Jumat, 16 September 2011

KASUS HUKUM NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

KASUS HUKUM NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK
SOSIOLOGI HUKUM
Oleh Mahasiswa S2 Hukum Univ. Borobudur:
1. Andi Setiawan
2. Benecditus T.T.
3. Dominicus
4. Lasbok Marbun
5. Muhammad Reza P.

Mata Kuliah : SOSIOLOGI HUKUM
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali S.H. M.A.
A. Pendahuluan
Maraknya pemberitaan yang menyorot M. Nazarudin, bendahara partai demokrat, mengenai kasus-kasus hukum yang membelitnya nyata-nyata telah berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasus hukum yang menerpa M. Nazarudin seperti dalam kasus pengerjaan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung, dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. tidak hanya mencederai nama besar Partai demokrat dimata publik, namun juga mungkin akan mengakhiri zaman keemasan partai demokrat.
Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya.
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Nazarudin selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.
B. Pembahasan
1. Para Koruptor Kabur ke Singapura
Beberapa tahun terakhir ini belasan hingga puluhan WNI yang bermasalah dengan hukum diyakini bersembunyi di sejumlah negara, terutama negeri jiran Singapura. Selain Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, masih ada juga nama lain seperti Anggoro Widjaja, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Juga Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belum lagi nama-nama buronan seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian. Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin,serta Hendra Liem alias Hendra Lim,Nader Taher, dan Agus Anwar. Status mereka di Indonesia memang benar berstatus sebagai koruptor, tetapi kenyataan di luar negeri status mereka bukan sebagai koruptor. Melainkan, mereka dijamu sebagai tamu, dan terkadang akan menjadi tamu yang baik sebab mereka membayar pajak, membelanjakan uangnya dan lain-lainnya.
Kalau Densus 88 Polri bisa memburu para tersangka teroris, satuan-satuan khusus yang dibentuk Polri pun pasti mampu memburu tersangka koruptor. Kalau perburuan Nunun Nurbaeti dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, strategi yang sama mestinya bisa diterapkan untuk memburu tersangka koruptor lainnya.
Kembali ke kasus Nazarudin, Kasus pemberian uang yang dilakukan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menambah panjang kontroversi yang dilakukan politisi muda tersebut. Anehnya, hal itu tidak juga membuat Partai Demokrat segera melakukan koreksi diri. Tetapi malah semakin kuat untuk membela anggotanya yang disinyalir tersandung kasus pidana. Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, inilah kesempatan emas bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki nama baik partai. Begitu jelas partai dipakai untuk kepentingan pribadi-pribadi, namun selama ini sulit bagi Partai Demokrat untuk menindak anggotanya. Sekarang ada fakta yang begitu gamblang, namun mereka mencoba menutup mata.
2. Tebang Pilih Penegakan Hukum
Boleh jadi, karena Nazaruddin kader Partai Demokrat, Presiden tak dapat menutup- nutupi kepentingannya dalam merespons kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang itu mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik ”menyelamatkan” Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin ”bernyanyi” dan mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario politik partai demokrat.
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK harus bertindak lebih tegas dan lebih cepat menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader partai demokrat Nazarudin. Perlunya tindakan tegas dan cepat dalam penangaan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang Sumatera Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan Nazaruddin yang saat ini berada di Singapura seharusnya bisa menjelaskan kasus dugaan korupsi tersebut dengan benar tanpa harus ditutup-tutupi agar kasus tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas . Keengganan Nazarudin menjelaskan dengan tuntas kasus tersebut karena hal itu akan menyangkut nama baik diriya sebagai anggota DPR. Ada kesan bahwa KPK lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi sangat mungkin, hal itu disebabkan Nazaruddin merupakan kader partai demokrat yang merupakan partai yang berkuasa saat ini. Sehingga apabila kasus Nazarudin di telusuri lebih dalam, sangat mungkin akan mengungkap banyak hal yag berkaitan dengan tuduhan dugaan korupsi yang di arahkan padanya dan akan membuka semua borok kader-kader Partai Demokrat lainnya sehingga menyeret sejumlah orang penting di partai tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut Lord Acton menegaskan,”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” 1
Indonesia adalah negara hukum, seyogyanya siapapun yang terkait dengan kasus hukum harus ditangani dengan tegas dan tuntas apalagi bila KPK yang menanganinya, sehingga kesan di masyarakat bahwa penanganan hukum sifatnya tebang pilih bisa diminimalisir.
3. Kasus Nazaruddin Akan Hilang
Serangkaian kasus besar pelanggaran pidana di Indonesia terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya di awal tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja kasus bank century, kasus likuidasi BLBI, kasus Gayus, Kasus Susno Duadji dan seterusnya. Kemudian yang teranyar kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin dan masih akan ada kasus-kasus besar lainnya bermunculan. Dapat diprediksikan kalau situasi semacam ini akan terus berlanjut hingga 2014 mendatang pada akhir masa pemerintahan SBY. Sebab, tidak ada ketegasan dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul.
Menyikapi keadaaan carut marut penegakan hukum seperti demikian, tampaknya masyarakat Indonesia sudah sangat jenuh dipertontonkan dengan hal semacam ini. Banyak kasus besar, namun tidak kunjung ada penyelesaiannya. Setelah satu kasus lama tak diungkap kemudian berganti lagi dengan kasus yang satu untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Kejadian semacam ini di Indonesia disebabkan kondisi politik saat ini dimana, partai politik di Indonesia belum bisa disebut partai politik yang ideal. Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau. ”2 Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan yang strategis yang nantinya akan menjadi donasi terhadap partai.
4. Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Kasus Nazaruddin
Dalam kasus hukum Nazarudin jelas bahwa para petinggi partai Demokrat mencoba dengan segala daya menyelamatkan partai dan para kadernya dari upaya jeratan hukum dengan kekuasaan dan kekuatan politik partai demokrat sehingga Nazarudin untouchable dari aparat hukum. Dalam masyarakat ada empat kekuataan sosial yang bersifat baik dan tidak baik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Empat kekuatan sosial itu adalah (1) kekuatan uang, (2) kekuatan politik, (3) kekuatan massa, (4) kekuatan teknologi baru.
5. Yuridis Normatif
Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazaruddin bisa ditangkap atau didatangkan.
Rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, para anggota Partai Demokrat juga jangan mencoba lari dari substansi. Salah besar apabila rakyat dianggap tidak mencatat dan mengingat setiap tindakan yang dilakukan elite partai. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang nyeleneh dan melanggar hukum yang dilakukan para politisi. Rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan setegak-tegaknya di republik ini. Adili para pelaku korupsi ke pengadilan dan tunjukkan kesalahahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka. Pendekatan seperti ini dalam kajian sosiologi hukum disebut pendekatan yuridis normatif.
6. Yuridis Empiris
Begitu seringnya rangkaian kasus besar di Indonesia yang terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya dan kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin sepertinya bukanlah kasus yang terakhir tapi masih akan ada kasus-kasus besar lainnya yang akan bermunculan. Karena tiada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Celakanya tak satupun aparat penegak hukum yang mampu menangkap Nazaruddin. Dalam hal ini, yang perlu diributkan sebenarnya adalah aparat hukum yang sampai saat ini tak mampu menangkap Nazaruddin, kalau saja Nazaruddin dapat ditangkap atau didatangkan, maka semua isu yang berkembang dengan
sendirinya bakal terjawab.
Ada kasus besar yang terungkap ke publik bukan untuk diselesaikan tapi digunakan untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Realita ini yang sedang disajikan oleh elit partai demokrat yang sedang berkuasa di pemerintahan pada rakyat. Kenyaatan hukum ini dalam kajian sosiologi hukum disebut yuridis empiris. Hukum dengan kajian yuridis empiris tidak didasarkan pada bentuk pasal dan peraturan, melainkan bagaimana kenyataan hukum itu dalam kehidupan masyarakat.
7. Solusi

Persoalan 'bola panas' mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, telah menggelinding jauh ke ranah politik. Akibatnya, kasus Nazaruddin yang sebenarnya bermuara pada permasalahan hukum itu telah bergeser jauh menjadi persoalan politik. Inilah kenyataan hukum di republik ini. Hukum diombang-ambingkan ke segala arah sesuai kehendak penguasa. Sungguh ironis, undang-undang anti tindak pidana korupsi belum mampu membuat para pelaku korupsi jera, justru malah semakin menjamurnya para koruptor baru. Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum melalui mekanisme yuridis normatif patut dikedepankan dengan menghilangkan unsur tebang pilih. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem yang ada di Indonesia baik dari aspek hukum, pemerintahan, politik dan juga mengenai sistem keimigrasiannya.
C. Kesimpulan
Kasus Nazarudin yang tak kunjung tuntas sekali lagi telah mencoreng upaya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini murni memang bukan masalah hukum semata, belakangan bahkan masalah politik mendominasi kasus Nazarudin. Setelah ditelusuri, ternyata M.Nazarudin bukan orang “sembarangan”. Ia adalah bendahara umum partai demokrat, sebuah partai poltik yang tengah berkuasa saat ini. Dengan “kesaktiannya”, aparat penegak hukum tak mampu mengendus keberadaannya apalagi menangkapnya kembali ke tanah air. Ditenggarai, banyak kepentingan politik berada dibelakang kasus ini sehingga ia tetap tak tersentuh hukum. Hal ini selaras dengan materi kuliah Prof. Zainuddin Ali pada kuliah Sosiologi Hukum bahwa kekuatan politik dan uang dapat membelokkan upaya penegakan hukum di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
____________. Sosiologi Hukum. Cet. Ke-6, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Irsan, Koesparmono. Politik hukum, Jakarta : Universitas Brobodur, 2004
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004
Schmid, J.Von. Ahli-ahli pikir besar tentang negara dan hukum. Jakarta: PT Pembagunan, 2004
Kasus Nazaruddin akan Hilang http://www.infoindo.com/20110710144545 Minggu,10 Juli 2011

Rabu, 24 Agustus 2011

URGENSI LEGISLASI UNDANG-UNDANG HUKUM KEWARISAN DAN PROBLEMATIKANYA DI INDONESIA

URGENSI LEGISLASI UNDANG-UNDANG HUKUM KEWARISAN DAN PROBLEMATIKANYA
DI INDONESIA


LITBANG DEPARTEMEN AGAMA KERJASAMA
FAK. SYARIAH DAN HUKUM SERTA HISSI
TAHUN 2011

TIM PENULIS DAN PEMBAHAS
Sesi I
1. Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA : Signifikansi Penyusunan RUU Hukum materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan di Indonesia dilihat dari Aspek Filosofis, Yuridis, Sosiologis dan Historis
2. Prof. Dr. H. Jaih Mubarak, SE., M.Ag, MH: Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
3. Dr. H. Edi Riyadi, SH., MH: Paradigma Baru Hukum Waris Islam
4. Ratu Haika, M.Ag: Syarat-syarat ahli waris dan Pewaris serta kelompok ahli waris dan bagian masing-masing dalam perspektif Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
5. Muhammad Adib, MA: Halangan Menerima Warisan dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
6. H.A. Sukris Sarmadi, S.Ag., MH: Harta Bersama dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
Sesi II
1. Dr. H. Faqihuddin Abdul Qadir, Lc., MA: Hukum Kewarisan Islam antara Taabbudy dan Ta’aqquly
2. Dra. Maskufa, M. Ag: Pro dan Kontra porsi kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
3. Drs. H. Moh. Muhibin, SH., M. Hum: Wasiat Wajibah untuk anak angkat, anak yang lahir di luar perkawinan yang sah (anak zina dan anak nikah sirri, dan anak yang berbeda agama dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
4. Prof. Dr. H. Syahrizal Abbas, MA: Ahli waris Pengganti dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
5. Euis Nurlailawati, MA., Ph.D: Anak perempuan menghijab saudara pewaris dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
6. Sulhani Hermawan, M.Ag: Kedudukan waris anak di luar nikah dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
Sesi III
1. Sri Hidayanti, M.Ag: Kewarisan Khunsa (kelamin ganda), Mafqud (orang hilang), anak dalam kandungan dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
2. Humaidi Hamid, M.Ag: Musyarrakah dan Gharawain dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
3. Zainul Mahmudi, M.Ag: Wasiat Pembagian harta Warisan sebelum pewaris meninggal dunia dan praktik hibah dihitung sebagai bagian waris dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
4. Azharuddin Latif/Ali Mansur: Konsep Perdamaian dan Taharruj dalam perspektif Fikih, KHI, Fikih, KHI, dan Praktik di Pengadilan dan Masyarakat
5. Hj. Neng Zubaidah, SH., MH: Model-model Adopsi sistem waris BW dan Hukum adat dalam KHI dan RUU Kewarisan
6. Dr. Yeni Salma Barlinti, SH., MH: Keterkaitan Hukum Waris dengan hak-hak kebendaan yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
Pembahas sesi I
1. Prof. Dr. H. Atho Mudzhar, MSPD
2. Prof. Dr. H. Ahmad Rofik, MA
Pembahas sesi II
3. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin
4. Prof. Dr. H. Muhibbin, MA
Pembahas sesi III
5. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA
6. Dr. H. Habiburrahman, SH., MH

KASUS NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

KASUS NAZARUDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Oleh: Andi Setiawan, BenediktusTitus T., Dominicus, Lasbok Marbun (MHS S2 Magister Hukum Univ. Borobudur Jakarta
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali S.H. M.A.

A. PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan yang menyorot M. Nazarudin, bendahara partai demokrat, mengenai kasus-kasus hukum yang membelitnya nyata-nyata telah berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasus hukum yang menerpa M. Nazarudin seperti dalam kasus pengerjaan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung, dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. tidak hanya mencederai nama besar Partai demokrat dimata publik, namun juga mungkin akan mengakhiri zaman keemasan partai demokrat.
Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya.
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Nazarudin selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.

B.PEMBAHASAN
PARA KORUPTOR KABUR KE SINGAPURA
Beberapa tahun terakhir ini belasan hingga puluhan WNI yang bermasalah dengan hukum diyakini bersembunyi di sejumlah negara, terutama negeri jiran Singapura. Selain Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, masih ada juga nama lain seperti Anggoro Widjaja, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Juga Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belum lagi nama-nama buronan seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian. Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin,serta Hendra Liem alias Hendra Lim,Nader Taher, dan Agus Anwar. Status mereka di Indonesia memang benar berstatus sebagai koruptor, tetapi kenyataan di luar negeri status mereka bukan sebagai koruptor. Melainkan, mereka dijamu sebagai tamu, dan terkadang akan menjadi tamu yang baik sebab mereka membayar pajak, membelanjakan uangnya dan lain-lainnya.
Kalau Densus 88 Polri bisa memburu para tersangka teroris, satuan-satuan khusus yang dibentuk Polri pun pasti mampu memburu tersangka koruptor. Kalau perburuan Nunun Nurbaeti dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, strategi yang sama mestinya bisa diterapkan untuk memburu tersangka koruptor lainnya.
Kembali ke kasus Nazarudin, Kasus pemberian uang yang dilakukan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menambah panjang kontroversi yang dilakukan politisi muda tersebut. Anehnya, hal itu tidak juga membuat Partai Demokrat segera melakukan koreksi diri. Tetapi malah semakin kuat untuk membela anggotanya yang disinyalir tersandung kasus pidana.
Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, inilah kesempatan emas bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki nama baik partai. Begitu jelas partai dipakai untuk kepentingan pribadi-pribadi, namun selama ini sulit bagi Partai Demokrat untuk menindak anggotanya. Sekarang ada fakta yang begitu gamblang, namun mereka mencoba menutup mata.
TEBANG PILIH PENEGAKAN HUKUM
Boleh jadi, karena Nazaruddin kader Partai Demokrat, Presiden tak dapat menutup- nutupi kepentingannya dalam merespons kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang itu mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik ”menyelamatkan” Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin ”bernyanyi” dan mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario politik partai demokrat.
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK harus bertindak lebih tegas dan lebih cepat menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader partai demokrat Nazarudin. Perlunya tindakan tegas dan cepat dalam penangaan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang Sumatera Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan Nazaruddin yang saat ini berada di Singapura seharusnya bisa menjelaskan kasus dugaan korupsi tersebut dengan benar tanpa harus ditutup-tutupi agar kasus tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas . Keengganan Nazarudin menjelaskan dengan tuntas kasus tersebut karena hal itu akan menyangkut nama baik diriya sebagai anggota DPR. Ada kesan bahwa KPK lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi sangat mungkin, hal itu disebabkan Nazaruddin merupakan kader partai demokrat yang merupakan partai yang berkuasa saat ini. Sehingga apabila kasus Nazarudin di telusuri lebih dalam, sangat mungkin akan mengungkap banyak hal yag berkaitan dengan tuduhan dugaan korupsi yang di arahkan padanya dan akan membuka semua borok kader-kader Partai Demokrat lainnya sehingga menyeret sejumlah orang penting di partai tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut Lord Acton menegaskan,”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”1
Indonesia adalah negara hukum, seyogyanya siapapun yang terkait dengan kasus hukum harus ditangani dengan tegas dan tuntas apalagi bila KPK yang menanganinya, sehingga kesan di masyarakat bahwa penanganan hukum sifatnya tebang pilih bisa diminimalisir.

KASUS NAZARUDDIN AKAN HILANG

Serangkaian kasus besar pelanggaran pidana di Indonesia terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya di awal tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja kasus bank century, kasus likuidasi BLBI, kasus Gayus, Kasus Susno Duadji dan seterusnya. Kemudian yang teranyar kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin dan masih akan ada kasus-kasus besar lainnya bermunculan. Dapat diprediksikan kalau situasi semacam ini akan terus berlanjut hingga 2014 mendatang pada akhir masa pemerintahan SBY. Sebab, tidak ada ketegasan dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul.

1Koesparmono Irsan, Politik hukum, (Jakarta : Universitas Brobodur, 2004) hal.72.
Menyikapi keadaaan carut marut hukum seperti demikian, tampaknya masyarakat Indonesia sudah sangat jenuh dipertontonkan dengan hal semacam ini. Banyak kasus besar
namun tidak kunjung ada penyelesaiannya. Setelah satu kasus lama tak diungkap kemudian berganti lagi dengan kasus yang satu untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Kejadian semacam ini di Indonesia disebabkan kondisi politik saat ini dimana, partai politik di Indonesia belum bisa disebut partai politik yang ideal. Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau.”2 Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan yang strategis yang nantinya akan menjadi donasi terhadap partai.

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM

Dalam kasus hukum Nazarudin jelas bahwa para petinggi partai mencoba dengan segala daya menyelamatkan partai dan para kadernya dari upaya jeratan hukum dengan kekuasaan dan kekuatan politik partai demokrat sehingga Nazarudin untouchable dari aparat hukum. Dalam masyarakat ada empat kekuataan sosial yang bersifat baik dan tidak baik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Empat kekuatan sosial itu adalah (1) kekuatan uang, (2) kekuatan politik, (3) kekuatan massa, (4) kekuatan teknologi baru.3

YURIDIS NORMATIF
2Disampaikan pada kuliah Hukum Ekonomi di FH Program PascaSarjana Universitas Borobudur, Jakarta.
Sabtu 18 Juni 2011.
3Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2010) hal.33
Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazaruddin bisa ditangkap atau didatangkan.

Rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, para anggota Partai Demokrat juga jangan mencoba lari dari substansi. Salah besar apabila rakyat dianggap tidak mencatat dan mengingat setiap tindakan yang dilakukan elite partai. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang nyeleneh dan melanggar hukum yang dilakukan para politisi. Rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan setegak-tegaknya di republik ini. Adili para pelaku korupsi ke pengadilan dan tunjukkan kesalahahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka. Pendekatan seperti ini dalam kajian sosiologi hukum disebut pendekatan yuridis normatif.4

YURIDIS EMPIRIS
Begitu seringnya rangkaian kasus besar di Indonesia yang terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya dan kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin sepertinya bukanlah kasus yang terakhir tapi masih akan ada kasus-kasus besar lainnya yang akan bermunculan. Karena tiada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Celakanya tak satupun aparat penegak hukum yang mampu menangkap Nazaruddin. Dalam hal ini, yang perlu diributkan sebenarnya adalah aparat hukum yang sampai saat ini tak mampu menangkap Nazaruddin, kalau saja Nazaruddin dapat ditangkap atau didatangkan, maka semua isu yang berkembang dengan

4 Ibid hal.13

sendirinya bakal terjawab.
Ada kasus besar yang terungkap ke publik bukan untuk diselesaikan tapi digunakan untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Realita ini yang sedang disajikan oleh elit partai demokrat yang sedang berkuasa di pemerintahan pada rakyat. Kenyaatan hukum ini dalam kajian sosiologi hukum disebut yuridis empiris. Hukum dengan kajian yuridis empiris tidak didasarkan pada bentuk pasal dan peraturan, melainkan bagaimana hukum itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat.5
SOLUSI
Persoalan 'bola panas' mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, telah menggelinding jauh ke ranah politik. Akibatnya, kasus Nazaruddin yang sebenarnya bermuara pada permasalahan hukum itu telah bergeser jauh menjadi persoalan politik. Inilah kenyataan hukum di republik ini. Hukum diombang-ambingkan ke segala arah sesuai kehendak penguasa. Sungguh ironis, undang-undang anti tindak pidana korupsi belum mampu membuat para pelaku korupsi jera, justru malah semakin menjamurnya para koruptor baru. Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum melalui mekanisme yuridis normatif patut dikedepankan dengan menghilangkan unsur tebang pilih. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem yang ada di Indonesia baik dari aspek hukum, pemerintahan, politik dan juga mengenai sistem keimigrasiannya.








5 Loc.cit hal.13
KESIMPULAN
Kasus Nazarudin yang tak kunjung tuntas sekali lagi telah mencoreng upaya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini murni memang bukan masalah hukum semata, belakangan bahkan masalah politik mendominasi kasus Nazarudin. Setelah ditelusuri, ternyata M.Nazarudin bukan orang “sembarangan”. Ia adalah bendahara umum partai demokrat, sebuah partai poltik yang tengah berkuasa saat ini. Dengan “kesaktiannya”, aparat penegak hukum tak mampu mengendus keberadaannya apalagi menangkapnya kembali ke tanah air. Ditenggarai, banyak kepentingan politik berada dibelakang kasus ini sehingga ia tetap tak tersentuh hukum. Hal ini selaras dengan materi kuliah Prof. Zainuddin Ali pada kuliah Sosiologi Hukum bahwa kekuatan politik dan uang dapat membelokkan upaya penegakan hukum di tanah air.











Daftar Pustaka

Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Jakarta, Sinar Grafika, 2005.
Irsan, Koesparmono. Politik hukum, Jakarta : Universitas Brobodur, 2004
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004
Schmid, J.Von. Ahli-ahli pikir besar tentang negara dan hukum. Jakarta: PT Pembagunan, 2004
Kasus Nazaruddin akan Hilang http://www.infoindo.com/20110710144545 Minggu,10 Juli 2011




Sabtu, 06 Agustus 2011

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP SISMINBAKUM

TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP SISMINBAKUM

oleh
BONA (107 200 41)
SYAMSUDIN (107 200
Dosen: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

ACKNOWLEDGMENTS
Penulis berterima kasih kepada Prof. Dr. Zaenuddin Ali, MA yang telah memberikan waktunya untuk mengajar dan memberikan tugas ini sebagai materi dalam mata kuliah Sosilogi Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur.
Chapter 1
KRONOLOGIS KASUS
Awal Tahun 2000
IMF menyarankan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra agar mempermudah pemberian izin pendirian perusahaan untuk membangkitkan perekonomian setelah krisis. Waktu itu izin ini dikelola dengan manual, makan waktu lama. Karena pemerintah tak punya biaya, dalam rapat kabinet Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan untuk mengundang swasta .
Februari 2000
Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita meminta John Sarodja Saleh, ahli teknologi informasi, konon rekanan Departemen Hukum, untuk merencanakan sistem informasi pemberian izin notaris.
Juni 2000
Tersebut sebuah perusahaan bernama PT Sarana Rekatama Dinamika. Entah bagaimana ceritanya, PT Sarana ini dikenal oleh Romli. Bisa jadi karena PT Sarana mengajukan pengesahan akta notaris ke Departemen Hukum. (Menurut Lembaran Berita Negara tentang akta pendirian perusahaan, pengesahan PT Sarana ditandatangani Dirjen Romli pada 24 Agustus 2000)
Juli 2000
Romli memperkenalkan John Sarodja dengan Hartono, Bambang Tanoesoedibjo, Rukman Prawirasastra, dan Yohanes Waworuntu dari PT Bhakti Investama. John Sarodja diminta bekerja sama dengan PT Bhakti untuk membuat sistem komputerisasi tersebut
Agustus 2000
Tapi bukan PT Bhakti yang kemudian kerja sama dengan John Sarodja, melainkan PT Sarana. Pada tanggal ini Direktur Utama PT Sarana menandatangani perjanjian kerjasama dengan John Sarodja yang karena tak terkait dengan perusahaan mana pun meminta PT Visual Teknindo Utama memberikan kuasa direksi kepadanya. Isi perjanjian, PT Sarana memberikan biaya Rp 512 juta kepada PT Visual untuk pembuatan aplikasi, pembangunan jaringan, dan pengadaan perangkat keras
1 September 2000
PT Sarana mengajukan permohonan sebagai pengelola dan pelaksana sistem informasi yang kemudian disebut Sisminbakum (sistem administrasi badan hukum) itu
8 September 2000
PT Sarana resmi bekerja sama dengan KPPDK (Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman) membuat sistem tersebut. Tampaknya ini kelaziman di Departemen Hukum, bila ada kerjasama dengan swasta, departemen diwakili oleh KPPDK. (Catatan: nama departmen satu ini berubah-ubah; sampai 1999, Departemen Kehakiman; 1999-2001, Departemen Hukum dan Perundang-undangan; 2001-2004, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 2004-2009, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2010, menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia)
4 Oktober 2000
Menteri Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan putusan pemberlakuan Sisminbakum.
10 Oktober 2000
Menteri Kehakiman dan HAM selaku Pembina KPPDK No 19/K/Kep/KPPDK/X/2000, tanggal 10 Oktober 2000,menunjuk KPPDK dan PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) selaku pengelola dan pelaksana Sisminbakum, bukan hanya sebagai penyedia jasa teknologi informasi. Inilah yang tampaknya membuat PT Sarana mempunyai akses pada Sisminbakum, termasuk proses pemberian izin akta notaris pendirian perusahaan yang seharusnya dirahasiakan. Baru setelah izin disahkan, masuk ke Lembaran Berita Negara dan bisa diakses public.
8 November 2000
KPPDK dan PT Sarana mengikat kontrak kerja sama. Yusril sebagai pembina Koperasi turut menandatanganinya. Jangka waktu perjanjian 10 tahun. Perjanjian juga mengatur perolehan kedua pihak, yakni 10 persen untuk Koperasi dan 90 persen untuk PT Sarana
14 Januari 2001
Romli selaku Dirjen AHU mengirim surat ke Koperasi Pengayoman, meminta pendapatan dari sistem itu digunakan untuk menunjang kelancaran tugas Ditjen AHU
31 Januari 2001
Sisminbakum diresmikan Wakil Presiden Megawati di Aula Departemen Hukum dan Perundang-undangan
31 Februari 2001
Romli menerbitkan surat edaran kepada para notaris di seluruh Indonesia tentang pelaksanaan dan tarif akses ke Sisminbakum.
12 Maret 2001
Menteri Sekretaris kabinet Marsillam Simanjuntak menulis surat kepada Menteri Hukum bahwa Sisminbakum melanggar Undang-Undang Penerimaan Negara Bukan Pajak
7 Februari 2001
Presiden mengganti Menteri Hukum Yusril Ihza dengan Baharuddin Lopa
6 Juni 2001
Lagi, pergantian Menteri Hukum, dari Baharuddin ke Marsillam Simanjuntak. Baharuddin menjadi Jaksa Agung
29 Juni 2001
Menteri Hukum Marsillam mengeluarkan surat keputusan yang memberlakukan kembali sistem manual dalam pengurusan badan hukum, dan memberlakukan Sisminbakum secara terbatas.
30 Juni 2002
Romli digantikan oleh Zulkarnain Yunus.
25 April 2003
Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyimpulkan Sisminbakum melanggar Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Oktober 2008
Kejaksaan Agung mulai menyelidiki dugaan korupsi Sisminbakum

Chapter 2
PARA TERSANGKA
Tersangka I
Prof. DR. Romli Atmasasmita SH, LLM
Prof. Dr. Romli Atmasasmita SH, LLM, dikenal sebagai aktivis antikorupsi dari kalangan akademik yang amat vokal. Guru Besar dan Koordinator Program Doktor Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran, ini selain Koordinator Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004), dia juga tim ahli United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB Melawan Korupsi).
Dia juga tercatat sebagai tim ahli United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Pada masa persiapan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ayah lima anak ini ditnujuk menjadi Ketua Tim Seleksi Anggota KPK, yang kemudian memilih Taufiequrrachman Ruki selaku Ketua.
Di era pemerintahan Presiden Megawati, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran (Unpad) ini terlibat sebagai anggota Tim Perumus UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku sampai sekarang untuk menjerat para koruptor.
Tersangka II
Zulkarnain Yunus
Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Zulkarnain Yunus tengah menjalani empat tahun penjara dalam perkara korupsi proyek pengadaan alat sidik jari otomatis atau automatic fingerprint identification system (AFIS)
Tersangka III
Dr. Syamsudin Manan Sinaga, SH, MH
Lahir di Pematang Siantar, umur 56 tahun / 15 Oktober 1952, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, S-3/Doktor Ilmu Hukum
Tersangka IV
Ali Amran Djanah
Mantan Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman
Tersangka V
Yohanes Waworuntu
Pengusaha tulen yang bertugas menjadi President Director of PT Sarana Rekatama.
Chapter 3
DASAR PENETAPAN PELANGGARAN HUKUM
Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Pasal 12 huruf e jo Pasal 15 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 ayat (1) b, ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dirubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

Chapter 4
AMAR PUTUSAN PENGADILAN
Tersangka I
Menyatakan terdakwa PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi. sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana Dakwaan keempat;
Menjatuhkan pidana kepada PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam penahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan
Menjatuhkan pidana denda kepada PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidiair selama 2 (dua) bulan kurungan.
Menetapkan agar terdakwa PROF. DR. ROMLI ATMASASMITA, SH, LLM. membayar uang pengganti sebesar US$ 2,000 (dua ribu dollar Amerika) dan Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa tidak melakukan pembayaran, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk mencukupi uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka agar terdakwa dipidana penjara selama 2 (dua) bulan.
Menyatakan barang bukti a. Lembar Surat Perjanjian Kerjasama Antara Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Dengan PT. Sarana Rekatama Dinamika tentang Pengelolaan Dan Pelaksanaan Sistim Administrasi Badan Hukum Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor : 135/K/ UM/KPPDK/XI/2000. b. Daftar Rekapitulasi Bagi Hasil Fee Sisminbakum Ditjen AHU Dengan KPPDK Pusat Dari Bulan April 2001 S/d September 2008. Dan seterusnya sampai dengan Nomor 1435 berupa Wireless Linksys SN : M31303118446. Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama DR. Syamsudin Manan Sinaga, SH, MH. 1.6. Menetapkan kepada terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

Tersangka II
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menghukum terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b jo. Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindal Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP. Hakim Tahsin menghukum terdakwa Zulkarnain Yunus dengan kurungan 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100 juta subsider 2 bulan kurungan serta mewajibkan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 240 juta sebsuder 2 bulan kurungan.

Tersangka III
Menyatakan terdakwa DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah ?melakukan Tindak Pidana Korupsi,sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana Dakwaan kelima;
Menjatuhkan pidana kepada DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan, dikurangi selama terdakwa berada dalam penahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan
Menjatuhkan pidana denda kepada DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidiair selama 2 (dua) bulan kurungan.
Menetapkan agar terdakwa DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. membayar uang pengganti sebesar US$ 13,000 (tiga belas ribu dollar Amerika) dan Rp. 344.570.000,- (tiga ratus empat puluh empat juta lima ratus tujuh puluh ribu rupiah), dan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa tidak melakukan pembayaran, maka harta bendanya disita oleh Jaksa dan dilelang untuk mencukupi uang pengganti tersebut dan jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka agar terdakwa dipidana penjara selama 2 (dua) bulan.
Menyatakan barang bukti
Surat-surat berupa dokumen .
Uang sejumlah Rp. 18,499.970.000,- (delapan belas milyar empat ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus tujuh puluh ribu rupiah) disita dari Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Hukum dan HAM RI.
Uang sejumlah Rp. 2.415.417.808,- (dua milyar empat ratus lima belas juta empat ratus tujuh belas ribu delapan ratus delapan rupiah) disita dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Depkumham RI.
Uang sejumlah Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) disita dari Prof. HAS Natabaya, SH, MH. Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama terdakwa Yohanes Waworuntu, Zulkarnain Yunus, Dkk.
Barang bukti berupa uang sejumlah Rp. 66.900.000,- (enam puluh enam juta sembilan ratus ribu rupiah) disita dari DR. SYAMSUDIN MANAN SINAGA, S.H., M.H. dirampas untuk Negara.
Menetapkan kepada terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).

Tersangka V
PT DKI Jakarta dalam putusannya Nomor : 357/PID/2009/PT DKI tanggal 01 Pebruari 2010 telah membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 970/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 28 Oktober 2009, sehinga amarnya menjadi menyatakan terdakwa Yohanes Waworuntu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, serta menghukum dengan denda sebesar Rp. 200 Juta subsidair 4 Bulan.

Chapter 5
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Bahwa kasus ini cukup ‘rumit’ karena faktor penyebab awal adalah situasi dan kondisi pemerintah yang pada saat itu kebijakan negara mengatakan tidak adanya biaya sementara desakan untuk membuat sebuah sistem semakin besar dari berbagai pihak

Bahwa kasus ini merupakan buah kebijakan yang di turunkan oleh melalui S.K setingkat menteri yang di jalankan oleh bawahannya dalam hal ini Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU)

Bahwa pihak pengusaha dalam melihat sebuah peluang untuk mendapatkan profit merupakan dasar pembuatan sebuah perusahaan. Dalam hal ini pengusaha Yohaness Wawarontu melihat peluang pada pemerintah dan kebutuhan di masyarakat dan melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah melalui KPPDK /Koperasi

Bahwa pergantian Dirjen AHU tidak semerta merta menghapus semua program kebijakan yang telah di ambil oleh pejabat sebelumnya dan tidak bisa di persalahkan dalam konteks pidana karena hal tersebut adalah sebuah kebijakan

Bahwa dugaan adanya korupsi ternyata masih kurang kuat karena justru pemerintah mendapatkan pemasukan melalui kerjasama yang di lakukan apabila di lihat dalam konteks penerimaan pendapatan.
Muatan politis dalam kasus ini begitu kental karena melakukan penuntutan terhadap sebuah kebijakan yang di ambil dalam harus di lihat dalam situasi serta kondisi yang tengah terjadi saat pengambilan kebijakan tersebut.

Bahwa pada akhir perjalanan kasus ini Prof. Yusril Ihza Mahendra melakukan tuntutan balik yang mengakibatkan Jaksa Agung di berhentikan membuat persoalan baru dimana putusan yang dibuat mengalami kecacatan hukum.

Chapter 6
PENUTUP – PERTANYAAN
Adam Podgorecki
“In a social system there exists not only legal and moral norms, but also various norms of customs, manners, religion, politics, tradition, etc. Among these categories moral and legal norms are distinct, as their role in the social systems in particularly significant and important. Legal and moral norms are the basis for order and regulation in a social system.
SBY – Presiden RI
“Saya mengatakan, the real policy tidak mungkin dipidanakan," kata Presiden.Namun bila dalam implementasi kebijakan itu ada aturan hukum yang dilanggar, maka harus ada pembuktian yang jelas. Suatu kebijakan hanya bisa dianggap salah bila memang terbukti dengan jelas adanya unsur korupsi, suap atau konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusannya”
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
“Bahwa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh siapapun apabila ada niat dan modus utk kriminalnya dapat di pidanakan.”
Apakah sebuah kebijakan yang di ambil dengan dasar hukum yang benar dan kondisi serta situasi yang mendukung saat itu bisa di pidanakan di kemudian hari ?

TABIK
DAFTAR PUSTAKA
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, www.kejari-jaksel.go.id
Komisi Pemberantasan Korupsi, www.kpk.go.id
Republika Online, Jumat, 07 November 2008, www.republika.com
Kompas, Liputan Khusus, Jumat, 25 Juni 2010, Kejagung Dituntut Tuntaskan Sisminbakum
Majalah Tempo, Selasa, 02 Agustus 2011, Siang Ini, Putusan Praperadilan Kasus Sisminbakum.
Detiknews, Rabu, 11/05/2011, KY Tidak Pernah Komentari Kasus Sisminbakum
Sosiologi Hukum, Prof. Dr. Zaenuddin MA, ISBN 979-8061-29-2
Multi-dimensional sociology, Adam Podgorecki , ISBN 071000293

Analisis Mengenai Kasus Hukum Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) yang melaporkan Proses Penangan Perkaranya di Pengadilan yang dianggap penuh Rekayasa Kepada Komisi Yudisial di Tinjau melalui Disiplin Ilmu Sosiologi Hukum

Analisis Mengenai Kasus Hukum Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) yang melaporkan Proses Penangan Perkaranya di Pengadilan yang dianggap penuh Rekayasa Kepada Komisi Yudisial di Tinjau melalui Disiplin Ilmu Sosiologi Hukum
di susun oleh: YOGA HATTA ALFAJRI H., S.H.NPM : 10720047, YULI SUSIANI, S.H.NPM : 10720049
Dosen :Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, S.H., M.A

A. Pendahuluan

Mencermati kasus Antasari dengan kembali mencuat setelah Komisi Yudisial pada 13 April menemukan indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang menangani persidangan Antasari Azhar. Seperti diketahui, KY mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran profesionalisme dari majlis hakim perkara Antasari, mulai dari tingkat pertama sampai kasasi dengan mengabaikan beberapa bukti kunci dalam perkara tersebut.
Bukti yang dimaksud yakni adanya pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik, serta pengabaian bukti berupa baju korban Nasruddin Zulkarnain yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan. Selain itu Setelah mempelajari pengaduan pengacara Antasari. KY mensinyalir ada sejumlah bukti-bukti penting yang justru tidak dihadirkan hakim. Bukti penting yang diabaikan itu seperti bukti dan keterangan ahli terkait senjata dan peluru yang digunakan dan pengiriman SMS dari HP Antasari.
Menurut versi Maqdir Ismail, penasihat hukum Antasari, mengatakan kejanggalan itu ditemukan selama proses persidangan di tingkat pertama,, baik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan maupun PN Tanggerang. Berikut 10 kejanggalan tersebut:
1. Terkait penyitaan celana jins
Terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak terhadap mobil Nasrudin.
2. Terkait luka tembak
Berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.
"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta, bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," kata Maqdir melalui email kepada Kompas.com, Selasa ( 25/4/2011 ).
3. Terkait barang bukti senjata api.
Berdasarkan keterangan Dr Abdul Mun'im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik.
Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.
Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami.
"Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3000-4000 peluru," lanjut dia.
4. Terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri
Ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.
Menurut Maqdir, keterangan kedua saksi itu rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, tambah Maqdir, ada 2005 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.
"Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono. Ahli IT Dr Agung Harsoyo menduga, pengiriman SMS ini dilakukan melalui web server.

Dia juga menyatakan, tidak ada SMS dari HP Antasari kepada Nasrudin. Ia memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman rusak itu ternyata tidak bisa dibuka.
5. Perbedaan kualifikasi eksekutor
Ada perbedaan kualifikasi dua eksekutor, yakni antara Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo dan Hendrikus dalam keputusan di PN Tangerang dan di PN Jaksel. Dalam pertimbangan di PN Tangerang, keduanya hanya sebagai penganjur.
Adapun dalam pertimbangan keputusan terdakwa Antasari Azhar, Sigid dan Wiliardi Wizar di PN Jaksel, kata Maqdir, mereka sebagai pelaku dan penganjur.
6. Pertimbangan majelis hakim
Ada pertimbangan majelis hakim dalam putusan Antasari yang tak jelas asalnya. Dalam berkas putusan halaman 175 , hakim menyatakan; "Menimbang bahwa Hendrikus mengikuti korban dalam waktu cukup lama, sampai akhirnya, sebagaimana keterangan saksi Parmin dipersidangan....".
Maqdir menduga, pernyataan itu dikutip dari pertimbangan perkara lain.
7. Ruang kerja Antasari
Ada penyitaan barang bukti dari ruang kerja Antasari di KPK yang tidak berkaitan dengan perkara dan tidak dilakukan konfirmasi kepada Antasari. Bukti yang disita itu dikembalikan kepada Chesna F Anwar.
Termasuk dokumen “turut tersita” adalah berkas perkara penyelidikan kasus Informasi Teknologi Komisi Pemilihan Umum (IT-KPU), dokumen kasus besar lainnya tentang kerjasama dengan BUMN dan swasta, juga dokumen tentang laporan BLBI turut tersita pihak kepolisian. Dan menurut Antasari, dokumen-dokumen tersebut belum dikembalikan.
Apakah dokumen “turut tersita” tersebut adalah agenda lain, namun yang jelas ketika dilakukan penyitaan tidak melakukan konfirmasi kepada Antasari dan tidak menghadirkan antasari ke ruang kerjanya.
8. Penjagaan berlebihan
Penjagaan yang berlebihan oleh polisi terhadap Rani Juliani sejak diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan hingga bersaksi di persidangan. Menurut dia, hakim dalam mempertimbangkan keterangan Rani telah mengabaikan Pasal 185 Ayat 6 huruf d KUHP, yaitu cara hidup dan kesusilaan saksi.
9. Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo
Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.
10. Pemeriksaan penyidik
Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Wiliardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin
B. Pembahasan
1. Kekuasaan Kehakiman
Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut baik buruknya tergantung pada manusia-manusia pelaksananya incasu para Hakim. Lebih lanjut di dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa :

“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Penjelasan mengenai ayat ini merupakan penegasan agar Pengadilan dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang adil.
Menurut judicial process (Henry J Abraham), dalam mengadili perkara, hakim memegang otoritas untuk menilai, menerima, atau menolak suatu bukti dan fakta persidangan. Namun, penilaian, penerimaan, atau penolakan itu harus obyektif dan berdasarkan asas hukum, ketentuan hukum, dan nurani keadilan agar dapat dicerna secara jelas dan terang terkait dengan pendirian hakim yang mengadili suatu fakta dan bukti persidangan.
Laporan Tim Pengacara Antasari berkaitan dengan dugaan adanya rekayasa dalam proses Peradilan Perkara mantan ketua KPK Antasari Azhar sempat mengundang polemik, dan berkembang issue bahwa Mafia Hukum secara sistematis sedang berusaha untuk melakukan pembusukan terhadap KPK.
Munculnya KPK sebagai lembaga Ad Hock dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya memunculkan ketegangan antara penegak hukum yang lain (kepolisian dan kejaksaan) yang dianggap bobrok secara system sehingga rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia terutama supremasi hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime).
Mengenai Kebebasan dan kewenangan Hakim dalam mengadili suatu perkara, dipertegas dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang berkomentar sebagai berikut
“Apabila ada indikasi kuat seorang hakim melanggar kode etik dan profesionalitas, saya kira mau tidak mau hakim itu harus bersedia dan diizinkan untuk diperiksa oleh KY," katanya, Selasa (19/4). Namun ia menegaskan bahwa jika hakim tidak memasukan satu fakta dalam pertimbangan hal itu tidak menjadi masalah karena sudah menjadi kewenangan hakim. Pertimbangan suatu bukti oleh hakim pun tergantung signifikansinya.

“Nah, kalau alasan tidak mempertimbangkan karena tidak professional, kolusi itu yang harus dihukum," tukas Mahfud. Untuk itu, Mahfud meminta publik untuk tidak curiga kepada KY. Masalah terbukti atau tidak, tambahnya, hal itu merupakan tanggung jawab KY. “Jadi hakim juga tidak usah perlu takut dan Mahkamah Agung tidak perlu gengsi," tegasnya.

2. Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pembuktian.
Berpangkal tolak pada Asas ‘PRADUGA TAK BERSALAH’ maka berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah dirubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”
Berkaitan dengan perkara ini, sesuai dengan tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan suatu kebenaran materiel, suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana. Hal tersebut dipertegas dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yaitu :

“Tujuan dari hukum adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”
Merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan :“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.” (Non Self Incrimination).

Bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pasal 66 KUHAP jika ditafsirkan secara a contrario, bahwa penuntut umum lah yang dibebani untuk membuktikan perbuatan Terdakwa bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan.
Selama proses persidangan di Pengadilan Negeri inilah polemic tersebut terjadi. Menurut Penasihat Hukum Antasari, bahwa Majelis Hakim telah mengabaikan beberapa bukti yang sangat berpotensi menguntungkan bagi Antasari. Bahkan, beberapa bukti seakan dihilangkan atau ditutupi agar tidak terungkap di pengadilan. Beberapa proses hukum yang janggal menurut Penasehat hukum Antasari adalah sebagai berikut :
1. Terkait penyitaan celana jins
Terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak terhadap mobil Nasrudin. Bahkan Pakaian yang digunakan oleh korban telah dimusnahkan padahal termasuk dalam barang bukti.

2. Terkait luka tembak
Berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.

"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta, bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," kata Maqdir melalui email kepada Kompas.com, Selasa ( 25/4/2011 ).

3. Terkait barang bukti senjata api.
Berdasarkan keterangan Dr Abdul Mun'im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik. Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.

Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami. Dan “Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3000-4000 peluru,” lanjut dia.

4. Terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri
Ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.

Menurut Maqdir, keterangan kedua saksi itu rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, tambah Maqdir, ada 205 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.

Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono yang menurut Dr. Agung Harsoyo Ahli Informasi Teknologi (IT) dari Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) menduga, pengiriman SMS ini dilakukan melalui web server.

Dia juga menyatakan, tidak ada SMS dari HP Antasari kepada Nasrudin. Namun sebaliknya ada 4 kali sms dari Nasrudin ke Antasari yang tidak satu kalipun dibalas oleh Antasari. Ia memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman itu rusak dan ternyata tidak bisa dibuka.

5. Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo
Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.

6. Pemeriksaan penyidik

Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Wiliardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin
Apabila dikaitkan dengan sistem hukum Indonesia yang menganut system Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif, maka menurut Dr. H. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana diterbitkan atas kerja sama Pusat Kajian dan Pengambangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2009. halaman 42 menyebutkan
“Sistem ini adalah mendasarkan pada system pembuktian menurut Undang-undang secara positif dan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time). System pembuktian ini adalah suatu keseimbangan antara kedua system yang bertolak belakang secara ekstrim. Pembuktian menurut undang-undang secara negative menggabungkan secara terpadu, dengan rumusan yang dikenal “Bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang”. Bertitik tolak pandangan tersebut maka dapat diketahui, bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang. Keyakinan hakim harus juga didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang syah. Sehingga terjadi keterpaduan unsure subjektif dan objektif dalam menentukan kesalahan terdakwa dan tidak terjadi dominasi antar keduanya.”
Mencermati penjelasan Dr. H Syaiful Bakhri, betapa pentingnya alat bukti sebagai pertimbangan Hakim dalam memperoleh keyakinan akan bersalah atau tidaknya Terdakwa. Maka menjadi sangat keliru apabila benar di dalam proses persidangan kasus Antasari Azhar Majelis Hakim mengesampingkan bukti, terutama bukti yang meringankan Terdakwa.

3. Komisi Yudisial Sebagai Kontrol Dalam Proses Peradilan
Kontrol social dapat dilakukan oleh masyarakat (social control by society) maupun oleh Negara (social control by government). Kontrol oleh masyarakat melalui kaidah social non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah social bersifat formal. Kenyataannya sering terjadi kondisi-kondisi nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada.
Social Control maksudnya supaya semua orang punya perilaku sesuai harapan yang menimbulkan komformitas social yaitu pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga tercapai tujuan diberlakukannya suatu kaidah sosial.
Sebagai lembaga negara, Kontrol terhadap lingkup peradilan dan Hakim pada khususnya berada di tangan lembaga Komisi Yudisial (KY). Maka sudah sewajarnya jika KY merasa terpanggil untuk mendorong terciptanya peradilan Indonesia yang merdeka dan bebas korupsi, sesuai kewenangan konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 24B Ayat (1) jo Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU KY No 22 Tahun 2004. Namun, pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut tidak mudah, sebab bertabrakan bahkan tumpang tindih dengan kewenangan MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat independen dari campur tangan pihak mana pun, sebagaimana diatur Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Masalahnya, konsepsi kewenangan tersebut secara legal-akademis bersifat multitafsir sehingga belum ada kesamaan persepsi antara KY dan MA. Ketidakpastian lingkup kewenangan kedua lembaga tersebut sejatinya harus diselesaikan secara normatif agar ada kepastian hukum. Tragisnya, UU KY No 22 Tahun 2004 pun tidak secara jelas, tegas, dan limitatif mendefinisikan apa yang dimaksud dengan konsepsi yuridis ”perilaku hakim” dalam rangka menegakkan ”kehormatan” dan ”keluhuran martabat” yang dimaksud Pasal 13 huruf b jo Pasal 20 UU No 22 Tahun 2004.

Ketidakjelasan tersebut memunculkan kekacauan persepsi kewenangan (dan mekanisme) pemeriksaan hakim oleh KY. Kekacauan konsepsi tersebut jadi makin parah ketika pelaksanaannya menabrak konsepsi kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, sebagaimana ditentukan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang diderivasikan ke dalam norma Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009.

Beranjak dari ketentuan Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman, alih-alih KY memeriksa hakim, justru hakim yang diperiksa dapat melaporkan komisioner KY kepada pihak berwajib karena dianggap telah menodai dan mencampuri kemandirian pengadilan.
Dalam konteks yuridis normatif demikian, kita dapat memahami mengapa Ketua MA Harifin A Tumpa secara tegas menolak kehendak KY memeriksa hakim yang mengadili perkara Antasari Azhar. Apalagi alat uji (getoets) yang hendak dijadikan tolok ukur KY memeriksa hakim perkara Antasari Azhar adalah ”dugaan” menyampingkan fakta dan bukti persidangan.

Namun benarkah hal tersebut tidak dapat dilakukan ? Kita dapat menyimpulkannya dengan melihat apakah tindakan yang dilakukan Tim Penasihat Hukum Antasari yang melaporkan perkara tersebut kepada Komisi Yudisial dapat membantu proses Upaya Hukum Peninjauan Kembali di kemudian hari.
Alasan pengajuan peninjauan kembali dasar hukum pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982 :
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
4. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
5. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Berdasarkan ketentuan di atas, yang apabila dikorelasikan dengan Kewenangan Komisi Yudisial dalam hal pengawasan Kode etik Hakim, maka upaya yang dilakukan oleh Tim Penasihat Hukum Antasari adalah tindakan yang masuk akal dan sesuai dengan koridor hukum.
Terlepas dari perdebatan mengenai adanya pelaporan yang dilakukan oleh Tim Pengacara Antasari, sesungguhnya kita sedang di suguhi suatu dinamika hukum. Hukum menjadi hidup, dia terus berkembang sehingga hukum benar-benar melakukan penggalian atas suatu kebenaran materiel.
Hal inilah yang menjadikan perlunya memandang hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Berarti hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning.
Upaya Tim Pengacara Antasari dengan melaporkan hakim ketua yang memimpin persidangan dalam perkara a quo, seakan mendobrak batas-batas kekuasaan Hakim yang begitu Absolute dan tak terjamah oleh Hukum. Paradigma Hakim adalah perpanjangan Tuhan, di dobrak bahwa Hakim-pun adalah manusia yang dapat salah dan perlu untuk dikoreksi.
Sebagaimana yang disampaikan Lord Acton tentang moralitas dan kekuasaan "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." Senada dengan itu adalah pendapat William Pitt, seorang politikus di Amerika (1766-1778) mengatakan "Unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it"
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukan adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana pendekatan sosiologis dan positivis dapat digunakan secara sinergis dan komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif.

Pendekatan hukum yang positivistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum, namun Tujuan Hukum untuk dapat memberikan nilai kemanfaatan dan keadilan belum tentu dapat terwujud. Terlebih lagi hukum yang seharusnya berlaku dimasyarakat pada akhirnya akan mendapatkan penentangan dari subjek hukum itu sendiri. Pada akhirnya Tujuan dari hukum tidak tercapai dengan semestinya.

Menurut Gustav Radbruh : hukum harus mengandung tiga nilai idealitas :
1. Kepastian  yuridis
2. Keadilan  Filosofis
3. Kemanfaatan  Sosiologis

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum
2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum
3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum  sebagai tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.

Adanya gejolak dari masyarakat, dan tuntutan dari masyarakat hukum untuk dilakukan penyidikan ulang terhadap proses kriminalisasi (jika boleh dianggap) terhadap mantan ketua KPK Antasari Azhar membuktikan adanya nilai-nilai “keadilan” sesungguhnya belum di dapat.
Masyarakat seakan masih meyakini, bahwa kriminalisasi mantan ketua KPK Antasari Azhar tidaklah sesederhana yang terlihat. Keterlibatan Petinggi Kepolisian, Penghilangan barang bukti, Jenis senjata dan alur kronologis yang terlihat di paksakan seakan membuktikan perkara ini melibatkan suatu sistem yang sangat besar.
Orang bertanya-tanya, mengapa kasus pembunuhan Jaksa Agung Baharuddin Lopa atau pembunuhan Munir sangat sulit terungkap, tapi perkara pembunuhan seorang Nasrudin Zulkarnaen dapat terbongkar dengan detail dalam hitungan bulan.

C. Kesimpulan
Sistem pengawasan dalam setiap kekuasaan adalah sangat penting. Berkaitan dengan proses upaya hukum yang dilakukan oleh Tim Pengacara Antasari Azhar, adalah suatu terobosan hukum yang patut di acungi jempol. Harapan untuk menemukan suatu bukti baru dengan melaporkan dugaan rekayasa dalam proses peradilan kepada Komisi Yudisial, sehingga dapat diajukan dalam proses upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali)
Quad Noun, kemudian terbukti bahwa dalam proses peradilan Antasari dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung (Kasasi) telah terjadi suatu tindak rekayasa, dan keputusan itu dapat dijadikan sebagai bukti baru (novum) maka, hal tersebut adalah suatu preseden yang baik. Tidak menutup kemungkinan akan banyak masyarakat yang pernah berurusan dengan meja persidangan dan kecewa dengan proses persidangan akan melakukan hal yang sama. Semoga, hal tersebut dapat membuka dan memperbaiki system peradilan di Indonesia dari keterpurukan rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan Indonesia.

Rabu, 03 Agustus 2011

Pembahasan Kasus Sisminbakum dalam Tinjauan Sosiologi Hukum

Pembahasan Kasus Sisminbakum dalam Tinjauan Sosiologi Hukum
Oleh: BONA NIM : 10720041, SYAMSUDIN NIM : 10720041, dan Adsa

A. Latar Belakang
IMF menyarankan kepada Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra agar  mempermudah pemberian izin pendirian perusahaan untuk membangkitkan perekonomian setelah krisis. Waktu itu izin ini dikelola dengan manual, makan waktu lama. Karena pemerintah tak punya biaya, dalam rapat kabinet Presiden Abdurrahman Wahid memutuskan untuk mengundang swasta
Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita meminta John Sarodja Saleh, ahli teknologi informasi, konon rekanan Departemen Hukum, untuk merencanakan sistem informasi pemberian izin notaris
Tersebut sebuah perusahaan bernama PT Sarana Rekatama Dinamika. Entah bagaimana ceritanya, PT Sarana ini dikenal oleh Romli.  Bisa jadi karena PT Sarana mengajukan pengesahan akta notaris ke Departemen Hukum. (Menurut Lembaran Berita Negara tentang akta pendirian perusahaan, pengesahan PT Sarana ditandatangani Dirjen Romli pada 24 Agustus 2000)
Romli memperkenalkan John Sarodja dengan Hartono, Bambang Tanoesoedibjo, Rukman Prawirasastra, dan Yohanes Waworuntu dari PT Bhakti Investama. John Sarodja diminta bekerja sama dengan PT Bhakti untuk membuat sistem komputerisasi tersebut
Tapi bukan PT Bhakti yang kemudian kerja sama dengan John Sarodja, melainkan PT Sarana. Pada tanggal ini Direktur Utama PT Sarana menandatangani perjanjian kerjasama dengan John Sarodja yang karena tak terkait dengan perusahaan mana pun meminta PT Visual Teknindo Utama memberikan kuasa direksi kepadanya. Isi perjanjian, PT Sarana memberikan biaya Rp 512 juta kepada PT Visual untuk pembuatan aplikasi, pembangunan jaringan, dan pengadaan perangkat keras
PT Sarana mengajukan permohonan sebagai pengelola dan pelaksana sistem informasi yang kemudian disebut Sisminbakum (sistem administrasi badan hukum) itu.
PT Sarana resmi bekerja sama dengan KPPDK (Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman) membuat sistem tersebut. Tampaknya ini kelaziman di Departemen Hukum, bila ada kerjasama dengan swasta, departemen diwakili oleh KPPDK. (Catatan: nama departmen satu ini berubah-ubah; sampai 1999, Departemen Kehakiman; 1999-2001, Departemen Hukum dan Perundang-undangan; 2001-2004, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 2004-2009, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2010, menjadi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia)

Kamis, 28 Juli 2011

PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM

PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Dosen:
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.
Disajikan Oleh Kelompok I:
1 Linda M.A. Sjamsoeddin, NIM. 10720025
2 Ary Untung Suto, NIM. 10720026

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Maslah
Kasus pemalsuan Surat Mahkamah Konstitusi (MK) berawal dari laporan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan dalam pemilu 2009 yang lalu, ada indikasi bahwa surat keputusan MK telah dipalsukan. Menurut Mahfud keluarnya surat palsu tersebut diduga melibatkan Andi Nurpati yang waktu itu tercatat sebagai salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Arsyad Sanusi yang waktu itu menjadi salah satu hakim konstitusi. Tak cukup disini kemudian beberapa nama lainnya disebut seperti mantan panitera MK Zainal Arifin Hoesien, panitera pengganti Mohammad Faiz dan juru panggil MK Masyhuri Hasan.

Surat keputusan MK menyangkut soal penetapan anggota DPR RI inilah yang menjadi pokok perdebatannya. Ada dua surat MK mengenai hal ini, pertama Surat Keputusan MK No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang dinyatakan Mahfud sebagai surat yang asli, namun selain surat tersebut juga ada Surat Keputusan MK dengan nomor yang sama tertanggal 14 Agustus 2009 yang dikatakan sebagai surat palsu. Surat tersebut mengenai penjelasan MK bahwa Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat MK tersebut membantah rapat pleno KPU yang menyebutkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I.

Masalah ini mengemuka terkait perolehan kursi yang ditempati anggota DPR, yang bisa saja kursi yang didudukinya tidak melalui jalan dan mekanisme yang sah, namun melalui proses manipulasi seperti yang terungkap belakangan ini, bahwa mungkin ada oknum KPU dan MK yang bekerja untuk meloloskan seseorang yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan kursi tersebut. Persoalan surat palsu ini kemudian mendapat sorotan publik, majalah, tv, surat kabar dan media online ramai memberitakannya. Bukan hanya itu Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri berinisiatif untuk membentuk Panja Mafia Pemilu guna mengurai benang kusut penghitungan dan penetapan calon terpilih anggota DPR RI hasil pemilu legislatif 2009 lalu.
Penghitungan dan penetapan calon terpilih memang seringkali menimbulkan polemik dan kadangkala KPU sulit untuk memutuskannya, dan karena itu harus diselesaikan melalui sidang sengketa di MK. Kasus ini juga memperlihatkan pada kita bagaimana keinginan untuk menjadi anggota Dewan dan motif-motif tertentu lainnya (bagi oknum KPU dan MK) ternyata telah mengalahkan keharusan kita untuk taat pada hukum, apalagi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah penjaga hukum itu sendiri. Dari sini berkembang dugaan bahwa di balik itu semua ternyata ada sesuatu yang kemudian orang menyatakannya sebagai mafia pemilu. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji pemalsuan surat MK ditinjau sosiologi hukum yang menyertai kasus ini.


BAB II
PENYEBAB PERMASALAHAN
1. Kisruhnya Penghitungan dan Penetapan Caleg Terpilih
Kasus mencuatnya pemalsuan surat MK disebabkan oleh ricuhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih yang masuk ke DPR, sebagai hasil dari penghitungan tahap kedua dan ketiga. Berbeda dengan caleg yang lolos ke DPR melalui penghitungan tahap pertama, maka bagi partai politik yang berhasil melewati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yakni suara sah dalam Pileg dibagi jumlah kursi yang diperebutkan, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi. Untuk tahap kedua sisa kursi akan dibagi kepada partai yang mendapatkan minimal 50% BPP. Sedangkan tahap ketiga memperebutkan sisa suara yang masih ada. Penghitungan tahap kedua dan ketiga dalam perjalanannya menuai kontroversi dan karena itu melibatkan MK untuk mengambil putusan final. Di semua tahap penghitungan, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, maka penetapan caleg terpilih didasarkan atas suara terbanyak.

Untuk penetapan caleg terpilih tahap kedua, berdasarkan pasal 22 c serta pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 18 Juni 2009. MA juga meminta KPU untuk merevisi putusannya mengenai penetapan kursi bagi calon terpilih. MK selanjutnya memberikan tafsir konstitusional atas penghitungan tahap kedua, yang berkonsekwensi pada tidak berlakunya putusan MA dan peraturan KPU. Dalam kaitannya dengan hal tersebut beberapa pasal yang dipakai menimbulkan multi tafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa tidak adil dalam penetapan kursi hasil pemilu. Hal itu kemudian diluruskan oleh tafsir konstitusional oleh MK pada tanggal 7 Agustus 2009.

Untuk penetapan caleg terpilih pada penghitungan tahap ketiga, berdasarkan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 juga melibatkan MK. Pada tanggal 11 Juni 2009 MK menetapkan pembagian kursi tahap ketiga. Berbeda dengan penghitungan tahap pertama dan kedua, sisa-sisa suara yang ada di daerah pemilihan (Dapil) seluruhnya disatukan ke provinsi, ada atau tidak ada sisa kursi. Hasil di tingkat provinsi kemudian dibagi dengan sisa kursi dan hasil penghitungannya kemudian menjadi BPP. Setelah BPP ditentukan kemudian dilihat partai mana yang lolos peringkat. Bagi partai yang memperoleh suara terbanyak maka partainyalah yang akan mendapatkan kursi lebih dulu. Selanjutnya kursi tersebut diserahkan pada caleg yang perolehan suaranya terbanyak dari dapil yang kursinya masih tersisa.

Kasus sengketa pemilu Dewi Yasin Limpo dan Mestiriyani Hasbie seperti yang diangkat dalam tulisan ini, juga merupakan contoh dari kisruhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih, hingga akhirnya membuka peluang bagi praktek-praktek melawan hukum dan berkembangnya mafia pemilu.
2. Terbongkarnya Surat Palsu MK
Menurut Mahfud MD sebelum ia mengemukakan ke publik soal adanya Surat Keputusan palsu MK menyangkut sengketa pemilu antara Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra dengan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang mencuat belakangan ini, sebenarnya ia telah mengadukan hal tersebut ke kepolisian sejak tahun lalu namun hingga kini, ketika ia kembali mengemukakan hal tersebut, pengaduannya belum diproses. Ketika Mahfud kembali mengangkat kasus ini dua bulan yang lalu, ia menyebut anggota KPU, Andi Nurpati dan mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi terlibat dalam pemalsuan surat tersebut.
Akibat dari diungkapkannya hal ini ke publik, belakangan tudingan Mahfud tersebut menuai polemik berkepanjangan antara dirinya dengan Arsyad Sanusi, saling bantah-batahan diantara keduanya ramai diberitakan di media massa. Bahkan saling tuding yang mengarah pada soal-soal yang menyangkut personal juga terjadi.
Kasus pemalsuan surat MK kemudian ditanggapi serius oleh DPR. Komisi II yang membidangi politik dalam negeri yang salah satu mitra kerjanya adalah KPU, berinisiatif membentuk Panja Mafia Pemilu untuk menyelidiki kasus ini. Timbul dugaan bahwa praktek-praktek mafia pemilu guna memenangkan seseorang secara tidak sah, mungkin saja bukan hanya ada pada kasus sengeketa Dewi dan Hestiriyani namun bisa juga ada di kasus-kasus lain. Kalau ini benar terjadi maka maka mungkin saja saat ini ada “kursi haram” di DPR yang ditempati oleh orang yang tidak berhak. Sampai saat ini Panja mafia pemilu masih menyelidiki kasus ini dan kemungkinan adanya kasus-kasus serupa yang lain, dan pihak kepolisian pun telah mulai melakukan penyelidikan.
3. Bantahan Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi
Hasil penyelidikan Tim Investigasi MK dibantah oleh Arsyad Sanusi dan Andi Nurpati yang namanya disebut-sebut Mahfud MD. Arsyad Sanusi menyebut bahwa pernyataan Mahfud dan Sekretaris Jenderal MK, Janedri M. Gaffar di depan Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR RI yang mengatakan bahwa Masyhuri Hassan, juru panggil MK pernah datang ke apartemen Arsyad pada tanggal 16 Agustus 2009. Namun Arsyad membantah bahwa kedatangan Masyuhuri tersebut dalam rangka menyusun draft palsu Surat Keputusan MK terkait sengketa pemilu antara Dewi dan Mestariyani.

Arsyad balik mengatakan bahwa Mahfud sebenarnya tak mengerti teknis administrasi persuratan di MK. Ia juga bahkan menuding bahwa Mahfud pernah melakukan pelanggaran kode etik, ketika melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan kuasa hukumnya ketika sedang mengajukan gugatan uji materi UU KPK. Hal ini ditampik oleh Mahfud yang menyatakan itu tidaklah benar, yang ada pertemuan tersebut sebenarnya adalah diskusi antara dirinya dengan Bibit menyangkut soal-soal yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Arsyad juga mengatakan bahwa dirinya pernah di lobi Mahfud untuk menjadi Ketua MK dan mengatakan bahwa Ketua MK ini “bak pengemis jabatan”. Arsyad menambahkan surat palsu tersebut menandakan bahwa di MK administratif persuratan tersebut bobrok. Mahfud menolak pernyataan tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya, karena administratif MK itu “bagus, jadi ketahuan”. Mahfud mengatakan bahwa dari 1460 perkara/pemilukada, tetapi hanya satu surat saja yang bermasalah yang menyangkut sengketa Dewi dan Mestariyani. Mahfud juga menambahkan sebenarnya dari hakim-hakim MK yang menangani sengketa Dewi dan Mestariyani tersebut adalah “Pak Haryono dan bukan Arsyad”. Lebih lanjut Mahfud menambahkan vonis tersebut tidak benar karena sudah diputuskan pada Juni 2009, dan nomornya pun juga telah ada. Kenapa vonis yang sudah ketok palu tersebut harus dibuat lagi rancangannya pada tanggal 16 Agustus 2009 di rumah Arsyad ?.

Andi juga menyatakan hal yang sama bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus pemalsuan surat tersebut. Ia dengan tegas menyebut mafia yang dimaksud tersebut justru ada MK sendiri. Ia mengklarifikasi soal surat Putusan MK tertanggal 14 Agustus yang dinyatakan palsu dan surat tertanggal 17 Agustus yang dinyatakan sebagai asli. Andi menyatakan keanehannya “prinsip saya setelah saya mengetahui surat itu dinyatakan palsu, saya langsung merevisi surat keputusan KPU, oleh KPU sudah diperbaiki, pada saat itu sudah clear. Tetapi kenapa baru diangkat lagi sekarang, padahal sudah dua tahun kejadiannya”.
Lagi pula menurut Andi, dalam rapat pleno KPU tanggal 14 Agustus 2009 yang menetapkan caleg Partai Hanura yang memenangkan kursi dari dapil Sulawesi Selatan I, perwakilan MK juga turut hadir dan mereka tidak ada yang keberatan.
4. Kronologis Pemalsuan Surat MK
Pada tanggal 14 Agustus 2011, mantan panitera MK Zainal Abidin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan MK atas pemilik kursi di dapil Sulawesi Selatan I yang diperebutkan oleh Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura dan Hasteriyani Hasbie dari Partai Gerindra.

Untuk menjawab surat tersebut kemudian MK mengirimkan surat No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus yang menyatakan bahwa pemilik kursi tersebut adalah caleg dari Partai Gerindra, Hestiriyanie Hasbie. Namun tiga hari sebelum itu, pada tanggal 14 Agustus 2009, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Andi Nurpati telah memutuskan untuk memberikan kursi tersebut pada Dewi Yasin Limpo berdasarkan surat yang diterima KPU dari MK tertanggal 14 Agustus.

Keputusan tersebut tentu membuat MK terkejut. MK kemudian mengecek surat tanggal 14 Agustus yang dimaksud KPU dan membandingkannya dengan surat yang dikirimkan MK ke KPU tertanggal 17 Agustus. Hasilnya ternyata bertolak belakang dengan apa yang diputuskan oleh MK. MK memutuskan bahwa Hestiriyani Hasbie lah sebagai pemilik kursi tersebut, tapi kenapa KPU justru memutuskan sebaliknya, Dewi Yasin Limpo ?. KPU seharusnya menetapkan apa yang diputuskan oleh MK, karena memang MK-lah lembaga yang diberikan wewenang untuk memutuskan sengketa pemilu. MK kemudian menyatakan bahwa surat tanggal 14 Agustus 2011 yang dimaksud KPU adalah palsu dan menyatakan bahwa yang benar adalah yang tertanggal 17 Agustus 2011.

MK curiga ada pemalsuan Putusan MK dan karena itu Ketua MK , Mahfud MD berinisitif membentuk Tim Investigas yang diketuai oleh Abdul Mukti Fadjar. Tim Investigasi menyebut ada indikasi kuat surat MK yang dimaksud telah dipalsukan demi meloloskan Dewi Yasin Limpo. Tim Investigasi juga menyebut beberapa nama yang terkait kasus tersebut, diantaranya mantan Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, Juru Panggil MK, Masyhuri Hasan, Panitera Pengganti Pan, Mohammad Faiz dan Nallom Kurniawan. Untuk orang-orang internal MK yang terlibat, MK telah memberikan sanksi, sedangkan bagi orang-orang eksternal Dewi Yasin Limpo dan Andi Nurpati, MK tentu memiliki keterbatasan dan harus menunggu proses hukum berjalan.

Menurut Sekjend MK Janedri M. Gaffar yang membuka hasil pemeriksaan Tim Investigasi MK, surat MK tertanggal 14 Agustus 2011 tersebut dibuat oleh Masyhuri Hasan. Masih menurut Janedri pada tanggal 14 Agustus 2009, Zainal Arifin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan atas Putusan MK No. 84/PHPU.C-VII/2009. Setelah meminta konfirmasi dari Andi Nurpati, Zainal kemudian menulis surat balasan yang diketik oleh Masyhuri Hasan. Hari berikutnya, Sabtu, Hasan datang ke kantor dengan alasan untuk mempersiapkan sidang pada hari Senin. Hari itu juga Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi menelpon Panitera untuk menanyakan mengenai adanya kata-kata “penambahan suara” dalam Putusan MK No. 84/2009. Panitera menjawab tidak ada kata-kata “penambahan suara” tersebut.

Menurut Janedri, Kesokan harinya, hari Minggu, Nesha, putri Arsyad Sanusi, menelpon Hasan untuk memintanya datang ke kediaman Arsyad di apartemen pejabat negara Kemayoran dengan membawa copy konsep surat balasan MK untuk KPU. Pengakuan Hasan pada Tim Investigasi MK bahwa ia tidak mengubah subtansi konsep surat tersebut. Di apartemen Arsyad, seperti yang dikatakatan Janedri sudah menunggu Dewi Yasin Limpo. Dewi pada hari itu juga memaksa bertemu Panitera, namun ditolak. Kemudian Dewi datang ke rumah Panitera untuk meminta dalam surat balasan MK tersebut agar dicantumkan tambahan kata “penambahan suara”, namun permintaan tersebut juga tetap ditolak.

Masih menurut Janedri kemudian pada Seninnya, tanggal 17 Agustus 2011, Zainal Arifin berkonsultasi dengan Ketua MK, Mahfud MD mengenai perihal surat balasan MK tertanggal 14 Agustus 2011. “Ketua MK memerintahkan agar disamakan dengan putusan MK tanpa ada kata “penambahan suara”. Hari itu juga surat disampaikan ke KPU. Namun karena di KPU semua komioner KPU tidak ada dan atas usul Ibu Andi Nurpati surat tersebut diserahkan kepadanya di JAKTV. Namun begitu menerima surat tersebut, Andi mengatakan seharusnya tidak seperti ini” dan “kalau tidak mengubah suara, kenapa dikabulkan ? dan menolak menandatangai surat tanda terima. Ibu Andi meminta surat tersebut diserahkan pada supirnya” demikian ujar Janedri.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Definisi Sosiologi Hukum
Ditinjau dari aspek sosiologi hukum kasus ini menarik karena memperlihatkan pada kita bagaimana hukum memiliki hubungan timbal balik dengan konteks sosial masyarakat tempat dimana hukum itu diterapkan. Jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah “ilmu hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis”. Studi sosiologi hukum memiliki beberapa karakteristik yakni :

Pertama, sosiologi hukum bermaksud untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, praktek dan perilaku koruptif yang dilakukan oleh para penegak hukum seperti polisi, kejaksaan maupun hakim, atau juga praktek peradilan yang di dalamnya termasuk mafia peradilan dan mafia pemilu yang melibatkan oknum-oknum KPU dan MK yang didisain demi menguntungkan seseorang agar terpilih sebagai anggota Dewan-seperti yang diangkat dalam makalah ini. Sosiologi hukum ingin menjelaskan mengapa praktek demikian terjadi, apa penyebabnya dan latar belakang sosial macam apa hingga itu semua terjadi. Max Weber mengatakan bahwa cara ini adalah interpretative understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya melihat dari aspek luar yang tertampakan dalam perilaku seseorang saja, namun juga ingin melihat dari sisi dalam internal seseorang menyangkut motif-motif seseorang untuk bertindak. Disini perilaku yang taat pada hukum maupun yang menyimpang tidak dibedakan karena keduanya merupakan obyek dari studi sosiologi hukum.

Kedua, sosiologi hukum berusaha untuk menguji keabsahan empiris, dengan berusaha melihat kaedah hukum (sesuatu yang digariskan oleh hukum) dengan fakta-fakta empiris yang terjadi sesungguhnya dalam praktek.

Ketiga, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap hukum. Praktek yang menyimpang dari hukum dan ketaatan pada hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan. Ia tidak menilai apakah ketaatan pada hukum lebih tinggi daripada perilaku sikap-sikap melawan hukum. Fokus sosiologi hukum hanyalah memberikan penjelasan obyektif dan empiris mengenai hal-hal yang dipelajari oleh sosiologi hukum, jadi dalam hal ini dapat dikatakan sosiologi hukum itu netral dan hanya bersifat memberi penjelasan. Pendekatan seperti ini sering menimbulkan kesan bahwa sosiologi hukum tidak bersikap terhadap praktek-praktek hukum, bahkan terkesan membenarkan praktek-praktek yang menyimpang dan bertentangan dengan hukum. Tentu tidaklah demikian, sosiologi hukum kekuatannya justru ada pada fokus ekpalanasinya (memberikan penjelasan) dengan mendekati hukum dari sisi obyektif semata dengan tujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum yang ada.

Ciri khas sosiologi hukum seperti yang diterangkan diatas menurut Satjipto Raharjo merupakan kunci bagi peneliti yang ingin mengkaji sosiologi hukum. Dengan model penyelidikan seperti itu maka orang akan langsung berada di tengah-tengah sosiologi hukum.
2. Hukum Sebagai Kontrol Sosial
Kontrol sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baikyang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi maupun konsiliasi. Fungsi hukum adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi sekelompok masyarakat .

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut .

Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam KUHP digolongkan menjadi 4 golongan, yakni:
a. Kejahatan sumpah palsu.
b. Kejahatan pemalsuan uang.
c. Kejahatan pemalsuan materai dan merk.
d. Kejahatan pemalsuan surat.

Penggolongan tersebut didasarkan atas objek dari pemalsuan. Dengan demikian kasus pemalsuan surat MK termasuk dalam kejahatan pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.
b. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat .

Perbuatan memalsu surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/ berbeda dengan isi surat semula . Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ini ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat.
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s.d 276. Pemalsuan surat pada umumnya, yaitu berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar), diatur dalam Pasal 263, yaitu:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebanan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu atau membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu . Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Berbeda dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan itu dilakukan, sudah ada sebuah surat (disebut surat asli). Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1), yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian harus sudah ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu.
Pada unsur atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung makna :
(1) Adanya orang-orang yang terperdaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian.
(2) Surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.

Unsur lain dari pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakai surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan petindak. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya bedasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya dapat terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Tidak penting bagi siapa kerugian yang dapat timbul akibat pemakaian surat palsu atau surat yang dipalsu itu. Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Artinya petindak menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian harus dibuktikan.






Perbandingan antara Surat MK yang asli dan palsu adalah sebagai berikut :

URAIAN ASLI PALSU
Nomor Surat 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik) 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik)
Nomor Perkara 84/PHPU.C/VII/2009 84/PHPU.C/VII/2009
Tanggal surat 17 Agustus 2009 14 Agustus 2009
Obyek yang dimohonkan Mencantumkan poin berisi jumlah suara Pemohon (Partai Hanura) sebagai obyek yang dimohonkan. Dilanjutkan poin amar putusan yang mencantumkan penambahan jumlah suara Tidak mencantumkan poin jumlah suara sebagai obyek yang dimohonkan. Langsung mencantumkan amar putusan berupa jumlah penambahan suara
Perolehan Suara Obyek yang dimohonkan:
• Kab.Gowa: 12.879
• Kab.Takalar: 5.414
• Kab. Jeneponto: 5.883
Amar Putusan:
• Kab.Gowa: 13.012
• Kab.Takalar: 5.443
• Kab. Jeneponto: 4.206 Amar Putusan, berupa penambahan suara:
• Kab.Gowa: 13.012
• Kab.Takalar: 5.443
• Kab. Jeneponto: 4.206

Dalam kasus pemalsuan surat MK, pihak MK telah melakukan membentuk tim investigasi internal pada tanggal 21 Oktober 2009. Tim tersebut menemukan adanya perbedaan antara surat asli MK dan surat palsu, dimana pada surat palsu terdapat kata “penambahan” dan tertanggal 14 Agustus 2009. Berdasarkan hasil temuan tim investigasi MK telah melaporkan kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat kepada Polri pada tanggal 12 Februari 2010.
Dalam penerapan hukum sebagai kontrol sosial, maka peranan penegak hukum menjadi sangat penting. Penegakan hukum pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga masyarakat merasa dapat memperoleh hakny, dan manakala haknya telah didapatkan, maka hak tersebut dapat dilindungi. Penegakan hukum juga dilihat sebagai upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat control (pengendali sosial) resmi yang memaksakan internalisasi hukum dalam masyarakat .
3. Dimensi Politik
Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan surat MK. Panja DPR Pemalsuan Surat MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu. Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan surat MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009. Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.

Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat MK oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya. Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009. Ketua MK telah menyatakan bahwa terdapat 16 surat MK lain yang diduga dipalsukan. Juga adanya pernyataan hakim konstitusi Akil Mochtar tentang system penghitungan putaran ketiga yang sudah diputuskan MK, tetapi ditengarai ditafsirkan berbeda oleh KPU .

Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik. Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.

Dari sisi kriminalitas, tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan dengan konsekuensi hukum pidana biasa. Tetapi jika dikontekstualisasi secara substansial maka tindakan ini memiliki sejumlah implikasi sangat serius, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa karena dijalankan secara konspiratif. Menurut pakar Konspirasi, Karl Poper (2006) dunia politik merupakan panggung penerapan konspirasi yang dibangun secara delusif, diteorisasi, dan diaplikasikan secara sempurna. Karena itu, pentas politik tidak mudah untuk dipahami dan diurai secara sederhana, butuh kedalaman pengamatan dan kecermatan untuk memahami dimensi-dimensi anatomisnya. Sedangkan dampak dari kejahatan Pemilu itu sendiri adalah :
1. Pemilu merupakan sarana rakyat menyalurkan aspirasinya secara jujur dan tulus untuk menentukan siapa wakil yang dikehendaki untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Karena itu, pilihan rakyat dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan secara mutlak. Siapapun yang mengubah hasil pilihan rakyat, sesungguhnya dia telah mengubah secara sepihak kepercayaan rakyat. Jadi, mengubah keputusan rakyat dapat dipandang sebagai tindakan mengingkari aspirasi rakyat.
2. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dalam penentuan hasil pemilu, berimplikasi terhadap legalitas seseorang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Hanya mereka yang dipilih yang bisa dengan legal menggunakan legitimasi rakyat untuk menindak, memutuskan, dan mengambil kebijakan di tingkat negara. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggeser suara pilihan rakyat kepada orang lain yang bukan pilihan rakyat maka segala keputusan yang dia lakukan merupakan produk tidak legal dan melanggar asas perwakilan rakyat.

Persoalannya adalah, jika terbukti bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 dipenuhi sejumlah kecurangan fundamental, merekayasa yang kalah menjadi pemenang, mengubah yang tidak menduduki kursi legislatif menjadi bisa menduduki maka seluruh produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan cacat secara hukum.
Kasus pemalsuan surat MK adalah satu dari sekian banyak kasus kecurangan nyata yang terjadi. Negara gagal menciptakan sistem yang sensitif terhadap kemungkinan politisasi hasil Pemilu maupun Pemilukada. Bahkan sebaliknya, sistem memberi akses luas bagi adanya intervensi politik kasus-kasus sengketa Pilkada atau Pemilu meski di ranah hukum sekalipun. Tuduhan ketidaknetralan Andi Nurpati ketika menjabat sebagai anggota KPU, pun bukan tanpa alasan. Seleksi keanggotaan institusi penyelenggara ini memang sulit dipisahkan dari kepentingan tertentu terutama partai politik. Suaka politik dan balas jasa yang dilakukan partai politik terhadap mantan anggota KPU, tidak hanya pada Andi Nurpati, tetapi ada sejumlah anggota KPU di daerah misalnya bahkan mundur di tengah jalan lalu masuk ke dalam struktur partai. Tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena itu adalah keputusan pribadi. Akan tetapi, trend seperti ini semakin menguatkan dugaan publik terhadap ketidaknetralan sebagian penyelenggara Pemilu. Oleh sebab itu, harus ada langkah strategis dengan mereformasi mekanisme pemilihan penyelenggara Pemilu. Tidak sekedar netralitas secara formal bahwa tidak sedang menjabat sebagai pengurus partai politik, tetapi juga latar belakang personalnya. Apakah itu pernah terlibat dalam relasi institusional dalam organisasi sayap partai atau simpul-simpul kepentingan partai politik. Termasuk pola seleksi penyelenggara anggota KPU yang selama ini disadari atau tidak sangat bernuansa politis, tidak saja karena keterlibatan parlemen yang notabene merepresentasikan kepentingannya, tetapi juga dominasi kepentingan garis kepentingan tertentu baik itu kelompok masyarakat maupun organisasi massa.