis syeh Puji 4 tahun penjara. dan menyatakan pernikahan antara Syeh Puji dan Ulfa tidak sah dalam Hukum negara.Juga di dalam Penolakan Perkawinan di usia muda yang di lakukan oleh syeh Puji kepada anak di bawah umur ( Ulva ) ini. Penolakakan juga datang dari berbagai Aktifis-aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek Materil dan Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan oleh syeh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam hal keputusan Hakim ( ERENSDH WETBLOG ) dan dalam pelaksanaan putusan sering di temukan di mana pelaku perkawinan dini itu <br />
masih menghirup bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.<br />
___________<br />
2. Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2 Tentang Perlindungan anak.<br />
<br />
B. Perumusan Masalah<br />
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh syeh puji ini seharus nya syeh puji di jatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda 60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara. korban dari perkawinan di usia muda ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun belom cukup umur. pada kasus syeh puji ini seharus nya ulfa di kembalikan kepada orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam pernikahan di bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara agar mendapat pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau masih berada di tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh syeh Puji.timbul pertanyaaan dari penulisan tugas ini yang jadi permasalahan antara lain :<br />
<br />
a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan disaat anak masih belum<br />
belum cukup umur ? <br />
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan <br />
antara Syeh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ? <br />
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada syeh puji <br />
hanya 4 tahun penjara? <br />
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?<br />
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu <br />
tindakan kriminal?<br />
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk <br />
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di <br />
bawah umur.<br />
<br />
C. Faktor yang mendorong terjadinya Penikahan dini.<br />
Di indonesia pernikahan di usia muda terjadi hampir merata walaupun sangat tinggi,tidak ada data yang akurad, di perkirakan pasangan usia dini terdapat 35% kasus dari 2 juta pasangan yang melangsungkan pernikahan. di tinjau dari Hukum Islam yang tertuang dalam ALQUR’AN dan hadist QS, an-Nur (24):(32) dan di terang kan dalam hadis nabi yang di riwayatkan oleh al-bukhori : 4776 dan riwayat muslim 1401. sementara di dalam hadist tersebut tidak menentukan batasan umur seseorang untuk melaksanakan pernikahan. tapi harus di tegaskan adanya kedewasaan seseorang untuk melakukan pernikahan agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan. tapi sering kali timbul kontroversi menyangkut batasan kedewasaan seseorang untuk di perbolehkan menikah. di dalam Hukum Positif indonesia ( UU Perkawinan, KUHP dan UU Perlindungan anak ) memeng tidak di tegaskan secara rinci sanksi Hukum terhadap pernikahan yg di lakukan pada usia muda. sedangkan di dalam pasal 26 UU Nomor 23 tahun 2002 di wajibkan kepada orang tua atau keluarga nya untuk mencegah terjadi nya adanya perkawinan pada usia muda. walaupun demikian tindakan perkawinan pada usia muda tidak serta merta di pandang sebagai tindakan kriminal.<br />
Di indonesia ini dengan berbagai macam adad,budaya dan tradisi menganggap bahwa perkawinan di usia muda itu sebagai tindakan yang biasa di lakukan. Kita ambil contoh di desa sebagian dari Propinsi Sumatera Barat tidak melarang adanya perkawinan di usia muda karena adanya kepercayaan “ Seseorang anak wanita yang sudah mengalami menstruasi maka harus cepat-cepat di nikahkan “ apa lagi kalau sudah ada pria yang menginginkan nya. sebab kalau tidak segera di nikah kan di kawatirkan si anak wanita tersebut kalau tidak di nikahkan segera di kawatirkan akan susah tuk mendapatkan jodoh, akan ada malapetaka yang akan di dapat oleh si anak wanita tersebut dengan kepercayaan mistis seperti gila. dan kebanyakan orang tua akan segera menikahkan anak wanita nya dengan segera dari pada nanti akan mendapatkan malapetaka terhadap anak wanita nya. di tinjau dari segi sosial masyarakat yang mendorong sikap apatis terhadap pernikahan dini tersebut di tekankan pada faktor rendah nya pendidikan dan tingkat perekonomian juga kurang nya informasi bahwa pernikahan dini tersebut tidak boleh di laksanakan. sementra kalau di tinjau dari segi pergaulan pada remaja perkawinan dini biasanya orang tua akan mengambil kesimpulan untuk menikahkan pasangan di bawah umur agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan yang mungkin terjadi pada pasangan anak muda yang melakukan hubungan pergaulan bebas di era reformasi seperti sekarang ini.(Sex Bebas) yang memungkinkan remaja sekarang akan hamil sebelum menikah.<br />
Pada perkawinan yang di laksanakan oleh syeh puji dengan anak di bawah umur itu sebenar nya wajar di lakukan pada sebagian daerah, tapi ada hal yang menjadi perhatian publik dan juga mungkin bisa berlanjut pada kasus Hukum.<br />
Di lihat dari beberapa hal yang terjadi pada pernikahan yang di lakukan oleh syeh puji tersebut ada beberapa faktor terjadinya pernikahan pada usia dini : (1) Culture dan attitude dalam masyarakat yang masih resisten terhadap pernikahan dini yang memunkin kan penonjolan harta kekayaan syeh puji terhadap ulfa. (2) adanya penafsiran dari kiyai dan pemuka agama untuk melaksanakan pernikahan di pada usia muda itu biasa dilakukan.<br />
Pemerintah dalam hal ini hukum positif yang berlaku di indonesia bahwa UU perkawinan memberikan toleransi bagi masyarakat yang batas usianya belom mencukupi untuk melaksanakan pernikahan dengan cara mendapatkan dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditetap kan oleh kedua orang tua calon perkawinan di usia muda tersebut tuk mendapatkan proses dan nasehat sebelum pernikahan di lansungkan.<br />
<br />
D. Kesimpulan<br />
Perkawinan pada dasar nya merupakan fitrah yang di berikan oleh ALLAh SWT. dan juga pada setiap agama di anjurkan untuk meneruskan keturunan dalam kelangsungan hidup manusia. namun walaupun bagai mana pernikahan yang di lakukan pada usia muda memiliki banyak hal yang di kewatirkan pada usia muda tersebut, yang bisa menimbulkan perceraian dalam pernikaha tersebut, akan bisa terjadi persedian buruk pada wanita di bawah umur yang secara biologis belum dewasa dan juga terputusnya peluang tuk mencapai segala yang di cita-citakan.<br />
<br />
DAFTAR ACUAN.<br />
<br />
UU NO 1 Tahun 1974. Tentang Perkawinan<br />
Ulasan Kompas Tanggal 18 Oktober Tahun 2009 Tentang Perkawinan Di Usia Dini.<br />
Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Ungaran NO 233/Pid/B/2009/PN. Tanggal 13 Oktober <br />
Tahun 2009 Tentang Putusan Sela Yang Menyatakan Batal Demi Hukum.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-66482955143350397082011-02-26T17:47:00.000-08:002011-02-26T17:47:12.040-08:00Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap UU No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Marital Rape )Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap UU No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Marital Rape )<br />
<br />
Oleh : Yuhendra.<br />
NIM : 71010161. ( Kelas B/MA )<br />
Dosen : Prof Dr H Zainudin Ali, Ma.<br />
<br />
A. Latar Belakang.<br />
Kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) bagaikan siklus yang sulit untuk di hentikan, Pelaku bisa menyesal karena perbuatannya, namun tak jarang kekerasan yang berbasis gender ini selalu dari waktu ke waktu terus meningkat, salah satu penyebab terjadi nya kekerasan di dalam rumah tangga ini bisa terjadi karena faktor Budaya patriaki. serta juga di lihat dari nilai masyarakat nya yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cendrung yang selalu di salahkan adalah perempuan. Perlu di ketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT ) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama Perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, Seksual, Psikilogis, atau Penelantaran Rumah Tangga, Yang menpunyai ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan Hukum dalam lingkungan rumah tangga” ( Pasal 1 ayat 1 )<br />
Mengingat Undang-Undang tentang KDRT merupakan hukum Publik, privat maupun administratif. yang di dalam nya ada ancaman Pidana Penjara atau Denda bagi yang melanggarnya, kebanyakan dari korban Kekerasan dalam Rumah Tangga ini biasanya memilih penyelesaiannya secara Privat ( Perdata ) dengan cara Percaraian. yang siap menghadapi suatu dilema sebagai predikat janda dan selalu mendapat sorotan Negatif dari penilaian masyarakat. maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga ( KGRT ). adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga dalam UU no 23 Tahun 2004 ini adalah : <br />
Suami, Isteri, dan Anak, termasuk anak angkat dan anak Tiri. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Suami, istri yang tinggal menetap dalam rumah tangga seperti mertua, menantu,ipar dan besan. Orang-orang yang bekerja atau membantu dalam rumah tangga dan menetap tinggal dalam Rumah tangga seperti Pembantu Rumah tangga Pasal 2 UU No 3 Tahun 2004 ) ini pun mungkin terjadi kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap anggota keluarga yang jelas-jelas pelanggaran terhadap Hak azazi manusia dan martabat kemanusian serta bentuk diskriminasi. <br />
<br />
Dalam Pasal 5 UU No 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup suatu Rumah Tangga melakukan kekerasan seperti :<br />
1.Kekerasan Fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.<br />
2.Kekerasan Psikis yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemammpuan untuk bertindak,rasa tidak berdaya dan lain-lain.<br />
3.Kekerasan Seksual yang berupa pemaksaan seksual dengan cara yang tidak wajar baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersil atau tujuan tertentu.<br />
4.Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut Hukum di wajibkan atasnya untuk memberikan kehidupan yang layak atas rumah tangga nya sendiri.<br />
Dari definisi tersebut terlihat UU ini semata-mata tidak hanya melindungi kepentingan perempuan dewasa saja tetapi juga untuk mereka yang tersubordinasi, seperti juga laki-laki yang dewasa maupun masih anak-anak juga dapat perlundungan dari UU kekerasan dalam rumah tangga ini. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga, sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat di tuntut ke pada pelakunya antara lain:<br />
a. Perlindungan dari pihak keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokad,Lembaga sosial atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan. <br />
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.<br />
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian Korban.<br />
d. Pendampingan oleh pekerja sosial atau lembaga bantuan hukum.<br />
e. Pelayanan bimbingan Rohani.<br />
Laporan dari Komnas Perempuan menunjukan data kasus yang terus meningkat dari tahun ke tahun sebesar 3160 kasus pada tahun 2002 naik menjadi 5.163 kasus, lalu naik menjadi 7.787 kasus di tahun 2004, terahir terdapat 14.020 kasus. dan setiap tahun selalu cendrung meningkat, dan bahakn ada korban sampai buta, namun ironisnya kurang dari 2 persen yang bersedia membawa kasus kekerasan dalam Rumah Tangga ini ke Pengadilan maupun melapor ke kantor Polisi. <br />
Bila ditinjau dari perspektif hukum, Pemerintah telah berupaya melindungi kaum perempuan dengan diratifikasi nya konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination All Form of Discrimination Against Woment ) melalui UU Nomor 7 tahun 1984 artinya secara yuridis Indonesia telah mengikatkan diri untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvensi wanita tersebut.<br />
Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan soaial dan lain nya. ( pasal 10 UU No 23 tahun 2004 Tentang PKDRT ) dan dalam undang-undang Penghapusan Kekekrasan Dalam Rumah Tangga Pemerintah mempunyai kewajiban untuk merumuskan kebijakan penghapusan KDRT. menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT, menyelenggaraan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT, menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan sensitif dan isu KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif, memberikan hak rasa aman, tentram, dan perlindungan dalam rumah tangga sebagai mana dambaan dalam setiap orang.<br />
Namun apabila korban menemukan kesulitan dalam penerapan Undang-undang NO 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut dapat meberikan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke Kepolisian ( Pasal 26 ayat 2 ). jika yang menjadi korban adalah seorang anak-anak laporan dapat di lakukan oleh orang Tua, Wali, Pengasuh, atau anak yang bersangkutan ( Pasal 27 ) adapun sanksi Pidana dalam Pelanggaran Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur dalam BAB VIII mulai dari Pasal 44 s/d Pasal 53. khususnya untuk kekerasan KDRT di bidang Seksual berlaku pidana minimal 5 tahun Penjara dan Maksimal 15 tahun Penjara atau 20 tahun Penjara atau Denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah ( Pasal 47 dan 48 UU PKDRT ) dan perlu juga untuk di ketahui bahwa pada umumnya Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukan hanya di tujukan kepada seorang Suami tapi juga bisa di tujukan ke pada seorang Isteri yang melakukan kekerasan terhadap Suaminya, Anak- Anak nya, keluarganya, atau Pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut.<br />
B. Permasalahan.<br />
Di lihat dari ulasan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan terhadap Undang-undang No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini ( UU PKDRT ) dapat untuk di terapkan pada masyarakat agar masyarakat mempunyai perlindungan Hukum terutama pada Wanita dan Pemerintah sangat di harapkan untuk mensosialisasikan undang-undang tersebut ke pada masyarakat ke seluruh wilayah indonesia ini. <br />
<br />
D. Penututup<br />
1. Kesimpulan<br />
Dapat diambil kesimpulan terhadap Penerapan Undang-undang No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan, yaitu manfaat dari undang-undang No 23 tahun 2004 ini dapat terjadi apabila kerja sama antara Pemerintah dan masyarakat bisa terjalin baik. sehingga dapat diambil manfaat nya oleh masyarakat indonesia seperti :<br />
1. Adanya perlindungan Hukum pada masyarakat terhadap kekerasan dalam Rumah Tangga.<br />
2. Terbentuknya jalinan baik dari masyarakat terhadap Pemerintah.<br />
3. Undang-undang yang berkenaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) memerlukan waktu baik bagi Pemerintah untuk mensosialisasikan undang-undan tersebut maupun bagi masyarakat. apa lagi Suami dalam Pimpinan Rumah Tangga merasa berkuasa terhadap keluarganya dan dari kaum wanita merasa ada pembatasan norma agama yang harus di jalanin untuk berhadapan dengan suami sebagai kepala rumah tangga nya sendiri. Pada hal dalam rumah tangga tersebut ada Hak dan Kewajiban masing-masing yang di atur oleh Agama. Dari berbagai hasil penelitian maupun laporan kasus dari lembaga-lembaga yang perduli terhadap perempuan menunjukan korban kekerasan dalam rumah tangga yang terus meningkat ini. Secara yuridis kesadaran dari semua pihat baik secara nasional maupun internasional suudah harus di realisasikan melalui sarana hukum.<br />
<br />
Daftar acuan.<br />
<br />
Undang-undang NO 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT )http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-22945459076443705892009-09-19T01:18:00.000-07:002009-09-19T01:23:31.670-07:00SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA PENJAJAHAN BELANDAOleh: Mellyinah, SH<br />Dosen Sejarah Hukum Univ Pakuan Bogor<br />Prof Dr H Zainuddin Ali MA<br /><br />A. Pendahuluan<br /><br />Pada waktu penjajah Belanda pertama kali menginjakan kakinya dibumi nusantara, negeri ini tidaklah gersang dari lembaga tata negara dan lembaga tata hukum. Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.<br />Pada umumnya pada masyarakat primitif pertumbuhan hukum privat dan hukum publik dalam dunia moderen, tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dari hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun didunia barat (termasuk Belanda). Tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.<br />Jadi lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat masyarakat primitif. Prancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu. Pada bagian belakang dapat dibaca bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia moderen sekarang ini.<br /> Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu totalitas. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan. Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis yang satu dari yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu.<br />Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digantungkan pada kekuasaan Tuhan. Didaerah Wojo dahulu dikenal cara pembuktian dengan membuat asap pada abu raja yang dianggap paling adil dan bijaksana (Puang ri Magalatung). Kemana asap itu mengarah pihak itulah yang dipandang paling benar. Sistem pemidanaannya pun sangat sederhana.<br /><br />Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht bagian X yang disebut juga :<br />1. Pengganti kerugian “immateriil” dalam pelbagi rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan<br />2. Bayaran “ uang adat “ kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani.<br />3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dan segala kotoran gaib<br />4. Penutup malu, permintaan maaf<br />5. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati<br />6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum<br /><br /><br />Dualisme Hukum<br /><br />Sebenarnya praktek dualisme hukum seperti yang diturut oleh penguasa-penguasa Belanda sejak awal pertama mereka merebut kedudukan di Kepulauan Nusantara ini pada mulanya lebih disebabkan oleh alasan-alasan yang bersifat oportunistik. Baru kemudian apa yang dipraktekkan itu secara berangsur menjadi lebih didasarkan kepada suatu politik hukum yang lebih disadari.<br />Dibayangi oleh praktek dualisme yang sampai batas tertentu dalam kenyataan masih terpaksa harus dipertahankan, langkah penataan organisasi peradilan yang bertolak dari kaidah-kaidah dasar yang tersebut dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en Het Beleid der Justitie masih tetaplah harus menjurus ke arah pemisahan peradilan, masing-masing untuk golongan penduduk Eropa dan yang dipersamakan dan untuk golongan penduduk Pribumi dan yang dipersamakan. Badan-badan peradilan pengadilan untuk dua golongan itu, berikut tata beracaranya (baik dalam perkara-perkara pidana maupun dalam perkara-perkara perdata), memang di atur dalam reglemen dan/atau kekuasaan perundang-undangan yang sama dan pula sama-saman mengadili “in naam des Konings”, namun jelas ditentukan dalam reglemen-reglemen itu badan-badan pengadilan mana saja yang akan khusus diperuntukkan untuk orang-orang pribumi dan badan-badan pengadilan mana pula yang pada dasarnya hanya akan diperuntukkan untuk orang-orang Eropa semata.<br />Menurut Reglemen op De Rechterlijke Organisatie, kekuasaan peradilan umum akan diserahkan kepada apa yang disebut Districtsgerecht, Rgentschapsgerecht, Landraad, Residentiegerecht, Raad van Justitie dan Hooggerechtshof dan juga masih dipercayakan kepada apa yang disebut Politierol dan Rechtbank van Ommegang (sebagai kelanjutan praktek peradilan yang lama). Dari sekian jumah macam Peradilan hanya peradilan-peradilan Residentiegerecht Raad van Justitie dan Hooggerechtshof sajalah yang dinyatakan berkewenangan mengadili orang-orang Eropa menurut hukum perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda. Jelas dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya keragaman dan dualisme dalam tata perdilan sebagaimana yang sudah dipaparkan adalah sebagai refleksi dari keragaman yang ada di dalam substansi hukum materiil sangat erat berkaitan dengan kebiasaan yang berkembang dalam praktek waktu-waktu yang lampau. Mengabaikan dan meniadakannya demikian saja sangatlah sulit, dan bahkan boleh jadi malahan tidak mungkin<br /><br />Berlakunya Asas Konkordansi <br />Ketentuan-ketentuan perundang-undangan Belanda menegaskan bahwa pada asasnya hukum yang berlaku di daerah jajahan untuk orang-orang Eropa berdasarkan asas yang disebut dengan asas Konkordansi adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda. <br />KUHAP yang dipandang produk nasional, bahkan ada yang menyebutkannya suatu karya agung, merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned strafvordering 1926 yang lebih moderen itu.<br />Dalam usaha menengok masa lampau itu kita terbawa oleh arus kepada perubahan penting perundang-undangan di negeri Belanda pada tahun 1838, pada waktu mana mereka baru saja terlepas dari penjajahan Prancis.<br />Pada waktu itu, golongan legis yaitu yang memandang bahwa semua peraturan hukum seharusnya dalam bentuk undang-undang sangat kuat. Berlaku ketentuan pada waktu itu bahwa kelaziman-kelaziman tidak merupakan, kecuali bilamana kelaziman tersebut ditunjuk dalam undang-undang ( aturan hukum yang hukum yang tertulis dan terbuat dengan sengaja ) Akan tetapi, ketika Codes Napoleon diberlakukan di negeri Belanda, hukum yang berlaku di Hindia Belanda masihlah tetap ordonansi-ordonansi dan instruksi-instruksi eksekutif serta maklumat-maklumat yang diundangkan secara lepas-lepas di dalam plakat-plakat<br />Pada tahun 1747 VOC telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalan, yang langsung memikirkan tentang “Javasche wetten” (undang-undang Jawa). Hal itu diteruskan pula oleh Daendels dan Raffls untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya. Tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut, maka usaha ini ditangguhkan.<br />Pada bulan Juli 1830, hanya selang beberapa hari sejak turunnya keputusan raja yang mengundangkan Kitab Undang-Undang Hukum perdata untuk negeri Belanda, raja memberikan instruksi kepada G.C. Hageman, seorang ahli hukum yang baru saja diangkat sebagai ketua Hoogerechtshof Hindia-Belanda untuk masa bakti 1830-1835 untuk mengkaji dan menyiapkan ususl-usul yang bersangkutan dengan introduksi hukum kodifikasi yang konkordan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Namun Hageman lebih banyak diam dan berpangku tangan saja daripada bekerja dengan alasan perundang-undangan baru di negeri Belanda belum berlaku. Karena tidak banyak pihak yang bersedia menerima dan membenarkan alasan Hageman membuar Hagemann mundur dari percaturan sejarah kodifikasi Hindia Belanda, sehingga membuak peluang untuk masuknya seorang pemerhati yang juga relawan yaitu seorang ahli hukm bernama scholten van Oud-Haarlem.<br />Scholten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di Hindia Belanda disamping jabatannya sebagai presidan Hooggerechtshof. Ia memangku jabatannya itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr P. Mijer, ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru itu di hindia Belanda.<br />Pada tanggal 30 April 1947, ketika kitab undang-undang Hukum Perdata dan kitab Undang-undang Hukum Dagang diundangkan dalam St. 1847 No. 23, banyaklah orang-orang mengakui bahwa pengundangan itu hasil kerja keras scholten van Oud-Haarlem dan anggota-anggota komisinya, baik yang bekerja di Hindia-Belanda maupun yang bekerja di Belanda.<br /><br />Unifikasi Hukum<br />Unifikasi adalah mudah dalam cita-cita dan rekaan ideal, tetapi terasa sulit dalam pelaksanaan. Lebih dari dua abad lamanya dualisme hukum telah dipertahankan berlakunya sehingga unifikasi untuk meniadakannya tidaklah mudah.<br />Sekalipun Scholten van Oud-Haarlem secara pribadi bukannya tidak mengenal cita-cita unifikasi, akan tetapi untuk mewujudkannya ia rupanya memerlukan waktu, dan merasa berkewajiban untuk selalu melangkah secara berhati-hati dan tidak mengejuti para pejabat administrator yng bertanggung jawab di jajaran-jajaran pemerintah kolonial. Adapun langkah kebijakan Scholten yang boleh diinterpretasi sebagai suatu manifestasi konservatisme untuk mempertahankan atau setidak-tidaknya untuk mengulur-ulur umur dualisme adalah perancangan yang dibuat olehnya(bersama komisi-komisi yang dipimpinnya) dan yang kemudian dimaklumatkan berdasarkan suatu Koninklijk Besluit sebagai Algemeene Bepalingen van Wetgeving. <br />Keputusan raja mengenai ketentuan-ketentuan umum perundang-undangan inimengandung 3 pasal yang boleh diperdebatkan dalam soal ini, ialah :<br />1. Pasal 5, yang menyatakan bahwa penduduk Hindia-Belanda dibedakan ke dalam golongan Eropa (beserta mereka yang dipersamakan dengannya) dan golongan pribumi (beserta mereka yang dipersamakan dengannya);<br />2. Pasal 9, yang menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (yang akan diberlakukan di Hindia-Belanda) hanya akan berlaku untuk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengannya; dan<br />3. Pasal 11, yang menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasaan orang-orang pribumi itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dan pula apabila terhadap orang-orang pribumi ditetapkan berlakunya hukum Eropa atau apabila orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan diri pada hukum Eropa.<br /><br />Puak pembela unifikasi mengatakan pasal-pasal tersebut hendak mengukuhkan praktek dualisme di tanah jajahan. Dan menurut puak pembela ide dualisme beranggapan khususnya pasal 9 AB sebagai pangkalan berpijak yang kukuh bagi para penyokong ide unifikasi untuk membuat langkah-langkah ofensif guna memperluas berlakunya hukum Eropa ke kalangan orang-orang pribumi, demikian rupa sehingga secara berangsur namun berkelanjutan akan dapat mengunifikasikan hukum di tanah jajahan ke dalam satu sistem yang tunggal berdasarkan tata hukum dan tata peradilan Eropa. <br /><br />Ada 2 upaya berdasarkan pasal-pasal yang telah disebutkan di atas, yaitu :<br />1. Upaya “yang kecil-kecilan” oleh para pencari keadilan bangsa pribumi secara individual yang dimungkinkan oleh hukum untuk membuat pilihan hukum. upaya ini disebut vriwillige onderwerping, yaitu suatu upaya hukum yang diberikan kepada orang-orang pribumi dalam bentuk suatu kesempatan untuk secara sukarela.<br />2. Upaya “yang besar-besaran” lewat wewenang Gubernur Jenderal untuk menerapkan peraturan perundang-undanganEropa tertentu (manakala dipandang perlu) ke golongan penduduk pribumi. Upaya ini disebut toepasselijk verklaring.<br /><br />Inlands Reglement Kemudian Herziene Inlands Reglement<br />Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 mei 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jendral tanggal 3 desember 1847 Sbld Nomor 57 ialah Inlands Reglement atau disingkat IR.<br /> Mr Wichers mengadakan beberapa perbaikan atas anjuran Gubernur Jendral, tetapi ia mempertahankan hasil karyanya itu pada umumnya. Akhirnya, reglemenn tersebut disahkan oleh Gubernur Jendral, dan diumumkan pada tanggal 5 april 1848, Sbld nomor 16, dan dikuatkan dengan firman Raja tanggal 29 september 1849 \nomor 93, diumumkan dalam Sbld 1849 nomor 63.<br />Dengan Sbld 1941 nomor 44 di umumkan kembali dengan Herziene Inlands Reglement atau HIR. Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR ialah dengan perubahan itu dibentuk lembaga openbaar ministerie atau penuntut umum, yag dahulu ditempatkan dibawah pamongpraja. Dengan perubahan ini maka openbaar ministerie (OM) atau parket itu secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondeelbaar) berada dibawah officier van justitie dan procureur generaal.<br /> Dalam praktek IR masih masih berlaku disamping HIR dijawa dan madura. HIR berlaku dikota-kota besar seperti jakarta (batavia), Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan lain-lain, sedangkan di kota-kota lain berlaku IR. Untuk golongan bumiputera, selain yang telah disebutkan dimuka, masih ada pengadilan lain seperti districhtsgerecht, regentshapsgerecht, dan luar jawa dan madura terdapatterdpat magistraatsgerecht menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil-kecil<br />Sebagai pengdilan yang tertinggi meliputi seluruh “Hindia Belanda”, ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya disebut arrest. Tugasnya diatur dalam pasal 158 Indische Staatsregeling dan RO<br /> <br />Badan Peradilan di Hindia Belanda (menurut Reglement op De Rechterlijke Organisatie 1847)<br />Badan peradilan tersebut antara lain :<br />1.Districtsgerecht<br />Adalah suatu badan pengadilan yang diselengggarakan di kawedanan-kawedanan untuk orang pribumi, dengan wedana (pejabat pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah Bupati) ertindak sebagai hakim dalam perkara-perkara perdata berkenaan dengan objek sengketa tak lebih dari 20 gulden, dan dalam perkara-perkara pelanggaran yang diancam pemidanaan denda setinggi-tingginya 3 gulden<br /><br />2. Regentschapsgerecht<br />Adalah suatu badan pengadilan yang diselenggarakan di kabupaten-kabupaten untuk orang-orang pribumi, dengan bupati atau wakilnya(patih) bertindak sebagai hakim.<br />3. Landraad<br />Adalah badan-badan pengadilan “sehari-hari” yang “normal” untuk orang-orang pribumi kebanyakan.<br />4. Rechtbank van Ommegang<br />Adalah juga suatu badan pengadilan untuk orang-orang pribumi yang telah dikenal pada zaman Raffles, disebut Court of Circuit pada waktu itu, dimana sistem juri ditiadakan. Sidangnya terdiri dari empat orang hakim pribumi yang berasal dari kepala-kepala masyarakat setempat yang diangkat oleh Gubernur Jenderal dengan pertimbangan-pertimbangan dari Hooggerechtshoff.<br />5. Rechtsspraak ter Politierol<br />Adlah suatu badan pengadilan untuk perkara-perkara sumir yang tidak masuk ke dalam yurisdiksi Landraad atau Rechtsbank van Ommegang.<br />6. Residentiegerecht<br />Adalah suatu badan pengadilan pemerintah kolonial yang secara eksklusif akan memeriksa dan memutusi dalam tingkat pertama perkara-perkara orang Eropa atau yang menjejaskan orang-orang Eropa, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana yang sifatnya ringan atau sederhana.<br />7. Raad van Justitie<br />Adalah badan pengadilan yang sebagai suatu lembaga peradilan untuk orang-orang Eropa, terbilang paling tua.<br />8. Hooggerechtshoff.<br />Adalah badan pengadilan yang berkedudukan tertinggi dalam hirarki peradilan kolonial, dan berkompetensi sebagai badan pengadilan kasasi untuk semua keputusan Landraad dalam perkara-perkara perdata dan badan pengadilan banding untuk keputusan-keputusan tingkat pertama yang dibuat oleh Raad van Justitie.<br /><br />Badan pengadilan yang pertama adalah badan-badan pengadilan yang menurut yurisdiksinya hanya akan kompeten mengadili orang-orang dari golongan rakyat pribumi, sedangkan tiga yang disebutkan terakhir adalah badan-badan pengadilan yang menurut yurisdiksinya hanya akan kompeten memeriksa dan memutusi perkara-perkara untuk golongan penduduk Eropa, dengan catatan bahwa Raad van Justitie juga bertindak sebagai pengadilan pada tingkat banding sedangkan Hooggerechtshoff juga bertindak sebagai pengadilan pada tingkat kasasi untuk perkara-perkara orang pribumi yang diadili oleh Landraad.<br />Kecuali delapan badan pengadilan yang disebutkan, di luar peradilan pemerintah kolonial masih ada pula badan-badan peradilan lain yang tidak terbilang peradilan pemerintah kolonial. Seperti pengadilan swapraja yang ada di dan dikelola oleh raja-raja, sultan-sultan, dan/atau pangeran-pangeran. Di teritori lain yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia-Belanda juga didapati berbagai ragam bentuk badan penyelesaian sengketa lain. Seperti misalnya yang lazim disebut Pengadilan Desa (Desa Rechtspraak).<br />Perkembangan Tata hukum di Indonesia Pada Masa Akhir Kekuasaan hindia Belanda<br />Sampai tiba saat runtuhnya kekuasaan kolonial, unifikasi hukum privat dan unifikasi lembaga-lembaga peradilan di Indonesia belumlah terwujud. Dualisme hukum dengan hukum Eropa yang telah terkodifikasi dan hukum adat yang sekalipun plural namun dicita-citakan pada sutu waktu akan dikodifikasikan tetap berjalan dan berlaku. Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan yang bermula pada tahun 1844 menurut pasal 109 Regeringsreglement 1854 tetap saja berlaku dan diteruskan sebagi pasal 163 Indische Staatsregeling 1925 yang berlaku sejak tahun 1925 itu sebagai pengganti Regeringsreglement 1854. Penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial ini mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-36106102993009230632009-09-19T01:15:00.000-07:002009-09-19T01:18:13.153-07:00SEJARAH PEGADAIAN SYARIAH DI INDONESIAOleh: Suci Rahayu<br />Dosen Sejarah Hukum di Univ. Pakuan Bogor<br />Prof Dr H Zainuddin Ali, MA<br /><br />LATAR BELAKANG <br />Gadai merupakan praktik transaksi keuangan yang sudah lama dalam sejarah peradaban manusia. Sistem rumah gadai yang paling tua terdapat di negara Cina pada 3.000 tahun yang silam, juga di benua Eropa dan kawasan Laut Tengah pada zaman Romawi dahulu. Namun di Indonesia, praktik gadai sudah berumur ratusan tahun, yaitu warga masyarakat telah terbiasa melakukan transaksi utang-piutang dengan jaminan barang bergerak.1) <br />Berdasarkan catatan sejarah yang ada, lembaga pegadaian dikenal di Indonesia sejak tahun 1746 yang ditandai dengan Gubernur Jendral VOC van Imhoff mendirikan Bank van Leening. Namun diyakini oleh bangsa Indonesia bahwa jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia telah mengenal transaksi gadai dengan menjalankan praktik utang piutang dengan jaminan barang bergerak. Oleh karena itu, Perum Pegadaian merupakan sarana alternatif pertama dan sudah ada sejak lama serta sudah banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Apalagi di kota-kota besar dan kecil di seluruh Indonesia. Namun banyak orang yang merasa malu untuk datang ke kantor pegadaian terdekat. Hal itu, menunjukkan bahwa pegadaian sangat identik dengan kesusahan atau kesengsaraan bagi seseorang yang melakukan transaksi gadai. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila yang datang ke kantor pegadaian pada umumnya berpenampilan lusuh dengan wajah tertekan. Namun, belakangan ini Perum Pegadaian mulai tampil dan membangun citra baru melalui berbagai media, termasuk media televisi, dengan motto barunya, “Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah”. 2) <br /><br /><br /><br /> ___________________<br />1)Lihat,www.voanews.com/indonesian/archive/2001-07/a-2001-07-13-10.efm. diakses pada 4 Januari 2007 <br />2) Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 9. <br />PEMBAHASAN.<br />I. Sejarah Hukum Gadai Syariah.<br />Pengertian Gadai Syariah, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.<br />(Gadai dalam fiqh disebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan. Menurut beberapa mazhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian. Penyerahan jaminan tersebut tidak harus bersifat aktual (berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal misalnya berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta jaminan. Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, harta yang dijadikan jaminan tersebut tidak termasuk manfaatnya. (Gadai syariah adalah produk jasa berupa pemberian pinjaman menggunakan sistem gadai dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam, yaitu antara lain tidak menentukan tarif jasa dari besarnya uang pinjaman)<br />Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda bergerak; sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.<br />Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150 di atas. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.<br /><br /><br />Pemerintah baru mendirikan lembaga gadai pertama kali di Sukabumi Jawa Barat, dengan nama Pegadaian. Pada tanggal 1 April 1901 dengan Wolf Von Westerode sebagai kepala Pegadaian Negeri pertama, dengan misi membantu masyarakat dari jeratan para lintah darat melalui pemberian uang pinjaman dengan hukum gadai. Seiring dengan perkembangan zaman, Pegadaian telah beberapa kali berubah status mulai sebagai Perusahaan Jawatan (1901), Perusahaan di bwah IBW (1928), Perusahaan Negara (1960), dan kembali ke Perjan di tahun 1969. Baru di tahun 1990 dengan lahirnya PP10/1990 tanggal 10 April 1990 sampai dengan terbitnya PP103 tahun 2000 Pegadaian berstatus sebagai Perum dan merupakan salah satu BUMN dalam lingkungan Departemen Keuangan Republik Indonesia hingga sekarang.<br />Terbitnya PP/10 tanggal 1April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian. Satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba. Misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.<br />Pada saat ini Pegadaian Syariah sudah berbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide pembentukan Pegadaian Syariah selain karena tuntutan idealisme juga dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah, maka Pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan Pegadaian Syariah atau Rahn lebih dikenal sebagai bagian produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.<br />Mengingat adanya peluang dalam mengimplementasikan Rahn/gadai syariah, maka Perum Pegadaian bekerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah melaksanakan Rahn yang bagi Pegadaian dapat dipandang sebagai pengembangan produk, sedang bagi Lembaga Keuangan Syariah dapat berfungsi sebagai kepanjangan tangan dalam pengelolaan produk Rahn. Untuk mengelola kegiatan tersebut, Pegadaian telah membentuk Divisi Usaha Syariah yang semula dibawah binaan Divisi Usaha Lain.)<br /><br />II. Landasan Hukum.<br />a. AL-Qur’an.<br />Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah(2), ayat 283.<br />“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang”.<br />Dalam Q.S. An-Nisa : 29 Allah SWT berfirman:<br />“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.<br />b. Hadis.<br />Dari Aisyah r.a., Nabi SAW bersabda:<br />“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya”. (H.R. Bukhri dan Muslim)<br />Dari Abi Hurairah r.a., Nabi SAW bersabda:<br />“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya”. (H.R. As-Syafi’i, Al-Daraquthni dan Ibnu Majah).<br />c. Ijtihad ulama.<br />Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadis itu dalam pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya. Demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.<br />d. Fatwa DN No. 25/DSN-MUI/III/2002.<br />e. Fatwa DSN No. 26/DSN-MUI/III/2002.<br /><br />III. Tujuan Berdirinya Pegadaian Syariah.<br />Sesuai dengan PP103 Tahun 2000 Pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan lainnya. Sejalan dengan kegiatannya, Pegadaian mengemban misi untuk:<br />a. Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah.<br />b. Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya.<br /><br />IV. Operasionalisasi Pegadaian Syariah.<br />Dalam operasionalnya, pengelolaan usaha gadai syariah ini diperlakukan sebagaimana pengelolaan sebuah perusahaan dengan sistem manajemen modern yang dicerminkan dari penggunaan azas rasionalitas, efisiensi, dan efektivitas. Ketiga azas ini harus diselaraskan dengan nilai-nilai Islam, sehingga dapat berjalan seiring dan terintegrasi dengan manajemen perusahaan secara keseluruhan.<br />Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong dan tidak untuk semata-mata mencari keuntungan. Sedangkan gadai menurut hukum perdata, disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan melalui sistem bunga atau sewa modal yang ditetapkan dimuka. Dalam hukum Islam tidak dikenal istilah “bunga uang”, dengan demikian dalam transaksi Rahn (gadai syariah) pemberi gadai tidak dikenakan tambahan pembayaran atas pinjaman yang diterimanya. Namun demikian masih dimungkinkan bagi penerima gadai untuk memperoleh imbalan berupa sewa tempat penyimpanan marhun (barang jaminan/agunan).<br /><br />V. Teknik Transaksi.<br />Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan atas dua akad transaksi syariah, yaitu:<br />a. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.<br />b. Akad Ijarah. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.<br />Rukun gadai tersebut antara lain:<br />- Ar-Rahin (yang menggadaikan). <br />- Al-Murtahin (yang menerima gadai). <br />- Al-Marhun (barang yang digadaikan). <br />- Al-Marhun bih (utang). <br />- Sighat, Ijab, dan Qabul. <br />Dari landasan syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut, melalui akad Rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan, dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.<br /><br />V. Tarif Ijarah<br />- Tarif ijarah dihitung dari nilai taksiran barang jaminan/marhun. <br />- Jangka waktu pinjaman ditetapkan 120 hari. <br />- Tarif jasa simpan dengan kelipatan 10 hari, satu hari dihitung 10 hari. <br /><br /><br />VII. Aspek Pendanaan.<br />Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian Syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai foundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerja sama dengan Lembaga Keuangan Syariah ini untuk memback up modal kerja.<br /><br />PENUTUP.<br /> Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam – tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Lembaga pegadaian saat in juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya. Sebagai ilustrasi seorang eksportir produk kerajinan membutuhkan dana cepat untuk memberikan modal kerja bagi para pengrajin binaannya. Maka bisa saja ia menggadaikan mobilnya untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah. Setelah produk kerajinannya jadi dan dieksport, iapun mendapat bayaran dari mitra luar negerinya, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuditas lancar, dan yang penting kepercayaannya dari mitra bisnis di luar negeri tetap terjaga. 3) <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />_____________________<br />3) Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 19.<br />DAFTAR PUSTAKA<br />Ali, Zainuddin. Hukum Gadai Syariah, cet.1. Jakarta: Sinar Grafika, April 2008.<br />Hamid, Arfin. Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) Di Indonesia, cet.1. Bogor: Ghalia Indonesia, Juli 2007.<br />www.republika.co.id<br />www.icmi.or.id<br />www.voanews.com/indonesian/archive/2001-07/a-2001-07-13-10.efm, diakses tgl 04 Januari 2007 <br />www.pacific.net.id , 23 February, 2009http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com44tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-29874159757380348532009-09-19T01:13:00.000-07:002009-09-19T01:15:23.344-07:00SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM PENJAJAHANOleh: Imam Subandi<br />Dosen Sejarah Hukum Univ. Pakuan Bogor<br />Prof Dr H Zainuddin Ali MA<br /><br />A. Sistem Hukum dan Peradilan pada masa Kerajaan <br /> <br /> Sebagaimana ajaran mazhab sejarah yang dipelopori oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Frederiech von Savigny yang menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan jiwa rakyat, yang kemudian dipertegas oleh muridnya yang bernama G Puchta dengan istilah Volgeist, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan kuat bersama-sama dari kekuatan rakyat dan akhirnya juga mati bersama-sama dengan hilangnya sebuah bangsa. Selanjutnya Von savigny berkata dalam bahasa Jerman ” Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mitdem Volke ( Hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat) . Oleh karena itu, sejak jaman sebelum Belanda datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia yang masih dalam bentuk kerajaan, masing-masing sudah mempunyai sistem hukumnya sendiri-sendiri.<br /><br /> Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja adalah penguasa tertinggi. Ini karena sesuai dengan landasan kosmogoni, raja dianggap penjelmaan dewa di dunia. Sebagai seorang dewaraja, kepemimpinan raja sangat dihormati masyarakatnya. Terlebih karena raja sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan yang tercakup dalam kitab agama, meskipun kitab-kitab tersebut bersumber pada kebudayaan India, namun manfaatnya amat dirasakan oleh masyarakat kuno ketika itu.<br /><br /> Salah satu naskah yang menjadi pegangan wajib adalah Kakawin Ramayana. Di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas dan kewajiban seorang raja), yakni bagian yang merupakan ajaran Rama kepada Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaran astabrata (asta = <br />delapan, brata = perilaku). <br /><br /> Di dalam diri seorang raja harus berpadu sifat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Artinya, sebagai Indra (Dewa Hujan), raja hendaknya menghujankan anugerah kepada rakyatnya; sebagai Yama (Dewa Maut), raja harus menghukum para pencuri dan penjahat; sebagai Surya (Dewa Matahari) yang senantiasa mengisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga <br />tidak memberatkan.<br /><br /> Sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci untuk kehidupan abadi); sebagai Wayu (Dewa Angin), yang dapat menyusup ke tempat-tempat tersembunyi, raja harus senantiasa mengetahui hal-ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat; sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati kekayaan duniawi; sebagai Waruna (Dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua penjahat; dan sebagai Agni (Dewa Api), raja harus membasmi semua musuhnya dengan segera (Sejarah <br />Nasional Indonesia II, 1984).<br /><br />Kehakiman dan Pajak<br /><br /> Ini berarti seorang raja harus berpegang teguh kepada dharmma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa, bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak di masyarakat, berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, serta memerlihatkan kewibawaannya. Raja-raja zaman dahulu boleh jadi sudah benar-benar menghayati peraturan tersebut. Kita harapkan pemimpin masa sekarang juga berlaku demikian karena meskipun usia naskah itu sudah berabad-abad, namun relevansinya dengan masa sekarang <br />masih sangat besar. <br /><br /> Keberhasilan raja membangun pemerintahan yang aman sejahtera rupanya ditunjang oleh adanya pejabat-pejabat yang bersih. Menurut data dari sejumlah prasasti, di antara sejumlah pejabat, yang paling berperan adalah pejabat kehakiman, pejabat pajak, dan pejabat keagamaan. Seandainya saja pejabat-pejabat zaman sekarang bersih pula, sudah pasti masyarakat akan hidup aman sejahtera seperti zaman dahulu.<br />Pada masa Kerajaan Mataram, gambaran tentang administrasi kehakiman dapat direka-reka berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (jayapatra) dan keterangan dari bagian prasasti yang disebut sukha dukha. Uniknya, sang raja sendiri sering memimpin sidang pengadilan. <br />Padahal, menurut kitab hukum Manawadharmmasastra, raja tidak boleh menjadi hakim sendiri. Mengapa raja sendiri yang mengajukan pertanyaan kepada tertuduh dan sekaligus memutus perkaranya, diperkirakan raja belum puas terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada. <br />Tidak dimungkiri, hukum ketika itu tidak pandang bulu. Petugas pajak yang termasuk elit birokrasi pun tak luput dari jerat hukum, sebagaimana termuat dalam Prasasti Guntur (907 M), Wurudu Kidul (922 M), dan Tija (sekitar abad X). <br />Seorang petugas pajak pernah memanipulasi ukuran tampah (alat ukur waktu itu). Ketika mengukur sawah seorang petani, dia menggunakan tampah yang lebih kecil dari ukuran yang sesungguhnya. Terang saja, luas sawah si petani membengkak. Akibatnya dia harus membayar pajak yang lumayan besar. Karena tidak puas, si petani mengadu kepada raja. <br />Setelah dilakukan pengukuran ulang, terbukti luas sawahnya sengaja di-“mark-up” oleh si petugas pajak. Bayangkan kalau tidak teliti, si petani harus membayar pajak lebih, sementara si petugas pajak memperoleh uang haram. Menurut prasasti, para pejabat pengadilan di tingkat pusat itu disebut sang pamgat tiruan <br />dan sang pamgat manghuri.<br /><br />Jaksa Berdarma<br /><br /><br /> Hukum yang adil dan penegak hukum yang handal diteruskan kemudian oleh pemerintahan di Kerajaan Majapahit. Pada masa itu terdapat tujuh orang upapatti yang diketuai oleh dua orang dharmmadhyaksa (kemudian kata ini menjadi asal kata jaksa), yaitu dharmmadhyaksa dari agama Buddha dan Siwa (Hindu). Secara harfiah dharmmadhyaksa bisa diartikan “jaksa yang berdarma”. Waktu itu rupa-rupanya tidak mudah menjadi seorang pengadil. <br />Menurut kitab hukum dari masa Majapahit, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra dan tidak bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara kitab sastra dengan hukum adat. Dia juga harus tegas dan mampu memberikan keputusan <br />terbaik dalam pengadilan.<br /><br /> Hal hampir serupa diungkapkan pula oleh prasasti-prasasti jayapattra dari masa Majapahit. Dikatakan, sebelum mengambil keputusan, para hakim harus terlebih dulu mempelajari kitab-kitab sastra, peraturan daerah, hukum adat, <br />petuah orang tua-tua, dan kitab-kitab hukum. <br /><br /> Malah Prasasti Parung dari masa Raja Hayam Wuruk, memberikan petunjuk tentang adanya dasar hukum yang lain, yaitu sumpah kepada dewa atau tokoh yang didewakan. Di samping kedudukannya sebagai pejabat keagamaan, para upapatti itu dikenal pula sebagai cendekiawan dan bhujangga.<br />Mataram dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang bercorak agraris. Pada masanya kedua kerajaan mengalami kecemerlangan dalam berbagai bidang. Persoalan hukum menjadi mudah karena masyarakatnya taat hukum. Begitu pun aparat penegak hukumnya. Mungkin tidak mudah kena suap, kalau meminjam <br />istilah zaman sekarang.<br /><br />B. Amanna Gappa <br />Jika mau sejenak berhenti dan menengok ke belakang, dari teks-teks kuno, dari sejarah bangsa-bangsa yang membentuk diri menjadi bangsa Indonesia ini, telah ada Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (lihat buku Tata Lautan Nusantara dalam Hukum dan Sejarahnya oleh Prof Mr St Munadjat Danusaputro, SH)—warisan hukum laut Indonesia dari daerah Wajo, Tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Dari daerah lain pun ada teks-teks serupa.<br />Dari sana terungkap berbagai aspek bidang kelautan bangsa Indonesia sejak zaman kuno. Di antaranya, sudah ada tata penyelenggaraan kewenangan di laut, tata penyelenggaraan kemakmuran, tata kehidupan sosial dan kebudayaan, serta tata penyelenggaraan pertahanan dan keamanan. Semuanya berorientasi kelautan.<br />`Munadjat menuliskan, membaca teks-teks Amanna Gappa kita mengetahui, peraturan hukum laut tersebut tidak semata-mata didasarkan pertimbangan-pertimbangan komersial belaka, namun juga memadukan dan mengintegrasikan faktor-faktor susila, agama, dan dasar-dasar kebatinan sebagai penjelmaan dasar keyakinan yang kuat terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini khas bentuk teks hukum adat Indonesia yang bersifat holistik, menyeluruh, total.<br />Di dalam Amanna Gappa disebut kan sejumlah kota di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang masa itu menjadi pusat-pusat pelayaran dan perdagangan laut seperti Sumbawa, Aceh, Kedah, Selangor, Malaka, Johor (Malaysia), Jakarta (Jawa), Palembang (Sumatera), Sambas, Banjarmasin, Pontianak (Kalimantan), Ambon, Banda, Kei, dan Ternate (Sulawesi dan Kepulauan Maluku) .<br />Seorang editor sebuah penerbitan universitas memulai mencatatkan pengalaman dan pengetahuannya pada secarik kertas di tahun 1893. Lembar demi lembar dia tuliskan sehingga membentuk buku kecil pedoman menulis karya ilmiah. Butuh waktu 7 tahun sebelum catatan-catatan itu terbit dalam bentuk buku.<br /><br />Usaha mengembangkan isi buku ini tidak berhenti di situ. Buku ini terus mengalami penambahan dan refisi hingga enam dekade kemudian, setelah itu baru dia kemudian muncul sebagai buku yang disegani. Dan, buku ini ternyata tetap direvisi dan direproduksi. Versi terakhir buku ini terbit satu abad setelah dia mulai ditulis. Kini buku itu berjudul Chicago Manual, dan menjadi rujukan utama di banyak negara di dunia tentang aturan penulisan karya ilmiah.<br />Kontinuitas seperti ini agaknya telah tenggelam dalam kehidupan masyarakat kita. Untuk menjawab persoalan sehari-hari kita tidak mempunyai catatan yang menumpuk, yang dapat kita rujuk. Begitu pula, anak serta cucu kita tidak punya rujukan ‘dari dalam’ yang dapat dijadikan ‘dasar’ untuk kembangkan sesuai dengan konteks mereka masing-masing.<br /><br />Kealpaan rujukan ini menyebabkan kita tidak punya pegangan sejarah. Kita lupa ‘proses’ apa saja yang berlangsung di masa lalu yang membentuk masyarakat kita hari ini. Rujukan kita hampir seluruhnya berasal dari sesuatu yang dikembangkan di luar kita, dan bukan lagi diperlakukan sebagai ‘rujukan’ karena langsung ditelan bulat-bulat.<br /><br />Di Makassar pernah ada satu komunitas yang berhasil mempertahankan aturannya secara independen sampai sekitar dua setengah abad, yang membuat aturannya dari tumpukan pengalaman dan pengetahuan warganya, bahkan mampu meluaskan pengaruh dan efektifitasnya lewat intelektualitas. Komunitas itu adalah para pedagang Wajo di Makassar.<br /><br />Adalah J. Noorduyn yang menulis sebuah artikel menarik tentang sebuah naskah lontara yang mengisahkan kehidupan orang Wajo di Makassar. Ia menulis artikel itu untuk sebuah seminar di Leiden sekitar dua dekade silam, kemudian di tahun 2000 terbit dalam buku kumpulan artikel Authority and Enterprise among the peoples of South Sulawesi. Dia memberi judul sederhana pada artikel itu, yang bila diindonesiakan menjadi ‘Komunitas Saudagar Wajo di Makassar’.<br /><br />Naskah lontara itu dia temukan di Universitas Leiden, yang merupakan salah satu dari sekian banyak naskah dari proyek panjang penyalinan naskah Bugis dan Makassar yang dilakukan Dr. B. F. Matthes selama beberapa dekade pada pertengahan abad ke-19. Di dalamnya tertera informasi secara kronologis komunitas tersebut menurut urutan matoa atau pemimpin komunitas Wajo di Makassar. Gaya kronik yang entrinya mengikuti pemimpin (raja bangsawan dan pemimpin komunitas) ini merupakan praktik lazim naskah tradisional di Sulawesi Selatan.<br /><br />Rentangan masa lebih dari satu setengah abad termuat dalam salinan naskah itu—mulai tahun 1671—mendata empat belas matoa berikut kejadian-kejadian penting yang menyertai masa pemerintahan mereka. Noorduyn membaca, menerjemahkan bagian penting, dan memberi penjelasan konteks tentang naskah itu dan sebagian matoa yang diceritakannya dari sumber-sumber lain. Ini membuat kita bisa menikmati, meski serbasedikit, perjalanan komunitas ini dari masa pasca-perang Makassar di dekade 1660-an hingga masa surutnya di akhir abad ke 19.<br /><br />Pada entri kedua, di masa pemerintahan To Pakkalo, matoa kedua, disebutkan lima aturan komunitas, secara ringkas aturan-aturan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tidak boleh menawar barang dagangan lebih tinggi dari matoa. Kedua, matoa berhak turut dalam sebuah pembelian demi urusan darang yang dijalankan oleh satu atau lebih orang Wajo, yang mendapat tambahan oleh Matthes bahwa: hanya ketika barang-barang telah terjual barulah penjual mendatangi matoa dan menawarinya pembagian, baik dalam keadaan untung maupun rugi.<br /><br />Ketiga, Matoa boleh menitipkan barang atau dagangan dengan nilai hingga 100 real sebagai komisi untuk kapten kapal, dan menjualnya atas nama matoa. Empat, orang Wajo mengurus rumah matoa dengan membangunkannya sebuah rumah atau, jika dibutuhkan, memperbaiki dan menggantikan rumahnya yang sudah tua. Kelima, jika seorang pedagang Wajo meninggal, seekor sapi dibelikan dari warisannya dan dipotong. Aturan ini berlaku hingga dua abad setelahnya, bahkan ditambahkan beberapa aturan lagi di masa matoa-matoa setelahnya.<br /><br />Komunitas ini merupakan sebuah institusi pendukung yang membuat aturan ini bisa terjaga, dan komunitas ini pula yang mematikannya manakala penguasa tidak lagi sanggup mengikuti aturan-aturan ini. Namun pada awalnya adalah pengetahuan warga yang ditumpuk. Dan itu sangat terlihat pada beberapa aturan tambahan yang terbuat di bawah entri matoa ke tiga saudagar Wajo di Makassar: Amanna Gappa.<br /><br />Keterangan tentang Amanna Gappa jauh lebih detil dibandingkan matoa lain. Di samping memuat aturan di atas yang lebih detil, juga ada beberapa tambahan. Yang paling penting adalah pengangkatan Amanna Gappa sebagai pemimpin dagang seluruh Makassar, dan detil ongkos muatan.<br /><br />Delapan bulan setelah Amanna Gappa menjadi matoa, dia dipanggil oleh gubernur di Fort Rotterdam dan diangkat menjadi kepala seluruh pedagang di Makassar. Detil ongkos angkutan barang menjelaskan tentang berapa yang harus dibayarkan jika muatan seorang pedagang akan diantar dari Makassar ke beberapa pelabuhan di kawasan Nusantara. Kota-kota itu antara lain, Johor, Aceh, Sulu, Kutai, Banjar, Pasir, Sukadana, Palembang, Bangka, Belitung, Manggarai, Bali, dan tentu saja Batavia.<br /><br />Sayang sekali ade allopi-loping yang memuat detil jalur, ongkos dan aturan dagang, tidak termaktub dalam naskah yang khusus bicara tentang matoa dan masa pemerintahannya ini.<br /><br />Tentu kita bisa membayangkan bagaimana para pedagang Wajo tiba dari sebuah pelayaran dagang lalu berkumpul dan berdiskusi tentang pengamatan mereka di daerah yang baru saja mereka kunjungi. Langgar yang dibangun secara kolektif, yang juga dijelaskan dalam naskah ini, menjadi tempat yang sering mereka gunakan untuk membahas temuan-temuan ini.<br /><br />Ketika Amanna Gappa diangkat menjadi kepala pedagang, itu berarti aturan yang diterapkan komunitas dagang Wajo diakui efektifitasnya oleh banyak pihak. Fort Rotterdam dibangun, dan Makassar dikuasai, untuk mengamankan arus dagang Belanda, sehingga mereka tidak akan mengambil risiko mengangkat seorang pemimpin dari satu komunitas tertentu di kawasan kosmopolitan itu bila urusan utama mereka tidak terpenuhi. Mengangkat pemimpin salah satu komunitas yang berpengetahuan luas dan tatanan dagang yang diakui komunitas lain, tentu merupakan langkah taktis bagi Belanda.<br /><br />Sementara itu, bagi komunitas Wajo sendiri, ini bukti bahwa penumpukan pengetahuan dan pengalaman dagang yang mereka kumpulkan sanggup membawa mereka melebarkan pengaruh. Bukti bahwa institusi mereka sanggup menjaga tradisi praktis yang berkembang menjadi produk jasa yang efektif. Ini berarti kecurigaan banyak orang sekarang tentang pranata tradisional yang selalu dipandang primordial dan irasional tidak sepenuhnya benar.<br /><br />Namun masih ada pertanyaan yang mengganjal: di naskah ini tidak muncul tugas-tugas matoa? Apa tanggung jawab matoa secara administratif? Mengingat dia mendapat banyak sekali keistimewaan. Noorduyn menjawab bahwa tanggungjawab matoa, dalam naskah ini, tidak tersurat namun tersebar dalam beberapa deskripsi yang muncul secara acak.<br /><br />Pertama, dia berfungsi sebagai semacam jaringan pengaman sosial, dia bertindak sebagai penjamin barang dagangan bila terjadi malapetaka, misalnya kapal karam atau bencana lainnya. Matoa juga berfungsi untuk menyelesaikan pertikaian, seperti ketika matoa Wajo, kapten Cina dan Malayu menyelesaikan pertikaian dagang yang melibatkan komunitas masing-masing. Mereka pun bertindak sebagai hakim yang adil. Dan menjadi perwakilan rakyatnya untuk berhubungan dengan pihak luar komunitas.<br /><br />Dalam teori sistem pemerintahan moderen yang kita kenal sekarang, fungsi-fungsi ini diemban oleh Negara. Sehingga pada titik ini kita bisa katakan bahwa, komunitas pedagang ini sejatinya adalah sebuah “Negara” yang membentuk aturannya sendiri lewat penumpukan pengalaman warganya yang dijaga dan disebarkan lewat berbagai pranata, seperti jabatan/fungsi matoa dan pertemuan di langkara (langgar).<br /><br />Di sini juga terlihat bahwa, salah satu syarat mereka bisa bertahan, bahkan bisa mengembangkan pengaruh lewat aturan dagangnya, adalah mereka secara intelektual tidak bergantung. Mereka membuat aturan sendiri dari mendengarkan pengalaman warganya sendiri yang tentu saja sudah melancong ke mana-mana. Tumpukan pengetahuan yang dihimpun dan diuji dengan pelayaran-pelayaran selama bebeberapa generasi ini menghasilkan sesuatu yang orisinil dan dapat diterapkan.<br /><br />Ringkasnya, sebagaimana Chicago Manual di atas, aturan ini dibuat dalam sebuah institusi yang independen dan dibuat untuk membuat praktik menjadi lebih baik bagi banyak orang.<br /><br />Seperti Chicago Manual yang banyak dipakai di luar negeri, pentingnya praktik ade allopi-loping ini membuat Fort Rotterdam tertarik untuk menerapkannya lewat Amanna Gappa. Membuatnya diterjemahkan ke bahasa asing untuk dijadikan rujukan studi lebih lanjut. Tahun 1832, versi inggrisnya, terjemahan Ch. Thomsen terbit di Singapura. Kajian hukum laut tradisional Indonesia harus berterima kasih dengan keberadaan naskah kecil yang senantiasa dijadikan rujukan ini.<br /><br />Namun beda dengan Chicago manual, jika mengunjungi anjungan google book dan mengetik ade allopi-loping maka yang muncul hanya enam hit. Itupun ia dibahas sebagai sebuah sejarah, bukan lagi sesuatu yang masih hidup. Mengapa demikian?<br /><br />Aturan ini mulai dibuat mungkin di akhir perang Makassar sekitaran 1670-an dan mulai populer sejak Amanna Gappa menjadi matoa pada tahun 1697-1723. Namun ia harus menyusul lenyap sebagaimana pranata pendukungnya, negeri Wajo di Makassar, yang telah raib tak lama sebelumnya. Kini, ia hanya bisa dikenali samar-samar, bahkan disalahpahami sebagai Amanna Gappa—pemimpin komunitas Wajo yang mempopulerkannya.<br />Komunitas ini surut karena banyak penduduknya yang pindah ke kampung lain. Meski kampung Wajo di Makassar masih ada secara geografis, namun komunitasnya yang independen dan punya aturan sendiri telah lama hilang. Menurut naskah itu, orang Wajo mulai meninggalkan kampung itu ketika, cucu matoa Wajo mulai bertindak sewenang-wenang, dan tindakan Raja Bone, Muhammad Ismail, membatasi gerak dagang dan mempekerjapaksakan mereka karena keinginannya meminjam uang ditolak komunitas itu.<br /><br />Akhirnya, sebagaimana kerap kita baca dari buku sejarah, adalah penguasa zalim, baik dari luar maupun dari dalam, yang menyudahi sebuah negeri kecil yang independen dan intelek ini, sekaligus mengakhiri kontinuitas penumpukan pengetahuan orisinil yang praktis dan berpengaruh .<br /><br />C. Kesimpulan<br />Sebagaimana berdasarkan pembahasan diatas, maka diketahui bahwa jauh sebelum Belanda ma suk ke Indonesia, kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah mempunyai sistem hukum dan peradilannya sendiri. Walaupun tentu saja sistem tersebut tidak tersususun secara sistematis sebagaimana saat ini, namun hukum dan peradilan secara substantif telah ada dan diterapkan di oleh masing-masing kerajaan dan masyarakat pada waktu itu. Sistem hukum dan peradilan pada waktu itu tentu beraneka ragam dari yang sifatnya tradisional dan tidak tertulis sampai kepada bentuk yang terulis sebagaimana Amanna Gappa. Terlepas dari semua itu, Memahami sejarah, khususnya sejarah hukum akan sangat penting bagi kita baik sebagai praktisi maupun teoritisi untuk memahami sistem hukum pada saat ini maupun memproyeksikan trend sistem hukum dan perundang-undangan dimasa yang akan datang karena sebagaimana tiap-tiap bangsa yang mempunyai Volgeist –jiwa rakyat, maka sistem hukum di Indonesia juga tidak akan terlepas dari volgeist bangsa Indonsia, dan akan terus berubah sesui dengan jiwa bangsa tersebut.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-78770739364473813342009-09-19T01:09:00.000-07:002009-09-19T01:12:45.584-07:00SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM PENJAJAHANOleh Imam Subandi, SH<br />Dosen Sejarah Hukum Univ. Pakuan Bogor<br />Prof Dr H Zainuddin Ali MA<br /><br />SEJARAH HUKUM DAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM PENJAJAHAN<br /><br /><br />A. Sistem Hukum dan Peradilan pada masa Kerajaan <br /> <br /> Sebagaimana ajaran mazhab sejarah yang dipelopori oleh seorang bangsa Jerman yang bernama Frederiech von Savigny yang menyatakan bahwa hukum merupakan pencerminan jiwa rakyat, yang kemudian dipertegas oleh muridnya yang bernama G Puchta dengan istilah Volgeist, hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan rakyat dan kuat bersama-sama dari kekuatan rakyat dan akhirnya juga mati bersama-sama dengan hilangnya sebuah bangsa. Selanjutnya Von savigny berkata dalam bahasa Jerman ” Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mitdem Volke ( Hukum itu tidak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat) . Oleh karena itu, sejak jaman sebelum Belanda datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia yang masih dalam bentuk kerajaan, masing-masing sudah mempunyai sistem hukumnya sendiri-sendiri.<br /><br /> Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja adalah penguasa tertinggi. Ini karena sesuai dengan landasan kosmogoni, raja dianggap penjelmaan dewa di dunia. Sebagai seorang dewaraja, kepemimpinan raja sangat dihormati masyarakatnya. Terlebih karena raja sudah dibekali dengan berbagai pengetahuan yang tercakup dalam kitab agama, meskipun kitab-kitab tersebut bersumber pada kebudayaan India, namun manfaatnya amat <br />dirasakan oleh masyarakat kuno ketika itu.<br /><br /> Salah satu naskah yang menjadi pegangan wajib adalah Kakawin Ramayana. Di dalam bagian yang berisikan uraian tentang rajadharmma (tugas dan kewajiban seorang raja), yakni bagian yang merupakan ajaran Rama kepada Bharata dan Wibhisana, dijumpai antara lain ajaran astabrata (asta = <br />delapan, brata = perilaku). <br /><br /> Di dalam diri seorang raja harus berpadu sifat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Artinya, sebagai Indra (Dewa Hujan), raja hendaknya menghujankan anugerah kepada rakyatnya; sebagai Yama (Dewa Maut), raja harus menghukum para pencuri dan penjahat; sebagai Surya (Dewa Matahari) yang senantiasa mengisap air secara perlahan-lahan, raja hendaknya menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit sehingga <br />tidak memberatkan.<br /><br /> Sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh dunia dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci untuk kehidupan abadi); sebagai Wayu (Dewa Angin), yang dapat menyusup ke tempat-tempat tersembunyi, raja harus senantiasa mengetahui hal-ikhwal rakyatnya dan semua gejolak di berbagai lapisan masyarakat; sebagai Kuwera (Dewa Kekayaan), raja hendaknya menikmati kekayaan duniawi; sebagai Waruna (Dewa Laut) yang bersenjatakan jerat, raja haruslah menjerat semua penjahat; dan sebagai Agni (Dewa Api), raja harus membasmi semua musuhnya dengan segera (Sejarah <br />Nasional Indonesia II, 1984).<br /><br />Kehakiman dan Pajak<br /><br /> Ini berarti seorang raja harus berpegang teguh kepada dharmma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugerah kepada mereka yang berjasa, bijaksana, tidak boleh sewenang-wenang, waspada terhadap gejolak di masyarakat, berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tenteram dan bahagia, serta memerlihatkan kewibawaannya. Raja-raja zaman dahulu boleh jadi sudah benar-benar menghayati peraturan tersebut. Kita harapkan pemimpin masa sekarang juga berlaku demikian karena meskipun usia naskah itu sudah berabad-abad, namun relevansinya dengan masa sekarang <br />masih sangat besar. <br /><br /> Keberhasilan raja membangun pemerintahan yang aman sejahtera rupanya ditunjang oleh adanya pejabat-pejabat yang bersih. Menurut data dari sejumlah prasasti, di antara sejumlah pejabat, yang paling berperan adalah pejabat kehakiman, pejabat pajak, dan pejabat keagamaan. Seandainya saja pejabat-pejabat zaman sekarang bersih pula, sudah pasti masyarakat akan hidup aman sejahtera seperti zaman dahulu.<br />Pada masa Kerajaan Mataram, gambaran tentang administrasi kehakiman dapat direka-reka berdasarkan beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (jayapatra) dan keterangan dari bagian prasasti yang disebut sukha dukha. Uniknya, sang raja sendiri sering memimpin sidang pengadilan. <br />Padahal, menurut kitab hukum Manawadharmmasastra, raja tidak boleh menjadi hakim sendiri. Mengapa raja sendiri yang mengajukan pertanyaan kepada tertuduh dan sekaligus memutus perkaranya, diperkirakan raja belum puas terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada. <br />Tidak dimungkiri, hukum ketika itu tidak pandang bulu. Petugas pajak yang termasuk elit birokrasi pun tak luput dari jerat hukum, sebagaimana termuat dalam Prasasti Guntur (907 M), Wurudu Kidul (922 M), dan Tija (sekitar abad X). <br />Seorang petugas pajak pernah memanipulasi ukuran tampah (alat ukur waktu itu). Ketika mengukur sawah seorang petani, dia menggunakan tampah yang lebih kecil dari ukuran yang sesungguhnya. Terang saja, luas sawah si petani membengkak. Akibatnya dia harus membayar pajak yang lumayan besar. Karena tidak puas, si petani mengadu kepada raja. <br />Setelah dilakukan pengukuran ulang, terbukti luas sawahnya sengaja di-“mark-up” oleh si petugas pajak. Bayangkan kalau tidak teliti, si petani harus membayar pajak lebih, sementara si petugas pajak memperoleh uang haram. Menurut prasasti, para pejabat pengadilan di tingkat pusat itu disebut sang pamgat tiruan <br />dan sang pamgat manghuri.<br /><br />Jaksa Berdarma<br /><br /> Hukum yang adil dan penegak hukum yang handal diteruskan kemudian oleh pemerintahan di Kerajaan Majapahit. Pada masa itu terdapat tujuh orang upapatti yang diketuai oleh dua orang dharmmadhyaksa (kemudian kata ini menjadi asal kata jaksa), yaitu dharmmadhyaksa dari agama Buddha dan Siwa (Hindu). Secara harfiah dharmmadhyaksa bisa diartikan “jaksa yang berdarma”. Waktu itu rupa-rupanya tidak mudah menjadi seorang pengadil. <br />Menurut kitab hukum dari masa Majapahit, seorang hakim haruslah seorang pendeta yang sempurna pengetahuannya akan semua kitab sastra dan tidak bingung menghadapi kesulitan dalam mencari persesuaian antara kitab sastra dengan hukum adat. Dia juga harus tegas dan mampu memberikan keputusan <br />terbaik dalam pengadilan.<br /><br /> Hal hampir serupa diungkapkan pula oleh prasasti-prasasti jayapattra dari masa Majapahit. Dikatakan, sebelum mengambil keputusan, para hakim harus terlebih dulu mempelajari kitab-kitab sastra, peraturan daerah, hukum adat, <br />petuah orang tua-tua, dan kitab-kitab hukum. <br /><br /> Malah Prasasti Parung dari masa Raja Hayam Wuruk, memberikan petunjuk tentang adanya dasar hukum yang lain, yaitu sumpah kepada dewa atau tokoh yang didewakan. Di samping kedudukannya sebagai pejabat keagamaan, para upapatti itu dikenal pula sebagai cendekiawan dan bhujangga.<br />Mataram dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang bercorak agraris. Pada masanya kedua kerajaan mengalami kecemerlangan dalam berbagai bidang. Persoalan hukum menjadi mudah karena masyarakatnya taat hukum. Begitu pun aparat penegak hukumnya. Mungkin tidak mudah kena suap, kalau meminjam <br />istilah zaman sekarang.<br /><br />B. Amanna Gappa <br />Jika mau sejenak berhenti dan menengok ke belakang, dari teks-teks kuno, dari sejarah bangsa-bangsa yang membentuk diri menjadi bangsa Indonesia ini, telah ada Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa (lihat buku Tata Lautan Nusantara dalam Hukum dan Sejarahnya oleh Prof Mr St Munadjat Danusaputro, SH)—warisan hukum laut Indonesia dari daerah Wajo, Tanah Bugis, Sulawesi Selatan. Dari daerah lain pun ada teks-teks serupa.<br />Dari sana terungkap berbagai aspek bidang kelautan bangsa Indonesia sejak zaman kuno. Di antaranya, sudah ada tata penyelenggaraan kewenangan di laut, tata penyelenggaraan kemakmuran, tata kehidupan sosial dan kebudayaan, serta tata penyelenggaraan pertahanan dan keamanan. Semuanya berorientasi kelautan.<br />`Munadjat menuliskan, membaca teks-teks Amanna Gappa kita mengetahui, peraturan hukum laut tersebut tidak semata-mata didasarkan pertimbangan-pertimbangan komersial belaka, namun juga memadukan dan mengintegrasikan faktor-faktor susila, agama, dan dasar-dasar kebatinan sebagai penjelmaan dasar keyakinan yang kuat terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini khas bentuk teks hukum adat Indonesia yang bersifat holistik, menyeluruh, total.<br />Di dalam Amanna Gappa disebut kan sejumlah kota di Indonesia dan Semenanjung Malaya yang masa itu menjadi pusat-pusat pelayaran dan perdagangan laut seperti Sumbawa, Aceh, Kedah, Selangor, Malaka, Johor (Malaysia), Jakarta (Jawa), Palembang (Sumatera), Sambas, Banjarmasin, Pontianak (Kalimantan), Ambon, Banda, Kei, dan Ternate (Sulawesi dan Kepulauan Maluku) .