Kamis, 28 Juli 2011

PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM

PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Dosen:
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.
Disajikan Oleh Kelompok I:
1 Linda M.A. Sjamsoeddin, NIM. 10720025
2 Ary Untung Suto, NIM. 10720026

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Maslah
Kasus pemalsuan Surat Mahkamah Konstitusi (MK) berawal dari laporan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan dalam pemilu 2009 yang lalu, ada indikasi bahwa surat keputusan MK telah dipalsukan. Menurut Mahfud keluarnya surat palsu tersebut diduga melibatkan Andi Nurpati yang waktu itu tercatat sebagai salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Arsyad Sanusi yang waktu itu menjadi salah satu hakim konstitusi. Tak cukup disini kemudian beberapa nama lainnya disebut seperti mantan panitera MK Zainal Arifin Hoesien, panitera pengganti Mohammad Faiz dan juru panggil MK Masyhuri Hasan.

Surat keputusan MK menyangkut soal penetapan anggota DPR RI inilah yang menjadi pokok perdebatannya. Ada dua surat MK mengenai hal ini, pertama Surat Keputusan MK No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang dinyatakan Mahfud sebagai surat yang asli, namun selain surat tersebut juga ada Surat Keputusan MK dengan nomor yang sama tertanggal 14 Agustus 2009 yang dikatakan sebagai surat palsu. Surat tersebut mengenai penjelasan MK bahwa Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat MK tersebut membantah rapat pleno KPU yang menyebutkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I.

Masalah ini mengemuka terkait perolehan kursi yang ditempati anggota DPR, yang bisa saja kursi yang didudukinya tidak melalui jalan dan mekanisme yang sah, namun melalui proses manipulasi seperti yang terungkap belakangan ini, bahwa mungkin ada oknum KPU dan MK yang bekerja untuk meloloskan seseorang yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan kursi tersebut. Persoalan surat palsu ini kemudian mendapat sorotan publik, majalah, tv, surat kabar dan media online ramai memberitakannya. Bukan hanya itu Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri berinisiatif untuk membentuk Panja Mafia Pemilu guna mengurai benang kusut penghitungan dan penetapan calon terpilih anggota DPR RI hasil pemilu legislatif 2009 lalu.
Penghitungan dan penetapan calon terpilih memang seringkali menimbulkan polemik dan kadangkala KPU sulit untuk memutuskannya, dan karena itu harus diselesaikan melalui sidang sengketa di MK. Kasus ini juga memperlihatkan pada kita bagaimana keinginan untuk menjadi anggota Dewan dan motif-motif tertentu lainnya (bagi oknum KPU dan MK) ternyata telah mengalahkan keharusan kita untuk taat pada hukum, apalagi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah penjaga hukum itu sendiri. Dari sini berkembang dugaan bahwa di balik itu semua ternyata ada sesuatu yang kemudian orang menyatakannya sebagai mafia pemilu. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji pemalsuan surat MK ditinjau sosiologi hukum yang menyertai kasus ini.


BAB II
PENYEBAB PERMASALAHAN
1. Kisruhnya Penghitungan dan Penetapan Caleg Terpilih
Kasus mencuatnya pemalsuan surat MK disebabkan oleh ricuhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih yang masuk ke DPR, sebagai hasil dari penghitungan tahap kedua dan ketiga. Berbeda dengan caleg yang lolos ke DPR melalui penghitungan tahap pertama, maka bagi partai politik yang berhasil melewati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yakni suara sah dalam Pileg dibagi jumlah kursi yang diperebutkan, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi. Untuk tahap kedua sisa kursi akan dibagi kepada partai yang mendapatkan minimal 50% BPP. Sedangkan tahap ketiga memperebutkan sisa suara yang masih ada. Penghitungan tahap kedua dan ketiga dalam perjalanannya menuai kontroversi dan karena itu melibatkan MK untuk mengambil putusan final. Di semua tahap penghitungan, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, maka penetapan caleg terpilih didasarkan atas suara terbanyak.

Untuk penetapan caleg terpilih tahap kedua, berdasarkan pasal 22 c serta pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 18 Juni 2009. MA juga meminta KPU untuk merevisi putusannya mengenai penetapan kursi bagi calon terpilih. MK selanjutnya memberikan tafsir konstitusional atas penghitungan tahap kedua, yang berkonsekwensi pada tidak berlakunya putusan MA dan peraturan KPU. Dalam kaitannya dengan hal tersebut beberapa pasal yang dipakai menimbulkan multi tafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa tidak adil dalam penetapan kursi hasil pemilu. Hal itu kemudian diluruskan oleh tafsir konstitusional oleh MK pada tanggal 7 Agustus 2009.

Untuk penetapan caleg terpilih pada penghitungan tahap ketiga, berdasarkan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 juga melibatkan MK. Pada tanggal 11 Juni 2009 MK menetapkan pembagian kursi tahap ketiga. Berbeda dengan penghitungan tahap pertama dan kedua, sisa-sisa suara yang ada di daerah pemilihan (Dapil) seluruhnya disatukan ke provinsi, ada atau tidak ada sisa kursi. Hasil di tingkat provinsi kemudian dibagi dengan sisa kursi dan hasil penghitungannya kemudian menjadi BPP. Setelah BPP ditentukan kemudian dilihat partai mana yang lolos peringkat. Bagi partai yang memperoleh suara terbanyak maka partainyalah yang akan mendapatkan kursi lebih dulu. Selanjutnya kursi tersebut diserahkan pada caleg yang perolehan suaranya terbanyak dari dapil yang kursinya masih tersisa.

Kasus sengketa pemilu Dewi Yasin Limpo dan Mestiriyani Hasbie seperti yang diangkat dalam tulisan ini, juga merupakan contoh dari kisruhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih, hingga akhirnya membuka peluang bagi praktek-praktek melawan hukum dan berkembangnya mafia pemilu.
2. Terbongkarnya Surat Palsu MK
Menurut Mahfud MD sebelum ia mengemukakan ke publik soal adanya Surat Keputusan palsu MK menyangkut sengketa pemilu antara Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra dengan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang mencuat belakangan ini, sebenarnya ia telah mengadukan hal tersebut ke kepolisian sejak tahun lalu namun hingga kini, ketika ia kembali mengemukakan hal tersebut, pengaduannya belum diproses. Ketika Mahfud kembali mengangkat kasus ini dua bulan yang lalu, ia menyebut anggota KPU, Andi Nurpati dan mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi terlibat dalam pemalsuan surat tersebut.
Akibat dari diungkapkannya hal ini ke publik, belakangan tudingan Mahfud tersebut menuai polemik berkepanjangan antara dirinya dengan Arsyad Sanusi, saling bantah-batahan diantara keduanya ramai diberitakan di media massa. Bahkan saling tuding yang mengarah pada soal-soal yang menyangkut personal juga terjadi.
Kasus pemalsuan surat MK kemudian ditanggapi serius oleh DPR. Komisi II yang membidangi politik dalam negeri yang salah satu mitra kerjanya adalah KPU, berinisiatif membentuk Panja Mafia Pemilu untuk menyelidiki kasus ini. Timbul dugaan bahwa praktek-praktek mafia pemilu guna memenangkan seseorang secara tidak sah, mungkin saja bukan hanya ada pada kasus sengeketa Dewi dan Hestiriyani namun bisa juga ada di kasus-kasus lain. Kalau ini benar terjadi maka maka mungkin saja saat ini ada “kursi haram” di DPR yang ditempati oleh orang yang tidak berhak. Sampai saat ini Panja mafia pemilu masih menyelidiki kasus ini dan kemungkinan adanya kasus-kasus serupa yang lain, dan pihak kepolisian pun telah mulai melakukan penyelidikan.
3. Bantahan Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi
Hasil penyelidikan Tim Investigasi MK dibantah oleh Arsyad Sanusi dan Andi Nurpati yang namanya disebut-sebut Mahfud MD. Arsyad Sanusi menyebut bahwa pernyataan Mahfud dan Sekretaris Jenderal MK, Janedri M. Gaffar di depan Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR RI yang mengatakan bahwa Masyhuri Hassan, juru panggil MK pernah datang ke apartemen Arsyad pada tanggal 16 Agustus 2009. Namun Arsyad membantah bahwa kedatangan Masyuhuri tersebut dalam rangka menyusun draft palsu Surat Keputusan MK terkait sengketa pemilu antara Dewi dan Mestariyani.

Arsyad balik mengatakan bahwa Mahfud sebenarnya tak mengerti teknis administrasi persuratan di MK. Ia juga bahkan menuding bahwa Mahfud pernah melakukan pelanggaran kode etik, ketika melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan kuasa hukumnya ketika sedang mengajukan gugatan uji materi UU KPK. Hal ini ditampik oleh Mahfud yang menyatakan itu tidaklah benar, yang ada pertemuan tersebut sebenarnya adalah diskusi antara dirinya dengan Bibit menyangkut soal-soal yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Arsyad juga mengatakan bahwa dirinya pernah di lobi Mahfud untuk menjadi Ketua MK dan mengatakan bahwa Ketua MK ini “bak pengemis jabatan”. Arsyad menambahkan surat palsu tersebut menandakan bahwa di MK administratif persuratan tersebut bobrok. Mahfud menolak pernyataan tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya, karena administratif MK itu “bagus, jadi ketahuan”. Mahfud mengatakan bahwa dari 1460 perkara/pemilukada, tetapi hanya satu surat saja yang bermasalah yang menyangkut sengketa Dewi dan Mestariyani. Mahfud juga menambahkan sebenarnya dari hakim-hakim MK yang menangani sengketa Dewi dan Mestariyani tersebut adalah “Pak Haryono dan bukan Arsyad”. Lebih lanjut Mahfud menambahkan vonis tersebut tidak benar karena sudah diputuskan pada Juni 2009, dan nomornya pun juga telah ada. Kenapa vonis yang sudah ketok palu tersebut harus dibuat lagi rancangannya pada tanggal 16 Agustus 2009 di rumah Arsyad ?.

Andi juga menyatakan hal yang sama bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus pemalsuan surat tersebut. Ia dengan tegas menyebut mafia yang dimaksud tersebut justru ada MK sendiri. Ia mengklarifikasi soal surat Putusan MK tertanggal 14 Agustus yang dinyatakan palsu dan surat tertanggal 17 Agustus yang dinyatakan sebagai asli. Andi menyatakan keanehannya “prinsip saya setelah saya mengetahui surat itu dinyatakan palsu, saya langsung merevisi surat keputusan KPU, oleh KPU sudah diperbaiki, pada saat itu sudah clear. Tetapi kenapa baru diangkat lagi sekarang, padahal sudah dua tahun kejadiannya”.
Lagi pula menurut Andi, dalam rapat pleno KPU tanggal 14 Agustus 2009 yang menetapkan caleg Partai Hanura yang memenangkan kursi dari dapil Sulawesi Selatan I, perwakilan MK juga turut hadir dan mereka tidak ada yang keberatan.
4. Kronologis Pemalsuan Surat MK
Pada tanggal 14 Agustus 2011, mantan panitera MK Zainal Abidin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan MK atas pemilik kursi di dapil Sulawesi Selatan I yang diperebutkan oleh Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura dan Hasteriyani Hasbie dari Partai Gerindra.

Untuk menjawab surat tersebut kemudian MK mengirimkan surat No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus yang menyatakan bahwa pemilik kursi tersebut adalah caleg dari Partai Gerindra, Hestiriyanie Hasbie. Namun tiga hari sebelum itu, pada tanggal 14 Agustus 2009, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Andi Nurpati telah memutuskan untuk memberikan kursi tersebut pada Dewi Yasin Limpo berdasarkan surat yang diterima KPU dari MK tertanggal 14 Agustus.

Keputusan tersebut tentu membuat MK terkejut. MK kemudian mengecek surat tanggal 14 Agustus yang dimaksud KPU dan membandingkannya dengan surat yang dikirimkan MK ke KPU tertanggal 17 Agustus. Hasilnya ternyata bertolak belakang dengan apa yang diputuskan oleh MK. MK memutuskan bahwa Hestiriyani Hasbie lah sebagai pemilik kursi tersebut, tapi kenapa KPU justru memutuskan sebaliknya, Dewi Yasin Limpo ?. KPU seharusnya menetapkan apa yang diputuskan oleh MK, karena memang MK-lah lembaga yang diberikan wewenang untuk memutuskan sengketa pemilu. MK kemudian menyatakan bahwa surat tanggal 14 Agustus 2011 yang dimaksud KPU adalah palsu dan menyatakan bahwa yang benar adalah yang tertanggal 17 Agustus 2011.

MK curiga ada pemalsuan Putusan MK dan karena itu Ketua MK , Mahfud MD berinisitif membentuk Tim Investigas yang diketuai oleh Abdul Mukti Fadjar. Tim Investigasi menyebut ada indikasi kuat surat MK yang dimaksud telah dipalsukan demi meloloskan Dewi Yasin Limpo. Tim Investigasi juga menyebut beberapa nama yang terkait kasus tersebut, diantaranya mantan Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, Juru Panggil MK, Masyhuri Hasan, Panitera Pengganti Pan, Mohammad Faiz dan Nallom Kurniawan. Untuk orang-orang internal MK yang terlibat, MK telah memberikan sanksi, sedangkan bagi orang-orang eksternal Dewi Yasin Limpo dan Andi Nurpati, MK tentu memiliki keterbatasan dan harus menunggu proses hukum berjalan.

Menurut Sekjend MK Janedri M. Gaffar yang membuka hasil pemeriksaan Tim Investigasi MK, surat MK tertanggal 14 Agustus 2011 tersebut dibuat oleh Masyhuri Hasan. Masih menurut Janedri pada tanggal 14 Agustus 2009, Zainal Arifin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan atas Putusan MK No. 84/PHPU.C-VII/2009. Setelah meminta konfirmasi dari Andi Nurpati, Zainal kemudian menulis surat balasan yang diketik oleh Masyhuri Hasan. Hari berikutnya, Sabtu, Hasan datang ke kantor dengan alasan untuk mempersiapkan sidang pada hari Senin. Hari itu juga Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi menelpon Panitera untuk menanyakan mengenai adanya kata-kata “penambahan suara” dalam Putusan MK No. 84/2009. Panitera menjawab tidak ada kata-kata “penambahan suara” tersebut.

Menurut Janedri, Kesokan harinya, hari Minggu, Nesha, putri Arsyad Sanusi, menelpon Hasan untuk memintanya datang ke kediaman Arsyad di apartemen pejabat negara Kemayoran dengan membawa copy konsep surat balasan MK untuk KPU. Pengakuan Hasan pada Tim Investigasi MK bahwa ia tidak mengubah subtansi konsep surat tersebut. Di apartemen Arsyad, seperti yang dikatakatan Janedri sudah menunggu Dewi Yasin Limpo. Dewi pada hari itu juga memaksa bertemu Panitera, namun ditolak. Kemudian Dewi datang ke rumah Panitera untuk meminta dalam surat balasan MK tersebut agar dicantumkan tambahan kata “penambahan suara”, namun permintaan tersebut juga tetap ditolak.

Masih menurut Janedri kemudian pada Seninnya, tanggal 17 Agustus 2011, Zainal Arifin berkonsultasi dengan Ketua MK, Mahfud MD mengenai perihal surat balasan MK tertanggal 14 Agustus 2011. “Ketua MK memerintahkan agar disamakan dengan putusan MK tanpa ada kata “penambahan suara”. Hari itu juga surat disampaikan ke KPU. Namun karena di KPU semua komioner KPU tidak ada dan atas usul Ibu Andi Nurpati surat tersebut diserahkan kepadanya di JAKTV. Namun begitu menerima surat tersebut, Andi mengatakan seharusnya tidak seperti ini” dan “kalau tidak mengubah suara, kenapa dikabulkan ? dan menolak menandatangai surat tanda terima. Ibu Andi meminta surat tersebut diserahkan pada supirnya” demikian ujar Janedri.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Definisi Sosiologi Hukum
Ditinjau dari aspek sosiologi hukum kasus ini menarik karena memperlihatkan pada kita bagaimana hukum memiliki hubungan timbal balik dengan konteks sosial masyarakat tempat dimana hukum itu diterapkan. Jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah “ilmu hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis”. Studi sosiologi hukum memiliki beberapa karakteristik yakni :

Pertama, sosiologi hukum bermaksud untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, praktek dan perilaku koruptif yang dilakukan oleh para penegak hukum seperti polisi, kejaksaan maupun hakim, atau juga praktek peradilan yang di dalamnya termasuk mafia peradilan dan mafia pemilu yang melibatkan oknum-oknum KPU dan MK yang didisain demi menguntungkan seseorang agar terpilih sebagai anggota Dewan-seperti yang diangkat dalam makalah ini. Sosiologi hukum ingin menjelaskan mengapa praktek demikian terjadi, apa penyebabnya dan latar belakang sosial macam apa hingga itu semua terjadi. Max Weber mengatakan bahwa cara ini adalah interpretative understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya melihat dari aspek luar yang tertampakan dalam perilaku seseorang saja, namun juga ingin melihat dari sisi dalam internal seseorang menyangkut motif-motif seseorang untuk bertindak. Disini perilaku yang taat pada hukum maupun yang menyimpang tidak dibedakan karena keduanya merupakan obyek dari studi sosiologi hukum.

Kedua, sosiologi hukum berusaha untuk menguji keabsahan empiris, dengan berusaha melihat kaedah hukum (sesuatu yang digariskan oleh hukum) dengan fakta-fakta empiris yang terjadi sesungguhnya dalam praktek.

Ketiga, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap hukum. Praktek yang menyimpang dari hukum dan ketaatan pada hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan. Ia tidak menilai apakah ketaatan pada hukum lebih tinggi daripada perilaku sikap-sikap melawan hukum. Fokus sosiologi hukum hanyalah memberikan penjelasan obyektif dan empiris mengenai hal-hal yang dipelajari oleh sosiologi hukum, jadi dalam hal ini dapat dikatakan sosiologi hukum itu netral dan hanya bersifat memberi penjelasan. Pendekatan seperti ini sering menimbulkan kesan bahwa sosiologi hukum tidak bersikap terhadap praktek-praktek hukum, bahkan terkesan membenarkan praktek-praktek yang menyimpang dan bertentangan dengan hukum. Tentu tidaklah demikian, sosiologi hukum kekuatannya justru ada pada fokus ekpalanasinya (memberikan penjelasan) dengan mendekati hukum dari sisi obyektif semata dengan tujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum yang ada.

Ciri khas sosiologi hukum seperti yang diterangkan diatas menurut Satjipto Raharjo merupakan kunci bagi peneliti yang ingin mengkaji sosiologi hukum. Dengan model penyelidikan seperti itu maka orang akan langsung berada di tengah-tengah sosiologi hukum.
2. Hukum Sebagai Kontrol Sosial
Kontrol sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baikyang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi maupun konsiliasi. Fungsi hukum adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi sekelompok masyarakat .

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut .

Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam KUHP digolongkan menjadi 4 golongan, yakni:
a. Kejahatan sumpah palsu.
b. Kejahatan pemalsuan uang.
c. Kejahatan pemalsuan materai dan merk.
d. Kejahatan pemalsuan surat.

Penggolongan tersebut didasarkan atas objek dari pemalsuan. Dengan demikian kasus pemalsuan surat MK termasuk dalam kejahatan pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.
b. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat .

Perbuatan memalsu surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/ berbeda dengan isi surat semula . Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ini ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat.
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s.d 276. Pemalsuan surat pada umumnya, yaitu berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar), diatur dalam Pasal 263, yaitu:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebanan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu atau membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu . Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Berbeda dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan itu dilakukan, sudah ada sebuah surat (disebut surat asli). Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1), yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian harus sudah ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu.
Pada unsur atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung makna :
(1) Adanya orang-orang yang terperdaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian.
(2) Surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.

Unsur lain dari pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakai surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan petindak. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya bedasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya dapat terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Tidak penting bagi siapa kerugian yang dapat timbul akibat pemakaian surat palsu atau surat yang dipalsu itu. Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Artinya petindak menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian harus dibuktikan.






Perbandingan antara Surat MK yang asli dan palsu adalah sebagai berikut :

URAIAN ASLI PALSU
Nomor Surat 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik) 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik)
Nomor Perkara 84/PHPU.C/VII/2009 84/PHPU.C/VII/2009
Tanggal surat 17 Agustus 2009 14 Agustus 2009
Obyek yang dimohonkan Mencantumkan poin berisi jumlah suara Pemohon (Partai Hanura) sebagai obyek yang dimohonkan. Dilanjutkan poin amar putusan yang mencantumkan penambahan jumlah suara Tidak mencantumkan poin jumlah suara sebagai obyek yang dimohonkan. Langsung mencantumkan amar putusan berupa jumlah penambahan suara
Perolehan Suara Obyek yang dimohonkan:
• Kab.Gowa: 12.879
• Kab.Takalar: 5.414
• Kab. Jeneponto: 5.883
Amar Putusan:
• Kab.Gowa: 13.012
• Kab.Takalar: 5.443
• Kab. Jeneponto: 4.206 Amar Putusan, berupa penambahan suara:
• Kab.Gowa: 13.012
• Kab.Takalar: 5.443
• Kab. Jeneponto: 4.206

Dalam kasus pemalsuan surat MK, pihak MK telah melakukan membentuk tim investigasi internal pada tanggal 21 Oktober 2009. Tim tersebut menemukan adanya perbedaan antara surat asli MK dan surat palsu, dimana pada surat palsu terdapat kata “penambahan” dan tertanggal 14 Agustus 2009. Berdasarkan hasil temuan tim investigasi MK telah melaporkan kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat kepada Polri pada tanggal 12 Februari 2010.
Dalam penerapan hukum sebagai kontrol sosial, maka peranan penegak hukum menjadi sangat penting. Penegakan hukum pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga masyarakat merasa dapat memperoleh hakny, dan manakala haknya telah didapatkan, maka hak tersebut dapat dilindungi. Penegakan hukum juga dilihat sebagai upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat control (pengendali sosial) resmi yang memaksakan internalisasi hukum dalam masyarakat .
3. Dimensi Politik
Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan surat MK. Panja DPR Pemalsuan Surat MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu. Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan surat MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009. Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.

Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat MK oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya. Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009. Ketua MK telah menyatakan bahwa terdapat 16 surat MK lain yang diduga dipalsukan. Juga adanya pernyataan hakim konstitusi Akil Mochtar tentang system penghitungan putaran ketiga yang sudah diputuskan MK, tetapi ditengarai ditafsirkan berbeda oleh KPU .

Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik. Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.

Dari sisi kriminalitas, tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan dengan konsekuensi hukum pidana biasa. Tetapi jika dikontekstualisasi secara substansial maka tindakan ini memiliki sejumlah implikasi sangat serius, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa karena dijalankan secara konspiratif. Menurut pakar Konspirasi, Karl Poper (2006) dunia politik merupakan panggung penerapan konspirasi yang dibangun secara delusif, diteorisasi, dan diaplikasikan secara sempurna. Karena itu, pentas politik tidak mudah untuk dipahami dan diurai secara sederhana, butuh kedalaman pengamatan dan kecermatan untuk memahami dimensi-dimensi anatomisnya. Sedangkan dampak dari kejahatan Pemilu itu sendiri adalah :
1. Pemilu merupakan sarana rakyat menyalurkan aspirasinya secara jujur dan tulus untuk menentukan siapa wakil yang dikehendaki untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Karena itu, pilihan rakyat dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan secara mutlak. Siapapun yang mengubah hasil pilihan rakyat, sesungguhnya dia telah mengubah secara sepihak kepercayaan rakyat. Jadi, mengubah keputusan rakyat dapat dipandang sebagai tindakan mengingkari aspirasi rakyat.
2. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dalam penentuan hasil pemilu, berimplikasi terhadap legalitas seseorang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Hanya mereka yang dipilih yang bisa dengan legal menggunakan legitimasi rakyat untuk menindak, memutuskan, dan mengambil kebijakan di tingkat negara. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggeser suara pilihan rakyat kepada orang lain yang bukan pilihan rakyat maka segala keputusan yang dia lakukan merupakan produk tidak legal dan melanggar asas perwakilan rakyat.

Persoalannya adalah, jika terbukti bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 dipenuhi sejumlah kecurangan fundamental, merekayasa yang kalah menjadi pemenang, mengubah yang tidak menduduki kursi legislatif menjadi bisa menduduki maka seluruh produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan cacat secara hukum.
Kasus pemalsuan surat MK adalah satu dari sekian banyak kasus kecurangan nyata yang terjadi. Negara gagal menciptakan sistem yang sensitif terhadap kemungkinan politisasi hasil Pemilu maupun Pemilukada. Bahkan sebaliknya, sistem memberi akses luas bagi adanya intervensi politik kasus-kasus sengketa Pilkada atau Pemilu meski di ranah hukum sekalipun. Tuduhan ketidaknetralan Andi Nurpati ketika menjabat sebagai anggota KPU, pun bukan tanpa alasan. Seleksi keanggotaan institusi penyelenggara ini memang sulit dipisahkan dari kepentingan tertentu terutama partai politik. Suaka politik dan balas jasa yang dilakukan partai politik terhadap mantan anggota KPU, tidak hanya pada Andi Nurpati, tetapi ada sejumlah anggota KPU di daerah misalnya bahkan mundur di tengah jalan lalu masuk ke dalam struktur partai. Tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena itu adalah keputusan pribadi. Akan tetapi, trend seperti ini semakin menguatkan dugaan publik terhadap ketidaknetralan sebagian penyelenggara Pemilu. Oleh sebab itu, harus ada langkah strategis dengan mereformasi mekanisme pemilihan penyelenggara Pemilu. Tidak sekedar netralitas secara formal bahwa tidak sedang menjabat sebagai pengurus partai politik, tetapi juga latar belakang personalnya. Apakah itu pernah terlibat dalam relasi institusional dalam organisasi sayap partai atau simpul-simpul kepentingan partai politik. Termasuk pola seleksi penyelenggara anggota KPU yang selama ini disadari atau tidak sangat bernuansa politis, tidak saja karena keterlibatan parlemen yang notabene merepresentasikan kepentingannya, tetapi juga dominasi kepentingan garis kepentingan tertentu baik itu kelompok masyarakat maupun organisasi massa.

KASUS MOHAMMAD NAZARUDDIN DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM

KASUS MOHAMMAD NAZARUDDIN DITINJAU DARI ASPEK
SOSIOLOGI HUKUM
Oleh :
1.Andi Setiawan
2.Titus Kalingkas
3.Dominicus
4.Lasbok Marbun
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Perkuliahan, 23 Juli 2011
Mata Kuliah : SOSIOLOGI HUKUM
Dosen : Prof. Dr. H. Zainuddin Ali S.H. M.A.

A. Pendahuluan
Maraknya pemberitaan yang menyorot M. Nazarudin, bendahara partai demokrat, mengenai kasus-kasus hukum yang membelitnya nyata-nyata telah berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasus hukum yang menerpa M. Nazarudin seperti dalam kasus pengerjaan Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung, dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. tidak hanya mencederai nama besar Partai demokrat dimata publik, namun juga mungkin akan mengakhiri zaman keemasan partai demokrat.
Kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir cepat, memiliki pengaruh luar biasa, karena ia telah berhasil menarik gerbong fraksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya gesekan di internal partai. Situasi politik, khususnya di internal partai Demokrat dewasa ini tengah mengalami babak genting. Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi besar untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya.
Ranah hukum yang membekap kader muda demokrat dengan berbagai skandal hukum tersebut disebut-sebut telah menyeret banyak petinggi partai demokrat yang tengah berkuasa saat ini. Dengan perkembangan yang ada sekarang ini maka alangkah bijaknya kasus Nazarudin selain dibahas pada sisi hukumnya juga pada politik hukum dan sosiologi hukum.

B. Pembahasan
1. Ramai-Ramai Para Koruptor ke Singapura
Beberapa tahun terakhir ini belasan hingga puluhan WNI yang bermasalah dengan hukum diyakini bersembunyi di sejumlah negara, terutama negeri jiran Singapura. Selain Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti, masih ada juga nama lain seperti Anggoro Widjaja, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan. Juga Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Belum lagi nama-nama buronan seperti Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Sherny Kojongian. Rico Hendrawan, Irawan Salim, Lisa Evijanti Santoso, Amri Irawan, Budianto, Hendra alias Hendra Lee, Chaerudin,serta Hendra Liem alias Hendra Lim,Nader Taher, dan Agus Anwar. Status mereka di Indonesia memang benar berstatus sebagai koruptor, tetapi kenyataan di luar negeri status mereka bukan sebagai koruptor. Melainkan, mereka dijamu sebagai tamu, dan terkadang akan menjadi tamu yang baik sebab mereka membayar pajak, membelanjakan uangnya dan lain-lainnya.

Kalau Densus 88 Polri bisa memburu para tersangka teroris, satuan-satuan khusus yang dibentuk Polri pun pasti mampu memburu tersangka koruptor. Kalau perburuan Nunun Nurbaeti dilakukan melalui kerja sama dengan Interpol, strategi yang sama mestinya bisa diterapkan untuk memburu tersangka koruptor lainnya.
Kembali ke kasus Nazarudin, Kasus pemberian uang yang dilakukan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menambah panjang kontroversi yang dilakukan politisi muda tersebut. Anehnya, hal itu tidak juga membuat Partai Demokrat segera melakukan koreksi diri. Tetapi malah semakin kuat untuk membela anggotanya yang disinyalir tersandung kasus pidana.
Padahal kalau mau dilihat lebih jernih, inilah kesempatan emas bagi Partai Demokrat untuk memperbaiki nama baik partai. Begitu jelas partai dipakai untuk kepentingan pribadi-pribadi, namun selama ini sulit bagi Partai Demokrat untuk menindak anggotanya. Sekarang ada fakta yang begitu gamblang, namun mereka mencoba menutup mata.
2. Tebang Pilih Penegakan Hukum
Boleh jadi, karena Nazaruddin kader Partai Demokrat, Presiden tak dapat menutup- nutupi kepentingannya dalam merespons kasus dugaan suap Wisma Atlet SEA Games di Palembang itu mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik ”menyelamatkan” Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin ”bernyanyi” dan mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario politik partai demokrat.
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK harus bertindak lebih tegas dan lebih cepat menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan kader partai demokrat Nazarudin. Perlunya tindakan tegas dan cepat dalam penangaan kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet di Palembang Sumatera Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang melibatkan Nazaruddin yang saat ini berada di Singapura seharusnya bisa menjelaskan kasus dugaan korupsi tersebut dengan benar tanpa harus ditutup-tutupi agar kasus tersebut bisa diselesaikan dengan tuntas . Keengganan Nazarudin menjelaskan dengan tuntas kasus tersebut karena hal itu akan menyangkut nama baik diriya sebagai anggota DPR. Ada kesan bahwa KPK lamban dalam menangani kasus dugaan korupsi sangat mungkin, hal itu disebabkan Nazaruddin merupakan kader partai demokrat yang merupakan partai yang berkuasa saat ini. Sehingga apabila kasus Nazarudin di telusuri lebih dalam, sangat mungkin akan mengungkap banyak hal yag berkaitan dengan tuduhan dugaan korupsi yang di arahkan padanya dan akan membuka semua borok kader-kader Partai Demokrat lainnya sehingga menyeret sejumlah orang penting di partai tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut Lord Acton menegaskan,”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” 1
Indonesia adalah negara hukum, seyogyanya siapapun yang terkait dengan kasus hukum harus ditangani dengan tegas dan tuntas apalagi bila KPK yang menanganinya, sehingga kesan di masyarakat bahwa penanganan hukum sifatnya tebang pilih bisa diminimalisir.
3. Kasus Hukum Mohammad Nazaruddin akan dikaburkan/hilang
Serangkaian kasus besar pelanggaran pidana di Indonesia terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya di awal tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebut saja kasus bank century, kasus likuidasi BLBI, kasus Gayus, Kasus Susno Duadji dan seterusnya. Kemudian yang teranyar kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin dan masih akan ada kasus-kasus besar lainnya bermunculan. Dapat diprediksikan kalau situasi semacam ini akan terus berlanjut hingga 2014 mendatang pada akhir masa pemerintahan SBY. Sebab, tidak ada ketegasan dalam menyelesaikan setiap masalah yang muncul.

Menyikapi keadaaan carut marut hukum seperti demikian, tampaknya masyarakat Indonesia sudah sangat jenuh dipertontonkan dengan hal semacam ini. Banyak kasus besar
namun tidak kunjung ada penyelesaiannya. Setelah satu kasus lama tak diungkap kemudian berganti lagi dengan kasus yang satu untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Kejadian semacam ini di Indonesia disebabkan kondisi politik saat ini dimana, partai politik di Indonesia belum bisa disebut partai politik yang ideal. Menurut Prof. Kuntoro, “Hukum di Indonesia adalah produk politik, jika hukumnya kacau pasti politiknya juga kacau.” Sifat partai politik di Indonesia masih cenderung mengarah komersialisasi yaitu partai-partai politik yang ada sangat berambisius untuk memenangkan pemilu. Setelah itu, petinggi politik akan memanfaatkan kekuasaannya dengan menempatkan kadernya di jabatan yang strategis yang nantinya akan menjadi donasi terhadap partai.

a. Aspek Sosiologi Hukum
Dalam kasus hukum Nazarudin jelas bahwa para petinggi partai mencoba dengan segala daya menyelamatkan partai dan para kadernya dari upaya jeratan hukum dengan kekuasaan dan kekuatan politik partai demokrat sehingga Nazarudin untouchable dari aparat hukum. Dalam masyarakat ada empat kekuataan sosial yang bersifat baik dan tidak baik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Empat kekuatan sosial itu adalah (1) kekuatan uang, (2) kekuatan politik, (3) kekuatan massa, (4) kekuatan teknologi baru.

b. Yuridis Normatif

Menyikapi kasus ini, maka yang harus mendapatkan sorotan saat ini adalah para aparat penegak hukum. Karena, persoalan Nazarudin ini sebenarnya berawal dari masalah hukum dan masalah hukum hanya bisa diselesaikan kalau Nazaruddin bisa ditangkap atau didatangkan.

Rakyat Indonesia mendesak agar kasus ini dibuka seterang-terangnya, para anggota Partai Demokrat juga jangan mencoba lari dari substansi. Salah besar apabila rakyat dianggap tidak mencatat dan mengingat setiap tindakan yang dilakukan elite partai. Rakyat memang tidak serta merta menyampaikan kekecewaannya, namun mereka akan mengingat setiap tindakan yang nyeleneh dan melanggar hukum yang dilakukan para politisi. Rakyat berharap agar hukum di terapkan dan ditegakkan setegak-tegaknya di republik ini. Adili para pelaku korupsi ke pengadilan dan tunjukkan kesalahahan-kesalahan sesuai dengan pasal-pasal yang dilanggar mereka. Pendekatan seperti ini dalam kajian sosiologi hukum disebut pendekatan yuridis normatif.

c. Yuridis Empiris
Begitu seringnya rangkaian kasus besar di Indonesia yang terus bermunculan tanpa ada penyelesaiannya dan kasus Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin sepertinya bukanlah kasus yang terakhir tapi masih akan ada kasus-kasus besar lainnya yang akan bermunculan. Karena tiada ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum. Celakanya tak satupun aparat penegak hukum yang mampu menangkap Nazaruddin. Dalam hal ini, yang perlu diributkan sebenarnya adalah aparat hukum yang sampai saat ini tak mampu menangkap Nazaruddin, kalau saja Nazaruddin dapat ditangkap atau didatangkan, maka semua isu yang berkembang dengan
sendirinya bakal terjawab.
Ada kasus besar yang terungkap ke publik bukan untuk diselesaikan tapi digunakan untuk menutupi kasus-kasus lainnya. Realita ini yang sedang disajikan oleh elit partai demokrat yang sedang berkuasa di pemerintahan pada rakyat. Kenyaatan hukum ini dalam kajian sosiologi hukum disebut yuridis empiris. Hukum dengan kajian yuridis empiris tidak didasarkan pada bentuk pasal dan peraturan, melainkan bagaimana hukum itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
SOLUSI
Persoalan 'bola panas' mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M. Nazaruddin, telah menggelinding jauh ke ranah politik. Akibatnya, kasus Nazaruddin yang sebenarnya bermuara pada permasalahan hukum itu telah bergeser jauh menjadi persoalan politik. Inilah kenyataan hukum di republik ini. Hukum diombang-ambingkan ke segala arah sesuai kehendak penguasa. Sungguh ironis, undang-undang anti tindak pidana korupsi belum mampu membuat para pelaku korupsi jera, justru malah semakin menjamurnya para koruptor baru. Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, penegakan hukum melalui mekanisme yuridis normatif patut dikedepankan dengan menghilangkan unsur tebang pilih. Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah sistem yang ada di Indonesia baik dari aspek hukum, pemerintahan, politik dan juga mengenai sistem keimigrasiannya.

C. Kesimpulan
Kasus Nazarudin yang tak kunjung tuntas sekali lagi telah mencoreng upaya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini murni memang bukan masalah hukum semata, belakangan bahkan masalah politik mendominasi kasus Nazarudin. Setelah ditelusuri, ternyata M.Nazarudin bukan orang “sembarangan”. Ia adalah bendahara umum partai demokrat, sebuah partai poltik yang tengah berkuasa saat ini. Dengan “kesaktiannya”, aparat penegak hukum tak mampu mengendus keberadaannya apalagi menangkapnya kembali ke tanah air. Ditenggarai, banyak kepentingan politik berada dibelakang kasus ini sehingga ia tetap tak tersentuh hukum. Hal ini selaras dengan materi kuliah Prof. Zainuddin Ali pada kuliah Sosiologi Hukum bahwa kekuatan politik dan uang dapat membelokkan upaya penegakanhukum di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Filsafat Hukum. Jakarta, Cet. Ke 3, Sinar Grafika, 2010.
-------------., Sosiologi Hukum. Jakarta, Cet. Ke 4, Sinar Grafika, 2010.
Irsan, Koesparmono. Politik hukum, Jakarta : Universitas Brobodur, 2004
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004
Schmid, J.Von. Ahli-ahli pikir besar tentang negara dan hukum. Jakarta: PT Pembagunan, 2004
Kasus Nazaruddin akan Hilang http://www.infoindo.com/20110710144545 Minggu,10 Juli 2011

Jumat, 22 Juli 2011

PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU: TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM

PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Disajikan Oleh Kelompok I:
1 Linda M.A. Sjamsoeddin NIM. 10720025
2 Ary Untung Suto NIM. 10720026

UNIVERSITAS BOROBUDUR
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


Makalah
PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI
DAN MAFIA PEMILU:
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Mata Kuliah:
SOSIOLOGI HUKUM
Dosen:
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.
Disajikan Oleh Kelompok I:
1. Linda M.A. Sjamsoeddin NIM. 10720025
2. Ary Untung Suto NIM. 10720026

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Maslah
Kasus pemalsuan Surat Mahkamah Konstitusi (MK) berawal dari laporan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan dalam pemilu 2009 yang lalu, ada indikasi bahwa surat keputusan MK telah dipalsukan. Menurut Mahfud keluarnya surat palsu tersebut diduga melibatkan Andi Nurpati yang waktu itu tercatat sebagai salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Arsyad Sanusi yang waktu itu menjadi salah satu hakim konstitusi. Tak cukup disini kemudian beberapa nama lainnya disebut seperti mantan panitera MK Zainal Arifin Hoesien, panitera pengganti Mohammad Faiz dan juru panggil MK Masyhuri Hasan.

Surat keputusan MK menyangkut soal penetapan anggota DPR RI inilah yang menjadi pokok perdebatannya. Ada dua surat MK mengenai hal ini, pertama Surat Keputusan MK No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang dinyatakan Mahfud sebagai surat yang asli, namun selain surat tersebut juga ada Surat Keputusan MK dengan nomor yang sama tertanggal 14 Agustus 2009 yang dikatakan sebagai surat palsu. Surat tersebut mengenai penjelasan MK bahwa Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat MK tersebut membantah rapat pleno KPU yang menyebutkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I.

Masalah ini mengemuka terkait perolehan kursi yang ditempati anggota DPR, yang bisa saja kursi yang didudukinya tidak melalui jalan dan mekanisme yang sah, namun melalui proses manipulasi seperti yang terungkap belakangan ini, bahwa mungkin ada oknum KPU dan MK yang bekerja untuk meloloskan seseorang yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan kursi tersebut. Persoalan surat palsu ini kemudian mendapat sorotan publik, majalah, tv, surat kabar dan media online ramai memberitakannya. Bukan hanya itu Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri berinisiatif untuk membentuk Panja Mafia Pemilu guna mengurai benang kusut penghitungan dan penetapan calon terpilih anggota DPR RI hasil pemilu legislatif 2009 lalu.
Penghitungan dan penetapan calon terpilih memang seringkali menimbulkan polemik dan kadangkala KPU sulit untuk memutuskannya, dan karena itu harus diselesaikan melalui sidang sengketa di MK. Kasus ini juga memperlihatkan pada kita bagaimana keinginan untuk menjadi anggota Dewan dan motif-motif tertentu lainnya (bagi oknum KPU dan MK) ternyata telah mengalahkan keharusan kita untuk taat pada hukum, apalagi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah penjaga hukum itu sendiri. Dari sini berkembang dugaan bahwa di balik itu semua ternyata ada sesuatu yang kemudian orang menyatakannya sebagai mafia pemilu. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji pemalsuan surat MK ditinjau sosiologi hukum yang menyertai kasus ini.

BAB II
PENYEBAB PERMASALAHAN
1.Kisruhnya Penghitungan dan Penetapan Caleg Terpilih
Kasus mencuatnya pemalsuan surat MK disebabkan oleh ricuhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih yang masuk ke DPR, sebagai hasil dari penghitungan tahap kedua dan ketiga. Berbeda dengan caleg yang lolos ke DPR melalui penghitungan tahap pertama, maka bagi partai politik yang berhasil melewati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yakni suara sah dalam Pileg dibagi jumlah kursi yang diperebutkan, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi. Untuk tahap kedua sisa kursi akan dibagi kepada partai yang mendapatkan minimal 50% BPP. Sedangkan tahap ketiga memperebutkan sisa suara yang masih ada. Penghitungan tahap kedua dan ketiga dalam perjalanannya menuai kontroversi dan karena itu melibatkan MK untuk mengambil putusan final. Di semua tahap penghitungan, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, maka penetapan caleg terpilih didasarkan atas suara terbanyak.

Untuk penetapan caleg terpilih tahap kedua, berdasarkan pasal 22 c serta pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 18 Juni 2009. MA juga meminta KPU untuk merevisi putusannya mengenai penetapan kursi bagi calon terpilih. MK selanjutnya memberikan tafsir konstitusional atas penghitungan tahap kedua, yang berkonsekwensi pada tidak berlakunya putusan MA dan peraturan KPU. Dalam kaitannya dengan hal tersebut beberapa pasal yang dipakai menimbulkan multi tafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa tidak adil dalam penetapan kursi hasil pemilu. Hal itu kemudian diluruskan oleh tafsir konstitusional oleh MK pada tanggal 7 Agustus 2009.

Untuk penetapan caleg terpilih pada penghitungan tahap ketiga, berdasarkan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 juga melibatkan MK. Pada tanggal 11 Juni 2009 MK menetapkan pembagian kursi tahap ketiga. Berbeda dengan penghitungan tahap pertama dan kedua, sisa-sisa suara yang ada di daerah pemilihan (Dapil) seluruhnya disatukan ke provinsi, ada atau tidak ada sisa kursi. Hasil di tingkat provinsi kemudian dibagi dengan sisa kursi dan hasil penghitungannya kemudian menjadi BPP. Setelah BPP ditentukan kemudian dilihat partai mana yang lolos peringkat. Bagi partai yang memperoleh suara terbanyak maka partainyalah yang akan mendapatkan kursi lebih dulu. Selanjutnya kursi tersebut diserahkan pada caleg yang perolehan suaranya terbanyak dari dapil yang kursinya masih tersisa.

Kasus sengketa pemilu Dewi Yasin Limpo dan Mestiriyani Hasbie seperti yang diangkat dalam tulisan ini, juga merupakan contoh dari kisruhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih, hingga akhirnya membuka peluang bagi praktek-praktek melawan hukum dan berkembangnya mafia pemilu.
2.Terbongkarnya Surat Palsu MK
Menurut Mahfud MD sebelum ia mengemukakan ke publik soal adanya Surat Keputusan palsu MK menyangkut sengketa pemilu antara Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra dengan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang mencuat belakangan ini, sebenarnya ia telah mengadukan hal tersebut ke kepolisian sejak tahun lalu namun hingga kini, ketika ia kembali mengemukakan hal tersebut, pengaduannya belum diproses. Ketika Mahfud kembali mengangkat kasus ini dua bulan yang lalu, ia menyebut anggota KPU, Andi Nurpati dan mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi terlibat dalam pemalsuan surat tersebut.
Akibat dari diungkapkannya hal ini ke publik, belakangan tudingan Mahfud tersebut menuai polemik berkepanjangan antara dirinya dengan Arsyad Sanusi, saling bantah-batahan diantara keduanya ramai diberitakan di media massa. Bahkan saling tuding yang mengarah pada soal-soal yang menyangkut personal juga terjadi.
Kasus pemalsuan surat MK kemudian ditanggapi serius oleh DPR. Komisi II yang membidangi politik dalam negeri yang salah satu mitra kerjanya adalah KPU, berinisiatif membentuk Panja Mafia Pemilu untuk menyelidiki kasus ini. Timbul dugaan bahwa praktek-praktek mafia pemilu guna memenangkan seseorang secara tidak sah, mungkin saja bukan hanya ada pada kasus sengeketa Dewi dan Hestiriyani namun bisa juga ada di kasus-kasus lain. Kalau ini benar terjadi maka maka mungkin saja saat ini ada “kursi haram” di DPR yang ditempati oleh orang yang tidak berhak. Sampai saat ini Panja mafia pemilu masih menyelidiki kasus ini dan kemungkinan adanya kasus-kasus serupa yang lain, dan pihak kepolisian pun telah mulai melakukan penyelidikan.
3. Bantahan Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi
Hasil penyelidikan Tim Investigasi MK dibantah oleh Arsyad Sanusi dan Andi Nurpati yang namanya disebut-sebut Mahfud MD. Arsyad Sanusi menyebut bahwa pernyataan Mahfud dan Sekretaris Jenderal MK, Janedri M. Gaffar di depan Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR RI yang mengatakan bahwa Masyhuri Hassan, juru panggil MK pernah datang ke apartemen Arsyad pada tanggal 16 Agustus 2009. Namun Arsyad membantah bahwa kedatangan Masyuhuri tersebut dalam rangka menyusun draft palsu Surat Keputusan MK terkait sengketa pemilu antara Dewi dan Mestariyani.

Arsyad balik mengatakan bahwa Mahfud sebenarnya tak mengerti teknis administrasi persuratan di MK. Ia juga bahkan menuding bahwa Mahfud pernah melakukan pelanggaran kode etik, ketika melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan kuasa hukumnya ketika sedang mengajukan gugatan uji materi UU KPK. Hal ini ditampik oleh Mahfud yang menyatakan itu tidaklah benar, yang ada pertemuan tersebut sebenarnya adalah diskusi antara dirinya dengan Bibit menyangkut soal-soal yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Arsyad juga mengatakan bahwa dirinya pernah di lobi Mahfud untuk menjadi Ketua MK dan mengatakan bahwa Ketua MK ini “bak pengemis jabatan”. Arsyad menambahkan surat palsu tersebut menandakan bahwa di MK administratif persuratan tersebut bobrok. Mahfud menolak pernyataan tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya, karena administratif MK itu “bagus, jadi ketahuan”. Mahfud mengatakan bahwa dari 1460 perkara/pemilukada, tetapi hanya satu surat saja yang bermasalah yang menyangkut sengketa Dewi dan Mestariyani. Mahfud juga menambahkan sebenarnya dari hakim-hakim MK yang menangani sengketa Dewi dan Mestariyani tersebut adalah “Pak Haryono dan bukan Arsyad”. Lebih lanjut Mahfud menambahkan vonis tersebut tidak benar karena sudah diputuskan pada Juni 2009, dan nomornya pun juga telah ada. Kenapa vonis yang sudah ketok palu tersebut harus dibuat lagi rancangannya pada tanggal 16 Agustus 2009 di rumah Arsyad ?.

Andi juga menyatakan hal yang sama bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus pemalsuan surat tersebut. Ia dengan tegas menyebut mafia yang dimaksud tersebut justru ada MK sendiri. Ia mengklarifikasi soal surat Putusan MK tertanggal 14 Agustus yang dinyatakan palsu dan surat tertanggal 17 Agustus yang dinyatakan sebagai asli. Andi menyatakan keanehannya “prinsip saya setelah saya mengetahui surat itu dinyatakan palsu, saya langsung merevisi surat keputusan KPU, oleh KPU sudah diperbaiki, pada saat itu sudah clear. Tetapi kenapa baru diangkat lagi sekarang, padahal sudah dua tahun kejadiannya”.
Lagi pula menurut Andi, dalam rapat pleno KPU tanggal 14 Agustus 2009 yang menetapkan caleg Partai Hanura yang memenangkan kursi dari dapil Sulawesi Selatan I, perwakilan MK juga turut hadir dan mereka tidak ada yang keberatan.
4. Kronologis Pemalsuan Surat MK
Pada tanggal 14 Agustus 2011, mantan panitera MK Zainal Abidin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan MK atas pemilik kursi di dapil Sulawesi Selatan I yang diperebutkan oleh Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura dan Hasteriyani Hasbie dari Partai Gerindra.

Untuk menjawab surat tersebut kemudian MK mengirimkan surat No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus yang menyatakan bahwa pemilik kursi tersebut adalah caleg dari Partai Gerindra, Hestiriyanie Hasbie. Namun tiga hari sebelum itu, pada tanggal 14 Agustus 2009, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Andi Nurpati telah memutuskan untuk memberikan kursi tersebut pada Dewi Yasin Limpo berdasarkan surat yang diterima KPU dari MK tertanggal 14 Agustus.

Keputusan tersebut tentu membuat MK terkejut. MK kemudian mengecek surat tanggal 14 Agustus yang dimaksud KPU dan membandingkannya dengan surat yang dikirimkan MK ke KPU tertanggal 17 Agustus. Hasilnya ternyata bertolak belakang dengan apa yang diputuskan oleh MK. MK memutuskan bahwa Hestiriyani Hasbie lah sebagai pemilik kursi tersebut, tapi kenapa KPU justru memutuskan sebaliknya, Dewi Yasin Limpo ?. KPU seharusnya menetapkan apa yang diputuskan oleh MK, karena memang MK-lah lembaga yang diberikan wewenang untuk memutuskan sengketa pemilu. MK kemudian menyatakan bahwa surat tanggal 14 Agustus 2011 yang dimaksud KPU adalah palsu dan menyatakan bahwa yang benar adalah yang tertanggal 17 Agustus 2011.

MK curiga ada pemalsuan Putusan MK dan karena itu Ketua MK , Mahfud MD berinisitif membentuk Tim Investigas yang diketuai oleh Abdul Mukti Fadjar. Tim Investigasi menyebut ada indikasi kuat surat MK yang dimaksud telah dipalsukan demi meloloskan Dewi Yasin Limpo. Tim Investigasi juga menyebut beberapa nama yang terkait kasus tersebut, diantaranya mantan Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, Juru Panggil MK, Masyhuri Hasan, Panitera Pengganti Pan, Mohammad Faiz dan Nallom Kurniawan. Untuk orang-orang internal MK yang terlibat, MK telah memberikan sanksi, sedangkan bagi orang-orang eksternal Dewi Yasin Limpo dan Andi Nurpati, MK tentu memiliki keterbatasan dan harus menunggu proses hukum berjalan.

Menurut Sekjend MK Janedri M. Gaffar yang membuka hasil pemeriksaan Tim Investigasi MK, surat MK tertanggal 14 Agustus 2011 tersebut dibuat oleh Masyhuri Hasan. Masih menurut Janedri pada tanggal 14 Agustus 2009, Zainal Arifin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan atas Putusan MK No. 84/PHPU.C-VII/2009. Setelah meminta konfirmasi dari Andi Nurpati, Zainal kemudian menulis surat balasan yang diketik oleh Masyhuri Hasan. Hari berikutnya, Sabtu, Hasan datang ke kantor dengan alasan untuk mempersiapkan sidang pada hari Senin. Hari itu juga Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi menelpon Panitera untuk menanyakan mengenai adanya kata-kata “penambahan suara” dalam Putusan MK No. 84/2009. Panitera menjawab tidak ada kata-kata “penambahan suara” tersebut.

Menurut Janedri, Kesokan harinya, hari Minggu, Nesha, putri Arsyad Sanusi, menelpon Hasan untuk memintanya datang ke kediaman Arsyad di apartemen pejabat negara Kemayoran dengan membawa copy konsep surat balasan MK untuk KPU. Pengakuan Hasan pada Tim Investigasi MK bahwa ia tidak mengubah subtansi konsep surat tersebut. Di apartemen Arsyad, seperti yang dikatakatan Janedri sudah menunggu Dewi Yasin Limpo. Dewi pada hari itu juga memaksa bertemu Panitera, namun ditolak. Kemudian Dewi datang ke rumah Panitera untuk meminta dalam surat balasan MK tersebut agar dicantumkan tambahan kata “penambahan suara”, namun permintaan tersebut juga tetap ditolak.

Masih menurut Janedri kemudian pada Seninnya, tanggal 17 Agustus 2011, Zainal Arifin berkonsultasi dengan Ketua MK, Mahfud MD mengenai perihal surat balasan MK tertanggal 14 Agustus 2011. “Ketua MK memerintahkan agar disamakan dengan putusan MK tanpa ada kata “penambahan suara”. Hari itu juga surat disampaikan ke KPU. Namun karena di KPU semua komioner KPU tidak ada dan atas usul Ibu Andi Nurpati surat tersebut diserahkan kepadanya di JAKTV. Namun begitu menerima surat tersebut, Andi mengatakan seharusnya tidak seperti ini” dan “kalau tidak mengubah suara, kenapa dikabulkan ? dan menolak menandatangai surat tanda terima. Ibu Andi meminta surat tersebut diserahkan pada supirnya” demikian ujar Janedri.

BAB III
PEMBAHASAN

1. Definisi Sosiologi Hukum
Ditinjau dari aspek sosiologi hukum kasus ini menarik karena memperlihatkan pada kita bagaimana hukum memiliki hubungan timbal balik dengan konteks sosial masyarakat tempat dimana hukum itu diterapkan. Jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah “ilmu hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis”. Studi sosiologi hukum memiliki beberapa karakteristik yakni :

Pertama, sosiologi hukum bermaksud untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, praktek dan perilaku koruptif yang dilakukan oleh para penegak hukum seperti polisi, kejaksaan maupun hakim, atau juga praktek peradilan yang di dalamnya termasuk mafia peradilan dan mafia pemilu yang melibatkan oknum-oknum KPU dan MK yang didisain demi menguntungkan seseorang agar terpilih sebagai anggota Dewan-seperti yang diangkat dalam makalah ini. Sosiologi hukum ingin menjelaskan mengapa praktek demikian terjadi, apa penyebabnya dan latar belakang sosial macam apa hingga itu semua terjadi. Max Weber mengatakan bahwa cara ini adalah interpretative understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya melihat dari aspek luar yang tertampakan dalam perilaku seseorang saja, namun juga ingin melihat dari sisi dalam internal seseorang menyangkut motif-motif seseorang untuk bertindak. Disini perilaku yang taat pada hukum maupun yang menyimpang tidak dibedakan karena keduanya merupakan obyek dari studi sosiologi hukum.

Kedua, sosiologi hukum berusaha untuk menguji keabsahan empiris, dengan berusaha melihat kaedah hukum (sesuatu yang digariskan oleh hukum) dengan fakta-fakta empiris yang terjadi sesungguhnya dalam praktek.

Ketiga, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap hukum. Praktek yang menyimpang dari hukum dan ketaatan pada hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan. Ia tidak menilai apakah ketaatan pada hukum lebih tinggi daripada perilaku sikap-sikap melawan hukum. Fokus sosiologi hukum hanyalah memberikan penjelasan obyektif dan empiris mengenai hal-hal yang dipelajari oleh sosiologi hukum, jadi dalam hal ini dapat dikatakan sosiologi hukum itu netral dan hanya bersifat memberi penjelasan. Pendekatan seperti ini sering menimbulkan kesan bahwa sosiologi hukum tidak bersikap terhadap praktek-praktek hukum, bahkan terkesan membenarkan praktek-praktek yang menyimpang dan bertentangan dengan hukum. Tentu tidaklah demikian, sosiologi hukum kekuatannya justru ada pada fokus ekpalanasinya (memberikan penjelasan) dengan mendekati hukum dari sisi obyektif semata dengan tujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum yang ada.

Ciri khas sosiologi hukum seperti yang diterangkan diatas menurut Satjipto Raharjo merupakan kunci bagi peneliti yang ingin mengkaji sosiologi hukum. Dengan model penyelidikan seperti itu maka orang akan langsung berada di tengah-tengah sosiologi hukum.
2. Hukum Sebagai Kontrol Sosial
Kontrol sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baikyang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi maupun konsiliasi. Fungsi hukum adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi sekelompok masyarakat .

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut .

Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam KUHP digolongkan menjadi 4 golongan, yakni:
a.Kejahatan sumpah palsu.
b.Kejahatan pemalsuan uang.
c.Kejahatan pemalsuan materai dan merk.
d.Kejahatan pemalsuan surat.

Penggolongan tersebut didasarkan atas objek dari pemalsuan. Dengan demikian kasus pemalsuan surat MK termasuk dalam kejahatan pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.
b. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat .

Perbuatan memalsu surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/ berbeda dengan isi surat semula . Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ini ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat.
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s.d 276. Pemalsuan surat pada umumnya, yaitu berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar), diatur dalam Pasal 263, yaitu:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebanan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu atau membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu . Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Berbeda dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan itu dilakukan, sudah ada sebuah surat (disebut surat asli). Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1), yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian harus sudah ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu.
Pada unsur atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung makna :
(1) Adanya orang-orang yang terperdaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian.
(2) Surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.

Unsur lain dari pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakai surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan petindak. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya bedasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya dapat terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Tidak penting bagi siapa kerugian yang dapat timbul akibat pemakaian surat palsu atau surat yang dipalsu itu. Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Artinya petindak menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian harus dibuktikan.

Perbandingan antara Surat MK yang asli dan palsu adalah sebagai berikut :
URAIAN ASLI PALSU
Nomor Surat 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik) 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik)
Nomor Perkara 84/PHPU.C/VII/2009 84/PHPU.C/VII/2009
Tanggal surat 17 Agustus 2009 14 Agustus 2009
Obyek yang dimohonkan Mencantumkan poin berisi jumlah suara Pemohon (Partai Hanura) sebagai obyek yang dimohonkan. Dilanjutkan poin amar putusan yang mencantumkan penambahan jumlah suara Tidak mencantumkan poin jumlah suara sebagai obyek yang dimohonkan. Langsung mencantumkan amar putusan berupa jumlah penambahan suara
Perolehan Suara Obyek yang dimohonkan:
•Kab.Gowa: 12.879
•Kab.Takalar: 5.414
•Kab. Jeneponto: 5.883
Amar Putusan:
•Kab.Gowa: 13.012
•Kab.Takalar: 5.443
•Kab. Jeneponto: 4.206 Amar Putusan, berupa penambahan suara:
•Kab.Gowa: 13.012
•Kab.Takalar: 5.443
•Kab. Jeneponto: 4.206

Dalam kasus pemalsuan surat MK, pihak MK telah melakukan membentuk tim investigasi internal pada tanggal 21 Oktober 2009. Tim tersebut menemukan adanya perbedaan antara surat asli MK dan surat palsu, dimana pada surat palsu terdapat kata “penambahan” dan tertanggal 14 Agustus 2009. Berdasarkan hasil temuan tim investigasi MK telah melaporkan kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat kepada Polri pada tanggal 12 Februari 2010.
Dalam penerapan hukum sebagai kontrol sosial, maka peranan penegak hukum menjadi sangat penting. Penegakan hukum pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga masyarakat merasa dapat memperoleh hakny, dan manakala haknya telah didapatkan, maka hak tersebut dapat dilindungi. Penegakan hukum juga dilihat sebagai upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat control (pengendali sosial) resmi yang memaksakan internalisasi hukum dalam masyarakat .
3. Dimensi Politik
Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan surat MK. Panja DPR Pemalsuan Surat MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu. Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan surat MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009. Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.

Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat MK oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya. Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009. Ketua MK telah menyatakan bahwa terdapat 16 surat MK lain yang diduga dipalsukan. Juga adanya pernyataan hakim konstitusi Akil Mochtar tentang system penghitungan putaran ketiga yang sudah diputuskan MK, tetapi ditengarai ditafsirkan berbeda oleh KPU .

Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik. Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.

Dari sisi kriminalitas, tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan dengan konsekuensi hukum pidana biasa. Tetapi jika dikontekstualisasi secara substansial maka tindakan ini memiliki sejumlah implikasi sangat serius, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa karena dijalankan secara konspiratif. Menurut pakar Konspirasi, Karl Poper (2006) dunia politik merupakan panggung penerapan konspirasi yang dibangun secara delusif, diteorisasi, dan diaplikasikan secara sempurna. Karena itu, pentas politik tidak mudah untuk dipahami dan diurai secara sederhana, butuh kedalaman pengamatan dan kecermatan untuk memahami dimensi-dimensi anatomisnya. Sedangkan dampak dari kejahatan Pemilu itu sendiri adalah :
1. Pemilu merupakan sarana rakyat menyalurkan aspirasinya secara jujur dan tulus untuk menentukan siapa wakil yang dikehendaki untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Karena itu, pilihan rakyat dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan secara mutlak. Siapapun yang mengubah hasil pilihan rakyat, sesungguhnya dia telah mengubah secara sepihak kepercayaan rakyat. Jadi, mengubah keputusan rakyat dapat dipandang sebagai tindakan mengingkari aspirasi rakyat.
2. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dalam penentuan hasil pemilu, berimplikasi terhadap legalitas seseorang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Hanya mereka yang dipilih yang bisa dengan legal menggunakan legitimasi rakyat untuk menindak, memutuskan, dan mengambil kebijakan di tingkat negara. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggeser suara pilihan rakyat kepada orang lain yang bukan pilihan rakyat maka segala keputusan yang dia lakukan merupakan produk tidak legal dan melanggar asas perwakilan rakyat.

Persoalannya adalah, jika terbukti bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 dipenuhi sejumlah kecurangan fundamental, merekayasa yang kalah menjadi pemenang, mengubah yang tidak menduduki kursi legislatif menjadi bisa menduduki maka seluruh produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan cacat secara hukum.
Kasus pemalsuan surat MK adalah satu dari sekian banyak kasus kecurangan nyata yang terjadi. Negara gagal menciptakan sistem yang sensitif terhadap kemungkinan politisasi hasil Pemilu maupun Pemilukada. Bahkan sebaliknya, sistem memberi akses luas bagi adanya intervensi politik kasus-kasus sengketa Pilkada atau Pemilu meski di ranah hukum sekalipun. Tuduhan ketidaknetralan Andi Nurpati ketika menjabat sebagai anggota KPU, pun bukan tanpa alasan. Seleksi keanggotaan institusi penyelenggara ini memang sulit dipisahkan dari kepentingan tertentu terutama partai politik. Suaka politik dan balas jasa yang dilakukan partai politik terhadap mantan anggota KPU, tidak hanya pada Andi Nurpati, tetapi ada sejumlah anggota KPU di daerah misalnya bahkan mundur di tengah jalan lalu masuk ke dalam struktur partai. Tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena itu adalah keputusan pribadi. Akan tetapi, trend seperti ini semakin menguatkan dugaan publik terhadap ketidaknetralan sebagian penyelenggara Pemilu. Oleh sebab itu, harus ada langkah strategis dengan mereformasi mekanisme pemilihan penyelenggara Pemilu. Tidak sekedar netralitas secara formal bahwa tidak sedang menjabat sebagai pengurus partai politik, tetapi juga latar belakang personalnya. Apakah itu pernah terlibat dalam relasi institusional dalam organisasi sayap partai atau simpul-simpul kepentingan partai politik. Termasuk pola seleksi penyelenggara anggota KPU yang selama ini disadari atau tidak sangat bernuansa politis, tidak saja karena keterlibatan parlemen yang notabene merepresentasikan kepentingannya, tetapi juga dominasi kepentingan garis kepentingan tertentu baik itu kelompok masyarakat maupun organisasi massa.

Selasa, 05 Juli 2011

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA (FILOSOFIS, YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM MATERIL PERADILAN AGAMA BIDANG HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA
(FILOSOFIS, YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS)

Oleh: Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA

A. Pendahuluan
Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama Islam di Indonesia dari masa ke masa.
Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur hukum di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut.
1.Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
2.Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan
3.Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);
4.Kaidah hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan sejarah hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesiaan.
Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke empat unsur kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicitacitakan (ius constituendum); (2) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (3) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (4) apabila hanya berlaku secara historis, maka kemungkinan kaidah itu tidak sesuai dengan legal cultuure ke Indonesiaan. Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyelesaian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala. Hal dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang bidang hukum kewarisan.
B. Permasalahan
1.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis?
2.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis?
3.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis
4.Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis
5.Bagaimana karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
C. Pembahasan
1.Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis
Membicarakan siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis, maka tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu ummat Islam. Ummat Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di Indonesia. Karena itu, ummat Islam tidak dapat dicerai pisahkan dengan hukum Islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan Dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa”
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali) mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut.
a.Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam bagi ummat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara Rapublik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia;
b.Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, Syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan syari’at yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Syari’at yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut syari’at Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum-hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan kekuasaan negara untuk menjalankannya secara sempurna. Yang dimaksud adalah misalnya, hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum pidana (Islam) seperti zina, pencurian, pembunuhan yang memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syari’at yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan ummat Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia.
c.Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-masing.
2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Yuridis
Perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini:
a.DR. Muhammad Hatta (almarhum) ketika menjelaskan arti perkataan “kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut. Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab agama. Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945 itu, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu bahwa dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah, kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; (c) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undang-undang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan uraian dan penjelsan di atas, maka dapat diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Demikian juga beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan hukum Islam Selain itu, juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Pedoman bagi para hakim di Peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia. Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma-norma hukum yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Karena itu, keberlakuan dan kekuatan hukum Islam secara ketata negaraan di negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945.
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Sosiologis
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio a contrario. Teori receptio a contrario dimaksud, dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan dikembangkan secara sistematis dan diperaktekkan oleh murid-muridnya (Sajuti Talib, H Mohammad Daud Ali, Bismar Siregar, H.M. Tahir Azhary, dan sebagainya). Menurut mereka hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua) buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan yang menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum Islam tidak dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan dimaksud sebagai berikut.
a.Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam, bila mereka membagi harta warisan maka ia menggunakan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan panasnya anak perempuan di dapur sehingga bagian warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisaan anak perempuan. Namun sesudah mereka memeluk agama Islam maka hukum adat kewarisan itu digantikan posisinya oleh hukum Islam berdasarkan ungkapan langgai molemba mobine manggala (anak laki-laki memikul dan anak perempuan menggendong). Hal itu berarti bagian harta warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan.
b.Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian harta warisan seorang anak perempuan (sama wae asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud, berubah untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis “majjujung makkunraie mallempa oroane”.
c.Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah: “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Artinya: hukum adat bersumber dari hukum Islam, hukum Islam bersumber dari Alqur’an.
d.Suku Aceh di Sumatera Utara membuat pepatah: “Adek dan syara’ sanda menyanda, syara mengato adek memakai”. Artinya: hubungan hukum adat dengan hukum Islam erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam menentukan, hukum adat melaksanakan.
Berdasarkan dua buah contoh dan dua buah ungkapan tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa sistem hukum Islam di negara republik Indonesia berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum majemuk. Namun demikian, sistem-sistem hukum dimaksud merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan hukum nasional yang berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap norma-norma hukum lainnya termasuk Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang, dan peraturan-peraturan lainnya di satu pihak dan pihak lainnya sebagai dasar negara republik Indonesia.
Selain itu, menunjukkan bahwa Sistem Hukum Indonesia adalah sistem hukum yang menjadikan Pancasila sebagai recht idee di satu pihak dan recht staat dipihak lainnya atau sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundang-undangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis
Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori receptio in complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara menyeluruh. Sebagai bukti teori dimaksud, diuraikan sebagai berikut.
a.Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642 menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini terkenal dengan sebutan Compendium Freijer.
b.Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan. Karena itu, selama VOC berkuasa dua abad (602-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan ummat Islam Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa dari para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu. Demikian juga jasa Naruddin al-Raniri yang menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke seluruh Wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan ummat Islam. Kitab ini dianalisis oleh Sjekh Arsyad al-Banjari kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab yang diberi judul Sabil al-Mukhtadin (jalan orang yang diberi petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antar ummat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
c.Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan yang senada dimaksud, yang kemudian diberi nama Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (1823-1868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala
Ada dua permasalahan pokok yang dijadikan kajian utama pada penyusunan pokok bahasan makalah ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam di luar dan di dalam Pengadilan Agama, dan (2) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya di luar dan di dalam Pengadilan Agama.
Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6) bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli waris; (8) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala untuk melaksa-nakan hukum kewarisan Islam.
a. Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis
1) Kerangka Dalil
a) Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan Islam, di antaranya:
(1) Qur`an Surah IV: 11
Qur`an Surah IV: 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu: (1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu: 2:1; (2) mengatur tentang perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang, mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan; (3) mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari harta peninggalan; (4) mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seper enam dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak; (5) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perolehan ibu sepertiga dari harta peninggalan; (6) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 6 itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris.
(2) Qur`an Surah IV: 12.
Qur`an Surah IV: 12 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu (1) Duda karena kematian isteri mendapat pembagian seperdua dari harta peninggalan isterinya kalau si isteri tidak meninggalkan anak; (2) duda karena kematian isteri mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan isterinya kalau si isteri meninggalkan anak; (3) janda karena kematian suami mendapat pembagian seperempat dari harta suaminya kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan pembagian termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka itu memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris.
(3) Qur`an Surah IV; 176.
Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada engkau Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu mendapat pembagian 1/2 dari harta peninggalan saudaranya; (3) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian harta warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggala; (4) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan; (5) Allah menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan apabila terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah itu mengetahui segala sesuatunya.10
(4) Qur`an Surah IV: 33.
Qur`an surah IV: 33 mengandung empat garis hukum, yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (2) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (3) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (4) atas alasan termaksud dalam garis hukum nomor 1, 2, dan 3 di atas, maka berikanlah kepada mereka (mawali) itu bagiannya masing-masing.11
b) Hadis Rasulullah yang berhubungan dengan Hukum Kewarisan Islam, di antaranya:
(1) Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud Dawud dan at-Tirmizi.
Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah memba-wa kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad bin Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama Anda. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si paman anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta warisan untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu mereka, dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12
(2) Hadis Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah.
Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.13
(3) Hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang Diriwayatkan oleh ibn Majah dan at-Tirmizi.
Seorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya.14
c) Ketentuan Hukum kewarisan Islam yang bersumber dari Ijtihad, yaitu:
1) Kewarisan Cucu
Kewarisan cucu15 secara tegas tidak dijumpai di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid (termasuk Hazarin) menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata walad (anak) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 11, yaitu bukan saja berarti anak yang langsung dilahirkan, melainkan pengertian walad (anak) itu, juga termasuk keturunannya ke bawah (cucu).16
2) Ketentuan Kewarisan Anak Saudara.
Ketentuan kewarisan anak saudara si pewaris (kemanakan si pewaris) secara tegas tidak ditemukan di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisan-nya berdasarkan perluasan pengertian kata akhun (saudara) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 176, yaitu bukan saja berarti saudara kandung atau se ayah, melainkan pengertian akhun (saudara) itu, juga termasuk keturunannya.
3) Ketentuan Kewarisan Paman.
Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam Qur`an dan Hadis, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadis Rasulullah dari Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek dan nenek itu dapat diartikan dengan memasukkan keturunannya ke bawah yakni paman.17
2) Kerangka Teoretis
Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan sengit antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam dan hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai hubungan hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori receptio in complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a contrario.20 Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu kerangka teoretis dalam penulisan disertasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa berlakunya hukum kewarisan Islam di Indonesia bukan melalui teori receptio in complexu dan teori receptie melainkan hukum kewarisan Islam berlaku di Indonesia karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Selain teori receptio a contrario yang disebutkan di atas, juga digunakan rumusan-rumusan garis hukum di dalam perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan kerangka teoretis.21
b. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala21a
1) Pendahuluan
Bila hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan di Kabupaten Donggala diuraikan, maka perlu diungkapkan: (1) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di luar Pengadilan Agama, yaitu: (1.1) musyawarah ahli waris, (1.2) musyawarah Dewan Adat, dan (1.3) Pengadilan Negeri, (2) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di Pengadilan Agama. Dalam bab ini juga akan diuraikan persesuaian hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat dan perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala.
2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama
Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3 (tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala. Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan masing-masing contohnya sebagai berikut.
a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris
Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli waris berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan (Palu), pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo) maupun wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan Tawaeli). Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli waris yang dituakan atau adanya kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa bukti pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris di Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai tahun 1993 sebagai berikut.
(1) Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 2 (dua) areal kebun kelapa, tanah perumahan seluas 946 M2, dan sebuah perhiasan kalung emas. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka.23 Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berdasarkan hukum Islam karena ada di antara ahli waris yang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dan disetujui oleh ahli waris lainnya, yaitu anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal dan sebuah perhiasan kalung emas, 2 (dua) orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing satu areal kebun kelapa dan tanah perumahan 473 M2. Musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Ahkam tersebut, dapat terlaksana karena adanya kerukunan di antara para ahli waris dan adanya ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya3
(2) Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6 (enam) ekor kambing, dan tanah perumahan seluas 700 M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka24
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berda-sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing tanah perumahan seluas 200 M2, seorang anak perempuan mendapat bagian tanah perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui musyawarah karena orangtua mereka sudah membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam kehidupan rumah tangganya"25.
Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima) buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan (4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak lain asas hukum kewarisan adat suku Kaili yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ke empat bentuk asas-asas hukum kewarisan tersebut akan diuraikan penyebabnya sebagai berikut.
(a) Asas hukum kewarisan Islam tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris karena ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan dan/atau hukum kewarisan Islam itu sudah menjadi budaya hukum secara turuntemurun dalam keluarga pewaris. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 31, 32, 33, dan 34.
(b) Asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan tetapi harta warisan mereka relatip sedikit, baik harta warisan yang terdiri atas kebun kelapa, kebun kapok, tanah sawah, maupun harta warisan yang sifatnya usaha. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 6, 8, 9, 12, 18, 20, 25, 27, dan 28.
(c) Asas hukum kewarisan adat lama tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang menginginkan tidak dibedakan bagian harta warisan anak perempuan dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai akibat kurang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa dalam pembagian harta warisan, sehingga merelakan sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 15, 24, 26, dan 35.
(d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian harta warisan bila ada di antara ahli waris yang dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga pewaris. Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30.
b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan Adat
Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil) membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara mereka. Kegagalan itu ada yang disebabkan oleh kesalah pahaman mengenai harta yang diperoleh salah seorang ahli waris ketika orangtua mereka masih hidup, dan ada yang disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya.27 Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan oleh penulis 16 buah pembagian harta warisan dan dua kasus diuraikan sebagai berikut.
(1) Abbas meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Harta warisan itu terdiri atas Rp.1.000.000. Harta warisan tersebut dimusyawa-rahkan oleh ahli waris berkenaan dengan status pembagiannya. Namun, musyawarah itu tidak berhasil sehingga diajukan pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat di Desa Baiya28
Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris bersama Dewan Adat berdasarkan kerelaan para ahli waris (as-sulhu, yaitu seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp. 400.000 dan 2 orang anak perempuan mendapat bagian masing-masing Rp. 300.000). Kesepakatan itu disetujui oleh para ahli waris. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat karena anak perempuan menghendaki bagian warisannya tidak dibedakan dengan bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak perempuan tersebut rela bila bagian warisannya kurang dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa di antara mereka sehingga rela menerima sesuai kehendak saudara perempuannya.29
Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 500.000 dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 500.000. Namun, ke dua sistem hukum itu tidak diterapkan karena mereka menghendaki kerelaan menerima warisan yang telah disebutkan.
(2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiriatas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas berupa kalung, dan tanah perumahan seluas 1.312,50 M2. Harta warisan tersebut dikuasai sebagian oleh anak yang kedua laki-laki, sehingga ahli waris lainnya menuntut haknya melalui Dewan Adat di Kelurahan Balaroa.30.
Musyawarah tersebut, Dewan Adat menerapkan hukum Islam, yaitu anak terakhir laki-laki mendapat bagian kebun kelapa, anak kedua laki-laki mendapat tanah perumahan, anak pertama perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal, dan anak ketiga perempuan mendapat tanah perumahan bersama perhiasan emas. Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat atas persetujuan ahli waris ketika tokoh agama sudah menyampaikan nasehat kepada ahli waris mengenai keadilan yang dikandung oleh hukum kewarisan Islam dan pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan.31
Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat yang telah diuraikan 16 (enam belas) buah kasus, tampak 15 (lima belas) buah kasus mencerminkan asas hukum kewarisan Islam, yaitu kasus nomor 2 sampai 16. Hal itu menunjukkan peranan ketua dan anggota Dewan Adat dalam menerapkan hukum kewarisan Islam amat besar. Peranan ketua dan anggota Dewan Adat itu tampak karena ada di antara ketua dan anggota Dewan Adat yang berasal dari tokoh agama Islam yang menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan pembagian harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan tidak bertentangan hukum kewarisan Islam karena masing-masing ahli waris rela menerima bagian warisan yang disepakati melalui musyawarah Dewan Adat. Kerelaan kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu.
c) Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di Kab. Donggala.
Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala, maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut.
(1) Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990. Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak ikut menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan oleh Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia menggugat Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Gugatan tersebut menyatakan bahwa Lawasi meninggal tahun 1987 di Tawaeli meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki bersama 5 (lima) orang anak perempuan dan berupa harta yang terdiri atas sebuah kebun kelapa 100 pohon. Harta tersebut dijual oleh anak laki-laki yang pertama dan disetujui oleh 8 orang saudaranya.
Pada gugatan tersebut, penggugat mengemukakan bahwa harta warisan yang menjadi obyek sengketa adalah harta peninggalan Lawasi (ayah penggugat dan tergugat) yang belum terbagi kepada ahli warisnya, sehingga perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat cs bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Donggala karena tanpa sepengetahuan penggugat sebagai ahli waris. Karena itu, penggugat memohon sita jaminan pada harta yang menjadi obyek sengketa kepada ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, maka tergugat mengemukakan jawaban bawa ia tidak memberitahukan kepada penggugat karena tidak ada di Palu, melainkan ia berada di Jakarta. Selain itu, tergugat mengemukakan bahwa akan memberikan harta peninggalan lainnya bila tergugat menuntut hak warisannya. Berdasarkan gugatan ini, hakim memeriksa perkara tersebut dalam 12 kali sidang. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan ke dua pihak dan akhirnya berhasil. Pada sidang yang ke-12 pihak penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat menginginkan pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris. Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat lama, yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-masing Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.32
Putusan pengadilan tersebut mencerminkan hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang berlaku dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak.
(2) Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn. Palu, 6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga, sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada gugatan itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di Palu; meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan dan harta terdiri atas tanah kebun seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh saudara pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian dengan harga Rp.510.000.-
Pada gugatan tersebut, penggugat menyatakan bahwa tergugat tidak berhak menjual harta peninggalan Sunga tanpa sepengetahuan ahli warisnya (para penggugat). Karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku di Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang menjadi obek sengketa adalah harta peninggalan ayahnya yang belum dibagi waris kepada ahli warisnya sehingga ia berhak menguasainya. Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat, hakim memeriksa alasan-alasan, saksi-saksi dan bukti-bukti penggugat dan tergugat dalam 7 kali sidang dan ternyata tergugat tidak mempunyai alat bukti. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan ke dua pihak dan dibantu oleh pihak keluarga Baiduri sehingga mereka mau berdamai. Pada sidang terakhir penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat ingin melakukan musyawarah di antara mereka. Karena itu, saudara pewaris (Baiduri) mengembalikan tanah kebun dan harga tanah kepada Moh. Kasim cs. Hasil perdamaian itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.33
Hasil kesepakatan tersebut, mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili di satu pihak, yakni tergugat tidak berhak mewarisi harta peninggalan Sunga karena pewaris meninggalkan anak sehingga ia mengembalikan kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris mengembalikan harta warisan kepada ahli waris Sunga (penggugat) sebagai orang yang berhak mewaris.
Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala yang telah telah diuraikan, ditemukan pencerminan hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam sebanyak 7 (tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8, 11, 13, 17, 19, dan 21. Demikian juga putusan pengadilan yang mencerminkan hukum kewarisan adat yang berasaskan musyawarah mufakat antara penggugat dan tergugat dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam, yaitu kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5.
Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan Islam yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas hukum kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus nomor 11. Sebalik¬nya, ditemukan juga putusan pengadilan yang tidak men¬cerminkan asas-asas hukum, baik asas hukum adat maupun asas hukum Islam, melainkan hal itu hanya berpedoman kepada formalitas beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor 6, 9, 10, 12, 14, 15, 18, dan 20.
d) Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama Kabupaten Donggala
Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah kasus pembagian harta warisan dan dua kasus diantaranya dikemukakan sebagai berikut.
(1) H. Baharuddin dan Rabiah bin H. Baele v. Hj. Hajare binti H. Baele cs, 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990. H. Baharuddin dan Rabiah H. Baele dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki dan perempuan, sedang Hj. Hadjare cs adalah ahli waris anak perempuan bersama janda isteri ke dua dan anaknya sebagai penguasa harta peninggalan H. Baele yang belum terbagi kepada ahli warisnya. Karena itu, H. Baharuddin dan Rabiah menggugat Hj. Hajare cs berdasarkan hukum Islam ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperolah hak warisannya dengan cara menjual rumah. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa H. Baele meninggal tahun 1988 di Palu. Ia meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 orang anak perempuan bersama 2 orang anak laki-laki dari isteri pertama, seorang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki dari isteri kedua, janda isteri kedua; harta yang ditinggalkannya terdiri atas dua buah rumah tempat tinggal. Harta berupa sebuah rumah tempat tinggal dikuasai oleh isteri kedua dan sebuah rumah lainnya dikuasai oleh anak kedua sampai anak kelima dari isteri pertama. Pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang dikuasinya adalah harta peninggalan pewarisnya dan ia adalah termasuk ahli waris sehingga ia berhak menempati rumah yang menjadi obyek sengketa warisan.34
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti, ternyata bahwa penggugat dan tergugat belum memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim memutuskan bahwa gugatan penggugat diterima sebagian, yaitu 5 (lima) orang anak dari isteri pertama mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Palu, sedangkan isteri kedua bersama dua orang anaknya mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Tawaili.35
Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga memungkinkan muncul masalah baru kepada yang berhak menerima warisan kollektip.
(2) Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23 Juli 1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua) orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama seorang anak perempuan melalui anak perempuan pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui anak laki-laki ketiga yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya.36
Harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas kebun kelapa 764 pohon, tanah perumahan 1200 meter. Harta tanah perumahan itu belum terbagi kepada ahli warisnya dan dikuasai oleh anak laki-laki dan perempuan melalui anak pertama perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya berdasarkan wasiat pewaris. Karena itu, penggugat menuntut warisannya berdasarkan hukum Islam. Pihak penggugat menge-mukakan bahwa harta yang dikuasainya adalah pemberian pewaris melalui surat wasiat.37
Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti dalam persidangan, terungkap bahwa wasiat pewaris tidak disetujui oleh ahli waris lainnya. Karena itu, hakim membatalkan wasiat pewaris dan harta peninggalan dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum kewarisan Islam, yaitu anak laki-laki dan perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya digantikan kedudukannya oleh anaknya atau keturunannya. Selain itu, bagian warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan38
Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari orangtuanya digantikan oleh turunannya.
D. Kesimpulan
1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis berdasarkan Sila Pertama Pancasila
2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis berdasarkan Pasal 29 UUD 1945
3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis diterima oleh masyarakat muslim yang mendiami negara republik Indonesia berdasarkan fakta hukum melalui putusan Pengadilan Agama
4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis berdasarkan teori recepcie in complexu dan teori receptio a contrario
5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4 (empat) bentuk, yaitu Melalui musyawarah ahli waris, melalui musyawarah dewan adat, melalui Pengadilan Agama, dan Melalui Pengadilan Umum (Negeri). Ke empat bentuk penyelesaian pembagian harta warisan dimaksud, mencerminkan asas-asas hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat yang menjiwai hukum kewarisan Islam, dan asas hukum kewarisan adat lama sebagai akibat ketidak tahuan filosofi hukum kewarisan Islam.

KEPUSTAKAAN

Abdrrahman, H., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992
Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press, 1984
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952
Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966
Ali, Mohammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah, 1985.
---------. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998
---------. Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938
Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al. Sunan Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952.
Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Jogyakarta: Nurcahaya, 1983.
Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-Hild-Co, 1992.
B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953
Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8, Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun.
David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, America: International Microfilms University Press, 1986
Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbanding-an". Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993.
Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith. Jakarta: Tintamas, 1990.
Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun
Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978
Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-Wasiyyat, Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun
Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1981
Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadis lit-tab`i wannasyar, 1962
Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, Myland: Amana Corp Brentwood, 1983