Sabtu, 26 Februari 2011

“PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN NEGARA DARI SUDUT SELF ASSESSMENT SYSTEM BERDASARKAN PASAL 25 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008”

“PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN NEGARA DARI SUDUT SELF ASSESSMENT SYSTEM BERDASARKAN PASAL 25 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008”

Oleh: Fahruddin (Mahasiswa S2 Hukum Univ. 17 Agustus 1945
Pembimbing: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu sumber pendapatan negara yang penting adalah dari sektor pajak. Hal ini bisa dilihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dimana sektor pajak merupakan salah satu dari tiga sumber utama penerimaan negara seperti berikut:
a. Penerimaan dari sektor pajak;
b. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi);
c. Penerimaan dari sektor bukan pajak.
Dari ketiga sumber penerimaan di atas, penerimaan dari sektor pajak ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun penerimaan pajak terus meningkat dan memberi andil yang besar bagi penerimaan negara. Penerimaan dari sektor pajak beberapa tahun terakhir dapat dikatakan sebagai tulang punggung penerimaan negara oleh karena besarnya kontribusi sektor pajak dalam memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan penerimaan dari migas, yang dahulu selalu menjadi andalan penerimaan negara, sekarang sudah tidak bisa diharapkan lagi sebagai penyumbang utama dalam memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hal ini disebabkan antara lain oleh sifatnya sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui lagi (non-renewable resources) yang suatu saat bisa habis. Berbeda dengan pajak yang bisa diperbaharui lewat berbagai peraturan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat.
Besarnya peranan sektor pajak untuk memenuhi kebutuhan dana bagi negara semakin nyata terutama dalam beberapa tahun terakhir, dimana lebih dari 50% penerimaan dalam negeri berasal dari penerimaan pajak. Besarnya peranan sektor pajak juga nampak ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyampaikan Nota Keuangan Tahun 2009, pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah anggaran yang diperlukan untuk pengeluaran negara sebesar Rp 1.203,3 triliun, dari jumlah tersebut penerimaan dalam negeri direncanakan sebesar Rp1.123,0 triliun. Dari penerimaan dalam negeri sebesar Rp 1.123,0 triliun, kontribusi pajak pajak Rp 748,9 triliun (67 persen), meningkat Rp 157 triliun (26,59 persen) dari rencana penerimaan 2008 (Rp 591,9 triliun).
Oleh karena besarnya kontribusi yang diharap dari sektor pajak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maka diperlukan kerja keras Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, khususnya seluruh aparat Direktorat Jenderal Pajak, agar target penerimaan pajak yang telah ditetapkan dapat terpenuhi. Sebaliknya dari pihak Wajib Pajak juga dituntut kesadarannya untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang dinamis menuntut adanya sikap pemerintah yang responsif untuk mengadakan penyesuaian dengan melakukan berbagai perubahan peraturan perpajakan termasuk Undang-Undang Pajak. Perubahan peraturan perpajakan diutamakan untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan melakukan pemungutan pajak secara optimal sesuai dengan potensi pajak yang ada dengan dilandasi keadilan dalam pemungutannya. Apabila pemungutan pajak dilandasi dengan keadilan serta menjunjung tinggi harkat dan martabat rakyat sebagai pembayar pajak, maka diharapkan kesadaran rakyat untuk membayar pajak sebagai partisipasi aktif dalam pembiayaan pembangunan juga meningkat.
Untuk memenuhi tuntutan jaman sesuai kondisi sosial politik, ekonomi negara saat itu maka dikeluarkanlah peraturan perpajakan dalam bentuk undang undang pajak masing-masing Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPn BM). Selanjutnya pada tahun 1985 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, kemudian dikeluarkan pula Undang-Undang Nomor 13 tentang Bea Meterai. Bisa dikatakan reformasi perpajakan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1983. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, SH. Pembaharuan perundang-undangan perpajakan itu untuk mengadakan perombakan yang mencakup:
a. Penyederhanaan jumlah dan jenis pajak
b. Penyederhanaan tarif pajak
c. Penyederhanaan tata cara perpajakan
d. Pembenahan aparatur perpajakan
e. Pemberian kepastian hukum.
Dalam undang-undang pajak produk kolonial yang sistem pemungutannya dikenal dengan istilah Official Assessment System, dimana rakyat sebagai pembayar pajak lebih dianggap sebagai “obyek”, tetapi dengan berlakunya Undang-undang pajak yang baru maka Wajib Pajak merupakan “subyek” yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan.
Sistem pemungutan pajak yang berlaku dengan Undang-Undang ini adalah Self Assessment System sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum angka 3 huruf c Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009. Dalam Self Assessment System dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri mulai dari menghitung sendiri berapa penghasilannya kemudian menghitung berapa pajaknya, menyetorkan dan melaporkan sendiri kewajiban pajaknya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah beberapa kali diadakan perubahan terakhir dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008. Undang-undang ini merupakan pengganti undang-undang perpajakan sebelumnya yang merupakan undang-undang peninggalan kolonial atau yang masih dipengaruhi oleh kolonial, seperti Pajak Orang Pribadi yang diatur dalam Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944 dan Pajak Perseroan yang diatur dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 serta pajak atas bunga , dividen, dan royalti yang diatur dalam Undang-undang pajak atas Bunga, Dividen, dan royalti tahun 1970.
Sesuai dengan ketentuan tentang Undang-Undang PPh, Subjek Pajak dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Ada dua unsur yang harus dipenuhi untuk pemungutan PPh yaitu pertama subyek pajaknya dan yang kedua obyek pajaknya yaitu penghasilan yang dikenakan pajak. . Subyek pajak yang menerima penghasilan disebut wajib pajak, yang dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak, atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Adapun yang dimaksud tahun pajak dalam Undang-undang PPh adalah tahun takwim yaitu tahun yang dimulai dari tanggal 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember.
Yang dimaksud dengan Obyek Pajak sebagai mana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, adalah:
“Obyek PPh adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.”

Oleh karena itu maka kejujuran dari wajib pajak sangatlah penting yaitu dengan cara melaporkan seluruh penghasilan yang merupakan objek PPh, kemudian menghitung berapa pajak yang semestinya dibayar dan melaporkannya ke Direktorat Jenderal Pajak.
Salah satu indikasi keberhasilan pemungutan pajak pada suatu negara adalah adanya kepatuhan masyarakat (wajib pajak) untuk membayar pajak terutang yang menjadi kewajibannya tepat pada waktunya. Hal ini sangat diperlukan untuk menjamin tersedianya dana bagi negara yang berasal dari masyarakat dengan membayar pajak dalam rangka ikut serta dalam pembiayaan negara. Kewajiban membayar Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan berbagai mekanismenya, baik yang pembayarannya dilaksanakan sendiri oleh wajib pajak, maupun yang dilakukan dengan cara pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Kewajiban membayar sendiri pajak penghasilan oleh wajib pajak pada tahun berjalan, diatur dalam undang-undang tersebut pada Pasal 25 ayat (1) yaitu sebagai berikut:
“Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagimana dimaksud dalam pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.”

Sebagai upaya preventif terhadap kemungkinan adanya pelanggaran atas ketentuan di atas, maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pepajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 14 ayat (1) memuat adanya sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, yaitu:
“Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
a) Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b) Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
c) Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
Kewajiban membayar Pajak Penghasilan pada tahun berjalan (PPh Pasal 25) sebagaimana disebut di atas merupakan kebijakan yang bertujuan untuk menghimpun dana pajak pada tahun berjalan. Kebijakan tersebut juga bisa dijadikan tolok ukur sejauh mana kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiaban perpajakannya. Hal ini dikarenakan pembayaran PPh Pasal 25 dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Berbeda halnya dengan pajak penghasilan lainnya yang pembayarannya dilakukan oleh wajib pajak pemotong dan/atau pemungut pajak seperti diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan Pasal 21, 22 dan Pasal 23. Akan tetapi, kondisi ideal ini tidak selalu terjadi, karena ada pula wajib pajak yang berusaha untuk menghindari beban pajak yang dikenakan kepadanya. Menghadapi hal seperti ini diperlukan sikap tegas dari Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sebagai fiskus dengan menegakan hukum (law enforcement) sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku.
Dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, fungisi pengawasan sekaligus pembinaan merupakan konsekuensi dari pemberian kepercayaan kepada wajib pajak. Oleh karena itu, selain fungsi pengawasan dan pembinaan yang harus dijalankan oleh pemerintah perlu juga dibarengi dengan upaya penegakan hukum (law enforcement) yang diwujudkan dalam pengenaan sanksi, tujuannya untuk mencapai tingkat keadilan yang diharapkan dalam pemungutan pajak.
Penegakan hukum dalam self assessment system merupakan hal yang penting. Oleh karena dalam sistem perpajakan ini diharapkan adanya kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari wajib pajak. Karena tuntutan peran aktif dari wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, maka kepatuhan dari wajib pajak sangatlah penting. Sedangkan kepatuhan wajib pajak perlu ditegakkan salah satu caranya adalah dengan tax enforcement . Adapun pilar-pilar penegakakan hukum pajak (tax enforcement) di antaranya adalah pemeriksaan pajak (tax audit), penyidikan pajak (tax investigation), dan penagihan pajak (tax collection).
Law enforcement di bidang perpajakan sangat diperlukan oleh karena masih adanya sebagian masyarakat yang enggan untuk membayar pajak yang menjadi kewajibannya. Penerapan undang-undang perpajakan dengan tegas tanpa pandang bulu terhadap setiap pelanggaran di bidang perpajakan diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran maupun bagi yang ingin melakukan pelanggaran.
Akan tetapi dalam pelaksanaan pemungutan pajak masih saja terdapat kendala, antara lain masih adanya sebagian masyarakat yang tidak mau membayar pajak oleh karena masih ada anggapan bahwa pajak merupakan beban sehingga selalu dicari upaya untuk menghindari pajak. Bermacam cara yang dilakukan oleh wajib pajak untuk tidak membayar pajak antara lain dengan menyembunyikan data atau juga dengan tidak melunasi utang pajak. Selain daripada itu, ada pula sebagian anggota masyarakat yang dengan sengaja tidak mau mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), meskipun dari segi penghasilan sudah memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak (WP) dan memperoleh NPWP.
Dalam implementasinya pemungutan pajak tidak semudah yang diharapkan meskipun dengan Self Assessment System Wajib Pajak diberikan kebebasan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sendiri tetapi tetap saja ada sebagian masyarakat (wajib pajak) yag enggan untuk membayar pajak, termasuk pajak tahun berjalan. Selain itu ada pula pendapat yang mempersoalkan tentang ketentuan kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Masalahnya adalah besaran PPh Pasal 25 yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, setiap bulan pada tahun bejalan didasarkan pada perhitungan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun yang lalu, bukan atas dasar penghasilan pada tahun pajak berjalan. Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat dalam buku mereka yang berjudul: “Hukum Pajak dan Permasalahannya” mengatakan, bahwa:
“Secara materiil/substansial, kaidah-kaidah hukum yang mengatur Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, sampai menjadi Surat Tagihan Pajak (STP), bertentangan dengan asas-asas hukum administrasi (pajak), karena peraturan perundang-undangan perpajakan menerapkan stelsel memungut pajak dengan sistem campuran. Padahal sistem nyata (riil) lebih sesuai dengan self assessment system sebagai penetapan pajak yang dianut dalam sistem perpajakan di Indonesia dan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan masih dimungkinkan untuk itu.”

Seperti diketahui bahwa dana yang diperlukan pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan harus selalu tersedia sepanjang tahun. Untuk itu diperlukan adanya instrumen dalam hal ini suatu peraturan tentang pemungutan pajak dengan cara wajib pajak melakukan sendiri pembayaran pajak setiap bulan atas penghasilan yang diperolehnya pada tahun berjalan. Untuk mencapai hal tersebut maka dibuatlah ketentuan tentang kewajiban membayar pajak penghasilan setiap bulan atas wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan yang dituangkan di dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang diuraikan di atas, dengan judul: “PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN SEBAGAI UPAYA PENGAMANAN PENERIMAAN NEGARA DARI SUDUT SELF ASSESSMENT SYSTEM BERDASARKAN PASAL 25 UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2008”

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dalam penyusunan penulisan penelitian ini, maka penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut:
a. Apakah Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan sesuai dengan Self Assessment System sebagai sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia?
b. Bagaimanakah peranan Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagai upaya pengamanan penerimaan dari sudut self assessment system?
c. Apakah penerbitan Surat Tagihan Pajak atas pelanggaran pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan norma norma pemungutan pajak yang adil?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Sebagaimana diadakannya penelitian yang tentunya mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai, maka peneliti dalam usulan penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui apakah Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan secara yuridis sesuai dengan self assessmen sebagai system sebagai system pajak yang diterapkan di Indonesia?
b) Untuk mengetahui sejauh mana kesadaran wajib pajak membayar sendiri pajak tahun berjalan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagai wujud partisipasi aktif secara sukarela selaku wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
2. Kegunaan Penulisan:
Peneliti berharap bahwa penulisan penelitian ini kiranya dapat berguna untuk:
a) Secara Teoritis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka penyempurnaan peraturan-peraturan untuk pembentukan hukum nasional, terutama hukum pajak khususnya mengenai peraturan tentang pemungutan pajak dengan cara angsuran, seperti yang diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b) Secara Praktis
Memberi kegunaan atau manfaat sebagai bahan informasi dan masukan bagi instansi terkait terutama pembuat kebijakan di bidang perpajakan.

D. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual
1) Kerangka Teoritis
Pada prinsipnya tugas pemerintah suatu negara berusaha dan betujuan untuk dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Untuk mencapai dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya yang sangat besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dijalankan yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi yang penting. Di negara-negara yang sudah maju, pajak sudah merupakan kebutuhan mutlak bagi pembiayaan keuangan negara. Tanpa pemungutan pajak bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh, lebih-lebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia atau negara yang baru bebas dari belenggu kolonialis pajak merupakan darah bagi tubuh negara.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak didasarkan atas pendekatan “Benefit Approach” atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas filosofis yang membenarkan negara melakukan pemungutan pajak sebagai pungutan yang dapat dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan memaksa. Pendekatan manfaat (benefit approach) ini mendasarkan suatu falsafah: oleh karena ‘negara menciptakan manfaat’ yang dapat dinikmati oleh seluruh warga negara yang berdiam dalam negara tersebut, maka negara berwenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan.
Bentuk manfaat yang bisa dinikmati oleh warga negara adalah: kesejahteraan, pelayanan umum, perlindungan hukum, kebebasan penggunaan fasilitas umum, seperti: lembaga lembaga pendidikan, rumah sakit, pusat kesehatan masyakat, pelabuhan, jalanan, jembatan, tempat-tempat hiburan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manfaat tersebut. Penyediaan jasa atau fasilitas-fasilitas umum tidak mungkin dapat dikerjakan sendiri oleh perseorangan atau pun pihak swasta lainnya. Oleh karena itu negara tampil sebagai pelopor dalam mewujudkan atau menciptakan kesejahteraan untuk seluruh warganya. Pengadaan berbagai fasilitas umum tersebut di atas sudah tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karenanya diperlukan adanya kebijakan pemungutan pajak yang dipungut dari warga negara/masyarakat baik bersifat perseorangan maupun badan yang menurut ketentuan harus dikenakan pajak. Tentu saja pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara perlu landasan kebijakan dan untuk Indonesia dasar hukum dari pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara (pemerintah) terdapat dalam Undang-Undang 1945.pasal 23 ayat (2).
Dalam pemungutan pajak terdapat sejumlah teori yang dapat digunakan oleh negara sebagai acuan guna memperkokoh dasar kebijakan pemungutan pajak terhadap masyarakat. Adapun teori-teori yang memberikan dasar pembenaran atau landasan bagi negara untuk memungut pajak dengan cara yang dapat dipaksakan, adalah:
1. Teori asuransi
Menurut teori ini, negara dalam melaksanakan tugasnya mencakup pula tugas melindungi jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu negara disamakan dengan perusahaan asuransi, dimana untuk mendapatkan perlindungan warga negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama ditinggalkan dan sekarang praktis tidak ada pembelanya lagi, sebab tidak cocok dengan kenyataan. Sebagai misal yakni jika seseorang meniggal, kecelakaan atau kehilangan, negara tidak akan mengganti kerugian seperti halnya dalam assuransi. Di samping itu tidak ada hubungan langsung antara pembayaran pajak dengan nilai perlindungannya terhadap pembayar pajak.
2. Teori kepentingan
Menurut teori ini pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin banyak individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan pemerintah, makin besar juga pajaknya. Teori ini meskipun masih berlaku pada retribusi sukar pula dipertahankan, sebab seorang miskin dan penganggur yang memperoleh bantuan pemerintah menikmati banyak sekali jasa dari pekerjaan negara, tetapi mereka justru tidak membayar pajak.
3. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari pada faham bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di bidang pajak. Dengan sifat seperti itu maka negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya. Menurut teori ini dasar hukum pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan negara, di mana negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar pajak.
Kelemahan dari teori ini adalah negara bisa menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.
4. Teori Daya Bali.
Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak mempersoalkan asal mulanya negara memungut pajak melainkan banyak melihat kepada “efeknya” dan memandang kepada efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya.
Menurut teori maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa menyelenggarakan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu, juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu.
Teori ini menitikberatkan ajarannya kepada fugsi kedua dari pemungutan pajak, yakni fungsi mengatur. Menurut penganutnya, termasuk Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam ekonomi bebas maupun ekonomi perencanaan yang terpimpin/sosialis.
Teori ini juga menekankan perlunya keadilan dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara.
5. Teori Daya Pikul/Teori Gaya Pikul
Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan membayar dari Wajib Pajak (individu-individu) jadi tekanan pada kemampuan masing-masing individu wajib pajak. Artinya bahwa keadilan dan kebenaran negara dalam memungut pajak dari warganya didasarkan pada kemampuan dan kekuatan setiap pribadi masyarakatnya, dan bukan pada besar kecilnya kepentingan tiap-tiap penduduk, seperti pada Teori Kepentingan. Kemampuan dan kekuatan dari pribadi dan suatu entitas yang membayar pajak merupakan kemampuan dan kekuatan untuk memperoleh penghasilan, harta, kekayaan dan konsumsi dengan tujuan dari itu adalah dapat menghidupi diri sendiri dan kemampuan untuk memikul beban kehidupan lainnya.
Menurut Bohari Gaya pikul dalam pemungutan pajak dipengaruhi oleh oleh bermacam-macam komponen, terutama:
1 Pendapatan;
3. Kekayaan dan
4. Susunan keluarga dari wajib pajak dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keadaannya.
A.J. Cohen Stuart mengumpamakan daya pikul dengan sebuah jembatan, yang pertama harus dipikul adalah bobot jembatan itu sendiri baru kemudian dibebani dengan beban yang lain. Stuart berpendapat bahwa:
“yang sangat diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan ke dalam daya pikul. Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada negara barulah ada jika kebutuhan-kebutuhan primer untuk hidup sudah tersedia. Oleh karena hak manusia yang pertama adalah hak untuk hidup, maka sebagai anasir yang pertama yang harus diperhatikan adalah minimum kehidupan. Apabila kebutuhan minimum telah terpenuhi, barulah kewajiban membayar pajak dapat dibebankan kepadanya.”

Pendapat yang hampir sama dengan redaksi yang berbeda dikemukakan oleh W.J de Langen yang mengatakan bahwa:
“Daya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk dapat mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi yang mutlak, kebutuhan yang primer (biaya hidup yang sangat mendasar). Kekuatan untuk menyerahkan uang kepada Negara (pajak) barulah ada, jika kebutuhan primer untuk hidup telah tersedia. Hak yang pertama bagi manusia adalah hak untuk hidup, maka sebagai analisir yang pertama adalah minimum kehidupan (bestaans minimum).”

Dari kelima teori pemungutan pajak seperti yang diuraikan di atas, tulisan ini menggunakan teori gaya pikul untuk menganalisis praktek pemungutan pajak pajak di Indonesia, khususnya tentang pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 25. Apakah teori tersebut aplikatif dalam sistem perpajakan di Indonesia. Bagaimana pula teori tersebut dikaitkan dengan sistem Self Assesment sebagai sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia. Pembahasan tentang ini akan diuraikan di bab lain.
.Selain daripada itu, pemerintah selaku pemungut pajak perlu pula memperhatikan prinsip prinsip pemungutan pajak jangan sampai terkesan adanya arogansi kekuasaan dan penindasan serta kesewenangan penguasa. Suatu pemungutan pajak harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. Adam Smith yang dianggap bapak aliran ekonomi klasik dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut “The four maxims” dengan uraian sebagai berikut: dengan uraian sebagai berikut:
1. Equality (asas persamaan). Asas ini menekankan bahwa warga negara atau wajib pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangan pada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di bawah perlindungan negara. Yang dimaksud dengan “keuntungan” di sini adalah besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara wajib pajak.
2. Certainty (asas kepastian). Asas ini menekankan bahwa bagi wajib pajak, harus jelas dan pasti tentang waktu, jumlah dan cara pembayaran pajak. Dalam asa ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak.
3. Convenience of payment (asas menyenangkan dalam pembayaran). Pajak seharusnya dipungut pada saat yang tepat, saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak yakni pada saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan yang bersangkutan; Pajak Bumi dan Bangunan bagi petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang, waktu panen.
4. Low Cost of Collection (asas efisiensi). Asas ini dimaksudkan agar pemungutan pajak dilakukan sehemat-hematnya, jangan sampai biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara.
Dari beberapa prinsip atau asas dalam pemungutan pajak di atas maka prinsip keadilan merupakan prinsip yang utama. Dengan prinsip keadilan atau equality dalam pemungutan pajak diharapkan masyarakat wajib pajak dapat berpartisipasi secara aktif dan sadar untuk memenuhi kewajiban perpajakannya secara proporsional sesuai kemampuannya masing-masing.
Sistem perpajakan dapat dikatakan adil apabila ada perlakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam situas, level ekonomi yang sama. Apabila penghasilan yang diperoleh sama, maka akan dikenakan pajak dengan jumlah yang sama. Hal tersebut dikatakan sebagai keadilan secara horizontal (horizontal equity). Sebaliknya, memberikan perlakuan yang berbeda terhadap orang atau badan yang berada dalam keadaan ekonomi yang berbeda tingkatannya. Apabila penghasilan yang diperoleh masing-masing individu berbeda, maka akan dikenakan jumlah pajak yang berbeda berdasarkan kepada tingkat penghasilan seseorang. Semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus ditanggungnya, sebaliknya semakin kecil penghasilan seseorang maka jumlah pajak yang dibayarnya tentu lebih kecil, bahkan untuk Wajib Pajak orang pribadi bisa tidak kena pajak, karena ada batas minimum pengenaan pajak. Keadilan seperti ini lebih dikenal sebagai keadilan secara vertikal (vertical equity).
Untuk memenuhi asas keadilan, khususnya keadilan vertikal maka dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan tarif umum PPh sebagai mana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang PPh dibuat berjenjang yang disebut dengan tarif progresif. Hal ini dimaksudkan supaya ada rasa keadilan bagi pembayar pajak, yaitu antara Wajib Pajak yang berpenghasilan lebih kecil dengan Wajib Pajak yang berpenghasilan besar. Dengan tarif seperti ini maka wajib pajak berpenghasilan besar akan membayar pajak lebih besar. Seperti halnya dengan sumbangan, tentunya orang kaya diharap menyumbang lebih besar dibandingkan dengan orang yang kehidupannya sederhana, keuangannya sedikit. Hal ini wajar dan proporsional, justru kalau sama ada perasaan tidak adil.
Pelaksanaan pajak tidak terlepas dari teknik pemungutan pajak itu sendiri. AJ. Adriani membagi teknik pemungutan pajak menjadi tiga, yaitu:
1. Wajib Pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang;
2. Ada kerjasama antara wajib pajak dengan fiskus;
3. Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang.
Sedangkan dalam literatur yang terbaru, sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Official assessment system, adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.
2. Semi self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang.
3. Self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi.wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan , menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak.
4. With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. Ide pemungutan pajak dengan cara ini pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1943 dalam rangka mempercepat pengumpulan atau pemungutan pajak selama Perang Dunia II. Karena terbukti efisien dan efektif, sistem withholding ini dengan cepat diadopsi oleh negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.

2. Kerangka Konseptual
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak langsung yang dipungut oleh Pemerintah Pusat (sebagai Pajak Negara) berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah beberapakali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Sebagai pajak langsung maka pajak penghasilan menjadi beban atau tanggungan Wajib Pajak yang bersangkutan. Disebut pajak langsung karena pajak tersebut langsung dikenakan kepada wajib pajak yang menerima penghasilan dan kewajiban ini tidak dapat dibebankan kepada pihak lain. Terwujudnya pemungutan pajak penghasilan disyaratkan oleh adanya dua unsur yaitu: syarat pertama, adanya subyek pajak yang menerima penghasilan. Syarat yang kedua adalah adanya obyek pajak, dalam hal ini penghasilan (penghasilan yang merupakan obyek pajak).
Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) pada dasarnya dapat dilakukan selama tahun pajak (tahun pajak berjalan) dan pada akhir tahun pajak, sebelum penyampaian SPT Tahunan. Pembayaran pajak selama tahun pajak dapat melalui pihak lain (dipungut atau dipotong) dan disetorkan oleh Pemberi Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 21, 22, 23 Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan terakhir dengan Undang Nomor 36 tahun 2008 dan pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164/KMK.03/2002 serta pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (sebagai angsuran) sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai mana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. PPh Pasal 25 harus dibayar oleh Wajib Pajak dalam jumlah yang sama besar selama satu tahun pajak, selambat lambatnya 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya masa pajak.
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau bagian tahun pajak. Subyek pajak penghasilan adalah mereka yang secara obyektif berkewajiban untuk membayar atau dikenakan pajak penghasilan. . Adapun obyek dari pajak penghasilan adalah penghasilan (penghasilan yang merupakan obyek pajak).
Pasal 4 ayat (i) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menegaskan bahwa yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu:
“Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun”.

Berdasarkan redaksi dari pasal 4 ayat (1) di atas maka seluruh penghasilan tersebut berpotensi untuk dijadikan dasar perhitungan pajak terutang dalam tahun pajak ketika penghasilan itu diterima, ketika saat diterima. Selain daripada itu bila melihat dari redaksi pasal 4 ayat (1) di atas jelas untuk menghitung pajak penghasilan maka seluruh penghasilan yang diterima, baik dari dalam maupun luar negeri (World Wide Income). harus dihitung terlebih dahulu, baru kemudian dihitung berapa besar pajak terutang yang harus dibayar.
Demikian pula PPh Pasal 25 yang merupakan angsuran bulanan pada tahun berjalan. Oleh karena dasar perhitungannya adalah berdasarkan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun sebelumnya maka tentunya SPT PPh tersebut sudah seharusnya mencantumkan seluruh penghasilan yang merupakan obyek PPh dan berapa pula PPh yang sudah dipotong dan atau dipungut oleh pihak ketiga yang merupakan kredit pajak, (dapat dikreditkan) untuk diperhitungkan kembali pada akhir tahun, ketika Wajib Pajak menyusun SPT PPh.
Dalam pemungutan pajak di Indonesia telah dicoba berbagai sistem pemungutan pajak seperti sistem official assessment atau semi official assessment yang tujuannya agar dapat menghimpun dana pajak semaksimal mungkin bagi kepentingan negara dan agar pemerintah dapat menjalankan roda pemerintahan sebaik baiknya. Pelaksanaan official assessment system telah berakhir pada tahun 1967 yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944. Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925 dengan Tata Cara MPS dan MPO. Dalam official assessment system, fiskus mengeluarkan “Surat Ketetapan Sementara” pada awal tahun, yang kemudian dikeluarkan lagi “Surat Ketetapan Pajak Rampung” pada akhir tahun pajak untuk menentukan besarnya utang pajak yang sesungguhnya terutang.
Tahun 1968 sampai dengan 1983 masih menggunakan sistem semi self assessment dan withholding dengan tata cara yang disebut Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang (MPO). Barulah pada tahun 1983 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem pemungutan pajak di Indonesia yaitu dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-undang KUP) yang mulai berlaku pada 1 Januari 1984. Penggunaan konsep Self Assessment System dalam pemungutan pajak di Indonesia secara tegas dimuat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 angka 3 huruf c, sebagai berikut:
“anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitug, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.”

Sistem self assessment mengandung beberapa hal penting yang diharapkan ada pada pihak Wajib Pajak, yaitu:
1. Kesadaran pajak dari wajib pajak;
2. Kejujuran Wajib Pajak;
3. Wajib pajak memiliki hasrat untuk membayar pajak
4. Disiplin wajib pajak terhadap pelaksanaan peraturan pajak. Sehingga pada waktunya WP dengan sendirinya memenuhi kewajiban-kewajiban perpajakan yang dibebankan kepadanya oleh undang-undang dan peraturan-peraturan di bawahnya, seperti membayar pajak pada waktunya, memasukkan SPT pada waktunya dan sebagainya.

E. Asumsi
Pada dasarnya tidak ada orang yang rela untuk membayar pajak, karena tidak ada kontra prestasi secara langsung yang didapat dari pajak yang dibayarnya. Potensi untuk bertahan atau menghindar terhadap pembayaran pajak sudah melekat pada diri wajib pajak seperti asumsi Leon Yudkin yang mengatakan:
a) wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin, sepanjang usaha itu dimungkinkan oleh ketentuan perundang-undangan perpajakan;
b) wajib pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax avasion) yaitu usaha penghindaran pajak secara illegal, sepanjang wajib pajak tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan, bahwa akibat dari perbuatannya tersebut kemungkinan besar mereka tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa rekan-rekannya melakukan hal yang sama.
Dari asumsi yang dikemukakan oleh Leon Yudkin tersebut maka sikap tegas fiskus sangat diperlukan untuk memberi sanksi kepada para wajib pajak yang “nakal” dalam rangka law enforcement dan juga agar wajib pajak yang sudah patuh tidak ikut terpengaruh.
Untuk menghadapi wajib pajak yang tidak melakukan kewajiban pajaknya dengan benar tindakan tegas sangat diperlukan, seperti melakukan pemeriksaan dan/atau penyidikan. Dengan demikian tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak membayar pajak yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ahli perpajakan yang mendukung terhadap ditetapkannya pajak sebagai sesuatu yang benar dan dapat dipaksakan adalah Oliver Wendell Colmes (Amerika Serikat), yang berpendapat bahwa “ taxes are the price we pay for civilization,” (bahwa pajak merupakan harga yang dibayar untuk suatu peradaban). Dari pendapatnya tersebut menunjukkan bahwa Oliver membenarkan adanya pungutan pajak sebagai sesuatu yang harus dilakukan untuk memajukan suatu negara.
Benyamin Franklin merupakan orang Amerika Serikat lainnya yang berpendapat bagaimana pajak merupakan sesuatu yang penting dan selalu ada dalam kehidupan manusia dengan ungkapannya “nothing is certain but tax and dead,” bahwa tidak ada seorangpun yang tidak akan tersentuh oleh pajak dan kematian.
Dengan asumsi bahwa tidak ada orang yang mau dengan sukarela untuk membayar pajak oleh karena tidak ada kontra prestasi secara langsung yang diperolehnya maka diperlukan adanya sanksi yang tegas atas pelanggaran terhadap ketentuan perpajakan. Oleh karena itu dalam hal pemungutan pajak di Indonesia untuk kesejahteraan bersama, dalam rangka law enforcement maka sikap tegas dari fiskus untuk memberikan sanksi terhadap wajib pajak atas setiap pelanggaran yang dilakukannya merupakan suatu keniscayaan.
Bila Leon Yudkin berasumsi bahwa Wajib selalu berusaha untuk menyelundupkan pajak dan andaikan membayar maka diupayakan pembayaran tersebut sekecil mungkin. Maka Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang mengharuskan Wajib Pajak membayar Pajak Penghasilan secara angsuran, maka besaran angsuran tersebut juga didasarkan atas asumsi dimana perhitungannya didasarkan atas laporan SPT PPh tahun sebelumnya. Diasumsikan penghasilan Wajib Pajak pada tahun di muka sama besarnya dengan penghasilan tahun sebelumnya.
Keberhasilan self assessment system sebagai konsep pemungutan pajak, dapat diukur dari jumlah pembayaran pajak penghasilan pasal 25 terhadap keseluruhan penerimaan pajak penghasilan dalam satu tahun. Oleh karena pembayaran PPh Pasal 25 dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak. Berbeda dengan beberapa jenis pajak penghasilan yang lainnya yang pembayarannya melalui pemotongan dan atau pemungutan oleh pihak ketig, seperti PPh Pasal 21,22 dan 23.

F. Metode Penelitian
Dalam suatu karya ilmiah. Metode penelitian merupakan suatu hal yang penting, demikian pula dengan penulisan penelitian ini digunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan secara yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji, menguji dan menelaah aspek hukum dalam pemungutan pajak, khususnya Pajak Penghasilan lebih khusus lagi mengenai pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25)
2. Spesisifikasi Penelitian
Spesisifikasi penelitian dalam usulan penelitian ini, adalah termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu tidak hanya menggambarkan permasalahan saja, tetapi juga peraturan dalam hukum mengenai pajak, selanjutnya menjelaskan asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum mengenai implementasi dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak penghasilan pasal 25.

3. Tahap Penelitian
Tahap penelitian kepustakaan, maksudnya adalah untuk memperoleh data sekunder yang dapat berupa bahan hukum primer, seperti perundang- undangan (Undang-Undang No. 6Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Peradilan Pajak) dan data lain yang berhubungan dengan usulan penelitian ini. Selain itu juga ditunjang dengan bahan hukum sekunder seperti karya-karya ilmiah dan pendapat para ahli. Penulisan ini dimaksudkan untuk mencari landasan teoritis atau yuridis juga informasi-informasi yang berhubungan dengan topik penelitian;
4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan tahap penelitian tersebut di atas, maka data yang diperoleh menggunakan teknik studi dokumen, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum berupa perundang-undangan yang berhubungan dengan objek penelitian, di samping itu dilakukan pula wawancara dengan nara sumber lainnya;


5. Analisis Data
Akhirnya data yang telah diperoleh, dianalisa dengan menggunakan metode analisa normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif. Sedangkan kualitatif yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara uraian kalimat, sehingga tidak mempergunakan rumus maupun angka-angka.

G. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini penulis akan menguraikan sistematika penulisan dengan maksud mempermudah penulisan dan pembahasan selanjutnya.
Bab I Pendahuluan
Dalam bab pertama ini penulis mencoba menguraikan Latar Belakang Masalah, Penelitian Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian dan diakhiri dengan Sistematika Penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka Pajak Di Indonesia
Dalam bab ini diuraikan tentang Pengertian dan Fungsi Pajak Dalam Penyelenggaraan Negara, pengertian dan Kedudukan Hukum Pajak di Indonesia, Asas-Asas dan Teori-Teori Pemungutan Pajak serta Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia

Bab III Pajak Sebagai Sumber Utama Penerimaan Negara
Dalam bab ini diketengahkan tentang Subyek dan Obyek Pajak, Pajak Penghasilan Sebagai Pajak Yang Potensial dan Sistem Pemungutannya, serta Menghitung Pajak Penghasilan
Bab IV Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 25 Sebagai Upaya Pengamanan Penerimaan Negara Dari Sektor Pajak Dari Sudut Self Assessment System
Pada bab ini diuraikan tentang Ketentuan yang Menjadi Dasar Pemungutan PPh Pasal 25, PPh Pasal 25 Dari Sudut Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dan Tinjauan Yuridis Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam Pemungutannya
Bab V Penutup
Bab ini merupakan bab penutup dari tulisan ini yang berisikan Kesimpulan penulis tentang tulisan ini dan saran yang diharapkan penulis bisa digunakan bagi perbaikan sistem perpajakan di Indonesia

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TENTANG PERKAWINAN YANG DI LAKUKAN OLEH SYEH PUJI DAN ULFA

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR TENTANG PERKAWINAN YANG DI LAKUKAN OLEH SYEH PUJI DAN ULFA
Matakuliah Sosiologi Hukum
Tugas Kelompok V Kelas B/MA
Oleh : Yuhendra ( 71010161 )
: M. Ikhsan ( 71010158 )
: Asep Darajat ( 7110123 )
Dosen : Prof Dr H Zainudin Ali, MA.

A. Latar belakang masalah
Hukum Positif indonesia mengatur tentang Pernikahn yang tertuang di dalam UU No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah ikatan Lahir bathin antara seseorang Pria dengan seseorang Wanita sebagai Suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa “ Bagi pernikahan tersebut tentu harus dapat di perboleh kan bagi mereka yang telah memenuhi batasan usia tuk melangsungkan Pernikahan seperti dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 ayat 1 tertera bahwa batasan usia tuk melangsungkan Pernikahan itu Pria sudah berusia 19 tahun ( sembilan belas )tahun dan Wanita sudah mencapai usis 16 tahun ( enam belas )tahun secara eksplisit ketentuan tersebut di tegas kan bahwa setiap perkawinan atau Pernikahan yang di lakukan oleh calon Pengantin yang Pria nya belom berusia 19 tahun atau wanitanya 16 tahun di sebut sebagai Pernikahan di bawah Umur. bagi pernikahan di bawah umur yang belum memenuhi batas usia pernikahan pada hakekat nya
di sebut masih berusia muda ( anak-anak ) yang di tegaskan dalam
__________
1 Undang-Undang, No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
UU Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat 2 UU NO 23 tahun 2002 Bahwa Anak adalah seseorang yang belom berusia 18 ( delapan belas )tahun di kategorikan masih k
anak-anak, juga termasuk anak yang masih di dalam kandungan. apabila melangsung kan pernikahan tegas di katakan adalah Pernikahan anak di bawah Umur.
dan itu merupakan pemangkasan kebebasan hak si anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai Remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang di garas bawahi agama. kalau anak baerusia muda tersebut bisa di katakan kekerasan dan dikriminasi terhadap anak-anak seperti yang di katakan pada Pasal 81 ayat 2 UU No 23 tahun 2002 tersebut. jelas bagi orang tua berkewajiban ntuk mencegah adanya Perkawinan pada usia muda.

Di tinjau dari Perkawinan yang di lakukan oleh Pujiono Cahyo Widianto alias syeh Puji dan anak di bawah umur ( Luthfiana Ulfa ) yang telah di jatuhi putusan Sela nomor 233/Pid.B/2009?PN.UNG oleh majelis Hakim Pengadilan negeri Ungaran Jawa tengah pada tanggal 13 oktober 2009 Batal demi hukum. karena dakwaan Jaksa tidak memenuhi sarat yang ada pada pasal 143, ayat (2) huruf B KUHP yaitu tidak menyebutkan keadaan, cara dan posisi terdakwa melakukan persetubuhan terhadap korban.
Sementara itu dari pihak kejaksaan Tinggi jawa tengah dalam hal ini Jaksa Suningsih selaku jaksa penuntut umum menyatakan bahwa dakwaan tidak harus detail dan Vulgar, yang penting mengungkap pidana nya, karena disana ada konteks dalam hal perlindungan anak justru bukan dalam hal Pornografi yang harus secara detail di terangkan di muka majelis. dan dalam hal perkawinan ini tidak mungkin harus di terangkan secara detail persetubuhan yang di lakukan terdakwa karena terdakwa menolak untuk memberikan keterangan secara rinci. Tapi timbul di saat putusan akhir dari kasus perkawinan antara syeh puji dan Ulfa dalam amar putusannya majelis hakim memvonis syeh Puji 4 tahun penjara. dan menyatakan pernikahan antara Syeh Puji dan Ulfa tidak sah dalam Hukum negara.Juga di dalam Penolakan Perkawinan di usia muda yang di lakukan oleh syeh Puji kepada anak di bawah umur ( Ulva ) ini. Penolakakan juga datang dari berbagai Aktifis-aktifis dari berbagai LSM, mengatakan bahwa Dakwaan Jaksa telah memenuhi aspek Materil dan Substansi Hukum. sehingga hal yang terjadi dalam persidangan perkawinan anak di bawah umur yang dilakukan oleh syeh Puji ini ada nya Hal yang tidak beres dalam hal keputusan Hakim ( ERENSDH WETBLOG ) dan dalam pelaksanaan putusan sering di temukan di mana pelaku perkawinan dini itu
masih menghirup bebas walaupun sudah ada keputusan penjara.
___________
2. Undang_Undang, No 23 Pasal 81 ayat 2 Tentang Perlindungan anak.

B. Perumusan Masalah
Sering terjadi pernikahan di bawah umur di kalangan masyarakat selama ini bukan lagi hal yang luar biasa. sering kita temui di berbagai kota di indonesia ini di mana umur di saat melangsungkan pernikahan masih sangat muda dan belum cukup umur. kita ambil contoh daerah Indramayu jawa barat bisa di katagorikan sangat banyak kasus di temui ana-anak yang belum cukup umur telah melangsungkan pernikahan. bahkan masih muda belia telah menjalani hidup sebagai janda. alangkah tragis nya orang tua yang sampai hati menikahkan anak nya yang masih usia muda sudah harus dinikah kan. walaupun nanti nya akan menjadi janda. di lihat dari segi adat istiadat yang ada di beberpa daerah di indonesia ini. memang banyak di temui pernikahan di bawah umur atau pernikahan dini seperti yang di lakukan oleh syeh puji ini seharus nya syeh puji di jatuhi hukuman 10 tahun penjara bahkan maksimal 15 tahun penjara denda 60 juta dengan subsider enam bulan kurungan. tapi kenapa Majelis Hakim memutuskan hanya 4 tahun penjara. korban dari perkawinan di usia muda ini sering di perlakukan tidak manusiawi dari si pelaku dan dari pihak orang tua si korban perkawinan dini tersebut. sementara itu orang tua dari pihak wanita sering kali ikut terlibat tuk menikah kan anak pada usia muda walaupun belom cukup umur. pada kasus syeh puji ini seharus nya ulfa di kembalikan kepada orang tua nya, namun karena orang tua Ulfa ikut terlibat dalam pernikahan di bawah umur tersebut seharusnya ulfa di serahkan kepada negara agar mendapat pengasuhan yang benar layak nya ana-anak. mungkin saja kalau masih berada di tangan terdakwa masih bisa di kuasai oleh syeh Puji.timbul pertanyaaan dari penulisan tugas ini yang jadi permasalahan antara lain :

a. Apa hakekat pernikahan di laksanakan disaat anak masih belum
belum cukup umur ?
b. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadi adanya pernikahan
antara Syeh Puji dan Ulva yang terjadi di Ungaran tersebut ?
c. Kenapa di majelis Hakim memutuskan penjara kepada syeh puji
hanya 4 tahun penjara?
d. Usia berapakah seharusnya pernikahan yang ideal di lakukan?
e. Apakah Pernikahan anak di bawah umur bisa di katakan suatu
tindakan kriminal?
f. Sejauh mana peranan masyarakat dan Pemerintah untuk
mengimplementasikan hukum positif tentang pernikahan anak di
bawah umur.

C. Faktor yang mendorong terjadinya Penikahan dini.
Di indonesia pernikahan di usia muda terjadi hampir merata walaupun sangat tinggi,tidak ada data yang akurad, di perkirakan pasangan usia dini terdapat 35% kasus dari 2 juta pasangan yang melangsungkan pernikahan. di tinjau dari Hukum Islam yang tertuang dalam ALQUR’AN dan hadist QS, an-Nur (24):(32) dan di terang kan dalam hadis nabi yang di riwayatkan oleh al-bukhori : 4776 dan riwayat muslim 1401. sementara di dalam hadist tersebut tidak menentukan batasan umur seseorang untuk melaksanakan pernikahan. tapi harus di tegaskan adanya kedewasaan seseorang untuk melakukan pernikahan agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan. tapi sering kali timbul kontroversi menyangkut batasan kedewasaan seseorang untuk di perbolehkan menikah. di dalam Hukum Positif indonesia ( UU Perkawinan, KUHP dan UU Perlindungan anak ) memeng tidak di tegaskan secara rinci sanksi Hukum terhadap pernikahan yg di lakukan pada usia muda. sedangkan di dalam pasal 26 UU Nomor 23 tahun 2002 di wajibkan kepada orang tua atau keluarga nya untuk mencegah terjadi nya adanya perkawinan pada usia muda. walaupun demikian tindakan perkawinan pada usia muda tidak serta merta di pandang sebagai tindakan kriminal.
Di indonesia ini dengan berbagai macam adad,budaya dan tradisi menganggap bahwa perkawinan di usia muda itu sebagai tindakan yang biasa di lakukan. Kita ambil contoh di desa sebagian dari Propinsi Sumatera Barat tidak melarang adanya perkawinan di usia muda karena adanya kepercayaan “ Seseorang anak wanita yang sudah mengalami menstruasi maka harus cepat-cepat di nikahkan “ apa lagi kalau sudah ada pria yang menginginkan nya. sebab kalau tidak segera di nikah kan di kawatirkan si anak wanita tersebut kalau tidak di nikahkan segera di kawatirkan akan susah tuk mendapatkan jodoh, akan ada malapetaka yang akan di dapat oleh si anak wanita tersebut dengan kepercayaan mistis seperti gila. dan kebanyakan orang tua akan segera menikahkan anak wanita nya dengan segera dari pada nanti akan mendapatkan malapetaka terhadap anak wanita nya. di tinjau dari segi sosial masyarakat yang mendorong sikap apatis terhadap pernikahan dini tersebut di tekankan pada faktor rendah nya pendidikan dan tingkat perekonomian juga kurang nya informasi bahwa pernikahan dini tersebut tidak boleh di laksanakan. sementra kalau di tinjau dari segi pergaulan pada remaja perkawinan dini biasanya orang tua akan mengambil kesimpulan untuk menikahkan pasangan di bawah umur agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan yang mungkin terjadi pada pasangan anak muda yang melakukan hubungan pergaulan bebas di era reformasi seperti sekarang ini.(Sex Bebas) yang memungkinkan remaja sekarang akan hamil sebelum menikah.
Pada perkawinan yang di laksanakan oleh syeh puji dengan anak di bawah umur itu sebenar nya wajar di lakukan pada sebagian daerah, tapi ada hal yang menjadi perhatian publik dan juga mungkin bisa berlanjut pada kasus Hukum.
Di lihat dari beberapa hal yang terjadi pada pernikahan yang di lakukan oleh syeh puji tersebut ada beberapa faktor terjadinya pernikahan pada usia dini : (1) Culture dan attitude dalam masyarakat yang masih resisten terhadap pernikahan dini yang memunkin kan penonjolan harta kekayaan syeh puji terhadap ulfa. (2) adanya penafsiran dari kiyai dan pemuka agama untuk melaksanakan pernikahan di pada usia muda itu biasa dilakukan.
Pemerintah dalam hal ini hukum positif yang berlaku di indonesia bahwa UU perkawinan memberikan toleransi bagi masyarakat yang batas usianya belom mencukupi untuk melaksanakan pernikahan dengan cara mendapatkan dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditetap kan oleh kedua orang tua calon perkawinan di usia muda tersebut tuk mendapatkan proses dan nasehat sebelum pernikahan di lansungkan.

D. Kesimpulan
Perkawinan pada dasar nya merupakan fitrah yang di berikan oleh ALLAh SWT. dan juga pada setiap agama di anjurkan untuk meneruskan keturunan dalam kelangsungan hidup manusia. namun walaupun bagai mana pernikahan yang di lakukan pada usia muda memiliki banyak hal yang di kewatirkan pada usia muda tersebut, yang bisa menimbulkan perceraian dalam pernikaha tersebut, akan bisa terjadi persedian buruk pada wanita di bawah umur yang secara biologis belum dewasa dan juga terputusnya peluang tuk mencapai segala yang di cita-citakan.

DAFTAR ACUAN.

UU NO 1 Tahun 1974. Tentang Perkawinan
Ulasan Kompas Tanggal 18 Oktober Tahun 2009 Tentang Perkawinan Di Usia Dini.
Keputusan Hakim Pengadilan Negeri Ungaran NO 233/Pid/B/2009/PN. Tanggal 13 Oktober
Tahun 2009 Tentang Putusan Sela Yang Menyatakan Batal Demi Hukum.

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap UU No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Marital Rape )

Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap UU No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( Marital Rape )

Oleh : Yuhendra.
NIM : 71010161. ( Kelas B/MA )
Dosen : Prof Dr H Zainudin Ali, Ma.

A. Latar Belakang.
Kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT ) bagaikan siklus yang sulit untuk di hentikan, Pelaku bisa menyesal karena perbuatannya, namun tak jarang kekerasan yang berbasis gender ini selalu dari waktu ke waktu terus meningkat, salah satu penyebab terjadi nya kekerasan di dalam rumah tangga ini bisa terjadi karena faktor Budaya patriaki. serta juga di lihat dari nilai masyarakat nya yang selalu ingin hidup harmonis sehingga cendrung yang selalu di salahkan adalah perempuan. Perlu di ketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT ) yang terdapat di dalam undang-undang No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga adalah “Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama Perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan, atau penderitaan secara fisik, Seksual, Psikilogis, atau Penelantaran Rumah Tangga, Yang menpunyai ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan Hukum dalam lingkungan rumah tangga” ( Pasal 1 ayat 1 )
Mengingat Undang-Undang tentang KDRT merupakan hukum Publik, privat maupun administratif. yang di dalam nya ada ancaman Pidana Penjara atau Denda bagi yang melanggarnya, kebanyakan dari korban Kekerasan dalam Rumah Tangga ini biasanya memilih penyelesaiannya secara Privat ( Perdata ) dengan cara Percaraian. yang siap menghadapi suatu dilema sebagai predikat janda dan selalu mendapat sorotan Negatif dari penilaian masyarakat. maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga ( KGRT ). adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah tangga dalam UU no 23 Tahun 2004 ini adalah :
Suami, Isteri, dan Anak, termasuk anak angkat dan anak Tiri. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Suami, istri yang tinggal menetap dalam rumah tangga seperti mertua, menantu,ipar dan besan. Orang-orang yang bekerja atau membantu dalam rumah tangga dan menetap tinggal dalam Rumah tangga seperti Pembantu Rumah tangga Pasal 2 UU No 3 Tahun 2004 ) ini pun mungkin terjadi kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap anggota keluarga yang jelas-jelas pelanggaran terhadap Hak azazi manusia dan martabat kemanusian serta bentuk diskriminasi.

Dalam Pasal 5 UU No 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap orang dalam lingkup suatu Rumah Tangga melakukan kekerasan seperti :
1.Kekerasan Fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
2.Kekerasan Psikis yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemammpuan untuk bertindak,rasa tidak berdaya dan lain-lain.
3.Kekerasan Seksual yang berupa pemaksaan seksual dengan cara yang tidak wajar baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersil atau tujuan tertentu.
4.Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut Hukum di wajibkan atasnya untuk memberikan kehidupan yang layak atas rumah tangga nya sendiri.
Dari definisi tersebut terlihat UU ini semata-mata tidak hanya melindungi kepentingan perempuan dewasa saja tetapi juga untuk mereka yang tersubordinasi, seperti juga laki-laki yang dewasa maupun masih anak-anak juga dapat perlundungan dari UU kekerasan dalam rumah tangga ini. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga, sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat di tuntut ke pada pelakunya antara lain:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokad,Lembaga sosial atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari Pengadilan.
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian Korban.
d. Pendampingan oleh pekerja sosial atau lembaga bantuan hukum.
e. Pelayanan bimbingan Rohani.
Laporan dari Komnas Perempuan menunjukan data kasus yang terus meningkat dari tahun ke tahun sebesar 3160 kasus pada tahun 2002 naik menjadi 5.163 kasus, lalu naik menjadi 7.787 kasus di tahun 2004, terahir terdapat 14.020 kasus. dan setiap tahun selalu cendrung meningkat, dan bahakn ada korban sampai buta, namun ironisnya kurang dari 2 persen yang bersedia membawa kasus kekerasan dalam Rumah Tangga ini ke Pengadilan maupun melapor ke kantor Polisi.
Bila ditinjau dari perspektif hukum, Pemerintah telah berupaya melindungi kaum perempuan dengan diratifikasi nya konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan ( Convention on the Elimination All Form of Discrimination Against Woment ) melalui UU Nomor 7 tahun 1984 artinya secara yuridis Indonesia telah mengikatkan diri untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam konvensi wanita tersebut.
Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan soaial dan lain nya. ( pasal 10 UU No 23 tahun 2004 Tentang PKDRT ) dan dalam undang-undang Penghapusan Kekekrasan Dalam Rumah Tangga Pemerintah mempunyai kewajiban untuk merumuskan kebijakan penghapusan KDRT. menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT, menyelenggaraan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT, menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan sensitif dan isu KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif, memberikan hak rasa aman, tentram, dan perlindungan dalam rumah tangga sebagai mana dambaan dalam setiap orang.
Namun apabila korban menemukan kesulitan dalam penerapan Undang-undang NO 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut dapat meberikan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke Kepolisian ( Pasal 26 ayat 2 ). jika yang menjadi korban adalah seorang anak-anak laporan dapat di lakukan oleh orang Tua, Wali, Pengasuh, atau anak yang bersangkutan ( Pasal 27 ) adapun sanksi Pidana dalam Pelanggaran Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur dalam BAB VIII mulai dari Pasal 44 s/d Pasal 53. khususnya untuk kekerasan KDRT di bidang Seksual berlaku pidana minimal 5 tahun Penjara dan Maksimal 15 tahun Penjara atau 20 tahun Penjara atau Denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah ( Pasal 47 dan 48 UU PKDRT ) dan perlu juga untuk di ketahui bahwa pada umumnya Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukan hanya di tujukan kepada seorang Suami tapi juga bisa di tujukan ke pada seorang Isteri yang melakukan kekerasan terhadap Suaminya, Anak- Anak nya, keluarganya, atau Pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut.
B. Permasalahan.
Di lihat dari ulasan diatas, kita dapat mengambil kesimpulan terhadap Undang-undang No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini ( UU PKDRT ) dapat untuk di terapkan pada masyarakat agar masyarakat mempunyai perlindungan Hukum terutama pada Wanita dan Pemerintah sangat di harapkan untuk mensosialisasikan undang-undang tersebut ke pada masyarakat ke seluruh wilayah indonesia ini.

D. Penututup
1. Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan terhadap Penerapan Undang-undang No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan, yaitu manfaat dari undang-undang No 23 tahun 2004 ini dapat terjadi apabila kerja sama antara Pemerintah dan masyarakat bisa terjalin baik. sehingga dapat diambil manfaat nya oleh masyarakat indonesia seperti :
1. Adanya perlindungan Hukum pada masyarakat terhadap kekerasan dalam Rumah Tangga.
2. Terbentuknya jalinan baik dari masyarakat terhadap Pemerintah.
3. Undang-undang yang berkenaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) memerlukan waktu baik bagi Pemerintah untuk mensosialisasikan undang-undan tersebut maupun bagi masyarakat. apa lagi Suami dalam Pimpinan Rumah Tangga merasa berkuasa terhadap keluarganya dan dari kaum wanita merasa ada pembatasan norma agama yang harus di jalanin untuk berhadapan dengan suami sebagai kepala rumah tangga nya sendiri. Pada hal dalam rumah tangga tersebut ada Hak dan Kewajiban masing-masing yang di atur oleh Agama. Dari berbagai hasil penelitian maupun laporan kasus dari lembaga-lembaga yang perduli terhadap perempuan menunjukan korban kekerasan dalam rumah tangga yang terus meningkat ini. Secara yuridis kesadaran dari semua pihat baik secara nasional maupun internasional suudah harus di realisasikan melalui sarana hukum.

Daftar acuan.

Undang-undang NO 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( PKDRT )