<br />Seorang editor sebuah penerbitan universitas memulai mencatatkan pengalaman dan pengetahuannya pada secarik kertas di tahun 1893. Lembar demi lembar dia tuliskan sehingga membentuk buku kecil pedoman menulis karya ilmiah. Butuh waktu 7 tahun sebelum catatan-catatan itu terbit dalam bentuk buku.<br /><br />Usaha mengembangkan isi buku ini tidak berhenti di situ. Buku ini terus mengalami penambahan dan refisi hingga enam dekade kemudian, setelah itu baru dia kemudian muncul sebagai buku yang disegani. Dan, buku ini ternyata tetap direvisi dan direproduksi. Versi terakhir buku ini terbit satu abad setelah dia mulai ditulis. Kini buku itu berjudul Chicago Manual, dan menjadi rujukan utama di banyak negara di dunia tentang aturan penulisan karya ilmiah.<br />Kontinuitas seperti ini agaknya telah tenggelam dalam kehidupan masyarakat kita. Untuk menjawab persoalan sehari-hari kita tidak mempunyai catatan yang menumpuk, yang dapat kita rujuk. Begitu pula, anak serta cucu kita tidak punya rujukan ‘dari dalam’ yang dapat dijadikan ‘dasar’ untuk kembangkan sesuai dengan konteks mereka masing-masing.<br /><br />Kealpaan rujukan ini menyebabkan kita tidak punya pegangan sejarah. Kita lupa ‘proses’ apa saja yang berlangsung di masa lalu yang membentuk masyarakat kita hari ini. Rujukan kita hampir seluruhnya berasal dari sesuatu yang dikembangkan di luar kita, dan bukan lagi diperlakukan sebagai ‘rujukan’ karena langsung ditelan bulat-bulat.<br /><br />Di Makassar pernah ada satu komunitas yang berhasil mempertahankan aturannya secara independen sampai sekitar dua setengah abad, yang membuat aturannya dari tumpukan pengalaman dan pengetahuan warganya, bahkan mampu meluaskan pengaruh dan efektifitasnya lewat intelektualitas. Komunitas itu adalah para pedagang Wajo di Makassar.<br /><br />Adalah J. Noorduyn yang menulis sebuah artikel menarik tentang sebuah naskah lontara yang mengisahkan kehidupan orang Wajo di Makassar. Ia menulis artikel itu untuk sebuah seminar di Leiden sekitar dua dekade silam, kemudian di tahun 2000 terbit dalam buku kumpulan artikel Authority and Enterprise among the peoples of South Sulawesi. Dia memberi judul sederhana pada artikel itu, yang bila diindonesiakan menjadi ‘Komunitas Saudagar Wajo di Makassar’.<br /><br />Naskah lontara itu dia temukan di Universitas Leiden, yang merupakan salah satu dari sekian banyak naskah dari proyek panjang penyalinan naskah Bugis dan Makassar yang dilakukan Dr. B. F. Matthes selama beberapa dekade pada pertengahan abad ke-19. Di dalamnya tertera informasi secara kronologis komunitas tersebut menurut urutan matoa atau pemimpin komunitas Wajo di Makassar. Gaya kronik yang entrinya mengikuti pemimpin (raja bangsawan dan pemimpin komunitas) ini merupakan praktik lazim naskah tradisional di Sulawesi Selatan.<br /><br />Rentangan masa lebih dari satu setengah abad termuat dalam salinan naskah itu—mulai tahun 1671—mendata empat belas matoa berikut kejadian-kejadian penting yang menyertai masa pemerintahan mereka. Noorduyn membaca, menerjemahkan bagian penting, dan memberi penjelasan konteks tentang naskah itu dan sebagian matoa yang diceritakannya dari sumber-sumber lain. Ini membuat kita bisa menikmati, meski serbasedikit, perjalanan komunitas ini dari masa pasca-perang Makassar di dekade 1660-an hingga masa surutnya di akhir abad ke 19.<br /><br />Pada entri kedua, di masa pemerintahan To Pakkalo, matoa kedua, disebutkan lima aturan komunitas, secara ringkas aturan-aturan itu adalah sebagai berikut. Pertama, tidak boleh menawar barang dagangan lebih tinggi dari matoa. Kedua, matoa berhak turut dalam sebuah pembelian demi urusan darang yang dijalankan oleh satu atau lebih orang Wajo, yang mendapat tambahan oleh Matthes bahwa: hanya ketika barang-barang telah terjual barulah penjual mendatangi matoa dan menawarinya pembagian, baik dalam keadaan untung maupun rugi.<br /><br />Ketiga, Matoa boleh menitipkan barang atau dagangan dengan nilai hingga 100 real sebagai komisi untuk kapten kapal, dan menjualnya atas nama matoa. Empat, orang Wajo mengurus rumah matoa dengan membangunkannya sebuah rumah atau, jika dibutuhkan, memperbaiki dan menggantikan rumahnya yang sudah tua. Kelima, jika seorang pedagang Wajo meninggal, seekor sapi dibelikan dari warisannya dan dipotong. Aturan ini berlaku hingga dua abad setelahnya, bahkan ditambahkan beberapa aturan lagi di masa matoa-matoa setelahnya.<br /><br />Komunitas ini merupakan sebuah institusi pendukung yang membuat aturan ini bisa terjaga, dan komunitas ini pula yang mematikannya manakala penguasa tidak lagi sanggup mengikuti aturan-aturan ini. Namun pada awalnya adalah pengetahuan warga yang ditumpuk. Dan itu sangat terlihat pada beberapa aturan tambahan yang terbuat di bawah entri matoa ke tiga saudagar Wajo di Makassar: Amanna Gappa.<br /><br />Keterangan tentang Amanna Gappa jauh lebih detil dibandingkan matoa lain. Di samping memuat aturan di atas yang lebih detil, juga ada beberapa tambahan. Yang paling penting adalah pengangkatan Amanna Gappa sebagai pemimpin dagang seluruh Makassar, dan detil ongkos muatan.<br /><br />Delapan bulan setelah Amanna Gappa menjadi matoa, dia dipanggil oleh gubernur di Fort Rotterdam dan diangkat menjadi kepala seluruh pedagang di Makassar. Detil ongkos angkutan barang menjelaskan tentang berapa yang harus dibayarkan jika muatan seorang pedagang akan diantar dari Makassar ke beberapa pelabuhan di kawasan Nusantara. Kota-kota itu antara lain, Johor, Aceh, Sulu, Kutai, Banjar, Pasir, Sukadana, Palembang, Bangka, Belitung, Manggarai, Bali, dan tentu saja Batavia.<br /><br />Sayang sekali ade allopi-loping yang memuat detil jalur, ongkos dan aturan dagang, tidak termaktub dalam naskah yang khusus bicara tentang matoa dan masa pemerintahannya ini.<br /><br />Tentu kita bisa membayangkan bagaimana para pedagang Wajo tiba dari sebuah pelayaran dagang lalu berkumpul dan berdiskusi tentang pengamatan mereka di daerah yang baru saja mereka kunjungi. Langgar yang dibangun secara kolektif, yang juga dijelaskan dalam naskah ini, menjadi tempat yang sering mereka gunakan untuk membahas temuan-temuan ini.<br /><br />Ketika Amanna Gappa diangkat menjadi kepala pedagang, itu berarti aturan yang diterapkan komunitas dagang Wajo diakui efektifitasnya oleh banyak pihak. Fort Rotterdam dibangun, dan Makassar dikuasai, untuk mengamankan arus dagang Belanda, sehingga mereka tidak akan mengambil risiko mengangkat seorang pemimpin dari satu komunitas tertentu di kawasan kosmopolitan itu bila urusan utama mereka tidak terpenuhi. Mengangkat pemimpin salah satu komunitas yang berpengetahuan luas dan tatanan dagang yang diakui komunitas lain, tentu merupakan langkah taktis bagi Belanda.<br /><br />Sementara itu, bagi komunitas Wajo sendiri, ini bukti bahwa penumpukan pengetahuan dan pengalaman dagang yang mereka kumpulkan sanggup membawa mereka melebarkan pengaruh. Bukti bahwa institusi mereka sanggup menjaga tradisi praktis yang berkembang menjadi produk jasa yang efektif. Ini berarti kecurigaan banyak orang sekarang tentang pranata tradisional yang selalu dipandang primordial dan irasional tidak sepenuhnya benar.<br /><br />Namun masih ada pertanyaan yang mengganjal: di naskah ini tidak muncul tugas-tugas matoa? Apa tanggung jawab matoa secara administratif? Mengingat dia mendapat banyak sekali keistimewaan. Noorduyn menjawab bahwa tanggungjawab matoa, dalam naskah ini, tidak tersurat namun tersebar dalam beberapa deskripsi yang muncul secara acak.<br /><br />Pertama, dia berfungsi sebagai semacam jaringan pengaman sosial, dia bertindak sebagai penjamin barang dagangan bila terjadi malapetaka, misalnya kapal karam atau bencana lainnya. Matoa juga berfungsi untuk menyelesaikan pertikaian, seperti ketika matoa Wajo, kapten Cina dan Malayu menyelesaikan pertikaian dagang yang melibatkan komunitas masing-masing. Mereka pun bertindak sebagai hakim yang adil. Dan menjadi perwakilan rakyatnya untuk berhubungan dengan pihak luar komunitas.<br /><br />Dalam teori sistem pemerintahan moderen yang kita kenal sekarang, fungsi-fungsi ini diemban oleh Negara. Sehingga pada titik ini kita bisa katakan bahwa, komunitas pedagang ini sejatinya adalah sebuah “Negara” yang membentuk aturannya sendiri lewat penumpukan pengalaman warganya yang dijaga dan disebarkan lewat berbagai pranata, seperti jabatan/fungsi matoa dan pertemuan di langkara (langgar).<br /><br />Di sini juga terlihat bahwa, salah satu syarat mereka bisa bertahan, bahkan bisa mengembangkan pengaruh lewat aturan dagangnya, adalah mereka secara intelektual tidak bergantung. Mereka membuat aturan sendiri dari mendengarkan pengalaman warganya sendiri yang tentu saja sudah melancong ke mana-mana. Tumpukan pengetahuan yang dihimpun dan diuji dengan pelayaran-pelayaran selama bebeberapa generasi ini menghasilkan sesuatu yang orisinil dan dapat diterapkan.<br /><br />Ringkasnya, sebagaimana Chicago Manual di atas, aturan ini dibuat dalam sebuah institusi yang independen dan dibuat untuk membuat praktik menjadi lebih baik bagi banyak orang.<br /><br />Seperti Chicago Manual yang banyak dipakai di luar negeri, pentingnya praktik ade allopi-loping ini membuat Fort Rotterdam tertarik untuk menerapkannya lewat Amanna Gappa. Membuatnya diterjemahkan ke bahasa asing untuk dijadikan rujukan studi lebih lanjut. Tahun 1832, versi inggrisnya, terjemahan Ch. Thomsen terbit di Singapura. Kajian hukum laut tradisional Indonesia harus berterima kasih dengan keberadaan naskah kecil yang senantiasa dijadikan rujukan ini.<br /><br />Namun beda dengan Chicago manual, jika mengunjungi anjungan google book dan mengetik ade allopi-loping maka yang muncul hanya enam hit. Itupun ia dibahas sebagai sebuah sejarah, bukan lagi sesuatu yang masih hidup. Mengapa demikian?<br /><br />Aturan ini mulai dibuat mungkin di akhir perang Makassar sekitaran 1670-an dan mulai populer sejak Amanna Gappa menjadi matoa pada tahun 1697-1723. Namun ia harus menyusul lenyap sebagaimana pranata pendukungnya, negeri Wajo di Makassar, yang telah raib tak lama sebelumnya. Kini, ia hanya bisa dikenali samar-samar, bahkan disalahpahami sebagai Amanna Gappa—pemimpin komunitas Wajo yang mempopulerkannya.<br /><br /><br />Komunitas ini surut karena banyak penduduknya yang pindah ke kampung lain. Meski kampung Wajo di Makassar masih ada secara geografis, namun komunitasnya yang independen dan punya aturan sendiri telah lama hilang. Menurut naskah itu, orang Wajo mulai meninggalkan kampung itu ketika, cucu matoa Wajo mulai bertindak sewenang-wenang, dan tindakan Raja Bone, Muhammad Ismail, membatasi gerak dagang dan mempekerjapaksakan mereka karena keinginannya meminjam uang ditolak komunitas itu.<br /><br />Akhirnya, sebagaimana kerap kita baca dari buku sejarah, adalah penguasa zalim, baik dari luar maupun dari dalam, yang menyudahi sebuah negeri kecil yang indun Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html <br /><br />ependen dan intelek ini, sekaligus mengakhiri kontinuitas penum<br />Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html <br />un Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html <br /><br /><br />C. Kesimpulan<br />Khoc cho nho thuong voi trong long, khoc cho noi sau nhe nhu khong. Bao nhieu yeu thuong nhung ngay qua da tan theo khoi may bay that xa... http://www.freewebtown.com/nhatquanglan/index.html <br />Sebagaimana berdasarkan pembahasan diatas, maka diketahui bahwa jauh sebelum Belanda ma suk ke Indonesia, kerajaan-kerajaan di Indonesia sudah mempunyai sistem hukum dan peradilannya sendiri. Walaupun tentu saja sistem tersebut tidak tersususun secara sistematis sebagaimana saat ini, namun hukum dan peradilan secara substantif telah ada dan diterapkan di oleh masing-masing kerajaan dan masyarakat pada waktu itu. Sistem hukum dan peradilan pada waktu itu tentu beraneka ragam dari yang sifatnya tradisional dan tidak tertulis sampai kepada bentuk yang terulis sebagaimana Amanna Gappa. Terlepas dari semua itu, Memahami sejarah, khususnya sejarah hukum akan sangat penting bagi kita baik sebagai praktisi maupun teoritisi untuk memahami sistem hukum pada saat ini maupun memproyeksikan trend sistem hukum dan perundang-undangan dimasa yang akan datang karena sebagaimana tiap-tiap bangsa yang mempunyai Volgeist –jiwa rakyat, maka sistem hukum di Indonesia juga tidak akan terlepas dari volgeist bangsa Indonsia, dan akan terus berubah sesui dengan jiwa bangsa tersebut.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-50631293188825584212009-08-29T02:34:00.000-07:002009-08-29T02:36:13.582-07:00PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PALU NO. 85/PDTG/2008/PN PALU TANGGAL 26 AGUSTUS 2009Oleh : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA <br /><br />A. Pendahuluan<br />Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah. Putusan dimaksud, dimuat di Radar Sulteng, Mercusuar, dan Nuangsa Pos pada tanggal 27 Agustus 2009. Putusan dimaksud, melahirkan Pro dan Kontra sehingga penulis merasa perlu memberi komentar mengenai putusan dimaksud. <br />Hj Aisyah merupakan Isteri dari H. Mubin Radjadewa yang meninggal sekitar tahun 2000 dan meninggalkan Ahli waris di antaranya: seorang Suami (H. Mubin Radjadewa) dan 4 (empat) orang anak, yaitu: Faazil, Ridwan, Syarif, dan Faradiba. Selain itu, ia meninggalkan sejumlah harta warisan. <br />Budaya hukum masyarakat yang mendiami wilayah sulawesi Tengah dalam hal pembagian harta warisan terdiri atas 4 (empat) bentuk, yaitu: (1) Pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) Pembagian harta warisan melalui Tokoh adat/Tokoh Agama atau melalui Notaris, (3) Pembagian harta warisan melalui Pengadilan Agama, dan (4) pembagian harta warisan melalui pengadilan negeri. Budaya hukum dimaksud, berjalan ratusan Tahun dalam masyarakat yang mendiami Sulawesi Tengah kecuali poin 2. Poin 2 dimaksud, sesuai kondisi masyarakat, yaitu terkadang para ahli waris itu meminta bantuan kepada Tokoh Adat, Tokoh Agama, dan Notaris dalam menyelesaikan pembagian harta warisannya. Keberadaan Notaris itu terkadang menggantikan posisi tokoh Adat dan Tokoh Agama sesuai kondisi pengetahuan Ahli waris yang pantas dimintai bantuan untuk membagi harta warisannya. <br /> B. Pembahasan<br />Perilaku hakim melalui Putusan Pengadilan Negeri Palu No. 85/PDTG/ 2008 tertanggal 26 Agustus 2009 tentang pembatalan Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan Hj Aisyah menyalahi budaya hukum (legal culture). Budaya hukum dimaksud, para ahli waris sudah sepakat mengenai bagian ahli waris: yaitu Syarif dan Paradiba. Harta dimaksud, merupakan bagian harta warisan dari ibunya (Hj. Aisyah). Karena itu, Syarif dan Paradiba mendatangi Notaris untuk dibuatkan Akta Notaris tentang hartanya sehingga lahir Akta Notaris No. 42 tanggal 24 Desember 2001 tentang surat pernyataan Pembagian harta Warisan.<br />Pembatalan Akta Notaris dimaksud, tidak menghayati sejarah hukum lahirnya Akta Notaris dimaksud pada tahun 2001, tidak menghayati nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di zaman itu, melainkan putusan hakim itu hanya semata-mata mempertimbangkan Gugatan Penggugat kepada para tergugat di antaranya Pembuat Akta Notaris. Putusan hakim yang seperti inilah yang biasa melahirkan pro dan kontra dalam masyarakat yang kemudian melahirkan konflik diantara para ahli waris. <br />Obyek masalah dalam pembatalan Akta Notaris dimaksud, adalah harta peninggalan Hj. Aisyah yang menjadi harta warisan kepada sejumlah orang yang menjadi ahli waris. Orang-orang yang menjadi ahli waris dimaksud, hanya dua sebab, yaitu melalui ikatan perkawinan dan melalui hubungan nasab (darah). Akte Notaris No. 42 tahun 2001 berkenaan hak milik anak kandung sebagai ahli waris. Karena itu, Para hakim yang memutus perkara dimaksud, masih perlu membaca buku-buku yang berkenaan hukum waris di antaranya Pelaksanaan hukum waris di Indonesia, terbitan Sinar Grafika tahun 2008. <br />Selain itu, penulis mengemukakan bahwa Penggugat semestinya melakukan langkah-langkah sebagai berikut.<br />1.Membuat permohonan penetapan ahli waris Hj. Aisyah ke Pengadilan Agama ;<br />2.Berdasarkan permohonan penetapan ahli waris dimaksud, maka Suami mendapat ¼ dari harta warisan Isterinya, dan 4 (empat) orang anak mendapat bagian 2/3 dari harta warisan ibunya dengan perimbangan anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian.<br />3.Kalau masih hidup orangtua Hj. Aisyah maka ia mendapat 1/6 bagian harta warisan <br /><br />C. Penutup<br />1.Putusan hakim yang menyalahi budaya hukum (legal culture) dalam masyarakat yang berkenaan harta warisan akan melahirkan pro dan kontra yang dapat mengakibatkan konflik di antara ahli waris.<br />2.Tokoh Adat, Tokoh Agama dan Notaris hanya membantu penyelesaian pembagian harta warisan dalam sejarah hukum sehingga tidak pantas menjadi tergugat.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-88561590530416180662009-08-26T02:37:00.000-07:002009-08-26T02:44:09.124-07:00MASALAH HAK ASASI MANUSIA, HAK-HAK SIPIL, DAN KEPERDATAAN DI SULAWESI TENGAHMASALAH HAK ASASI MANUSIA, HAK-HAK SIPIL, DAN <br />KEPERDATAAN DI SULAWESI TENGAH<br />Oleh: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA <br /><br />A. Pendahuluan<br />Bila mengamati permasalahan Hak asasi manusia sejak terjadinya konflik horizontal di Poso tahun 1998 hingga saat ini, maka ditemukan ada empat pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran terhadap hak atas rasa aman, hak untuk hidup, hak atas kepemilikan dan hak untuk memperoleh keadilan. Karena itu, sejak terjadinya konflik berkepanjangan di daerah itu, masyarakat telah kehilangan rasa aman sehingga mereka harus mengungsi. Masyarakat terpaksa kehilangan harta benda yang ditinggalkannya bahkan sejumlah warga masyarakat kehilangan hak untuk hidup karena menjadi korban dalam pertikaian itu.<br />Pelanggaran HAM lainnya adalah hak untuk memperoleh keadilan. Hingga saat ini, para pelaku pembunuhan, pembakaran, pengrusakan, provokator dan yang meneror masyarakat dengan berbagai tindak kriminal belum juga semuanya terselesaikan, termasuk diproses secara hukum, bahkan mereka masih ada yang melakukan aksinya untuk menakut-nakuti warga sehingga sampai saat ini masih banyak pengungsi yang belum kembali ke Poso. Walaupun wilayah Poso saat ini penurut penulis cukup kondusif pasca eksekusi Tibo Cs. Berkenaan beberapa masalah pelanggaran HAM dimaksud, penulis memfokuskan kajian terhadap pengertian, ruang lingkup, dan pelaksanaan Hak Asasi Manusia, hak-hak sipil dan keperdataan di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah <br />Penulis menemukan fakta hukum bahwa tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mendiami Kabupaten Poso mengharapkan kepada pihak pemerintah untuk serius menangani pemulihan hak-hak sipil dan keperdataan bagi pengungsi, baik yang sudah kembali ke Poso dan Tentena maupun pengungsi yang masih berada di beberapa kabupaten wilayah Sulawesi Tengah dan di Propinsi Sulawesi Utara yang belum mau kembali ke Poso. Padahal, Poso telah dinyatakan aman, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Propinsi dan kabupaten Poso. Pengungsi dimaksud, ada yang tidak lagi memiliki akses terhadap sumber-sumber penghidupan (livelihood assets) yang mereka tinggalkan (tanah dan rumah). Sebab, setelah beberapa tahun mengungsi, properties dan tanah sawah dan kebun mereka ada yang telah dikuasai oleh orang lain. Untuk itu, pemerintah atau pihak yang berwenang dipandang penting untuk mengupayakan pengembalian dan atau penggantian (restitution of property) hak-hak keperdataan tersebut. Respon terhadap masalah ini dapat dilakukan dengan kesungguhan pemerintah dan unsur-unsur terkait dalam pemulangan (reintegration) para pengungsi ketempat asal mereka (homes or pleace of habitual residence). Namun langkah ini hanya dapat ditempuh sepanjang benar-benar telah ada jaminan pemulihan hak-hak keperdataan dan jaminan keamanan jika mereka kembali.<br />Reintegrasi juga penting dengan pertimbangan bahwa kalau langkah ini sukses bisa menjadi indikator atas kualitas perdamaian yang telah semakin membaik. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena masyarakat Poso sebenarnya adalah masyarakat yang dulunya sangat menghargai nilai-nilai pluralisme. Ratusan tahun sebelum terjadi konflik, warga poso telah terbiasa hidup berbaur satu sama lain tanpa dibebani masalah soal perbedaan keyakinan di bawah semboyan "Sintuwu Maroso". Namun konflik telah menghancurkan budaya pluralisme yang dulu inherent dalam kehidupan masyarakat Poso. Tapi jika langkah reintegrasi tidak dapat dilakukan maka pemerintah harus mengupayakan resettlement para pengungsi kesuatu yang aman sehingga mereka dapat hidup dan damai. Semua ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah karena mereka mengungsi akibat kegagalan pemerintah menciptakan rasa aman. Rasa aman dimaksud, merupakan bagian dari Hak asasi manusia. <br /> Selain hak-hak keperdataan pengungsi dimaksud, Jaminan keamanan adalah salah satu persoalan krusial yang membuat pengungsi memilih untuk tetap bertahan hidup di kamp pengungsian. Masih segar dalam ingatan ketika tiga kali ledakan bom masing-masing di kelurahan Mapane dan di kelurahan Kasiguncu Kecamatan Poso Pesisir pada 15 April 2007 dan 22 Mei 2007 juga dikelurahan Kasiguncu pasca penggerebekan sejumlah DPO dibawah operasi penegakan hukum, bisa dilihat sebagai salah satu bukti bahwa jaminan keamanan tidak berbanding lurus dengan jumlah aparat keamanan di sana. Pendekatan keamanan dengan mengerahkan pasukan dalam jumlah besar di tanah Poso, yang selama ini menjadi andalan pendekatan pemerintah dinilai gagal dalam memberi jaminan keamanan bagi pengungsi. <br />B. Permasalahan<br />1. Apakah pengertian dan Ruang Lingkup HAM serta Bagaimana Pelaksanaannya di Poso, Sulawesi Tengah<br />2. Bagaimana pendapat tokoh Agama dan tokoh Masyarakat mengenai hak-hak Sipil dan keperdataan bagi pengungsi dari dampak kerusuhan/konflik Poso ?<br />3. Bagaimana Kinerja pemerintah/Kantor pertanahan mengenai hak-hak Sipil dan keperdataan bagi para pengungsi dari dampak kerusuhan/konflik Poso?<br />4. Bagaimana jaminan keamanaan bagi masyarakat yang mendiami Wilayah Poso, baik warga masyarakat pengungsi yang pulang ke Poso maupun warga masyarakat yang tidak pernah mengungsi dari wilayah Poso?<br /><br />C. Pembahasan<br />1. Pengertian, Ruang Lingkup dan Pelaksanaan HAM di Poso, Sulawesi Tengah <br /> a. Pengertian HAM<br /> Hak Asasi Manusia (selanjutnya di sebut HAM) adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pada hakekatnya HAM terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir HAM yang lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan. <br />Hak asasi manusia dimaksud di Indonesia di atur melalui Undang-undang Dasar 1945, baik dalam pembukaan maupun dalam batang tubuhnya. Batang tubuh dimaksud, dapat diungkapkan beberapa pasal di antaranya: pasal 5 ayat (1), 20 ayat (1) 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 ayat (1) dan ayat (3) dan 34. Namun pengaturan hak asasi manusia (HAM) secara khusus di atur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999. Karena itu, perbuatan-perbuatan seseorang atau kelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, meng-halangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin oleh Undang-undang dimaksud (Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999) dan tidak mendapatkan, atau mengha-watirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Pelanggaran hak asasi manusia yang demikian, disebut pelang-garan hak asasi manusia yang ringan. Lain halnya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yaitu pembunuhan massal, pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis. <br />Berdasarkan hal tersebut, Komnas HAM atau suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, atau mediasi hak asasi manusia yang bertujuan untuk: (1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.<br /> b. Ruang Lingkup Hak Asasi Manusia (HAM)<br />Hak asasi manusia mempunyai ruang lingkup yang luas dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Hal itu dikemukakan sebagai berikut. <br />1)Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.<br />2)Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.<br />3)Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.<br />4)Setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.<br />5)Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.<br />6)Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.<br />7)Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucil-kan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.<br />8)Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang.<br />c. Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Poso, Sulawesi Tengah <br />Bila mengamati pelaksanaan Hak asasi manusia di Poso, Sulawesi Tengah dengan menggunakan indikator ruang lingkup hak asasi manusia di atas, maka penulis menganggap bahwa sudah ada yang terlaksana termasuk pelaksanaan eksekusi Tibo Cs. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih jauh dari apa yang diharapkan oleh Undang-undang yang berkenaan Hak asasi manusia termasuk poin pertama ruang Lingkup HAM (Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya). Selain itu, dapat dibuktikan dengan masih adanya pengungsi Poso yang belum mau pulang ke Poso bahkan ada di antara mereka sudah memilih tinggal di tempat pengungsiannya. Khusus sub pokok bahasan ini, tentu akan lebih baik didiskusikan <br />2. Pendapat Tokoh Agama dan Masyarakat mengenai pemulihan hak-hak sipil dan keperdataan di Kabupaten Poso<br />a. Yahya Patiro<br />Yahya Patiro selaku Ketua 2 Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang berpusat di Tentena Kabupaten Poso, menilai selain pengembalian pengungsi dan pemulihan hak keperdataan, kemiskinan dan pengangguran merupakan permasalahan sosial yang perlu disikapi secara serius melalui program peningkatan perekonomian warga poso. Hal itu, dikemukakan karena Data badan statistik Kabupaten Poso menyebutkan masih terdapat 20.000 keluarga miskin di Poso. Kemiskinan dimaksud, melahirkan penderitaan dan warga masyarakat yang menderita akan dapat menimbulkan ekses baru, bisa timbul economy crime yang akan menyebabkan timbul lagi hal-hal kerusuhan yang baru dan melahirkan permasalahan baru bila tidak diselesaikan seacara serius.<br />b. Ust Gani T Israil<br />Ust Gani T Israil, seorang Tokoh Muslim di Poso Kota, mengemukakan bahwa walaupun konflik Poso sudah selesai dan sudah kondusif masyarakat yang mendiaminya, namun belum semua warga masyarakat itu sudah mendapatkan hak-hak keperdataannya termasuk mengolah lahan kebun dan menikmati lahan pemukiman yang pernah ditinggalkan ketika mereka mengungsi. Karena itu, pengembalian hak-hak keperdataan berupa hak pemilikan kebun, sawah, dan lahan pemukiman juga merupakan pekerjaan amat penting yang harus dituntaskan. Karena itu, hak keperdataan perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak pemerintah karena ini juga tidak menutup kemungkinan akan bisa memicu ulang konflik. Masih banyaknya hak-hak keperdataan yang belum tuntas, baik itu umat Islam maupun Nasrani, akan memungkinkan memicu konflik bila tidak terselesaikan secara tuntas berdasarkan hukum yang berlaku.<br />c. Malik Syahadat<br />Malik Syahadat, seorang sesepuh masyarakat di Poso mengemukakan bahwa situasi Poso semakin kondusif dari segi keamanan sehingga saatnya penanganan Poso difokuskan pada pengembalian warga Poso di daerah pengungsian, dikembalikan ke tempat asalnya. Pengungsi dimaksud hingga akhir Tahun 2007 masih terdapat 2088 Jiwa, baik di wilayah Sulawesi Tengah maupun di wilayah lainnya. Karena itu, diharapkan pemerintah membuat langkah-langkah agar pengungsi dimaksud bisa kembali. Langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah adalah menyiapkan perumahan dan lapangan kerja di bidang sektor ekonomi". <br />d. Sawerigading Pelima<br />Sawerigading Pelima, Ketua DPRD Poso berpendapat bahwa kasus hak-hak keperdataan di Poso yang masih tersisa harus segera diselesaikan karena rentan akan timbulnya permasalahan baru. Menurutnya, korban konflik di pengungsian sudah lama merindukan kembali ke tanah atau pun rumahnya yang sudah beberapa tahun ditinggalkan sejak konflik Poso memanas. <br />Berdasarkan pendapat tokoh agama dan tokoh masyarakat yang dikemukakan di atas, penulis beranggapan bahwa penyelesaian masalah pengungsi yang berkenaan hak-hak keperdataan dan meningkatkan perekonomian dalam mengurangi jumlah keluarga miskin dan pengangguran di Poso akan menjadi pondasi kuat rekonsiliasi sejati di Poso. Namun demikian, tentu akan dilakukan secara bertahap, dan yang paling mendesak adalah pemulihan hak-hak keperdataan, baik pemilikan lahan perumahan, sawah, kebun dan hak-hak keperdataan lainnya. <br />2. Kinerja pemerintah/Kantor pertanahan mengenai hak-hak keperdataan bagi para pengungsi dari dampak kerusuhan/konflik Poso<br /><br /> Seiring dengan semakin kondusifnya Kabupaten Poso, Kepala Kantor Pertahanan Kabupaten Poso, mulai mengambil langkah untuk mengembalikan hak keperdataan warga Poso, terutama soal tanah yang selama ini banyak ditinggalkan, dikuasai orang lain, atau diperjualbelikan di bawah tangan. Karena itu, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Poso Yery Agung Nugroho SH menyatakan, pihaknya saat ini sedang melaksanakan program penanganan hak keperdataan (tanah) bagi warga Poso pasca konflik. "Kegiatan ini akan mencakup 11 kecamatan yang meliputi 113 desa dan kelurahan yang terkena dampak konflik". Penanganan hak-hak keperdataan itu, adalah inventarisasi atau pendataan penguasaan, pemilikan tanah termasuk sertifikat hilang atau terbakar, ocupasi (penguasaan tanah oleh bukan pemilik sebenarnya, red) dan peralihan di bawah tangan. "Sertifikat yang hilang atau terbakar akan diganti. Sedangkan transaksi peralihan yang hanya menggunakan kuitansi biasa akan diusahakan memiliki akte. Terhadap ocupasi akan dikembalikan ke pemilik sesungguhnya". Yery menegaskan, , pengembalian hak keperdataan warga tersebut tidak dibebankan biaya. Hal dimaksud, merupakan dukungan pihak pemerintah melalui Kantor Pertanahan terhadap upaya pemulihan Kabupaten Poso yang selama ini didera konflik. <br />Kepala Kantor pertanahan aktif melakukan sosialisasi di sejumlah desa dan kelurahan di Poso. "Saat ini sosialisasi itu sedang berlangsung dan diharapkan kepada seluruh warga yang punya hak keperdataan di Poso agar segera melapor ke kantor desa atau kelurahan di Poso, baik warga Poso yang berdiam di luar Poso maupun yang sudah ada di Poso. Yery mengatakan, program ini diperuntukkan bagi semua warga Poso yang punya hak keperdataan di Poso termasuk mereka yang saat ini sudah berada di luar Poso. Bagi mereka yang kini sudah berada di luar Poso agar segera melapor ke desa atau kelurahan agar tahapan proses pengembalian hak keperdataan ini bisa berjalan lancar.<br />Sosialisasi dimaksud, pada tahun 2007 Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Poso telah menerbitkan 300 sertifikat tanah kepada masyarakat yang menjadi korban konflik beberapa tahun lalu, sebagai salah satu upaya untuk memulihkan daerah itu. Kasubbag TU BPN Poso B.S Monepa, mengatakan ratusan sertifikat baru itu merupakan pengganti benda serupa yang sudah dinyatakan hilang atau musnah terbakar akibat konflik. Namun, pihak pertanahan sebelum menerbitkan sertifikat, ia melakukan pemeriksaan di lapangan untuk membuktikan bahwa tanah itu ada dan luasnya sesuai dengan yang dilaporkan warga masyarakat. Selain itu, B.S Monepa mengatakan, pihaknya menargetkan mampu menerbitkan sebanyak 500 sertifikat tanah sampai akhir 2007 lalu. Namun dalam kenyataan Keterbatasan waktu lah yang menyebabkan target tidak terpenuhi. Apalagi ada beberapa warga yang kurang bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa Kasus sertifikat hilang atau musnah terbakar paling banyak terdapat di Mayajaya (107 kasus) dan Uelene (61 kasus) yang terletak di Kecamatan Pamona Selatan.<br />Penerbitan sertifikat tanah bagi masyarakat korban konflik di Poso itu merupakan program dari pemerintah pusat yang menggunakan dana recovery. <br />BPN Poso sendiri mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 950 juta. "Sampai saat ini dana yang telah terpakai sebesar Rp500 juta. Sisa dananya masih ada di Bappeda Poso. BPN Poso sendiri, tidak memiliki program untuk mengatasi hak keperdataan masyarakat korban konflik sehingga diharapkan agar pemerintah pusat mampu memberi dana serta memperpanjang pelaksanaan penyelesaian hak-hak keperdataan, karena masih banyak tanah atau bangunan yang sampai saat ini bermasalah akibat lama ditinggalkan pemiliknya. Selain penerbitan sertifikat tanah baru, BPN Poso juga menyelesaikan beberapa kasus mengenai penerbitan surat perumahan sebanyak 101 lembar dan masalah peralihan tanah di bawah tangan sebanyak 324 kasus.<br />Pemulihan hak-hak keperdataan pada tahun 2006 hingga tahun 2007 yang dikemukakan di atas, penulis menganggap berhasil BPN dalam melaksanakan tugasnya. Namun pada tahun ini atau Program persertifikatan Prona Tahun 2009 di Kabupaten Poso, belum berjalan maksimal, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten Poso, Yery Agung Nugroho, SH. Mengatakan, belum maksimalnya pelaksanaan prona di Kabupaten Poso dikarenakan kurangnya partisipasi aktif masyarakat. Selain itu, banyaknya pemilik tanah selaku pemohon sertifikat yang tidak memiliki SPPT PBB, dan banyaknya pemilik tanah yang tidak memiliki bukti-bukti sah kepemilikan tanah, serta masih banyaknya pula warga yang tidak memiliki identitas penduduk KTP dan Kartu Keluarga. Ke tiga point masalah dimaksud, sebagai kendala berat terealisasinya program Prona 2009. ”Respons masyarakat pada prona cukup tinggi. Namun tidak dibarengi dengan kelengkapan berkas yang diisyaratkan, jelas Yery di Kantornya kemarin. <br />Menurut Michler Tasiabe SH, Prona BPN Poso, mengemukakan bahwa sudah hampir seluruh tahapan dan mekanisme program persertifikatan prona tahun 2009 dikerjakan oleh BPN Poso, yaitu mulai dari kegiatan penyuluhan/sosialisasi, penelitian data Yuridis, hingga pada proses penelitian data fisik. Namun ketidak-lengkapan berkas kepemilikan tanah yang dimiliki oleh pemohon prona menjadi penghalang bagi kelanjutan mekanisme kerja BPN pada program prona, seperti melakukan pengukuran. BPN belum berani melakukan pengukuran tanah kalau persyaratan berkasnya tidak lengkap. Karena itu, Kepimilikan tanah yang tidak dilengkapi dengan bukti-bukti sah kepemilikannya memang menjadi problem serius yang tengah dihadapi BPN Poso pada Program persertifikatan prona tahun ini. Misalnya lebih seribu pemohon prona tahun 2009 yang sudah mendaftar di BPN Poso, belum satu pun pemohon yang berkas permohonannya lengkap, yaitu para pemilik tanah yang tidak dapat menunjukan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah. <br />Program Prona tahun 2009 di Kabupaten Poso memperoleh jatah sebanyak 2000 sertifikat dari BPN, 2000 buah sertifikat itu akan diperuntukan bagi 44 desa/kelurahan yang tersebar diwilayah Kabupaten Poso, dengan kuota perdesa sebanyak 45 sertifikat. Selain itu, Yery (Kepala Kantor BPN) mengemukakan bahwa tidak semua pengurusan persertifikatan Prona itu gratis , sebab tidak semua kegiatan prona itu dibiayai negara melalui DIPA Kantor Pertanahan. ”yang gratis adalah yang anggarannya ada di DIPA kantor pertanahan masing-masing. Yang tidak ada dalam DIPA, warga masyarakat itu sendiri yang menanggung biayanya. Karena itu, Program Prona yang gratis adalah yang telah dibebankan pada DIPA masing-masing kantor pertanahan, yaitu biaya penyuluhan prona, pengumpulan data Yuridis, pengukuran bidang dan tugu pada orde 4, penetapan hak serta pendaftaran tanah dan penerbutan sertifikat. Namun untuk BPHTB. Dan PPH dari peralihan atas tanah dan bangunan, materai untuk leges alas hak, mengurus bukti-bukti perolehan tanah, dan biaya patok batas dibidang tanah, biayanya itu dtanggung dan dibebankan kepada pemohon alias peserta prona. Sebab anggaran untuk itu tidak tersedia dalam DIPA BPN.<br />Pemaparan dalam pemenuhan hak-hak keperdataan bagi masyarakat yang mendiami poso pada tahun 2006 sampai tahun 2007 mengenai pemulihan hak keperdataan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional di Poso dapat terselesaikan. Namun pada tahun 2009 tampak menuai sejumlah masalah. Permasalahan dimaksud, menurut penulis sebagai berikut.<br />a. Bukti hak pemilikan tanah berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak mesti diikuti sebagai akibat bekas wilayah konflik. <br />b. KTP dan Kartu keluarga bagi warga masyarakat yang baru pulang dari pengungsian tidak semestinya menjadi penghalang untuk bermohon sertifikat hak pemilikan tanah;<br />c. Beberapa pembuktian hak pemilikan tanah dapat diganti dengan pembuktian lain berupa saksi-saksi pemilik tanah yang ada disekitar tanah yang dimohonkan sertifikat. <br />d. BPN seharusnya menggunakan pendekatan sosiologi hukum dalam memproses permohonan pemohon sertifikat hak pemilikan sehingga hak-hak keperdataan masyarakat poso dapat dipulihkank/diselesaikan<br />e. Pendekatan yuridis normatif atau berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam hal pemulihan hak-hak keperdataan amat dibutuhkan bila dalam kondisi normal atau bukan bekas wilayah konflik.<br />3. Jaminan keamanaan bagi masyarakat yang mendiami Wilayah Poso<br />Masih segar dalam ingatan bagi penduduk yang mendiami Sulawesi Tengah, yaitu tiga kali ledakan bom, masing-masing di kelurahan Mapane dan di kelurahan Kasiguncu Kecamatan Poso Pesisir pada 15 April 2007 dan 22 Mei 2007 juga dikelurahan Kasiguncu pasca penggerebekan sejumlah DPO dibawah operasi penegakan hukum, bisa dilihat sebagai salah satu bukti bahwa jaminan keamanan tidak berbanding lurus dengan jumlah aparat keamanan di sana.<br />Pendekatan keamanan dengan menggerahkan pasukan dalam jumlah besar di tanah Poso, yang selama ini menjadi andalan pendekatan pemerintah dinilai gagal dalam memberi jaminan keamanan bagi pengungsi. Mengapa teror bom masih menghiasi Poso ketika itu? Padahal, tidak kurang dari 3000-an pasukan pengamanan TNI / POLRI ada disana. Apa saja yang mereka lakukan di Poso? Hal itu berarti bukan banyaknya aparat keamanan yang dibutuhkan untuk mewujudkan kedamaian di Poso, melainkan memerlukan pendekatan multi disipliner, dan metodologi serta muatan penanganan konflik Poso diubah lebih pada proses pendidikan, penguatan, serta penyadaran bagi masyarakat yang mendiami kabupaten Poso. <br />Hal dimaksud, berarti bukan mobilisasi bersenjata atau metodologi show force yang dilaksanakan di sana. Sebab, jika diamati lebih jauh, kebutuhan masyarakat Poso bukan itu. Ketika dihadapkan dengan show force pasukan pada akhirnya hanya mendapatkan perlawanan dan resistensi. Tetapi akan lain hasilnya jika menempuh dengan membangun diskusi tentang hak-hak keperdataan para korban dan hak-hak yang berkaitan dengan hak sipil dan politik serta hak bebas dari rasa takut.<br />Berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan aspek keperdataan di Poso akan terlihat ada nuansa pencerahan. Masyarakat pengungsi tidak dapat berbuat apa-apa karena saat hendak menggarap tanah mendapatkan resistensi dari masyarakat lainnya.<br />Hal itu terjadi karena orientasi negara yang direpresentasikan melalui pemerintah daerah atau komponen kelembagaan negara lainnya tidak pernah mau memikirkan. Kalaupun dipikirkan, mereka pura-pura bingung hingga akhirnya muncul lagi resitensi-resistensi yang berimplikasi pada problem kesejahteraan dan rasa aman.<br />“Seharusnya apa pun yang dilakukan lebih pada nuansa muatan pendidikan. Penyadaran harus lebih dominan. Karena itu, seluruh elemen negara di Poso harus segera membuka komunikasi dan menyadari bahwa metodologi dan pendekatan yang digunakan selama ini keliru.<br />Jaminan keamanaan bagi masyarakat yang mendiami Wilayah Poso, baik warga masyarakat pengungsi yang pulang ke Poso maupun warga masyarakat yang tidak pernah mengungsi dari wilayah Poso merupakan kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan kedamaian. Kedamaian dimaksud, dapat dilihat suasana kedamaian itu dalam tiga tahun terakhir ini. Aparat kepolisian bersama TNI (dalam skala kecil) dan pemerintah serta masyarakat melakukan langkah-langkah dalam mewujudkan kedamaian melalui: <br />a. Forum Komunikasi antar umat beragama <br /> Tokoh masyarakat Poso, baik Kristen dan Muslim, telah mengaktifkan kembali pola komunikasi antar tokoh agama dan warganya, mengaktifkan kembali pasar-pasar tradisional, membantu para pengungsi dari lintas agama untuk kembali ke daerah asalnya, dan mengerahkan warga untuk bergotong royong membersihkan lingkungan sekitar termasuk membangun rumah dan MCK umum. Masyarakat biasa pun tak ketinggalan membuat berbagai kegiatan yang melibatkan dua komunitas yang dulunya bertikai seperti menyelenggarakan pertandingan sepakbola dan volly. Ada pula wisata rekonsiliasi yang melibatkan ibu-ibu dari lingkungan Kristen dan Islam untuk mengunjungi rumah-rumah dan tempat ibadah yang hancur akibat konflik. Melalui aktivitas ini mereka bisa langsung melihat penderitaan yang lain dan menyadari bahwa mereka sama-sama dirugikan oleh konflik ini.<br /> Perdamaian kini mulai pulih di Poso dan relasi antar ummat beragama sudah mulai membaik. Penduduk Poso kini sudah bisa melakukan aktifitas harian mereka, pergi bekerja dan ke pasar, tanpa dihantui ketakutan akan terjadinya kekerasan. Forum untuk memfasilitasi komunikasi antar umat beragama pun sudah didirikan, dan di beberapa kawasan, beberapa komunitas agama setuju untuk meniadakan kegiatan di hari Jumat dan Minggu untuk menghormati pelaksaan ritual keagamaan seperti sholat Jum’at dan Kebaktian di Gereja.<br /> Namun yang lebih penting lagi, penduduk Poso kini tak lagi mudah terprovokasi untuk melakukan kekerasan bila ada insiden kekerasan, seperti meledaknya bom. Namun, luka akibat konflik belum sepenuhnya mengering, dan masih ada ketakutan akan adanya pihak-pihak yang memanfaatkan konflik untuk kepentingan mereka. Karena itu, langkah-langkah strategis perlu diambil agar perdamaian dan integrasi sosial yang sudah mulai terjalin dengan baik ini dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. <br />b. Budaya Toleransi<br />Budaya toleransi antar agama yang aktif perlu direvitalisasi karena toleransi adalah bekal utama proses integrasi; toleransi yang aktif memungkinkan semua pihak untuk tidak hanya mengakui keabsahan pandangannya masing-masing, tetapi juga menghargai pandangan-pandangan pihak lain. <br />Upaya meningkatkan integrasi dan menumbuhkan toleransi semacam itu bisa dilakukan dengan menggali kembali nilai kearifan lokal seperti ”Sintuwu Maroso" (kerjasama dan tolong menolong antar-sesama), ”Pamona” (tanggung-jawab sosial), ”Nosialapale” (keterbukaaan), dan ”Membetulungi Mombepalae” (kepedulian sosial). Pagelaran budaya lokal seperti tarian adat ”Dero”, dimana laki-laki dan perempuan yang berbeda etnis dan agama menari bergandeng tangan, perlu digalakkan kembali. <br /> Beberapa aktor yang terlibat menyulut konflik memang telah diadili dan dihukum. Tetapi pemerintah harus bekerja lebih keras untuk menegakkan hukum dengan adil, agar tidak ada kelompok yang merasa bahwa pemerintah mengorbankan satu kelompok dan melindungi yang lain. Netralitas seperti ini juga harus diterapkan oleh pemerintah dalam kebijakan di sektor lain yang terkait dengan Poso. Ini bisa dilakukan dengan menjunjung prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik dan komitmen untuk menghindari dan memberantas korupsi dan nepotisme. <br />c. Program-program pemberdayaan masyarakat<br />Program-program pemberdayaan masyarakat yang melibatkan dua komunitas yang dulunya bertikai perlu terus ditingkatkan agar mereka berbaur dan bersatu kembali. Kegiatan seperti membangun jalan, tempat ibadah, dan fasilitas umum bahkan menyelenggarakan kegiatan pengembangan usaha, jika dilakukan bersama-sama, akan membantu menyemat kembali ikatan yang pernah terurai. Akhirnya, menjaga dan mempertahankan perdamaian yang sudah mulai kembali di bumi Poso bukanlah sekedar meniadakan kekerasan, tetapi juga membangun toleransi dan memupuk niat dan keinginan untuk terus bekerja sama, agar masyarakat Poso bisa meraih kesejahteraan, kebebasan, dan keadilan bersama-sama. <br />D. Penutup<br />Untuk mewujudkan poso damai dalam kesinambungan maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.<br />1.Penegakan hukum dalam berbagai bentuknya termasuk HAM yang berkenaan pemulihan hak-hak sipil dan keperdataan amat menentukan keberlangsungan kedamaian di Poso;<br />2.Permohonan sertifikat dalam bentuk hak pemilikan tanah kepada Kantor pertanahan sebaiknya kantor pertanahan menggunakan pendekatan yuridis empiris dalam pengertian tidak mesti menggunakan persyaratan yang diatur dalam hukum agraria berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat yang mendiami poso adalah warga masyaraakat pernah mengalami kerusuhan sehingga bukti-bukti hak pemilikan tanahnya sebagian hilang dan terbakar.<br />3.Pemulihan hak-hak sipil keperdataan akan melahirkan ketenangan dan dapat meningkatkan perekonomian warga masyarakat yang bersangkutan.<br />4.Penciptaan aktivitas yang mlahirkan kerjasama antara ummat Islam dengan Kristen akan mewujudkan persatuan dan kesatuan yang berkesinambungan<br />5.Perekatan nilai-nilai sintuwu Maroso melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam bentuk proyek pembangunan jalan dan sarana umum lainnya. <br />DAFTAR PUSTAKA<br />Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, cet ke 4, Sinar Grafika, Jakarta, 2008<br />-----------. Filsafat Hukum, Cet ke 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2009<br />Lopa, H. Baharuddin, Alqur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996<br />Mahfud Masuara, Penanganan Poso 2008, Perlu Kedepankan Penyelesaian Masalah Keperdataan, Pengungsi dan Kemiskinan, www.mahfud.web.id <br />Radar Sulteng, 2007, 2008, dan 2009<br />Kompas, Tahun 2007, 2008, dan 2009<br />Palu (ANTARA News), www. Googlehttp//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-4398963250847569502009-07-12T09:05:00.000-07:002009-07-12T09:10:29.021-07:00METODE PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAHA. Pendahuluan<br />Judul yang ditawarkan oleh Panitia Diklat Karya Tulis Ilmiah adalah “Metode Penelitian Karya Tulis Ilmiah”. Judul dimaksud, penulis memberikan pengertian tentang Metodologi dan Karya Tulis Ilmiah.<br />B. Pembahasan<br />1. Metodologi<br />Metodologi mempunyai beberapa pengertian sebagai berikut.<br />a. Logika dari penelitian ilmiah,<br />b. Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian<br />c. Suatu sistim dari prosedur dan teknik penelitian<br />Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Karena itu penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. <br />Melalui proses penelitian dimaksud, diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Karena itu, metodologi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Hal itu berarti metodologi penelitian yang digunakan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing-masing sehingga antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya mem-punyai perbedaan metodologi penelitian. Sebagai contoh dapat diungkapkan : suatu penelitian dalam disiplin ilmu sosiologi tidak dapat dipaksakan seluruhnya untuk digunakan dalam penelitian hukum; suatu penelitian hukum tidak dapat dipakasakan metodologinya pada disiplin ilmu sejarah. Demikian seterusnya. Perbedaan metodologi pada setiap disiplin ilmu merupakan akibat dari keberadaan identitas pada masing-masing disiplin ilmu. <br />2. Karya Tulis Ilmiah <br />Penulisan suatu karya tulis ilmiah memerlukan sejumlah persyaratan, baik formal maupun materiil. Persyaratan formal adalah persyaratan yang menyangkut kebiasaan yang harus diikuti dalam penulisan; sedangkan persyaratan materiil adalah menyangkut isi tulisan. Sebuah tulisan akan mudah diketahui dan dipahami oleh pembaca bila isi dan cara penulisannya memenuhi persyaratan dan kebiasaan umum. Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan oleh penulis dalam membuat karya tulis ilmiah, baik makalah, laporan penelitian, skripsi, tesis, maupun disertasi. Jenis Karya Ilmiah dimaksud, dikemukakan sebagai berikut.<br /><br /><br />1. Makalah<br />Makalah adalah karya tulis ilmiah yang membahas suatu permasalahan, baik pembahasan itu berdasarkan hasil penelitian lapangan maupun kepustakaan yang disampaikan dalam pertemuan ilmiah (seminar) atau yang berkenaan dengan tugas-tugas perkuliahan atau tugas-tugas lainnya.<br />2. Skripsi <br />Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang ditulis oleh seorang mahasiswa Strata satu (S1) sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studinya. Tulisan dimaksud, membahas suatu permasalahan atau beberapa permasalahan, baik pembahasan itu berdasarkan hasil penelitian lapangan maupun kepustakaan.<br />3. Tesis<br />Tesis adalah karya tulis ilmiah yang ditulis oleh seorang mahasiswa Strata dua (S2) sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studinya. Tulisan dimaksud, membahas suatu permasalahan atau beberapa permasalahan yang kajiannya lebih mendalam dari tulisan Karya tulis Ilmiah Skripsi, baik pembahasan itu berdasarkan hasil penelitian lapangan maupun kepustakaan.<br />4. Disertasi <br />Disertasi adalah karya tulis ilmiah yang ditulis oleh seorang mahasiswa Strata Tiga (S3) sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studinya. Tulisan dimaksud, membahas suatu permasalahan atau beberapa permasalahan yang kajiannya lebih mendalam dari tulisan Karya Ilmiah Tesis, baik pembahasan itu berdasarkan hasil penelitian lapangan maupun kepustakaan yang menguji sesuatu teori atau membuat sesuatu teori.<br /><br />C. Hal-hal yang Perlu diperhatikan dalam Penulisan Karya Tulis Ilmiah <br />Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan karya ilmiah adalah sebagai berikut.<br />1. Nama undang-undang ditulis lengkap sesuai dengan judulnya. <br />2. Penulisan pasal: contoh Pasa15 ayat (1). P besar serta pada penulisan Pasal dan tanda kurung pada penulisan ayat 1 dan seterusnya<br />3. Mengingat Pasa1 pada umumnya merupakan pasal berisikan pengertian, shingga pasal tersebut tidak rnempunyai "ayat" akan tetapi "butir".<br />4. Peraturan perundangan, seharusnya: peraturan perundang-undangan.<br />5. Penulisan "di" digabung apabila merupakan kata kerja seperti "diatasi". "Di atas" dilepas karena bukan awalan kata kerja.<br />6. Penulisan kata majemuk "aneka ragam" dileps, akan tetapi "keanekaragaman" digabung, karena ada awalan "ke" dan akhiran "an". Kata "analisa" seharusnya "analisis", karena yang diambil dalam transformasi ke dalam bahasa Indonesia adalah pengucapannya dalam bahasa Inggris: analysis, Bahasa Belanda: analyse. Demikian pula kata sistim (Bahasa Inggris: system, bahasa Belanda: systeem).<br />7. Penulisan "... ir" seperti "diinventarisir" dari kata Belanda "inventariseren" harus diganti menjadi "diinventarisasi" dari kata lnggris "inventarization". Demikian pula dengan proklamir menjadi proklamasi, introdusir menjadi introduksi, ekspIoitir menjadi eksploitasi. dan sebagainya.<br />8. Penulisan "kwalitas", menjadi "kualitas, karena tidak boleh ada dua huruf mati berurutan, dengan beberapa pengecualian, di antaranya kata "sanksi'', <br />9. Penulisan "resiko" menjadi' "risiko", "tehnik" menjadi "teknik'", "azas" menjadi "asas.<br />10. Penulisan "efektip, produktip. negatip" huruf "p"nya diganti dengan "f'” menjadi "efektif, produktif, negatif' karena bangsa Indonesia dapat mengucapkan huruf"i'.<br />11. Kata "aktif ' memakai "f", akan tetapi apabila berubah menjadi "aktivitas", yaitu huruf "f' berubah menjadi "v".<br />12. Kata "peruntukan" ditulis dengan satu "k", yaitu awalan pe dan akhiran an, akan tetapi "diperuntukkan" ditulis dengan dua "k'" karena di sini diawali awalan di dan akhiran kan.<br />13. Kata "data-data" adalah keliru karena "data" adalah jamak dari kata “datum” yang tunggal. Kata "yang mana; di mana” perlu diganti.<br />14. Perlu, diperhatikan bentuk kalimat: aktif dengan menggunakan kata kerja dengan awalan "me" serta kalimat pasif dengan menggunakan awalan "di", seperti "Dalam Pasal 5 dinyatakan..." dan =`Pasal 5 menyatakan ... ", jadi bukan "Dalam Pasal 5 menyatakan ... ".<br />15. Penulisan "nonhayati" digabung karena kata "non" tidak berdiri sendiri. <br />16. Dalam karya ilmiah dihindari kata seperti "tidak karuan, seenaknya" yang digunakan sebagai ungkapan sehari-hari. <br />17. Penggunaan "adalah merupakan" perlu dipilih satu, karena kedua-duanya adalah predikat. <br />18. Gelar tidak digunakan dalam naskah maupun dalam daftar pustaka. Namun dapat digunakan dalain ucapan terima kasih.<br />19. Penulisan referensi dapat dilaksanakan dengan menggunakan sistem catatan kaki (footnote) atau dimasukkan dalam teks di belakang kutipan (nama penulis, tahun penerbitan: halaman). Pilih di antara keduanya, tidak boleh dicampur.<br />20. Penomoran dapat dilakukan dengan sistem digital atau angka dengan nomor atau huruf: A, 1., a., j), al, (1), dan (a). Pilih salah satu diantara keduanya, tidak boleh dicampur.<br />21. Hindari kata seperti "sangat perlu sekali" yang bersifat berlebihan.<br />22. Kata "konsepsional" adalah dari kata Belanda "conceptual". Demikian juga kata "konsepsi" dari kata Belanda "concep-tie". Karena itu lebih tepat menggunakan kata "konseptual” dari kata lnggris "conceptual", sebagaimana juga kata “konsep" dari kata Inggris "concept".<br />23. Penggunaan bentuk jamak "saran-saran" tidak perlu, karena kata "saran" mengandung makna tunggal maupun jamak.<br />24. Penggunaan tanda baca - hanya untuk pemenggalan kata. Dengan demikian tidak digunakan untuk meluruskan garis bawah dan atas dan atas bawah ("kosmetil:a"), juga tidak digunakan untuk penomoran.<br />25. Mengingat program komputer pada umumnya adalah progran; bahasa lnggris, perlu diperhatikan pemenggalan kata bahasa Indonesia yang tidak dikenal oleh ¬program komputer. Caranya adalali dengan menggeser kata kedua, kata ketiga dan seterusnya dari baris yang mengandung kesalahani pemenggalan sampai diperoleh pemeng¬galan yang benar dalam bahasa Indonesia.<br />26. Kata "sedangkan, sehingga, dari" tidak dapat digunakan sebagai awal kalimat, karena merupakan kata penghubung. <br />27. Penggunaan. Kata "saya, kami, dan kita'' dalam penulisan karya ilmiah sejauh¬mungkin dihindarkan., diganti dengan "penulis", "peneliti" atau digunakan kalimat pasif (awalan di).<br />28. Sub judul tidak boleh ditulis di bagian Akhir halaman akan tetapi harus dipindahkan ke halaman berikutnya.<br />29. Kata "daripada" hanya digunakan apabila ada tandingannya, tidak boleh untuk menyatakan kepunyaan. <br />30. Tidak perlu memulai kalimat dengan kata "'bahwa", yang hanya dipakai sebagai permulaan konsiderans.<br />31. Antara sumber kutipan dalam naskah dan daftar pustaka, harus ada hubungan timbal balik; yang ada dalam daftar pustaka dapat ditemukan sebagai sumber dalam naskah dan yang- dikutip dalam naskah terdapat sumbernya dalam daftar pustaka.<br />32. Guna memperoleh kalimat lengkap, perlu senantiasa diadakan "analisis kalimat", yang berarti perlu dalam benak pikiran .diadakan penyederhaan kalimat, agar terlihat dengan jelas apa yang menjadi predikat dan apa yang menjadi subyek.<br />33. Yang dapat menjadi predikat adalah selalu kata kerja yang berjumlah satu. Yang dapat menjadi subyek adalah selalu kata benda yang berjumlah satu. <br />34. Perlu dihindari pembuatan kalimat yang panjang-panjang, sehingga menjadi tidak jelas makna kalimat karena mengandung berbagai pikiran rnenjadi satu. Seyogyanya satu pokok pikiran dituangkan dalam satu kalimat. <br />35. Penempatan tanda baca selalu "menempel" pada huruf atau kata, tidak ber¬diri sendiri; seperti ."(ekolabel)", tidak boleh ditulis dengan spasi seperti "( ekolabel )", atau "tahun 1.996." tidak boleh ditulis dengan spsai "1996 ." Demikian dihindarkan adanya tanda baca yang pindah kebaris berikutnya, terlepas dari kata atau angka sebelumnya. Sebaliknya, penggunaan tanda baca, selalu diikuti dengan spasi, seperti setelah ¬titik, koma, kurung dan sebagainya.<br /><br />D. Kesimpulan<br /><br />1. Metode Penelitian Karya Tulis Ilmiah terdi atas Penelitian Kepustakaan dan Penelitian Lapangan; <br />2. Karya Tulis Ilmiah terdiri atas, makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi<br />3. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Karya Tulis Ilmiah terdiri atas 35 Langkah perhatian untuk menyesuaikan penggunaan bahasa Ilmiah dengan Karya Tulis Ilmiah.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7977284093842243349.post-81263185886569258672009-07-12T08:46:00.000-07:002009-07-12T08:48:43.080-07:00ASAS NE BIS IN IDEM BAGI HAKIM DI PENGADILANDalam melaksanakan pembangunan di bidang hukum, pada prinsifnya kemandirian penegak hukum mutlak diperlukan. Hal inilah kiranya yang mendasari mengapa kekuasaan seorang hakim cukup besar dalam menjalankan fungsi peradilan.<br />Dasar hukum yang memuat mengenai kemandirian hakim termuat dalam Pasal 1 dan 4 ayat (3) yang berbunyi :<br />Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.<br />Selanjutnya pada Pasal 4 ayat (3) dikatakan bahwa :<br />Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam Undang-Undang Dasar.<br />Melihat kekuasaan yang begitu besar wewenangnya dalam dunia peradilan, maka sudah barang tentu seorang hakim diharapkan dapat melahirkan putusan yang tidak bertentangan dengan rasa keadilan rakyat. Seorang hakim yang bebas seperti yang disebut di atas, bukan berarti bebas sesuai dengan kehendaknya, namun ia juga harus mematuhi norma-norma yang berlaku bagi seorang hakim.hal ini dipertegas dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni, “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.<br />Hakim sebagai pilar bagi tegaknya hukum dan keadilan mempunyai posisi yang sangat rentah terhadap kontaminasi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).<br />Banyaknya sorotan serta kritikan yang dilontarkan berbagai pihak, memang bukan tanpa alasan. Melihat posisi hakim yang mempunyai kekuasaan yang begitu besar, bukan tidak mungkin diselewengkan oleh para hakim. Namun tidak berarti bahwa banyaknya sorotan serta kritikan terhadap duani peradilan terutama terhadap hakim, maka kekuasaan dan kebebasan seseorang hakim harus terbelenggu. Sebab seorang hakim juga harus dituntut untuk setiap saat menemukan hukum bagi setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sesuai dengan pandangan Achmad Ali (1996 : 156) yang menetapkan bahwa Hakim dalam setiap putusannya selalu dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum.<br />Jikalau seorang hakim kehilangan kebebasan dalam melaksanakan fungsinya, maka sudah pasti ia juga sudah tidak dapat menemukan hukum seperti pendapat tersebut di atas.<br /> <br />Rumusan Masalah<br />Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu pokok permasalahan yakni :<br />1. Sejauhmana tingkat kebebasan dan kekuasaan seorang hakim dalam menjatuhkan putusannya?<br />2. Bagaimana kekuatan/akibat hukum dari suatu putusan yang dijatuhkan oleh seorang hakim?<br /><br />Pengertian<br />Untuk memulai pembahasan makalah ini, penulis berangkat dari pengertian tentang apa yang dimaksud dengan hakim serta apa pula yang dimaksud dengan ne bis in idem.<br />Hakim menurut defenisi Andi Hamzah (1986:229) adalah : Pejabat Peradilan Pegara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili,1 butir 8 KUHP.<br />Sedangkan ne bis in idem lebih lanjut dikatakan oleh Andi Hamzah (1986:393) adalah suatu perkara yang sama tidak boleh lebih dari satu kali diajukan untuk diputuskan oleh pengadilan. Dalam perkara perdata, jika suatu putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka tertutuplah kemungkinan untuk digugat kembali.<br />Berkaitan dengan hal di atas lebih lanjut dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo (1988:173) bahwa kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa seseorang hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus asebelumnya antara para pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama, dan ulangan dari tindakan itu tidak mempunyai akibat hukum dan masalah seperti itu biasa diistilahkan dengan ne bis in idem.<br />A. Profesi Hakim<br />Dari dulu hingga kini, profesi hakim tetap merupakan profesi yang terpandang serta mulia dalam setiap komunitas penduduk. Seseorang yang hendak menjadi hakim harus memiliki sejumlah kriteria-kriteria tertentu untuk mencapai hal tersebut.<br />Satjipto Rahardjo (Achmad Ali, 1998 : 204) mengemukakan bahwa para Hakim termasuk orang-orang profesional yang bekerja dengan diam-diam. Lingkungan dan suasana kerja hakim adalah suasana yang tenang dan tentram, sangat berbeda dengan komponen peradilan yang lain, seperti polisi. Pekerjaan memeriksa dan mengadili lebih banyak mengerahkan kemampuan intelektual daripada otot. Tetapi ternyata kekeliruan kita jika berpendapat, bahwa pekerjaan profesional yang penuh dengan ketenangan itu tidak dapat menghasilkan suatu guncangan besar, suatu perubahan sosial, bahkan revolusi.<br />Dengan demikian menurut Achmad Ali (1998 : 205) bahwa hakim melalui putusannya, seyogyanya tidak menjatuhkan putusan-putusan yang tidak membumi, dalam arti sama sekali jauh dari kebutuhan masyarakatnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa mau tidak mau putusan hakim yang dinilai bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dapat mempengaruhi sikap masyarakat. Oleh karena itu, hendaknya hakim benar-benar mewujudkan harapan yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menginginkan hakim dalam memutus, senantiasa memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.<br />Menurut Satjipto Rahardjo (Achmad Ali, 1998 : 206) mengemukakan bahwa Hakim adalah bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran masyarakat dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu di dalam menjalankan perannya itu, ia merupakan :<br />(1) pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat.<br />(2) hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi)<br />(3) sasaran pengaruh lingkungannya pada waktu tiu. <br />Dengan demikian, seorang hakim dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya, menurut Budi Susanto (K. Lubis, 1993 L: 17 – 18) harus memiliki beberapa keutamaan yang anatara lain adalah keutamaan moral yang dibagi kedalam :<br />1. Kebijaksanaan yang merupakan induk dari keutamaan-keutamaan moral. Para ahli mengemukakan bahwa seseorang haruslah bijaksana supaya ia dapat menjadi adil dan tangguh.<br />Kebijaksanaan ini memerlukan sedikitnya dua syarat, yaitu pertama; pemahaman bathiniah, dan kedua kemampuan memanfaatkannya secara tepat pada setiap keadaan nyata.<br />2. Keadilan <br />Meskipun definisi keadilan hingga saat ini masih terdapat pertentangan mengingat sifatnya yang abstrak namun sebagai rujukan dari dapat dipedomani pendapat plato yang mengemukakan bahwa keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.<br />3. Ketangguhan.<br />Ketangguhan sering juga diistilahkan dengan keberanian. Ketangguhan juga bermakna sebagai kemampuan menanggung penderitaan dan kesulitan dengan berani dan tabah.<br />4. Keugaharian<br />Keugaharian, berasal dari kata “ugahari” yang berarti sedang; pertengahan, sederhana.<br />Kesederhanaan, dan ini dimanifestasikan dalam ciri-ciri kepribadian yang unggul, seperti kemurnian. Kesederhanaan, kerendahan hati dan lain-lain. <br />Namun demikian terlepas dari keutamaan-keutamaan yang harus dimiliki seorang hakim seperti tersebut di atas, sebuah ungkapan jujur keluar dari sosok hakim agung yaitu bapak Purwoto Gandasubrata (Siregar, 1995 : 81) bahwa dari pengamatan dan pengalaman kita sendiri, dengan hati sedih harus kita akui bahwa wibawa hukum dan citra pengadilan saat ini masih cukup memprihatinkan; sedangkan dalam Negara Republik Indonesia, yang merupakan suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman harus berwibawa dan dihormati. <br />B. Kebebasan dan Kemandirian Hakim<br />Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kekuasaan hakim adalah kekuasaan yang bebas dari campur tangan pihak lain, seperti yang telah tercantum pada rumusan Pasal 1 dan Pasal 4 ayat (3).<br />Dalah hal putusan, seorang hakim memiliki kebebasan untuk menentukan putusannya, namun kebebasan hakim ini seperti dikatakan Oemar Senoadji (Affandi, 1981 : 93) janganlah diartikan sebagai kebebasan sekehendak hati. Sebab kebebasan itu tidak mengandung maksud untuk menyalurkan kehendaknya dengan sewenang-wenang tanpa objektivitasnya.<br />Adalah tepat jika hakim menjadikan dalih kebebasan dalam rangka untuk menegakkan prinsip keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu daripadanya untuk selalu memperhatikan sifat yang dilakukan secara keseluruhan.<br />Pandangan seorang hakim tidak hanya tertuju kepada apakah putusan itu sudah benar menurut hukum melainkan juga terhadap akibat yang mungkin timbul. Dengan demikian seorang halim dianjurkan agar tidak menutup diri dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat sehingga ia akan lebih dapat memahami serta meresapi makna dari putusan yang akan dijatuhkannya.<br />Hakim yang tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat akan lebih mudah mengundang reaksi masyarakat melalui putusan-putusannya yang kurang mencerminkan perasaan keadilan. Sebaliknya harus pula diakui bahwa kesadaran hukum masyarakat belum sepenuhnya memuaskan hingga kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan masih diragukan kebenaran juridisnya.<br />Achmad Ali (1999 : 60) mengemukakan bahwa di adalam penyelesaian konflik lewat pengadilan terdapat kesenjangan antara persepsi para hakim dan persepsi para pihak yang berkonflik sendiri tentang kasus mereka itu. Sangat sering terdapat perbedaan persepsi yang tajam antara hakim yang bersandar pada tembok-tembok yang bersifat juridis, yaitu ketentuan-ketentuan formal yang berlaku, sedangkan para pihak yang berkonflik yang bersandar pada pengertain yang lebih samar-samar. Kesenjangan antara hakim dan pihak-pihak yang berkonflik itu kadang-kadang menjadi sedemikian besarnya sehingga sering dikatakan menimbulkan dua dunia yang sangat berbeda satu sama lain.<br />Karenanya suatu putusan hakim sebaiknya lebih informatif agar dapat memberikan gambaran yang lengkap baik tentang kasusnya maupun tentang dasar pertimbangan hukumnya.<br />Menjatuhkan putusan bukanlah pekerjaan yang mudah dan terkadang menempatkan hakim pada posisi pahit, terlebih jika ada campur tangan yang tidak bisa dielakkan. Meskipun begitu, seandainya hakim mau mempergunakan kebebasannya dengan batasan serta melaksanakan keyakinan berdasarkan kenyataan maka ia akan dapat mengekang dirinya untuk tidak menjatuhkan putusan yang dapat memancing reaksi masyarakat.<br />C. Hakekat Kemandirian Hakim<br />Seperti yang telah banyak disinggung pada bagian terdahulu bahwa seorang hakim mempunyai wewenang yang besar dalam menjalankan fungsi peradilan yang diamanahkan kepadanya. Oleh bapak Bismar Siregar (1986:73) menguraikan tentang hakekat kemandirian atau kebebasan hakim yang sesungguhnya bahwa kemandirian dan kebebasan hakim sangat tergantung pada pribadinya dan bukan pada jaminan undang-undang, tetapi kepada iman.<br />Kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa semakin memperkokoh pendapat bapak Bismar Siregar di atas, bahwa seorang hakim dalam menjatuhkan putusannya bukan bebas-sebebasnya akan tetapi ia harus pertanggung jawabkan di depan Pengadilan Allah SWT. bukan tanpa alasan mengapa pembuat undang-undang mengurutkan pertanggung jawaban demikian, tetapi karena tahu persis bahwa dasar Hakim memberi keadilan itu bukan demi siapa-siapa tetapi Demi Tuhan Yang Maha Esa.<br />Olehnya itu lebih lanjut dikatakan Bismar Siregar (1995:80) bahwa setiap hakim hendaknya bertanya kepada diri sendiri, apakah ia mampu menegakkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban yang jujur.<br />D. Kekuatan Mengikat Putusan Hakim<br />Suatu putusan yang dikeluarkan oleh hakim dengans endirinya mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat kepada para pihak. Putusan hakim biasanya dimaksudkan untuk dapat melaksanakan atau merealisir suatu hak secara paksa (Sudikno Mertokusumo, 1988:171).<br />Dengan demikian, putusan seorang hakim mempunyai kekuatan mengikat kepada kedua belah pihak (Pasal 1917 BW). Terikatnya para pihak kepada putusan telah melahirkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat dari pada putusan. Teori-teori tersebut telah dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo (1988 : 171-175) antara lain :<br />a. Teori hukum materiil.<br />Menurut teori ini, kekuatan mengikat dari suatu putusan mempunyai sifat hukum materiil oleh karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban keperdataan: menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Menurut teori ini putusan itu dapat menimbulkan atau meniadakan hubungan hukum. Dengan demikian putusan merupakan sumber hukum materiil.<br />Suatu tuntutan pembayaran atau pelunasan hutang dari penggugat yang dikabulkan oleh pengadilan menyebabkan penggugat menjadi kreditur, sekalipun putusannya belum tentu benar.<br />b. Teori hukum acara<br />Teori ini membantah teori pertama yang menganggap bahwa putusan adalah sumber hukum materiil, melainkan sumber daripada wewenang prosesuil. Siapa yang dalam suatu putusan diakui sebagai pemilik, maka ia dengan sarana prosesuil terhadap lawannya dapat bertindak sebagai pemilik. Baru apabila undang-undang mensyaratkan adanya putusan untuk timbulnya keadaan baru, maka putusan itu mempunyai arti hukum materiil. <br />c. Teori hukum pembuktian<br />Menurut teori ini, putusan merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan di dalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan. Teori tergolong teori kuno yang sudah tidak banyak penganutnya.<br />d. Terikatnya para pihak pada putusan<br />Sterikatnya para pihak terhadap putusan hakim mempunyai dua pengertian yaitu Pertama; bahwa apa yang diputus di antara para pihak berlaku sebagai suatu kebenaran. Kedua bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta perkara yang sama.<br />Ini menunjukkan bahwa kebebasan seseorang hakim demikian besar, sehingga dari putusannya itu tidak lagi dapat diputus oleh hakim manakala perkara ini diajukan kembali.<br />e. Kekuatan hukum yang pasti<br />Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap apabila tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia. Termasuk upaya hukum biasa yaitu perlawanan, banding dan kasasi.<br /><br />Kesimpulan<br />Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kini tibalah saatnya bagi penulis untuk menyimpulkan uraian tersebut yaitu :<br />1. Hakim dalam menjalankan fungsi peradilan yang diamanahkan kepada diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini telah dikukuhkan dalam sebuah Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Namun kebebasan dimaksud dalam undang-undang tersebut tidaklah berarti bebas sekehendak hati. Akan tetapi suatu putusan harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat<br />2. Salah satu bentuk dari kemandirian dan kebebasan hakim adalah diberikannya wewenang untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dan putusan tersebut wajib dipatuhi oleh para pihak sebagai akibat hukum dari putusan tersebut. Sebagai tindak lanjut dari kebebasan dan kemandirian hakim, maka suatu perkara yang telah diputuskan oleh seorang hakim terhadap objek yang sama, para pihak yang sama serta perkara yang sama, tidak lagi dapat diterima oleh pengadilan.<br /> <br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Affandi, Wahyu, 1981, Hakim dan Penegakan Hukum, Alumni, Bandung.<br />Ali, Achmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta.<br />_________, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta.<br />_________, 1999, Pengadilan dan Masyarakat, Hasanuddin University Press. Ujung Pandang.<br />Hamzah, Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.<br />K. Lubis, Suhrawardi, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.<br />Mertokusumo, Sudikno, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.<br />Siregar, Bismar, 1986, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Rajawali, Jakarta.<br />___________, 1995, Hukum, Hakim dan Keadilan Tuhan, Gema Insani Press, Jakarta.http//:Sosiologi Hukum.blog.sponhttp://www.blogger.com/profile/17122522354312510320noreply@blogger.com0