Sabtu, 06 Agustus 2011

Analisis Mengenai Kasus Hukum Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) yang melaporkan Proses Penangan Perkaranya di Pengadilan yang dianggap penuh Rekayasa Kepada Komisi Yudisial di Tinjau melalui Disiplin Ilmu Sosiologi Hukum

Analisis Mengenai Kasus Hukum Antasari Azhar (Mantan Ketua KPK) yang melaporkan Proses Penangan Perkaranya di Pengadilan yang dianggap penuh Rekayasa Kepada Komisi Yudisial di Tinjau melalui Disiplin Ilmu Sosiologi Hukum
di susun oleh: YOGA HATTA ALFAJRI H., S.H.NPM : 10720047, YULI SUSIANI, S.H.NPM : 10720049
Dosen :Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, S.H., M.A

A. Pendahuluan

Mencermati kasus Antasari dengan kembali mencuat setelah Komisi Yudisial pada 13 April menemukan indikasi pelanggaran profesionalitas hakim yang menangani persidangan Antasari Azhar. Seperti diketahui, KY mengungkapkan adanya indikasi pelanggaran profesionalisme dari majlis hakim perkara Antasari, mulai dari tingkat pertama sampai kasasi dengan mengabaikan beberapa bukti kunci dalam perkara tersebut.
Bukti yang dimaksud yakni adanya pengabaian keterangan ahli balistik dan forensik, serta pengabaian bukti berupa baju korban Nasruddin Zulkarnain yang tidak pernah dihadirkan dalam persidangan. Selain itu Setelah mempelajari pengaduan pengacara Antasari. KY mensinyalir ada sejumlah bukti-bukti penting yang justru tidak dihadirkan hakim. Bukti penting yang diabaikan itu seperti bukti dan keterangan ahli terkait senjata dan peluru yang digunakan dan pengiriman SMS dari HP Antasari.
Menurut versi Maqdir Ismail, penasihat hukum Antasari, mengatakan kejanggalan itu ditemukan selama proses persidangan di tingkat pertama,, baik di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan maupun PN Tanggerang. Berikut 10 kejanggalan tersebut:
1. Terkait penyitaan celana jins
Terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak terhadap mobil Nasrudin.
2. Terkait luka tembak
Berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.
"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta, bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," kata Maqdir melalui email kepada Kompas.com, Selasa ( 25/4/2011 ).
3. Terkait barang bukti senjata api.
Berdasarkan keterangan Dr Abdul Mun'im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik.
Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.
Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami.
"Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3000-4000 peluru," lanjut dia.
4. Terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri
Ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.
Menurut Maqdir, keterangan kedua saksi itu rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, tambah Maqdir, ada 2005 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.
"Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono. Ahli IT Dr Agung Harsoyo menduga, pengiriman SMS ini dilakukan melalui web server.

Dia juga menyatakan, tidak ada SMS dari HP Antasari kepada Nasrudin. Ia memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman rusak itu ternyata tidak bisa dibuka.
5. Perbedaan kualifikasi eksekutor
Ada perbedaan kualifikasi dua eksekutor, yakni antara Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo dan Hendrikus dalam keputusan di PN Tangerang dan di PN Jaksel. Dalam pertimbangan di PN Tangerang, keduanya hanya sebagai penganjur.
Adapun dalam pertimbangan keputusan terdakwa Antasari Azhar, Sigid dan Wiliardi Wizar di PN Jaksel, kata Maqdir, mereka sebagai pelaku dan penganjur.
6. Pertimbangan majelis hakim
Ada pertimbangan majelis hakim dalam putusan Antasari yang tak jelas asalnya. Dalam berkas putusan halaman 175 , hakim menyatakan; "Menimbang bahwa Hendrikus mengikuti korban dalam waktu cukup lama, sampai akhirnya, sebagaimana keterangan saksi Parmin dipersidangan....".
Maqdir menduga, pernyataan itu dikutip dari pertimbangan perkara lain.
7. Ruang kerja Antasari
Ada penyitaan barang bukti dari ruang kerja Antasari di KPK yang tidak berkaitan dengan perkara dan tidak dilakukan konfirmasi kepada Antasari. Bukti yang disita itu dikembalikan kepada Chesna F Anwar.
Termasuk dokumen “turut tersita” adalah berkas perkara penyelidikan kasus Informasi Teknologi Komisi Pemilihan Umum (IT-KPU), dokumen kasus besar lainnya tentang kerjasama dengan BUMN dan swasta, juga dokumen tentang laporan BLBI turut tersita pihak kepolisian. Dan menurut Antasari, dokumen-dokumen tersebut belum dikembalikan.
Apakah dokumen “turut tersita” tersebut adalah agenda lain, namun yang jelas ketika dilakukan penyitaan tidak melakukan konfirmasi kepada Antasari dan tidak menghadirkan antasari ke ruang kerjanya.
8. Penjagaan berlebihan
Penjagaan yang berlebihan oleh polisi terhadap Rani Juliani sejak diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan hingga bersaksi di persidangan. Menurut dia, hakim dalam mempertimbangkan keterangan Rani telah mengabaikan Pasal 185 Ayat 6 huruf d KUHP, yaitu cara hidup dan kesusilaan saksi.
9. Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo
Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.
10. Pemeriksaan penyidik
Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Wiliardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin
B. Pembahasan
1. Kekuasaan Kehakiman
Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut baik buruknya tergantung pada manusia-manusia pelaksananya incasu para Hakim. Lebih lanjut di dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa :

“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”.

Penjelasan mengenai ayat ini merupakan penegasan agar Pengadilan dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan, dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau pengaruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang adil.
Menurut judicial process (Henry J Abraham), dalam mengadili perkara, hakim memegang otoritas untuk menilai, menerima, atau menolak suatu bukti dan fakta persidangan. Namun, penilaian, penerimaan, atau penolakan itu harus obyektif dan berdasarkan asas hukum, ketentuan hukum, dan nurani keadilan agar dapat dicerna secara jelas dan terang terkait dengan pendirian hakim yang mengadili suatu fakta dan bukti persidangan.
Laporan Tim Pengacara Antasari berkaitan dengan dugaan adanya rekayasa dalam proses Peradilan Perkara mantan ketua KPK Antasari Azhar sempat mengundang polemik, dan berkembang issue bahwa Mafia Hukum secara sistematis sedang berusaha untuk melakukan pembusukan terhadap KPK.
Munculnya KPK sebagai lembaga Ad Hock dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya memunculkan ketegangan antara penegak hukum yang lain (kepolisian dan kejaksaan) yang dianggap bobrok secara system sehingga rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia terutama supremasi hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (ekstra ordinary crime).
Mengenai Kebebasan dan kewenangan Hakim dalam mengadili suatu perkara, dipertegas dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD yang berkomentar sebagai berikut
“Apabila ada indikasi kuat seorang hakim melanggar kode etik dan profesionalitas, saya kira mau tidak mau hakim itu harus bersedia dan diizinkan untuk diperiksa oleh KY," katanya, Selasa (19/4). Namun ia menegaskan bahwa jika hakim tidak memasukan satu fakta dalam pertimbangan hal itu tidak menjadi masalah karena sudah menjadi kewenangan hakim. Pertimbangan suatu bukti oleh hakim pun tergantung signifikansinya.

“Nah, kalau alasan tidak mempertimbangkan karena tidak professional, kolusi itu yang harus dihukum," tukas Mahfud. Untuk itu, Mahfud meminta publik untuk tidak curiga kepada KY. Masalah terbukti atau tidak, tambahnya, hal itu merupakan tanggung jawab KY. “Jadi hakim juga tidak usah perlu takut dan Mahkamah Agung tidak perlu gengsi," tegasnya.

2. Asas Praduga Tidak Bersalah dan Pembuktian.
Berpangkal tolak pada Asas ‘PRADUGA TAK BERSALAH’ maka berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah dirubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”
Berkaitan dengan perkara ini, sesuai dengan tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan suatu kebenaran materiel, suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana. Hal tersebut dipertegas dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman yaitu :

“Tujuan dari hukum adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”
Merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan :“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.” (Non Self Incrimination).

Bertentangan dengan Pasal 66 KUHAP : “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Pasal 66 KUHAP jika ditafsirkan secara a contrario, bahwa penuntut umum lah yang dibebani untuk membuktikan perbuatan Terdakwa bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan.
Selama proses persidangan di Pengadilan Negeri inilah polemic tersebut terjadi. Menurut Penasihat Hukum Antasari, bahwa Majelis Hakim telah mengabaikan beberapa bukti yang sangat berpotensi menguntungkan bagi Antasari. Bahkan, beberapa bukti seakan dihilangkan atau ditutupi agar tidak terungkap di pengadilan. Beberapa proses hukum yang janggal menurut Penasehat hukum Antasari adalah sebagai berikut :
1. Terkait penyitaan celana jins
Terkait barang bukti berupa celana jins milik Nasrudin dan anak peluru, penyidik tak menyita baju korban. Pemeriksaan forensik dilakukan hanya terhadap anak peluru, tetapi tidak terhadap mobil Nasrudin. Bahkan Pakaian yang digunakan oleh korban telah dimusnahkan padahal termasuk dalam barang bukti.

2. Terkait luka tembak
Berdasarkan hasil visum, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri, sementara peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri. Diameter kedua anak peluru tersebut sembilan milimeter dengan ulir ke kanan.

"Hal ini menjadi ganjil kalau dihubungkan dengan fakta, bahwa bekas peluru pada kaca mobil almarhum yang hampir sejajar dan tidak ada bekas peluru dari belakang. Dalam kesaksian Suparmin, almarhum roboh ke kanan," kata Maqdir melalui email kepada Kompas.com, Selasa ( 25/4/2011 ).

3. Terkait barang bukti senjata api.
Berdasarkan keterangan Dr Abdul Mun'im Idries, peluru di kepala korban berdiameter 9 mm dan berasal dari senjata yang baik. Namun, keterangan ahli senjata Roy Harianto, bukti yang ditunjukkan adalah jenis Revolver 038 spesial dan kondisi senjata rusak lantaran salah satu silindernya macet.

Keterangan penjual senjata, Teguh Minarto, senjata ditemukan terapung dekat asrama Polri di Aceh sesudah tsunami. Dan “Menurut ahli senjata, menembak dengan satu tangan dari kendaraan dan sasaran bergerak terlalu sulit untuk amatir. Penembakan seperti itu bisa dilakukan setelah latihan dengan 3000-4000 peluru,” lanjut dia.

4. Terkait Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri
Ada ketidakjelasan kepentingan dan hubungan Jeffrey Lumampouw dan Etza Imelda Fitri saat bersaksi mengenai pesan singkat atau SMS bernada ancaman kepada Nasrudin. Keduanya menyebut dalam SMS tertulis nama Antasari.

Menurut Maqdir, keterangan kedua saksi itu rekaan dan hasil pemikiran. Selain itu, tambah Maqdir, ada 205 SMS ke nomor ponsel milik Nasrudin yang tidak jelas pengirimnya. Kemudian ada 35 SMS ke nomor ponsel milik Antasari yang juga tidak jelas sumbernya.

Ada satu SMS yang dikirim dan diterima oleh HP Antasari dan lima SMS yang diterima dan dikirim ke HP Sigid Haryo Wibisono yang menurut Dr. Agung Harsoyo Ahli Informasi Teknologi (IT) dari Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) menduga, pengiriman SMS ini dilakukan melalui web server.

Dia juga menyatakan, tidak ada SMS dari HP Antasari kepada Nasrudin. Namun sebaliknya ada 4 kali sms dari Nasrudin ke Antasari yang tidak satu kalipun dibalas oleh Antasari. Ia memaparkan, chip telepon genggam Nasrudin yang berisi SMS ancaman itu rusak dan ternyata tidak bisa dibuka.

5. Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo
Pengakuan Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo diperiksa dengan cara dianiaya di luar lingkungan Polda Metro Jaya. Sementara itu, Rani mengaku diperiksa di hotel, restoran, dan apartemen.

6. Pemeriksaan penyidik

Hakim mengizinkan pemeriksaan penyidik di persidangan setelah Wiliardi mencabut pengakuan adanya keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin
Apabila dikaitkan dengan sistem hukum Indonesia yang menganut system Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif, maka menurut Dr. H. Syaiful Bakhri, S.H., M.H. dalam bukunya Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana diterbitkan atas kerja sama Pusat Kajian dan Pengambangan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. 2009. halaman 42 menyebutkan
“Sistem ini adalah mendasarkan pada system pembuktian menurut Undang-undang secara positif dan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction in time). System pembuktian ini adalah suatu keseimbangan antara kedua system yang bertolak belakang secara ekstrim. Pembuktian menurut undang-undang secara negative menggabungkan secara terpadu, dengan rumusan yang dikenal “Bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara menilai alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang”. Bertitik tolak pandangan tersebut maka dapat diketahui, bahwa pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang syah menurut Undang-undang. Keyakinan hakim harus juga didasarkan atas cara dan dengan alat bukti yang syah. Sehingga terjadi keterpaduan unsure subjektif dan objektif dalam menentukan kesalahan terdakwa dan tidak terjadi dominasi antar keduanya.”
Mencermati penjelasan Dr. H Syaiful Bakhri, betapa pentingnya alat bukti sebagai pertimbangan Hakim dalam memperoleh keyakinan akan bersalah atau tidaknya Terdakwa. Maka menjadi sangat keliru apabila benar di dalam proses persidangan kasus Antasari Azhar Majelis Hakim mengesampingkan bukti, terutama bukti yang meringankan Terdakwa.

3. Komisi Yudisial Sebagai Kontrol Dalam Proses Peradilan
Kontrol social dapat dilakukan oleh masyarakat (social control by society) maupun oleh Negara (social control by government). Kontrol oleh masyarakat melalui kaidah social non formal sementara oleh Negara dilakukan melalui kaidah social bersifat formal. Kenyataannya sering terjadi kondisi-kondisi nonconformity, sehingga kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kekuasaan negara tidak sesuai harapan yang ada.
Social Control maksudnya supaya semua orang punya perilaku sesuai harapan yang menimbulkan komformitas social yaitu pola perilaku yang sesuai dengan norma sehingga tercapai tujuan diberlakukannya suatu kaidah sosial.
Sebagai lembaga negara, Kontrol terhadap lingkup peradilan dan Hakim pada khususnya berada di tangan lembaga Komisi Yudisial (KY). Maka sudah sewajarnya jika KY merasa terpanggil untuk mendorong terciptanya peradilan Indonesia yang merdeka dan bebas korupsi, sesuai kewenangan konstitusionalnya yang diatur dalam Pasal 24B Ayat (1) jo Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU KY No 22 Tahun 2004. Namun, pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut tidak mudah, sebab bertabrakan bahkan tumpang tindih dengan kewenangan MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat independen dari campur tangan pihak mana pun, sebagaimana diatur Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Masalahnya, konsepsi kewenangan tersebut secara legal-akademis bersifat multitafsir sehingga belum ada kesamaan persepsi antara KY dan MA. Ketidakpastian lingkup kewenangan kedua lembaga tersebut sejatinya harus diselesaikan secara normatif agar ada kepastian hukum. Tragisnya, UU KY No 22 Tahun 2004 pun tidak secara jelas, tegas, dan limitatif mendefinisikan apa yang dimaksud dengan konsepsi yuridis ”perilaku hakim” dalam rangka menegakkan ”kehormatan” dan ”keluhuran martabat” yang dimaksud Pasal 13 huruf b jo Pasal 20 UU No 22 Tahun 2004.

Ketidakjelasan tersebut memunculkan kekacauan persepsi kewenangan (dan mekanisme) pemeriksaan hakim oleh KY. Kekacauan konsepsi tersebut jadi makin parah ketika pelaksanaannya menabrak konsepsi kebebasan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, sebagaimana ditentukan Pasal 24 Ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang diderivasikan ke dalam norma Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009.

Beranjak dari ketentuan Pasal 3 UU Kekuasaan Kehakiman, alih-alih KY memeriksa hakim, justru hakim yang diperiksa dapat melaporkan komisioner KY kepada pihak berwajib karena dianggap telah menodai dan mencampuri kemandirian pengadilan.
Dalam konteks yuridis normatif demikian, kita dapat memahami mengapa Ketua MA Harifin A Tumpa secara tegas menolak kehendak KY memeriksa hakim yang mengadili perkara Antasari Azhar. Apalagi alat uji (getoets) yang hendak dijadikan tolok ukur KY memeriksa hakim perkara Antasari Azhar adalah ”dugaan” menyampingkan fakta dan bukti persidangan.

Namun benarkah hal tersebut tidak dapat dilakukan ? Kita dapat menyimpulkannya dengan melihat apakah tindakan yang dilakukan Tim Penasihat Hukum Antasari yang melaporkan perkara tersebut kepada Komisi Yudisial dapat membantu proses Upaya Hukum Peninjauan Kembali di kemudian hari.
Alasan pengajuan peninjauan kembali dasar hukum pasal 67 UU No. 14/1985, jo Per MA No. 1/1982 :
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus, atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
2. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
4. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya, telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
5. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Berdasarkan ketentuan di atas, yang apabila dikorelasikan dengan Kewenangan Komisi Yudisial dalam hal pengawasan Kode etik Hakim, maka upaya yang dilakukan oleh Tim Penasihat Hukum Antasari adalah tindakan yang masuk akal dan sesuai dengan koridor hukum.
Terlepas dari perdebatan mengenai adanya pelaporan yang dilakukan oleh Tim Pengacara Antasari, sesungguhnya kita sedang di suguhi suatu dinamika hukum. Hukum menjadi hidup, dia terus berkembang sehingga hukum benar-benar melakukan penggalian atas suatu kebenaran materiel.
Hal inilah yang menjadikan perlunya memandang hukum sebagai bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Berarti hukum tidak dipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi sebagai kenyataan social yang menafest dalam kehidupan. Hukum tidak dipahami secara tekstual normative tetapi secara konteksual. Sejalan dengan itu maka pendekatan hukum tidak hanya dilandasi oleh sekedar logika hukum tetapi juga dengan logika social dalam rangka seaching for the meaning.
Upaya Tim Pengacara Antasari dengan melaporkan hakim ketua yang memimpin persidangan dalam perkara a quo, seakan mendobrak batas-batas kekuasaan Hakim yang begitu Absolute dan tak terjamah oleh Hukum. Paradigma Hakim adalah perpanjangan Tuhan, di dobrak bahwa Hakim-pun adalah manusia yang dapat salah dan perlu untuk dikoreksi.
Sebagaimana yang disampaikan Lord Acton tentang moralitas dan kekuasaan "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men." Senada dengan itu adalah pendapat William Pitt, seorang politikus di Amerika (1766-1778) mengatakan "Unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it"
Sebagai upaya menuju pemahaman hukum secara holistic dan visoner kiranya diperlukan adanya pergeseran paradigma (paradigm shift) dimana pendekatan sosiologis dan positivis dapat digunakan secara sinergis dan komplementer. Artinya, pendekatan terhadap hukum tidak hanya mengambil salah satu, tetapi harus mengambil keduannya secara utuh sehingga akan dapat dilakukan analisis secara holistic dan komprehensif.

Pendekatan hukum yang positivistik saja akan menyebabkan hukum akan teralienasi dari basis sosial dimana hukum itu berada. Pendekatan ini semata mungkin akan dapat memperoleh nilai kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum, namun Tujuan Hukum untuk dapat memberikan nilai kemanfaatan dan keadilan belum tentu dapat terwujud. Terlebih lagi hukum yang seharusnya berlaku dimasyarakat pada akhirnya akan mendapatkan penentangan dari subjek hukum itu sendiri. Pada akhirnya Tujuan dari hukum tidak tercapai dengan semestinya.

Menurut Gustav Radbruh : hukum harus mengandung tiga nilai idealitas :
1. Kepastian  yuridis
2. Keadilan  Filosofis
3. Kemanfaatan  Sosiologis

Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum
2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum
3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum  sebagai tetsachenwissenschaaft yang melihat law as it is in the book tidak selalu sama dengan law as it is in society, namun hal tersebut tidak perlu dihakimi sebagai sesuatu yang benar atau salah.

Adanya gejolak dari masyarakat, dan tuntutan dari masyarakat hukum untuk dilakukan penyidikan ulang terhadap proses kriminalisasi (jika boleh dianggap) terhadap mantan ketua KPK Antasari Azhar membuktikan adanya nilai-nilai “keadilan” sesungguhnya belum di dapat.
Masyarakat seakan masih meyakini, bahwa kriminalisasi mantan ketua KPK Antasari Azhar tidaklah sesederhana yang terlihat. Keterlibatan Petinggi Kepolisian, Penghilangan barang bukti, Jenis senjata dan alur kronologis yang terlihat di paksakan seakan membuktikan perkara ini melibatkan suatu sistem yang sangat besar.
Orang bertanya-tanya, mengapa kasus pembunuhan Jaksa Agung Baharuddin Lopa atau pembunuhan Munir sangat sulit terungkap, tapi perkara pembunuhan seorang Nasrudin Zulkarnaen dapat terbongkar dengan detail dalam hitungan bulan.

C. Kesimpulan
Sistem pengawasan dalam setiap kekuasaan adalah sangat penting. Berkaitan dengan proses upaya hukum yang dilakukan oleh Tim Pengacara Antasari Azhar, adalah suatu terobosan hukum yang patut di acungi jempol. Harapan untuk menemukan suatu bukti baru dengan melaporkan dugaan rekayasa dalam proses peradilan kepada Komisi Yudisial, sehingga dapat diajukan dalam proses upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali)
Quad Noun, kemudian terbukti bahwa dalam proses peradilan Antasari dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung (Kasasi) telah terjadi suatu tindak rekayasa, dan keputusan itu dapat dijadikan sebagai bukti baru (novum) maka, hal tersebut adalah suatu preseden yang baik. Tidak menutup kemungkinan akan banyak masyarakat yang pernah berurusan dengan meja persidangan dan kecewa dengan proses persidangan akan melakukan hal yang sama. Semoga, hal tersebut dapat membuka dan memperbaiki system peradilan di Indonesia dari keterpurukan rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar