PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAFIA PEMILU DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
Disajikan Oleh Kelompok I:
1 Linda M.A. Sjamsoeddin NIM. 10720025
2 Ary Untung Suto NIM. 10720026
UNIVERSITAS BOROBUDUR
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
Makalah
PEMALSUAN SURAT MAHKAMAH KONSTITUSI
DAN MAFIA PEMILU:
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
Mata Kuliah:
SOSIOLOGI HUKUM
Dosen:
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A.
Disajikan Oleh Kelompok I:
1. Linda M.A. Sjamsoeddin NIM. 10720025
2. Ary Untung Suto NIM. 10720026
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Maslah
Kasus pemalsuan Surat Mahkamah Konstitusi (MK) berawal dari laporan Ketua MK, Mahfud MD yang menyatakan dalam pemilu 2009 yang lalu, ada indikasi bahwa surat keputusan MK telah dipalsukan. Menurut Mahfud keluarnya surat palsu tersebut diduga melibatkan Andi Nurpati yang waktu itu tercatat sebagai salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Arsyad Sanusi yang waktu itu menjadi salah satu hakim konstitusi. Tak cukup disini kemudian beberapa nama lainnya disebut seperti mantan panitera MK Zainal Arifin Hoesien, panitera pengganti Mohammad Faiz dan juru panggil MK Masyhuri Hasan.
Surat keputusan MK menyangkut soal penetapan anggota DPR RI inilah yang menjadi pokok perdebatannya. Ada dua surat MK mengenai hal ini, pertama Surat Keputusan MK No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus 2009 yang dinyatakan Mahfud sebagai surat yang asli, namun selain surat tersebut juga ada Surat Keputusan MK dengan nomor yang sama tertanggal 14 Agustus 2009 yang dikatakan sebagai surat palsu. Surat tersebut mengenai penjelasan MK bahwa Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat MK tersebut membantah rapat pleno KPU yang menyebutkan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura sebagai anggota DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I.
Masalah ini mengemuka terkait perolehan kursi yang ditempati anggota DPR, yang bisa saja kursi yang didudukinya tidak melalui jalan dan mekanisme yang sah, namun melalui proses manipulasi seperti yang terungkap belakangan ini, bahwa mungkin ada oknum KPU dan MK yang bekerja untuk meloloskan seseorang yang sebenarnya tidak berhak untuk mendapatkan kursi tersebut. Persoalan surat palsu ini kemudian mendapat sorotan publik, majalah, tv, surat kabar dan media online ramai memberitakannya. Bukan hanya itu Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri berinisiatif untuk membentuk Panja Mafia Pemilu guna mengurai benang kusut penghitungan dan penetapan calon terpilih anggota DPR RI hasil pemilu legislatif 2009 lalu.
Penghitungan dan penetapan calon terpilih memang seringkali menimbulkan polemik dan kadangkala KPU sulit untuk memutuskannya, dan karena itu harus diselesaikan melalui sidang sengketa di MK. Kasus ini juga memperlihatkan pada kita bagaimana keinginan untuk menjadi anggota Dewan dan motif-motif tertentu lainnya (bagi oknum KPU dan MK) ternyata telah mengalahkan keharusan kita untuk taat pada hukum, apalagi ini dilakukan oleh oknum-oknum yang notabene adalah penjaga hukum itu sendiri. Dari sini berkembang dugaan bahwa di balik itu semua ternyata ada sesuatu yang kemudian orang menyatakannya sebagai mafia pemilu. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji pemalsuan surat MK ditinjau sosiologi hukum yang menyertai kasus ini.
BAB II
PENYEBAB PERMASALAHAN
1.Kisruhnya Penghitungan dan Penetapan Caleg Terpilih
Kasus mencuatnya pemalsuan surat MK disebabkan oleh ricuhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih yang masuk ke DPR, sebagai hasil dari penghitungan tahap kedua dan ketiga. Berbeda dengan caleg yang lolos ke DPR melalui penghitungan tahap pertama, maka bagi partai politik yang berhasil melewati Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), yakni suara sah dalam Pileg dibagi jumlah kursi yang diperebutkan, maka partai tersebut akan mendapatkan kursi. Untuk tahap kedua sisa kursi akan dibagi kepada partai yang mendapatkan minimal 50% BPP. Sedangkan tahap ketiga memperebutkan sisa suara yang masih ada. Penghitungan tahap kedua dan ketiga dalam perjalanannya menuai kontroversi dan karena itu melibatkan MK untuk mengambil putusan final. Di semua tahap penghitungan, berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, maka penetapan caleg terpilih didasarkan atas suara terbanyak.
Untuk penetapan caleg terpilih tahap kedua, berdasarkan pasal 22 c serta pasal 23 ayat 1 dan 3 Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 18 Juni 2009. MA juga meminta KPU untuk merevisi putusannya mengenai penetapan kursi bagi calon terpilih. MK selanjutnya memberikan tafsir konstitusional atas penghitungan tahap kedua, yang berkonsekwensi pada tidak berlakunya putusan MA dan peraturan KPU. Dalam kaitannya dengan hal tersebut beberapa pasal yang dipakai menimbulkan multi tafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan rasa tidak adil dalam penetapan kursi hasil pemilu. Hal itu kemudian diluruskan oleh tafsir konstitusional oleh MK pada tanggal 7 Agustus 2009.
Untuk penetapan caleg terpilih pada penghitungan tahap ketiga, berdasarkan peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 juga melibatkan MK. Pada tanggal 11 Juni 2009 MK menetapkan pembagian kursi tahap ketiga. Berbeda dengan penghitungan tahap pertama dan kedua, sisa-sisa suara yang ada di daerah pemilihan (Dapil) seluruhnya disatukan ke provinsi, ada atau tidak ada sisa kursi. Hasil di tingkat provinsi kemudian dibagi dengan sisa kursi dan hasil penghitungannya kemudian menjadi BPP. Setelah BPP ditentukan kemudian dilihat partai mana yang lolos peringkat. Bagi partai yang memperoleh suara terbanyak maka partainyalah yang akan mendapatkan kursi lebih dulu. Selanjutnya kursi tersebut diserahkan pada caleg yang perolehan suaranya terbanyak dari dapil yang kursinya masih tersisa.
Kasus sengketa pemilu Dewi Yasin Limpo dan Mestiriyani Hasbie seperti yang diangkat dalam tulisan ini, juga merupakan contoh dari kisruhnya penghitungan dan penetapan caleg terpilih, hingga akhirnya membuka peluang bagi praktek-praktek melawan hukum dan berkembangnya mafia pemilu.
2.Terbongkarnya Surat Palsu MK
Menurut Mahfud MD sebelum ia mengemukakan ke publik soal adanya Surat Keputusan palsu MK menyangkut sengketa pemilu antara Mestariyani Hasbie dari Partai Gerindra dengan Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura di Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I yang mencuat belakangan ini, sebenarnya ia telah mengadukan hal tersebut ke kepolisian sejak tahun lalu namun hingga kini, ketika ia kembali mengemukakan hal tersebut, pengaduannya belum diproses. Ketika Mahfud kembali mengangkat kasus ini dua bulan yang lalu, ia menyebut anggota KPU, Andi Nurpati dan mantan Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi terlibat dalam pemalsuan surat tersebut.
Akibat dari diungkapkannya hal ini ke publik, belakangan tudingan Mahfud tersebut menuai polemik berkepanjangan antara dirinya dengan Arsyad Sanusi, saling bantah-batahan diantara keduanya ramai diberitakan di media massa. Bahkan saling tuding yang mengarah pada soal-soal yang menyangkut personal juga terjadi.
Kasus pemalsuan surat MK kemudian ditanggapi serius oleh DPR. Komisi II yang membidangi politik dalam negeri yang salah satu mitra kerjanya adalah KPU, berinisiatif membentuk Panja Mafia Pemilu untuk menyelidiki kasus ini. Timbul dugaan bahwa praktek-praktek mafia pemilu guna memenangkan seseorang secara tidak sah, mungkin saja bukan hanya ada pada kasus sengeketa Dewi dan Hestiriyani namun bisa juga ada di kasus-kasus lain. Kalau ini benar terjadi maka maka mungkin saja saat ini ada “kursi haram” di DPR yang ditempati oleh orang yang tidak berhak. Sampai saat ini Panja mafia pemilu masih menyelidiki kasus ini dan kemungkinan adanya kasus-kasus serupa yang lain, dan pihak kepolisian pun telah mulai melakukan penyelidikan.
3. Bantahan Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi
Hasil penyelidikan Tim Investigasi MK dibantah oleh Arsyad Sanusi dan Andi Nurpati yang namanya disebut-sebut Mahfud MD. Arsyad Sanusi menyebut bahwa pernyataan Mahfud dan Sekretaris Jenderal MK, Janedri M. Gaffar di depan Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR RI yang mengatakan bahwa Masyhuri Hassan, juru panggil MK pernah datang ke apartemen Arsyad pada tanggal 16 Agustus 2009. Namun Arsyad membantah bahwa kedatangan Masyuhuri tersebut dalam rangka menyusun draft palsu Surat Keputusan MK terkait sengketa pemilu antara Dewi dan Mestariyani.
Arsyad balik mengatakan bahwa Mahfud sebenarnya tak mengerti teknis administrasi persuratan di MK. Ia juga bahkan menuding bahwa Mahfud pernah melakukan pelanggaran kode etik, ketika melakukan pertemuan dengan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan kuasa hukumnya ketika sedang mengajukan gugatan uji materi UU KPK. Hal ini ditampik oleh Mahfud yang menyatakan itu tidaklah benar, yang ada pertemuan tersebut sebenarnya adalah diskusi antara dirinya dengan Bibit menyangkut soal-soal yang terkait dengan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Arsyad juga mengatakan bahwa dirinya pernah di lobi Mahfud untuk menjadi Ketua MK dan mengatakan bahwa Ketua MK ini “bak pengemis jabatan”. Arsyad menambahkan surat palsu tersebut menandakan bahwa di MK administratif persuratan tersebut bobrok. Mahfud menolak pernyataan tersebut, ia justru mengatakan sebaliknya, karena administratif MK itu “bagus, jadi ketahuan”. Mahfud mengatakan bahwa dari 1460 perkara/pemilukada, tetapi hanya satu surat saja yang bermasalah yang menyangkut sengketa Dewi dan Mestariyani. Mahfud juga menambahkan sebenarnya dari hakim-hakim MK yang menangani sengketa Dewi dan Mestariyani tersebut adalah “Pak Haryono dan bukan Arsyad”. Lebih lanjut Mahfud menambahkan vonis tersebut tidak benar karena sudah diputuskan pada Juni 2009, dan nomornya pun juga telah ada. Kenapa vonis yang sudah ketok palu tersebut harus dibuat lagi rancangannya pada tanggal 16 Agustus 2009 di rumah Arsyad ?.
Andi juga menyatakan hal yang sama bahwa dirinya tidak terlibat dalam kasus pemalsuan surat tersebut. Ia dengan tegas menyebut mafia yang dimaksud tersebut justru ada MK sendiri. Ia mengklarifikasi soal surat Putusan MK tertanggal 14 Agustus yang dinyatakan palsu dan surat tertanggal 17 Agustus yang dinyatakan sebagai asli. Andi menyatakan keanehannya “prinsip saya setelah saya mengetahui surat itu dinyatakan palsu, saya langsung merevisi surat keputusan KPU, oleh KPU sudah diperbaiki, pada saat itu sudah clear. Tetapi kenapa baru diangkat lagi sekarang, padahal sudah dua tahun kejadiannya”.
Lagi pula menurut Andi, dalam rapat pleno KPU tanggal 14 Agustus 2009 yang menetapkan caleg Partai Hanura yang memenangkan kursi dari dapil Sulawesi Selatan I, perwakilan MK juga turut hadir dan mereka tidak ada yang keberatan.
4. Kronologis Pemalsuan Surat MK
Pada tanggal 14 Agustus 2011, mantan panitera MK Zainal Abidin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan MK atas pemilik kursi di dapil Sulawesi Selatan I yang diperebutkan oleh Dewi Yasin Limpo dari Partai Hanura dan Hasteriyani Hasbie dari Partai Gerindra.
Untuk menjawab surat tersebut kemudian MK mengirimkan surat No. 112/PAN.MK/VII/2009 tertanggal 17 Agustus yang menyatakan bahwa pemilik kursi tersebut adalah caleg dari Partai Gerindra, Hestiriyanie Hasbie. Namun tiga hari sebelum itu, pada tanggal 14 Agustus 2009, KPU dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Andi Nurpati telah memutuskan untuk memberikan kursi tersebut pada Dewi Yasin Limpo berdasarkan surat yang diterima KPU dari MK tertanggal 14 Agustus.
Keputusan tersebut tentu membuat MK terkejut. MK kemudian mengecek surat tanggal 14 Agustus yang dimaksud KPU dan membandingkannya dengan surat yang dikirimkan MK ke KPU tertanggal 17 Agustus. Hasilnya ternyata bertolak belakang dengan apa yang diputuskan oleh MK. MK memutuskan bahwa Hestiriyani Hasbie lah sebagai pemilik kursi tersebut, tapi kenapa KPU justru memutuskan sebaliknya, Dewi Yasin Limpo ?. KPU seharusnya menetapkan apa yang diputuskan oleh MK, karena memang MK-lah lembaga yang diberikan wewenang untuk memutuskan sengketa pemilu. MK kemudian menyatakan bahwa surat tanggal 14 Agustus 2011 yang dimaksud KPU adalah palsu dan menyatakan bahwa yang benar adalah yang tertanggal 17 Agustus 2011.
MK curiga ada pemalsuan Putusan MK dan karena itu Ketua MK , Mahfud MD berinisitif membentuk Tim Investigas yang diketuai oleh Abdul Mukti Fadjar. Tim Investigasi menyebut ada indikasi kuat surat MK yang dimaksud telah dipalsukan demi meloloskan Dewi Yasin Limpo. Tim Investigasi juga menyebut beberapa nama yang terkait kasus tersebut, diantaranya mantan Panitera MK, Zainal Arifin Hoesein, Juru Panggil MK, Masyhuri Hasan, Panitera Pengganti Pan, Mohammad Faiz dan Nallom Kurniawan. Untuk orang-orang internal MK yang terlibat, MK telah memberikan sanksi, sedangkan bagi orang-orang eksternal Dewi Yasin Limpo dan Andi Nurpati, MK tentu memiliki keterbatasan dan harus menunggu proses hukum berjalan.
Menurut Sekjend MK Janedri M. Gaffar yang membuka hasil pemeriksaan Tim Investigasi MK, surat MK tertanggal 14 Agustus 2011 tersebut dibuat oleh Masyhuri Hasan. Masih menurut Janedri pada tanggal 14 Agustus 2009, Zainal Arifin Hoesien menerima surat dari KPU yang meminta penjelasan atas Putusan MK No. 84/PHPU.C-VII/2009. Setelah meminta konfirmasi dari Andi Nurpati, Zainal kemudian menulis surat balasan yang diketik oleh Masyhuri Hasan. Hari berikutnya, Sabtu, Hasan datang ke kantor dengan alasan untuk mempersiapkan sidang pada hari Senin. Hari itu juga Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi menelpon Panitera untuk menanyakan mengenai adanya kata-kata “penambahan suara” dalam Putusan MK No. 84/2009. Panitera menjawab tidak ada kata-kata “penambahan suara” tersebut.
Menurut Janedri, Kesokan harinya, hari Minggu, Nesha, putri Arsyad Sanusi, menelpon Hasan untuk memintanya datang ke kediaman Arsyad di apartemen pejabat negara Kemayoran dengan membawa copy konsep surat balasan MK untuk KPU. Pengakuan Hasan pada Tim Investigasi MK bahwa ia tidak mengubah subtansi konsep surat tersebut. Di apartemen Arsyad, seperti yang dikatakatan Janedri sudah menunggu Dewi Yasin Limpo. Dewi pada hari itu juga memaksa bertemu Panitera, namun ditolak. Kemudian Dewi datang ke rumah Panitera untuk meminta dalam surat balasan MK tersebut agar dicantumkan tambahan kata “penambahan suara”, namun permintaan tersebut juga tetap ditolak.
Masih menurut Janedri kemudian pada Seninnya, tanggal 17 Agustus 2011, Zainal Arifin berkonsultasi dengan Ketua MK, Mahfud MD mengenai perihal surat balasan MK tertanggal 14 Agustus 2011. “Ketua MK memerintahkan agar disamakan dengan putusan MK tanpa ada kata “penambahan suara”. Hari itu juga surat disampaikan ke KPU. Namun karena di KPU semua komioner KPU tidak ada dan atas usul Ibu Andi Nurpati surat tersebut diserahkan kepadanya di JAKTV. Namun begitu menerima surat tersebut, Andi mengatakan seharusnya tidak seperti ini” dan “kalau tidak mengubah suara, kenapa dikabulkan ? dan menolak menandatangai surat tanda terima. Ibu Andi meminta surat tersebut diserahkan pada supirnya” demikian ujar Janedri.
BAB III
PEMBAHASAN
1. Definisi Sosiologi Hukum
Ditinjau dari aspek sosiologi hukum kasus ini menarik karena memperlihatkan pada kita bagaimana hukum memiliki hubungan timbal balik dengan konteks sosial masyarakat tempat dimana hukum itu diterapkan. Jadi sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo sosiologi hukum adalah “ilmu hukum yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis”. Studi sosiologi hukum memiliki beberapa karakteristik yakni :
Pertama, sosiologi hukum bermaksud untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum seperti pembuatan peraturan perundang-undangan, praktek dan perilaku koruptif yang dilakukan oleh para penegak hukum seperti polisi, kejaksaan maupun hakim, atau juga praktek peradilan yang di dalamnya termasuk mafia peradilan dan mafia pemilu yang melibatkan oknum-oknum KPU dan MK yang didisain demi menguntungkan seseorang agar terpilih sebagai anggota Dewan-seperti yang diangkat dalam makalah ini. Sosiologi hukum ingin menjelaskan mengapa praktek demikian terjadi, apa penyebabnya dan latar belakang sosial macam apa hingga itu semua terjadi. Max Weber mengatakan bahwa cara ini adalah interpretative understanding yang tidak dikenal dalam studi hukum konvensional. Sosiologi hukum tidak hanya melihat dari aspek luar yang tertampakan dalam perilaku seseorang saja, namun juga ingin melihat dari sisi dalam internal seseorang menyangkut motif-motif seseorang untuk bertindak. Disini perilaku yang taat pada hukum maupun yang menyimpang tidak dibedakan karena keduanya merupakan obyek dari studi sosiologi hukum.
Kedua, sosiologi hukum berusaha untuk menguji keabsahan empiris, dengan berusaha melihat kaedah hukum (sesuatu yang digariskan oleh hukum) dengan fakta-fakta empiris yang terjadi sesungguhnya dalam praktek.
Ketiga, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap hukum. Praktek yang menyimpang dari hukum dan ketaatan pada hukum sama-sama merupakan obyek pengamatan. Ia tidak menilai apakah ketaatan pada hukum lebih tinggi daripada perilaku sikap-sikap melawan hukum. Fokus sosiologi hukum hanyalah memberikan penjelasan obyektif dan empiris mengenai hal-hal yang dipelajari oleh sosiologi hukum, jadi dalam hal ini dapat dikatakan sosiologi hukum itu netral dan hanya bersifat memberi penjelasan. Pendekatan seperti ini sering menimbulkan kesan bahwa sosiologi hukum tidak bersikap terhadap praktek-praktek hukum, bahkan terkesan membenarkan praktek-praktek yang menyimpang dan bertentangan dengan hukum. Tentu tidaklah demikian, sosiologi hukum kekuatannya justru ada pada fokus ekpalanasinya (memberikan penjelasan) dengan mendekati hukum dari sisi obyektif semata dengan tujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum yang ada.
Ciri khas sosiologi hukum seperti yang diterangkan diatas menurut Satjipto Raharjo merupakan kunci bagi peneliti yang ingin mengkaji sosiologi hukum. Dengan model penyelidikan seperti itu maka orang akan langsung berada di tengah-tengah sosiologi hukum.
2. Hukum Sebagai Kontrol Sosial
Kontrol sosial (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baikyang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi system kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi maupun konsiliasi. Fungsi hukum adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki, sehingga hukum mempunyai fungsi untuk mempertahankan eksistensi sekelompok masyarakat .
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau bagi orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa bukti surat dan alat tukarnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut .
Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam KUHP digolongkan menjadi 4 golongan, yakni:
a.Kejahatan sumpah palsu.
b.Kejahatan pemalsuan uang.
c.Kejahatan pemalsuan materai dan merk.
d.Kejahatan pemalsuan surat.
Penggolongan tersebut didasarkan atas objek dari pemalsuan. Dengan demikian kasus pemalsuan surat MK termasuk dalam kejahatan pemalsuan surat. Membuat surat palsu adalah membuat sebuah surat yang seluruh atau sebagian isinya palsu. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya. Membuat surat palsu ini dapat berupa:
a. Membuat sebuah surat yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat yang demikian disebut dengan pemalsuan intelektual.
b. Membuat sebuah surat yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan pemalsuan materil. Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat .
Perbuatan memalsu surat adalah berupa perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/ berbeda dengan isi surat semula . Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi benar atau tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, memalsu surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat surat. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ini ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat.
Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 s.d 276. Pemalsuan surat pada umumnya, yaitu berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar), diatur dalam Pasal 263, yaitu:
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebanan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, dipidana jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat palsu atau membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat, kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu . Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli. Berbeda dengan perbuatan memalsu surat, sebelum perbuatan itu dilakukan, sudah ada sebuah surat (disebut surat asli). Kemudian pada surat yang asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi surat yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat yang dipalsu.
Unsur kesalahan dalam pemalsuan surat pada ayat (1), yakni dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat palsu atau surat dipalsu itu seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu. Maksud yang demikian harus sudah ada sebelum atau setidak-tidaknya pada saat akan memulai perbuatan itu.
Pada unsur atau kalimat “seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu” mengandung makna :
(1) Adanya orang-orang yang terperdaya dengan digunakannya surat-surat yang demikian.
(2) Surat itu berupa alat yang digunakan untuk memperdaya orang, orang mana adalah orang yang menganggap surat itu asli dan tidak palsu, yakni orang terhadap siapa maksud surat itu digunakan, bisa orang-orang pada umumnya dan bisa juga orang tertentu.
Unsur lain dari pemalsuan surat dalam ayat (1), ialah jika pemakai surat palsu atau surat dipalsu tersebut dapat menimbulkan kerugian. Kerugian yang timbul tidak perlu diinginkan atau dimaksudkan petindak. Tidak ada ukuran-ukuran tertentu untuk menentukan akan adanya kemungkinan kerugian jika surat palsu atau surat dipalsu itu dipakai, hanya bedasarkan pada akibat-akibat yang dapat dipikirkan oleh orang-orang pada umumnya yang biasanya dapat terjadi dari adanya penggunaan surat semacam itu. Tidak penting bagi siapa kerugian yang dapat timbul akibat pemakaian surat palsu atau surat yang dipalsu itu. Oleh karena dipisahnya antara kejahatan membuat surat palsu dan memalsu surat dengan memakai surat palsu atau surat dipalsu, maka terhadap hal yang demikian dapat terjadi pelanggaran ayat (1) dan pelanggaran ayat (2) dapat dilakukan oleh orang yang sama. Artinya petindak menghendaki melakukan perbuatan memakai, ia sadar bahwa surat yang ia gunakan itu adalah surat palsu atau surat dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu adalah seolah-olah pemakaian surat asli dan tidak dipalsu, ia sadar atau mengetahui bahwa penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Unsur kesengajaan yang demikian harus dibuktikan.
Perbandingan antara Surat MK yang asli dan palsu adalah sebagai berikut :
URAIAN ASLI PALSU
Nomor Surat 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik) 112/PAN.MK/VIII/2009 (diketik)
Nomor Perkara 84/PHPU.C/VII/2009 84/PHPU.C/VII/2009
Tanggal surat 17 Agustus 2009 14 Agustus 2009
Obyek yang dimohonkan Mencantumkan poin berisi jumlah suara Pemohon (Partai Hanura) sebagai obyek yang dimohonkan. Dilanjutkan poin amar putusan yang mencantumkan penambahan jumlah suara Tidak mencantumkan poin jumlah suara sebagai obyek yang dimohonkan. Langsung mencantumkan amar putusan berupa jumlah penambahan suara
Perolehan Suara Obyek yang dimohonkan:
•Kab.Gowa: 12.879
•Kab.Takalar: 5.414
•Kab. Jeneponto: 5.883
Amar Putusan:
•Kab.Gowa: 13.012
•Kab.Takalar: 5.443
•Kab. Jeneponto: 4.206 Amar Putusan, berupa penambahan suara:
•Kab.Gowa: 13.012
•Kab.Takalar: 5.443
•Kab. Jeneponto: 4.206
Dalam kasus pemalsuan surat MK, pihak MK telah melakukan membentuk tim investigasi internal pada tanggal 21 Oktober 2009. Tim tersebut menemukan adanya perbedaan antara surat asli MK dan surat palsu, dimana pada surat palsu terdapat kata “penambahan” dan tertanggal 14 Agustus 2009. Berdasarkan hasil temuan tim investigasi MK telah melaporkan kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan surat kepada Polri pada tanggal 12 Februari 2010.
Dalam penerapan hukum sebagai kontrol sosial, maka peranan penegak hukum menjadi sangat penting. Penegakan hukum pada dasarnya adalah bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat, sehingga masyarakat merasa dapat memperoleh hakny, dan manakala haknya telah didapatkan, maka hak tersebut dapat dilindungi. Penegakan hukum juga dilihat sebagai upaya yang dilaksanakan oleh alat-alat control (pengendali sosial) resmi yang memaksakan internalisasi hukum dalam masyarakat .
3. Dimensi Politik
Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR pada Selasa,14 Juni 2011 lalu sejumlah anggota Komisi II DPR RI dari berbagai fraksi mendorong pembentukan Panja untuk mengungkap pemalsuan surat MK. Panja DPR Pemalsuan Surat MK akhirnya resmi disepakati dengan nama Panja Mafia Pemilu. Kesepakatan nama Panja ini dilakukan dalam rapat tertutup. Nama Panja Mafia Pemilu disepakati karena kasus yang hendak diungkap dinilai memang bisa mendekati pada kategori praktek mafia. Apabila terbukti, Panja kedepan akan mengusut terjadinya pemalsuan surat MK terkait penetapan perolehan kursi calon anggota legislatif pada Pemilu 2009. Panja Mafia Pemilu beranggotakan 25 orang. Fraksi Partai Demokrat yang semula tidak setuju karena lebih memilih jalur hukum, akhirnya menyetujui dengan catatan FPD meminta kasus dugaan kursi bermasalah di DPR tidak dipolitisasi.
Ketua MK Mahfud MD mengakui, pembentukan Panja DPR yang akan mendalami dugaan pemalsuan surat MK oleh Andi Nurpati berpotensi membuka kasus lainnya. Proses di Panja beresiko membuka kotak pandora. Sangat besar kemungkinan munculnya pertanyaan atas kasus-kasus lain diluar kasus pemalsuan Surat MK ke KPU No. 112/PAN.MK/VII/2009. Ketua MK telah menyatakan bahwa terdapat 16 surat MK lain yang diduga dipalsukan. Juga adanya pernyataan hakim konstitusi Akil Mochtar tentang system penghitungan putaran ketiga yang sudah diputuskan MK, tetapi ditengarai ditafsirkan berbeda oleh KPU .
Isu-isu yang dibahas Panja bisa liar dan mengarah pada masalah di luar ranah hukum, tapi bisa ke isu-isu yang bersifat politis. Jika masalah ini melebar dapat mengancam stabilitas politik. Proses politik yang akan terjadi dalam Panja bisa memunculkan keraguan tentang keabsahan hasil Pemilu Legislatif 2009, sekaligus keabsahan anggota DPR dan DPRD di seluruh Indonesia. Masalah sengketa Pemilu yang tidak terkait dengan keputusan MK bisa juga muncul dalam Panja tersebut.
Dari sisi kriminalitas, tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan dengan konsekuensi hukum pidana biasa. Tetapi jika dikontekstualisasi secara substansial maka tindakan ini memiliki sejumlah implikasi sangat serius, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa karena dijalankan secara konspiratif. Menurut pakar Konspirasi, Karl Poper (2006) dunia politik merupakan panggung penerapan konspirasi yang dibangun secara delusif, diteorisasi, dan diaplikasikan secara sempurna. Karena itu, pentas politik tidak mudah untuk dipahami dan diurai secara sederhana, butuh kedalaman pengamatan dan kecermatan untuk memahami dimensi-dimensi anatomisnya. Sedangkan dampak dari kejahatan Pemilu itu sendiri adalah :
1. Pemilu merupakan sarana rakyat menyalurkan aspirasinya secara jujur dan tulus untuk menentukan siapa wakil yang dikehendaki untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Karena itu, pilihan rakyat dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan secara mutlak. Siapapun yang mengubah hasil pilihan rakyat, sesungguhnya dia telah mengubah secara sepihak kepercayaan rakyat. Jadi, mengubah keputusan rakyat dapat dipandang sebagai tindakan mengingkari aspirasi rakyat.
2. Kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dalam penentuan hasil pemilu, berimplikasi terhadap legalitas seseorang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Hanya mereka yang dipilih yang bisa dengan legal menggunakan legitimasi rakyat untuk menindak, memutuskan, dan mengambil kebijakan di tingkat negara. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggeser suara pilihan rakyat kepada orang lain yang bukan pilihan rakyat maka segala keputusan yang dia lakukan merupakan produk tidak legal dan melanggar asas perwakilan rakyat.
Persoalannya adalah, jika terbukti bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 dipenuhi sejumlah kecurangan fundamental, merekayasa yang kalah menjadi pemenang, mengubah yang tidak menduduki kursi legislatif menjadi bisa menduduki maka seluruh produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan cacat secara hukum.
Kasus pemalsuan surat MK adalah satu dari sekian banyak kasus kecurangan nyata yang terjadi. Negara gagal menciptakan sistem yang sensitif terhadap kemungkinan politisasi hasil Pemilu maupun Pemilukada. Bahkan sebaliknya, sistem memberi akses luas bagi adanya intervensi politik kasus-kasus sengketa Pilkada atau Pemilu meski di ranah hukum sekalipun. Tuduhan ketidaknetralan Andi Nurpati ketika menjabat sebagai anggota KPU, pun bukan tanpa alasan. Seleksi keanggotaan institusi penyelenggara ini memang sulit dipisahkan dari kepentingan tertentu terutama partai politik. Suaka politik dan balas jasa yang dilakukan partai politik terhadap mantan anggota KPU, tidak hanya pada Andi Nurpati, tetapi ada sejumlah anggota KPU di daerah misalnya bahkan mundur di tengah jalan lalu masuk ke dalam struktur partai. Tentu saja tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena itu adalah keputusan pribadi. Akan tetapi, trend seperti ini semakin menguatkan dugaan publik terhadap ketidaknetralan sebagian penyelenggara Pemilu. Oleh sebab itu, harus ada langkah strategis dengan mereformasi mekanisme pemilihan penyelenggara Pemilu. Tidak sekedar netralitas secara formal bahwa tidak sedang menjabat sebagai pengurus partai politik, tetapi juga latar belakang personalnya. Apakah itu pernah terlibat dalam relasi institusional dalam organisasi sayap partai atau simpul-simpul kepentingan partai politik. Termasuk pola seleksi penyelenggara anggota KPU yang selama ini disadari atau tidak sangat bernuansa politis, tidak saja karena keterlibatan parlemen yang notabene merepresentasikan kepentingannya, tetapi juga dominasi kepentingan garis kepentingan tertentu baik itu kelompok masyarakat maupun organisasi massa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar