Kamis, 28 Juli 2011

KASUS MOHAMMAD NAZARUDDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

KASUS MOHAMMAD NAZARUDDIN DITINJAU DARI ASPEK
SOSIOLOGI HUKUM
Oleh :
1.Andi Setiawan
2.Titus Kalingkas
3.Dominicus
4.Lasbok Marbun
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan, 23 Juli 2011
Mata Kuliah : SOSIOLOGI HUKUM
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali S.H. M.A.

A. Pendahuluan
Maraknya pemberitaan yang menyorot M. Nazarudin, bendahara partai demokrat, mengenai kasus-kasus hukum yang membelitnya nyata-nyata telah berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasus hukum yang menerpa M. Nazarudin seperti dalam kasus pengerjaan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung, dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. tidak hanya mencederai nama besar Partai demokrat dimata publik, namun juga mungkin akan mengakhiri zaman keemasan partai demokrat.
Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya.
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Nazarudin selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.

B. Pembahasan
1. Ramai-Ramai Para Koruptor ke Singapura
Beberapa tahun terakhir ini belasan hingga puluhan WNI yang bermasalah dengan hukum diyakini bersembunyi di sejumlah negara, terutama negeri jiran Singapura. Selain Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, masih ada juga nama lain seperti Anggoro Widjaja, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Juga Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belum lagi nama-nama buronan seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian. Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin,serta Hendra Liem alias Hendra Lim,Nader Taher, dan Agus Anwar. Status mereka di Indonesia memang benar berstatus sebagai koruptor, tetapi kenyataan di luar negeri status mereka bukan sebagai koruptor. Melainkan, mereka dijamu sebagai tamu, dan terkadang akan menjadi tamu yang baik sebab mereka membayar pajak, membelanjakan uangnya dan lain-lainnya.

Kalau Densus 88 Polri bisa memburu para tersangka teroris, satuan-satuan khusus yang dibentuk Polri pun pasti mampu memburu tersangka koruptor. Kalau perburuan Nunun Nurbaeti dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, strategi yang sama mestinya bisa diterapkan untuk memburu tersangka koruptor lainnya.
Kembali ke kasus Nazarudin, Kasus pemberian uang yang dilakukan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menambah panjang kontroversi yang dilakukan politisi muda tersebut. Anehnya, hal itu tidak juga membuat Partai Demokrat segera melakukan koreksi diri. Tetapi malah semakin kuat untuk membela anggotanya yang disinyalir tersandung kasus pidana.
Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, inilah kesempatan emas bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki nama baik partai. Begitu jelas partai dipakai untuk kepentingan pribadi-pribadi, namun selama ini sulit bagi Partai Demokrat untuk menindak anggotanya. Sekarang ada fakta yang begitu gamblang, namun mereka mencoba menutup mata.
2. Tebang Pilih Penegakan Hukum
Boleh jadi, karena Nazaruddin kader Partai Demokrat, Presiden tak dapat menutup- nutupi kepentingannya dalam merespons kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang itu mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik ”menyelamatkan” Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin ”bernyanyi” dan mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario politik partai demokrat.
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK harus bertindak lebih tegas dan lebih cepat menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader partai demokrat Nazarudin. Perlunya tindakan tegas dan cepat dalam penangaan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang Sumatera Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan Nazaruddin yang saat ini berada di Singapura seharusnya bisa menjelaskan kasus dugaan korupsi tersebut dengan benar tanpa harus ditutup-tutupi agar kasus tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas . Keengganan Nazarudin menjelaskan dengan tuntas kasus tersebut karena hal itu akan menyangkut nama baik diriya sebagai anggota DPR. Ada kesan bahwa KPK lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi sangat mungkin, hal itu disebabkan Nazaruddin merupakan kader partai demokrat yang merupakan partai yang berkuasa saat ini. Sehingga apabila kasus Nazarudin di telusuri lebih dalam, sangat mungkin akan mengungkap banyak hal yag berkaitan dengan tuduhan dugaan korupsi yang di arahkan padanya dan akan membuka semua borok kader-kader Partai Demokrat lainnya sehingga menyeret sejumlah orang penting di partai tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut Lord Acton menegaskan,”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” 1
Indonesia adalah negara hukum, seyogyanya siapapun yang terkait dengan kasus hukum harus ditangani dengan tegas dan tuntas apalagi bila KPK yang menanganinya, sehingga kesan di masyarakat bahwa penanganan hukum sifatnya tebang pilih bisa diminimalisir.
3. Kasus Hukum Mohammad Nazaruddin akan dikaburkan/hilang
Serangkaian kasus besar pelanggaran pidana di Indonesia terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya di awal tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja kasus bank century, kasus likuidasi BLBI, kasus Gayus, Kasus Susno Duadji dan seterusnya. Kemudian yang teranyar kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin dan masih akan ada kasus-kasus besar lainnya bermunculan. Dapat diprediksikan kalau situasi semacam ini akan terus berlanjut hingga 2014 mendatang pada akhir masa pemerintahan SBY. Sebab, tidak ada ketegasan dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul.

Menyikapi keadaaan carut marut hukum seperti demikian, tampaknya masyarakat Indonesia sudah sangat jenuh dipertontonkan dengan hal semacam ini. Banyak kasus besar
namun tidak kunjung ada penyelesaiannya. Setelah satu kasus lama tak diungkap kemudian berganti lagi dengan kasus yang satu untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Kejadian semacam ini di Indonesia disebabkan kondisi politik saat ini dimana, partai politik di Indonesia belum bisa disebut partai politik yang ideal. Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau.” Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan yang strategis yang nantinya akan menjadi donasi terhadap partai.

a. Aspek Sosiologi Hukum
Dalam kasus hukum Nazarudin jelas bahwa para petinggi partai mencoba dengan segala daya menyelamatkan partai dan para kadernya dari upaya jeratan hukum dengan kekuasaan dan kekuatan politik partai demokrat sehingga Nazarudin untouchable dari aparat hukum. Dalam masyarakat ada empat kekuataan sosial yang bersifat baik dan tidak baik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Empat kekuatan sosial itu adalah (1) kekuatan uang, (2) kekuatan politik, (3) kekuatan massa, (4) kekuatan teknologi baru.

b. Yuridis Normatif

Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazaruddin bisa ditangkap atau didatangkan.

Rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, para anggota Partai Demokrat juga jangan mencoba lari dari substansi. Salah besar apabila rakyat dianggap tidak mencatat dan mengingat setiap tindakan yang dilakukan elite partai. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang nyeleneh dan melanggar hukum yang dilakukan para politisi. Rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan setegak-tegaknya di republik ini. Adili para pelaku korupsi ke pengadilan dan tunjukkan kesalahahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka. Pendekatan seperti ini dalam kajian sosiologi hukum disebut pendekatan yuridis normatif.

c. Yuridis Empiris
Begitu seringnya rangkaian kasus besar di Indonesia yang terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya dan kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin sepertinya bukanlah kasus yang terakhir tapi masih akan ada kasus-kasus besar lainnya yang akan bermunculan. Karena tiada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Celakanya tak satupun aparat penegak hukum yang mampu menangkap Nazaruddin. Dalam hal ini, yang perlu diributkan sebenarnya adalah aparat hukum yang sampai saat ini tak mampu menangkap Nazaruddin, kalau saja Nazaruddin dapat ditangkap atau didatangkan, maka semua isu yang berkembang dengan
sendirinya bakal terjawab.
Ada kasus besar yang terungkap ke publik bukan untuk diselesaikan tapi digunakan untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Realita ini yang sedang disajikan oleh elit partai demokrat yang sedang berkuasa di pemerintahan pada rakyat. Kenyaatan hukum ini dalam kajian sosiologi hukum disebut yuridis empiris. Hukum dengan kajian yuridis empiris tidak didasarkan pada bentuk pasal dan peraturan, melainkan bagaimana hukum itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
SOLUSI
Persoalan 'bola panas' mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, telah menggelinding jauh ke ranah politik. Akibatnya, kasus Nazaruddin yang sebenarnya bermuara pada permasalahan hukum itu telah bergeser jauh menjadi persoalan politik. Inilah kenyataan hukum di republik ini. Hukum diombang-ambingkan ke segala arah sesuai kehendak penguasa. Sungguh ironis, undang-undang anti tindak pidana korupsi belum mampu membuat para pelaku korupsi jera, justru malah semakin menjamurnya para koruptor baru. Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum melalui mekanisme yuridis normatif patut dikedepankan dengan menghilangkan unsur tebang pilih. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem yang ada di Indonesia baik dari aspek hukum, pemerintahan, politik dan juga mengenai sistem keimigrasiannya.

C. Kesimpulan
Kasus Nazarudin yang tak kunjung tuntas sekali lagi telah mencoreng upaya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini murni memang bukan masalah hukum semata, belakangan bahkan masalah politik mendominasi kasus Nazarudin. Setelah ditelusuri, ternyata M.Nazarudin bukan orang “sembarangan”. Ia adalah bendahara umum partai demokrat, sebuah partai poltik yang tengah berkuasa saat ini. Dengan “kesaktiannya”, aparat penegak hukum tak mampu mengendus keberadaannya apalagi menangkapnya kembali ke tanah air. Ditenggarai, banyak kepentingan politik berada dibelakang kasus ini sehingga ia tetap tak tersentuh hukum. Hal ini selaras dengan materi kuliah Prof. Zainuddin Ali pada kuliah Sosiologi Hukum bahwa kekuatan politik dan uang dapat membelokkan upaya penegakanhukum di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta, Cet. Ke 3, Sinar Grafika, 2010.
-------------., Sosiologi Hukum. Jakarta, Cet. Ke 4, Sinar Grafika, 2010.
Irsan, Koesparmono. Politik hukum, Jakarta : Universitas Brobodur, 2004
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004
Schmid, J.Von. Ahli-ahli pikir besar tentang negara dan hukum. Jakarta: PT Pembagunan, 2004
Kasus Nazaruddin akan Hilang http://www.infoindo.com/20110710144545 Minggu,10 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar