Selasa, 07 Juli 2009

ASURANSI SYARIAH DALAM PANDANGAN FIQH

Oleh: Zainuddin Ali
I. PENDAHULUAN

Islam sebagai pranata sosial yang ajarannya diyakini mempunyai kesempurnaan nilai bagi kehidupan manusia telah berada dalam struktur kehidupan semenjak 15 Abad yang silam dengan ditandai oleh kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Awal babak baru (new era) bagi dunia kemanusiaan telah dimulai. Muhammad SAW sebagai seorang yang revolusioner telah memberikan tatanan kehidupan yang baru dalam struktur kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan terarah pada satu fokus yaitu tatanan kehidupan yang diseseuaiakan dengan nilai dan ajaran Islam. Di ataranya dalam bidang muamalah yang dalam hal ini dikhusukan pada bidang asuransi Islam.
Kajian tentang asuransi dalam literatur keislaman di Indonesia termasuk sesuatu yang langka dan jarang ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang ekonomi Islam. Banyak penulis ekonomi Islam lebih menyukai fokus kajiannya terhadap masalah yang berkenaan dengan perbankan Islam dibanding kajian asuransi Islam. Padahal kajian mengenai asuransi terlahir satu “paket” dengan kajian perbankan Islam, yaitu bersama-sama muncul ke permukaan tatkala dunia Islam tertatrik untuk mengkaji secara mendalam apa dan bagaimana cara mengaktualisasikan konsep ekonomi Islam dalam tataran kelembagaan.
Pilihan tendensius tersebut lahir dengan mengedepankan lembaga keuangan perbankan dan asuransi sebagai model dalam mengkaji ekonomi Islam secara kelembagaan. Dapatlah dijadikan acuan dari beberapa tulisan para ekonom Muslim kontemporer yang telah memberikan gambaran pada kita tentang keterpaduan kajian antara lembaga keuangan perbankan dengan lembaga keuangan asuransi dalam sebuah buku yang dijadikan referensi ilmiah bagai pengembagen ekonomi Islam.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Asuransi
Kata asuransi berasaal dari bahasa Inggris, insurance , yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata pertanggungan. Echols dan Syadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi dan (b) jaminan.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Asuransi di Indonesia memaknai asuransi sebagai : “suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas”.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, disebutkan bahwa asuransi (at-ta’miin) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”.
Herman Darmawi dalam bukunya Manajemen Asuransi memberikan definisi asuransi dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, sosial, ataupun berdasarkan pengertian matematika. Lebih lanjut Darmawi menyatakan bahwa asuransi merupakan bisnis yang unik, yang di dalamnya terdapat kelima apsek tersebut.
Definisi asuransi menurut UU Republik Indonesia No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian BAB I pasal 1: “Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penganggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupya seseorang yang dipertanggungkan.
Islam memandang “pertanggungan” sebagai suatu fenomena sosial uang dibentuk atas dasar saling tolong menolong dan rasa kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan pilihan kata yang dipakai oleh Mohd. Ma’sum Billah untuk mengartikan “pertanggungan” dengan kata *C’AD, yang mempunyai arti “shared responsibility, shared guarantee, responsibility, assurance or surety “ (saling bertanggung jawab, saling menjamin, saling menanggung)’. Secara definitif, Billah memaknai “takaful“ dengan mutual guarantee provided by a group of people living in the same society games against a defined risk or catastrophe befalling one’s life, property or any form of valuable things (jaminan bersama yang disediakan oleh sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu lingkungan yang sama terhadap resiko terhadap bencana yang menimpa jiwa seseorang, harta benda atau segala sesuatu yang berharga).

B. Melacak akar sejarah dan perkembangan Asuransi.
Secara historis, kajian tentang ”pertanggungan” telah dikenal sejak zaman dahulu dipraktekkan masyarakat. Hal ini dikarenakan nilai dasar penopang dari konsep “pertanggungan” yang terwujud dalam bentuk tolong menolong sudah ada bersama dengan adanya manusia.
Konsep asuransi sebenarnya sudah dikenal sejak zaman sebelum Masehi di mana manusia pada masa itu telah menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, antara lain kekurangan bahan makanan terjadi pada zaman mesir kuno semasa raja Fir’aun berkuasa.
Pada tahun 2000 sebelum Masehi para saudagar dan aktor Italia membentuk Collegia Tennirium, yaitu semacam lembaga asuransi yang bertujuan membantu para janda dan anak-anak yatim dan para anggota yang meninggal. Perkumpulan serupa yaitu Collegia Nititum, kemudian berdiri dengan beranggotakan para budak belian yang diperbantukan pada ketentaraan kerajaan Romawi.
Dalam literatur Islam dikenal dengan konsep ‘aqilah yang sering terjadi dalam sejarah pra-Islam dan diakui dalam literatur hukum Islam. Jika ada salah satu anggota suku Arab pra Islam melakukan pembunuhan, maka dia si pembunuh dikenakan diyat dalam bentuk blood money (uang darah) yang dapat ditanggung oleh anggota suku yang lain.
Sesuai dengan pemaknaan kata yang diberikan oleh Dr. Muhammad Muhsin Khan, bahwa kata ‘aqilah bermakna asabah, yang menunjukkan hubungan kekerabatan dari pihak orang tua laki-laki pembunuh.Oleh karena ‘aqilah, dimana suku Arab kuno telah menyiapkan pembayaran uang kontribusi untuk kepentingan si pembunuh sebagai pengganti kerugian untuk ahli waris korban. Kerelaan seperti ini dapat disamakan dengan pembayaran premi pada praktik asuransi, sementara kompensasi pembayaran di bawah ‘aqilah sama dengan penggantian kerugian (indemnity) pada asuaransi saat ini.
Pada tahap selanjutnya, perkembangan asuransi telah memasuki fase yang memberikan muatan yang besar pada aspek bisnisnya dibandingkan dengan nilai-nilai sosial yang terkandung pada asuransi sejak awal. Hal ini terjadi setelah bisnis asuransi memasuki masa modern.
Wiiliam Gibbon adalah warga negara Inggris yang pertama kali memperkenalkan praktik asuransi dalam istrumen perusahaan yang lebih teratur dan tertata dengan baik. Pada masa tersebut mulai dipakai jasa seorang underwriter dalam operasional asuransi.
Sejarah asuransi jiwa di Indonesia telah melampaui tiga masa yang dikenal sebagai masa pendudukan Belanda (sampai maret 1942 mencapai 46 buah yang beberapa di antaranya di kemudian hari bergabung ke dalam Perusahan Asuransi yang dimiliki Negara /BUMN), masa Jepang (sampai 17 Agustus 1945, selama tiga setengah tahun banyak maskapai-maskapai asuransi yang ditutup dan gulung tikar karena kondisi ekonomi yang demikian terpuruk) dan masa Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945 hingga saat ini, pada masa ini juga tercatat peleburan perusahaan-perusahaan asuransi jiwa milik Belanda ke dalam perusahan negara yang dikuasai Pemerintah. Dewan Asuransi Indonesia (DAI) mencatat sampai dengan tahun 2004 perusahaan-perusahaan asuransi jiwa di Indonesia berjumlah 60 perusahaan, yang terdiri dari Badan Usaha Milik Negara, Swasta Nasional, dan perusahaan patungan (joint venture).
Sejarah asuransi jiwa di Indonesia, bukan merupakan suatu jalan mulus yang dapat dilalui dengan lancar, di dalamnya tercatat bagaimana usaha ini diterpa oleh banayaknya badai karena krisis ekonomi.

C. Prinsip Dasar Asuransi
Industri asuransi, baik asuransi kerugian maupun asuransi jiwa, memiliki prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi seluruh penyelenggaraan kegiatan perasuransian dimanapun berada, yaitu (a) Insurable interest (kepentingan yang dipertanggungkan), (b) Utmost good faith (kejujuran sempurna), (c) Indemnity (Indemnitas), (d) Subrogation(Subrogasi), (e) Contribution(kontribusi), (f)Proximate Cause (Kausa Proksimal).

D. Manajemen Asuransi
Sebuah perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan keuangan, semacam asuransi akan berjalan dengan baik dan mempunyai kinerja yang sehat jia dikelola dengan menajemen yang baik sesuai dengan norma peraturan yang berlaku. Manajemen asuransi adalah sebuah acara dalam mengelola perusahaan asuransi supaya operasionalnya berjalan dengan baik dan dapat diharapkan menghasilkan return positif bagi perusahaan beserta para staf yang bekerja di dalamnya.
Ada empat model dalam melakukan kegiatan manajemen risiko yaitu : (a) menghindari risiko, (b) mengontrol risiko, (c) menerima risiko dan (d) mentransfer risiko.
Dalam asuransi harus menganut teori dasar bahwa segala sesuatu diarahkan untuk memproteksi keadaan di masa mendatang yang belum pasti terjadi atas sebuah risiko yang berkaiatan dengan nilai aktivitas ekonomi seseorang. Menghadapi masa yang akan datang (future time) merupakan sesuatu yang tidak bisa dipungkiri oleh manusia, walaupun dalam wujudnya keadaan yang akan terjadi mendatang belum jelas realitanya.

E. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam
1. Nilai Filosofis Asuransi Syariah
Ada dua kata kunci utama yang menjadi pembahasan dalam bab ini, yaitu : asuransi dan hukum Islam. Kata asuransi menjadi domein pertama yang mengharuskan bagi domein kedua (hukum Islam) untuk memberikan tinjauan serta pembahasan yang mendalam terhadap asuransi.
Dengan didasarkan pada sebuah asumsi awal yang menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam telah sempurna dan mempunyai nilai universal serta mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan menusia telah dijamin adanya norma yang mengatur aktivitas kehidupan tersebut. Selaras dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3.
أليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر فى مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم (المائدة : 3)
Artinya : “…pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu, maka siapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang …”

Nilai filosofis yang membentuk adanya asuransi syariah didasarkan pada prinsip dasar dari nilai yang berlaku pada diri manusia. Manusia terlahir dibekali dengan dua kekuatan, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan (ruh) yang cenderung berbuat baik dan kekuatan pembentuk yang berasal dari materi (unsur tanah).
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi mempunyai tugas yang demikian berat, manusia dituntut untuk memberikan kemakmuran dan ketenteraman di alam semesta, bukan sebaliknya yang dikhawatirkan oleh malaikat sebagai mahkluk yang membawa bencana atau malapetaka di muka bumi.
Manusia dituntut untuk mengadakan persiapan secara matang dalam menghadapi masa-masa sulit jikalau menimpanya pada masa yang akan datang. Jadi, prinsip dasar inilah yangmenjadi tolok ukur dari nilai filosofi syariah yang berkembang pada saat ini. Yaitu dalam bentuk semangat tolong menolong, bekerja sama dan proteksi terhadap peristiwa yang akan membawa kerugian.

2. Landasan Asuransi Syariah
Karena asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yanag ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah, maka landasan yang dipakai di dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hukum Islam.
Jumhur Ulama memakai metodologi konvensional dalam mencari landasan syariah dari suatu masalah, dalam hal ini subjeknya adalah lembaga asuransi. Landasan yang digunakan dalam memberi nilai legalisasi dalam praktik bisnis asuransi adalah : al-Qu’ran, walaupun tidak secara tegas dijelaskan dalam ayat-ayatnya, namun diakomodir dalam ayat-ayat yang mempunyai nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai dasar tolong menolong, kerja sama atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap peristiwa kerugian di masa datang. Di antaranya : Surat Al-Maidah ayat 2;
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب.
Artinya : .. dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Ayat ini memuat perintah tolong menolong antara sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’) yang berbentuk rekening pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).
Ayat 185 surat al-Baqarah:
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
Artinya : … Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki Allah, maka dari itu manusia dituntun oleh Allah SWT agar dalam setiap lagkah kehidupannya selalu dalam bingkai kemudahan dan tidak mempersulit diri sendiri. Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi seseorang dapat memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupannya di masa mendatang dan dapat melindungi ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak disengaja.
Masih banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang asuransi walaupun tidak secara tekstual disebutkan , di antaranya surat al-Baqarah ayat 26, Yusuf ayat 46-49, at-Taghabun ayat 11, Luqman ayat 34, Ali ‘Imran ayat 37, 145 dan 185, dan an-Nisa ayat 7.
Yang kedua Sunnah Nabi, yaitu hadits riwayat Bukhari tentang ‘aqilah (kerabat dari orang tua laki-laki) yang telah menjadi tradisi di arab untuk menanggung denda (diyat) jika ada salah satu anggota sukunya melakukan pembunuhan terhadap anggota suku yang lain. Penanggungan bersama oleh ‘aqilahnya merupakan suatu kegiatan yang mempunyai unsur seperti yang berlaku pada bisnis asuransi. Kemiripan ini didasarkan atas adanya prinsip saling menanggung (takaful) antara anggota suku.
Hadits tentang niat yang masih umum, jika dikaitkan dengan bisnis asuransi yang perlu diperhatikan adalah niat sesorang ikut serta di dalamnya harus meluruskan niat niatnya dengan memberikan motivasi pada dirinya, bahwa dia berasuransi hanya untuk saling tolong-menolong dan bantu-membantu antara sesama anggota asuransi dengan didasari untuk mencarai keridhaan Allah SWT.
Dan masih banyak hadits lain, di antaranya tentang anjuran menghilangkan kesulitan orang lain, anjuran meninggalkan keturunan yang kaya (dalam praktek asuransi ialah adanya iuran/premi yang digunakan sebagai tabungan dan dapat dikembalikan ke ahli warisnya jika pada suatu saat terjadi peristiwa yang merugikan, baik dalam bentuk kematian nasabah atau kecelakaan diri), hadits tentang menghindari resiko, hadist tentang perjanjian dan lain-lain.
Ketiga, Piagam Madinah, yaitu peraturan yang dibuat oleh Rasulullah bahwa seseorang yang menjadi tawanan perang musuh, maka ‘aqilah dari tawanan tersebut akan menyumbangkan tebusan dalam bentuk pembayaran (diyat) kepada musuh, sebagai pesanan yang memungkinkan terbebasnya tawanan tersebut. Hal tersebut dapat dipertimbangkan sebagai kontribusi dalam bentuk pertanggungan sosial (social insurance).
Selain hal-hal tersebut masih ada praktik sahabat (Khalifah Umar), Ijma’ Sahabat dan Syar’u Man Qablana serta Istihsan dapat dijadikan sebagai acuan dari diperbolehkannya asuransi syariah (islam).

3. Prinsip Dasar Asuransi Syariah
Sebuah bangunan hukum akan tegak secara kokoh, jika dan hanya jika dibangun atas pondasi dan dasar yang kuat. Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep Ekonomika Islami secara koprehensif dan besifat major. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi syariah merupakan turunan (minor) dari konsep Ekonomika Islami.
Begitu juga, asuransi harus dibangun di atas fondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh. Dalam hal ini prisip dasar aasuransi ada sepuluh macam yaitu:
1. Tauhid (unity), prinsip ini merupakan dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada dalam syariah Islam. Setiap aktivitas kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhidy. Artinya setiap gerak langkah harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Dalam asuransi yang harus diperhatikan adalah bagaiamana seharusnya menciptakan suasana muamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai Ketuhanan.
2. Keadilan (justice), harus terpenuhinya nilai-nilai keadilan antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Harus dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal.
3. Tolong-menolong (ta’awuun), semangat tolong-mnolong harus menjadi dasar kegiatan berasuransi antara nasabah (anggota). Dengan niat untuk membantu dan meringankan beban nasabah lain yang pada suatu ketika mendapat musibah atau kerugian.
4. Kerjasama (coorperation), sebagai apresiasi dari posisi manusia sebagai makhluk sosial, nilai kerja sama adalah suatu norma yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam asuransi bentuk kerja sama dapat diwujudkan dalam akad antara nasabah dan perusahaan asuransi dengan konsep mudharabah atau musyarakah.
5. Amanah (trustworthy), dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan yang harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor publik. Begitu pula nasabah harus memberikan informasi yang benar tanpa manipulasi mengenai kerugian yang menimpa dirinya jika hal itu terjadi.
6. Kerelaan (al-ridha), kerelaan dapat diterapkan pada setiap anggota/nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi yang difungsikan sebagai dana sosial (tabarru’) yang benar-benar digunakan untuk membantu anggota/nasabah yang lain jika mengalami kerugian.
7. Kebenaran, dalam asuransi meliputi kebenaran materiil maupun formil harus didasarkan dengan nilai-nilai Islam.
8. Larangan riba, dalam setiap transaksi seorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan .
9. Larangan maisir (judi), yaitu jangan sampai ada salah satu pihak yang mengalami kerugian, sementara pihak yang lainnya meraup untung. Hal ini tampak jelas jika pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum reversing period, biasanya tahun ketiga, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja.
10. Larangan Gharar (ketidakpastian), secara bahasa yaitu suatu penipuan (alkhida’) yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaaan. Dalam asuransi konvensional gharar terjadi yaitu nasabah tahu berapa jumlah uang pertanggungan yang akan diterima tetapi tidak tahu berapa jumlah uang yang akan dibayarkan (seluruh premi) karena seseorang tidak akan tahu kapan akan meninggal, karena hal ini tidak dapat dikategorikan dalam aqd tabaddulli atau akad pertukaran yang harus jelas antara yang diterima dan diserahkan.

4. Akad yang membentuk Asuransi Syariah
Asuransi sebagai satu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari akad yang membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam praktiknya asuransi melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian untuk saling melaksanakan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi dengan perusahaan asuransi. Sesuai firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 1.
ياأيها الذين أمنوا أوفوا بالعقود...
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janjimu”
Akad secara bahasa berarti ar-ribthu atau ikatan, yaitu ikatan yang menggabungkan antara dua pihak.
As- Syanhuri memberikan tinjauan terhadap pengertian akad di atas dari sudut qanun (perundang-undangan), bahwa akad adalah kesepakatan antara dua orang untuk (a) membangun kewajiban, seperti jual beli, (b) memindahkan kewajiban, seperti hiwalah, (c) mengakhiri kewajiban, seperti akad ibra’ dan akad wafa’.
Prinsip dasar yang membentuk akad ada empat macam dan harus ada pada setiap pembentukan akad, yaitu : (a) dua orang yang melakukan akad (al-‘aqidaini), (b) sesuatau (barang) yang diakadkan (mahal al-’aqd), (c) tujuan dari akad (maudhu’ al-‘aqd) dan (d) rukun (arkan al-’aqd), yaitu Ijab dan Kabul.
Lebih lanjut Zarqa memberikan penjelasan tentang pembagian akad dari berbagai aspek. Di antaranya dari segi penamaan (tasmiyah) yang dibagi menjadi dua, yaitu (a) musamma, yang telah jelas penamaannya dalam al-Quran dan Sunnah Nabi SAW dan telah mempunyai hukum tersendiri seperti jual beli, hibah, ijarah, syirkah dan lain-lainnya., (b) ghairu musamma, yaitu akad yang belum ada penamaannya secara khusus, seperti akad ba’i al-wafa, aqd al-ijratain, at-tahkir dan lain sebagainya.
Yang kedua berupa akad pemindahan hak (tabadul al-huquq) yang dibagi menjadi tiga yaitu (a) akad mu’awadhah, yaitu akad yang didasarkan atas kewajiban saling mengganti antara kedua belah pihak yang terlibat, contohnya akad jual beli, ijarah, (b) akad tabarru’at, yaitu akad yang didasarkan atas pemberian dan pertolongan dari salah satu pihak yang melakukan akad, seperti akad hibah, i’arah (c) akad yang bermula tabarru’ dan berakhir dengan mu’aradhah seperti akad qiradh dan akad hibah dengan syarat al-‘irdh.
Yang ketiga akad pertanggungan (dhaman) dibagi menjadi tiga, yaitu (a) akad dhaman, yaitu suatau akad yang memberikan tanggung jawab kepada penanggung (al-qabidh) untuk menjaga barang agar tidak rusak, dan jika rusak menjadi tanggung jawab al-Qabidh, seperti akad jual-beli, akad al-qismah, akad qiradh, akad al-mukharajah, (b) akad amanah, yaitu akad yang memberikan tanggung jawab suatu barang (yang dipertanggungkan) pada penanggung untuk dijaga, dan penanggung (al-qabidh) tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan barang tersebut kecuali jika ada unsur kesengajaan , seperti akad al-ida’. Akad al-i’arah, akad as-syirkah, akad al-wakalah dan akad al-washaya, (c)akad muzadjah al-astar yaitu akad yang sebagian terbentuk dari unsur dhaman dan sebagian yang lain dari unsur amanah, seperti akad al-ijarah, akad ar-rahn.
Akad yang dapat diterapkan dalam bisnis asuransi adalah akad ghairu musamma (yang belum ada penamaannya) dan termasuk akad yang baru dalam literatur fiqh. Dalam beberapa hal ada proses analogi hukum (qiyas) terhadap praktik operasional asuransi dengan beberapa akad yang telah dikenal (musamma). Salah satunya adalah akad muwalat, yaitu akad antara dua orang yang tidak terikat hubungan nasab (keturunan) yang salah satunya mengcover musibah pertanggungan diyat terhadap peristiwa pembunuhan.
Di sisi lain asuransi juga dapat didasarkan pada akad tabarru’ yaitu akad yang didasarkan atas pemberian dan pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang lain. Akad tabarru’ merupakan bagian dari tabadul hal (pemindahan hak). Walaupun pada dasarnya akad tabarru’ hanya searah dan tidak disertai dengan imbalan, tetapi ada kesamaan prinsip dasar di dalamnya, yaitu adanya nilai pemberian yang didasarkan atas prinsip tolong menolong dengan melibatkan perusahaan asuransi sebagai lembaga pengelola dana.
Akad lain yang dapat diterapkan dalam asuransi adalah akad mudharabah, yaitu akad yang didasarkan pada prinsip profit and loss sharing (berbagi atas untung dan rugi), di mana dana yang terkumpul dalam total rekening tabungan (saving) dapat diinvestasikan oleh perusahaan asuransi yang risiko investasi ditanggung bersama antara perusahaan dan nasabah.

5. Pendapat Ulama tentang Asuransi.
Para Ulama berbeda pendapat dalam menentukan keabsahan hukum asuransi. Secara garis besar, kontroversial terhadap masalah ini dapat dipilah menjadi dua kelompok, yaitu pertama ulama yang mengharamkan asuransi, dan kedua ulama yang membolehkan asuransi. Masing-masing kelompok ini mempunyai hujjah (dasar hukum) dan memberikan alasan-alasan hukum sebagai penguat terhadap pendapat yang disampaikannya. Di samping itu ada yang berpendapat membolehkan asuransi yang bersifat sosial (ijtima’i) dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial (tijary) serta ada pula yang meragukannya (syubhat).
Pemilahan terhadap kedua kelompok di atas yang dilakukan Masjfuk Zuhdi dapat menggambarkan secara tegas mana ulama yang mengharamkan asuransi dan mana ulama yang membolehkan asuransi. Dalam bukunya, “masail fiqhiyyah”, ia menjelaskan di antara ulama yang mengharamkan asuransi adalah: Sayid Sabiq, Abdullah al-Qalqili (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qardhawi, Mahdi Hasan (Mufti Deoband Saharanpur India), Mahmud Ali (Mufti al-‘Ulum Cawnpur India). Alasan utama pengharaman asuransi, masih menurut Masjfuk, yaitu premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba.
Warkum Sumitro memberikan keterangan terhadap yang mengharamkan asuransi dengan enam alasan, sebagai berikut :
a. Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam Islam
b. Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam.
c. Asuransi termasuk jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak secara tunai.
d. Asuransi objek bisnisnya digantungkan pada hidup matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah SWT.
e. Asuransi mengadung ekploitasi yasng bersifat menekan.
Mahdi Hasan melarang praktik asuransi dikarenakan: (a) Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya. (b) Asuransi juga adalah perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya risiko. (c) Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karena perusahaan asuransi, meskipun milik Negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba. (d) Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena kompensasi di dalamnya adalah sesuatu yang tidak dapat dinilai.
Sedangkan para ulama yang membolehkan praktik asuransi diwakili oleh beberapa ulama, di antaranya adalah ; Ibnu Abidin, Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir), Syekh Ahmad asy-Syarbashi (Direktur Asosiasi Pemuda Islam), Syekh Muhammad al-Madani (Dekan di Universitas al-Azhar), Syekh Muhammad Abu Zahrah, dan Abdurrahman Isa. Argumentasi yang mereka pakai dalam membolehkan asuransi menurut Fathurrahman Djamil adalah :
a. Tidak terdapat nash al-Qur’an atau Hadits yang melarang asuransi.
b. Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak.
c. Asuransi menguntungkan kedua belah pihak.
d. Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi.
f. Asuransi termasuk syirkah at-ta’awuniyah, usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong-menolong.
Abu Zahrah berpendapat lain, bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan karena jenis asuransi ini tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang di dalam Islam (alasannya yaitu sesuai dengan pendapat ulama yang membolehkan asuransi) . Sedangkan asuransi yang bersifat komersil (tijary) tidak diperbolehkan karena mengandung unsur-unsur yang dilarang Islam (alasannya sesauai dengan ulama yang mengharamkan asuransi).
Sedangan kelompok lain yang berpendapat bahwa praktik operasional asuransi adalah sesuatu yang syubhat (tidak jelas hukumnya) beralasan karena tidak ditemukannya dalil-dalail syar’i yang secara khusus jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati di dalam berhubungan dengan asuransi.
Jadi ulama yang mengharamkan asuransi bersikap keras dan tegas menyatakan perang terhadap asuransi, dan berpendapat bahwa kontrak asuransi secara diametris bertentangan dengan standar-standar etika yang ditetapkan oleh hukum Islam. Asuransi berbahaya, tidak adil dan tidak pasti.
Kelompok ulama yang membolehkan asuransi tidak tinggal diam, sebaliknya mengajukan bantahan argumentasi yang secara terperinci sebagai berikut :
a. Asuransi bukan perjudian dan bukan pertaruhan, karena didasarkan pada prinsip mutualisme dan kerja sama yang melindungi dari bahaya yang mengancam jiwa dan harta serta memberikan keuntungan bagi perdagangan dan industri. Sedangkan perjudian adalah suatu permainan keberuntungan.
b. Ketidakpastian dalam transaksi dilarang dalam Islam karena menyebabkan perselisihan, sedangkan asuransi jauh dari ketidakpastian, khususnya ketika disertai dengan satu ganti rugi yang pasti yairu berupa keamanan yang dirasakan oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilan.
c. Asuransi bukan alat untuk menolak kekuasaan Allah atau menggantikan kehendaknya, karena asuransi ini tidak menjamin suatu peristiwa yang tidak terjadi, tetapi sebaliknya mengganti kerugian kepada peserta asuransi terhadap akibat-akibat dari sutau peristiwa atau risiko yang sudah ditentukan. Kematian adalah hal yang sudah pasti datangnya, oleh karena itu dengan asuransi bisa diambil langkah-langkah untuk memperkecil keseriusan akibatnya dengan cara saling menolong dan membantu.
d. Keberatan menganai tidak tentunya asuransi jiwa dalam arti bahwa peserta asuransi tidak mengetahui berapa banyak jumlah cicilan yang dibayarnya sampai kematiannya adalah tidak beralasan. Cicilan yang tidak tentu dalam asuransi jiwa tidaklah mempengaruhi keabsahan kontrak, juga tidak merugikan pihak manapun, karena jumlah dari tiap cicilan menjadi diketahui ketika dibayar dan begitu pula jumlah total dari semua cicilan pada saat semuanya sudah dibayar.
e. Keberatan mengenai riba, dalam asuransi jiwa, tak berguna, Karena asuransi ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah dibayarnya.
Lain halnya dengan Syekh Muhammad al-Madni, Syekh Abu Zahrah, Syekh Ahmad as-Syarbasyi, dan Muhammad Yusuf Musa sama-sama membolehkan asuransi jika di dalam praktiknya terhindar dari unsur riba. Yusuf Musa lebih lanjut berkomentar bahwa asuransi dalam segala jenisnya adalah contoh kerja sama dan berguna bagi masyarakat. Asuransi jiwa bermanfaat bagi peserta asuransi dan juga bagi perusahaan asuransi. Karenanya tidak ada ruginya menurut hukum Islam jika ia bebas dari bunga, yakni peserta asuransi hanya mengambil yang sudah dibayarkannya tanpa tambahan apapun jika ia hidup lebih lama dari masa asuransi, dan jika ia mati maka ahli warisnya mendapat konpensasi. Ini sah menurut hukum Islam.

III. PENUTUP.
A. Kesimpulan
1. Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa dalam praktik asuransi paling tidak ada dua akad yang membentuknya, yaitu, akad tabarru; dan akad mudharabah. Akad tabarru’ terkumpul dalam rekening dana sosial yang tujuan utamanya digunakan untuk saling menaggung (takaful) peserta asuransi yang mengalami musibah kerugian. Sedangkan akad mudharabah terwujud tatkala dana yang terkumpul dalam perusahaan asuransi itu diinvestasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan (profit). Karena landasan dasar yang awal dari akad mudharabah ini adalah prinsip profit and loos sharing, maka jika dalam investasinya mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagi bersama sesuai dengan porsi (nisbah) yang disepakati. Sebaliknya jika dalam ivestasinya mengalamai kerugian (loss and negative return) maka kerugian tersebut juga dipikul bersama-sama antara asuransi dan perusahaan.
2. Sebagai alternatif untuk mencari jalan keluar (way out) penulis memberikan solusi dalam bentuk pemikiran yang mengacu pada (hujjah) pemikiran dari kedua belah pihak, yakni:
a. Asuransi dengan segala bentuknya diperbolehkan jika terbebas dari unsur riba, maisir dan gharar, seperti yang menjadi dasar pemikiran kelompok ulama yang mengharamkan asuransi selama masih ada unsur ribanya.
b. Jumlah yang dibayarkan berdasarkan polis asuransi diinvestasikan berdasarkan prinsip mudharabah (dimana pemberi pinjaman ikut menanggung keuntungan maupun kerugian), untuk usaha-usaha komersial. Sebagai pengganti bunga yang ditentukan sebelumnya, keuntungan dibagikan sebagaimana umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan komersial.
c. Untuk menjalankan bisnis asuransi dalam bentuk koperasi, para pemegang polis diikat dengan persetujuan mereka untuk menyumbangkan sebagian keuntungan mereka (sepertiga atau seperempat) untuk dana cadangan dalam bentuk wakaf yang akan digunakan di bawah peraturan-peraturan khusus untuk membantu orang-orang yang menjadi korban kecelakaan.
d. Jika terjadi kecelakaan, bantuan diberikan hanya kepada mereka yang terikat oleh kontrak ini dan para pemegang saham perusahaan.
e. Jumlah asli ditambah dengan keuntungan diberikan kepada setiap pemegang saham yang akan dianggap sebagai hartanya, sedangkan dana cadangan akan tetap sebagai wakaf (tabarru’).
B. Saran
Diperlukan Dewan Pengawas Syariah independent (DPS) yang fungsinya betul-betul mengontrol operasional sebuah perusahaan asuransi, apakah akad dan produk-produk yang dikeluarkan perusahaan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan syariah Islam.










DAFTAR PUSTAKA


al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI.

Ali, AM. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teorirtis, dan Praktis, Jakarta : Prenada Media, 2004, Ed. 1, Cet. 1

Billah, Mohd. Ma’sum, Principles and Practices of Takaful and Insurance Compared, Kuala Lumpur : IIUM Press, 2001.

Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, Kitab Diyat, No. 45

Dahlan, Abdul Aziz, dkk (editor ), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : Ichtiyar Baru van Hoeve, 1996.

Darmawi, Herman, Manajemen Asuransi, Jakarta : Bumi Aksara, 2001, Cet. ke-3

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1996

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta : Logos, 1995

Echols, Jhon M., dan Hassan Syadilly, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1990

Muslehuddin, Muhammad, Insurance and Islamic Law, (terj. Oleh Burhan Wirasubrata), Menggugat Asuransi Modern; mengajukan suatu alternatif baru dalam perspektif hukum Islam, Jakarta : Lentera, 1999, Cet. ke-1

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme, Jakarta : Bulan Bintang, 1985

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta : Intermasa, 1987

Rahman, Afzalur, Economic Doctrines of Islam, (terj. Soeroso Nastangin), Doktrin Ekonomi Islam ,Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,1996, Jilid 4

Syafi’, Muhammad (Mufti dar al-“Ulum Karachi Pakistan).

Syanhuri, As-, Nazhariyyah al-‘Aqd, h. 77-80

Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1997

Zarqa, Mustafa Ahmad, az-, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Beirut : Dar al-Fikr, 1968). Juz. I

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Haji Masagung, 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar