Selasa, 07 Juli 2009

ISLAM DAN KEBUDAYAAN KAILI DI SULAWESI TENGAH

ISLAM DAN KEBUDAYAAN KAILI DI SULAWESI TENGAH
OLEH Zainuddin Ali
I Pendahuluan
Sebelum membahas Islam dan Kebudayaan Kaili, ada dua kata yang perlu diuraikan , yaitu (1) Islam dan (2) Kaili. (Alfian, 1985: 22-25). Apa yang disebut Kaili dalam tulisan ini, adalah salah satu kelompok etnik di antara 12 (dua belas) kelompok etnik yang mendiami Propinsi Sulawesi Tengah. Dua belas kelompok etnik yang menjadi penduduk (asli) Sulawesi Tengah, etnis Kaililah yang terbesar jumlahnya, yaitu kira-kira 45% dari seluruh jumlah penduduk Sulawesi Tengah (Mattulada, 1991: 115).
Untuk membicarakan Islam dan kebudayaan Kaili di Sulawesi Tengah, penulis mengemukakan: (1) Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Kaili sebelum Islam, (2) Kebudayaan Masyarakat Kaili sesudah menerima agama Islam, (3) Perilaku Masyarakat Kaili dan kebudayaannya, dan (4) Kesimpulan
II. Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Kaili Sebelum Islam
Kalau kebudayaan masyarakat Kaili diuraikan sebelum agama Islam datang ke Lembah Palu, perlu diungkapkan kepercayaan masyarakat Kaili, bentuk-bentuk upacara-upacara, dan perilakunya. Hal itu, diuraikan sebagai berikut.
1. Kepercayaan Masyarakat Kaili
Sebelum masyarakat Kaili menganut agama Islam, mereka menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka percaya bahwa gunung-gunung, sungai-sungai, pohon-pohon besar, dan batu-batu besar mempunyai makhluk halus sebagai penghuninya. Kepercayaan itu disebut dalam bahasa Kaili "tumpuna". Tumpuna berarti makhluk halus yang menjaga tempat-tempat tersebut (H.Rusdi Toana, 1989: 14). Masyarakat Kaili menjaga dan memelihara makhluk-makhluk halus pada setiap tempat tersebut dengan memberi servis, yaitu memberi sajian-sajian beserta mantra-mantranya. Servis itu dipimpin oleh seorang dukun (Bahasa Kaili: sando) untuk mengantar ke tempat-tempat yang dianggap mempunyai makhluk halus seperti tempat-tempat yang telah disebutkan (H. Rusdi Toana, 1989: 14). Karena itu, memungkinkan munculnya beberapa kelompok kepercayaan tertentu dalam lingkungan adat Kaili. Lingkungan adat yang kecil-kecil dengan kebanggaan masing-masing, kurang memberikan peluang munculnya pemimpin orang Kaili yang dapat diakui oleh segenap kelompok orang Kaili (Mattulada, tanpa tahun: 101).
Pada setiap kelompok yang kecil-kecil dengan identitas kepercayaan masing-masing hanya mempercayai kepercayaan kelom poknya. Dalam mengemban sesuatu kepercayaan metafisik, setiap kelompok merasakan kepercayaannyalah yang khusus baginya. Itulah menjadi kepercayaan kelompoknya. Tempat pemujaan hanya tersedia bagi kelompoknya, seolah-olah tempat pemujaan leluhur dalam keturunan keluarga kelompok keluarga itu. Sikap isolatif demikian juga, membawa kesempitan wawas-an menghadapi lingkungan luarnya. Sangat asing bagi kelompok-kelompok itu untuk memberikan respek atau simpatik yang ikhlas dan mendalam kepada orang dari lingkaran luarnya, walaupun orang Kaili sendiri (Mattulada, tanpa tahun, 102).
2. Bentuk-Bentuk Upacara
Masyarakat Kaili mempunyai beberapa bentuk-bentuk upa cara, di antaranya sebagai berikut. 2.1 Upacara Penyembuhan Penyakit.
Suku Kaili melakukan penyembuhan penyakit melalui dukun bila ada orang sakit yang dianggap ditegur oleh makhluk halus. Orang sakit itu diobati dengan suatu upacara yang disebut "Nobalia" atau "Novurake". Upacara Nobalia, yaitu: dukun membaca mantera-mantera kemudian ia menjadi kesurupan. Ketika dukun tersebut kesurupan maka menari-nari di atas bara api, yang kemudian ia melawan/mengusir makhlus halus supaya kembali ke tempat-nya atau berhenti mengganggu orang yang sakit (H. Rusdi Toana, 1989: 15).
2.2 Upacara Kematian.
Bila orang Kaili meninggal dunia maka jenazahnya tidak langsung dikuburkan, melainkan jenazah itu disimpan dalam peti kayu yang tertutup rapat-rapat untuk menunggu sanak-familinya dalam rangka upacara penguburannya. Sesudah sanak-famili datang semuanya maka dilakukan penguburan jenazah dan sesudah itu dilakukan pemotongan kerbau atau sapi untuk dihidangkan kepada keluarga yang datang. Pemotongan hewan tersebut, diharapkan supaya roh jenazah tidak mengganggu keluarga yang ditinggalkan (N. Nainggolan, dkk., 1986, 71). 2.3 Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan mempunyai simbol-simbol yang cukup banyak, yaitu: (1) pertunangan, (2) meminang, (3) membawa harta, (4) malam pacar, (5) mencukur rambut, (6) perkawinan. Perkawinan ini dilakukan oleh ketua Dewan Adat, yaitu kedua calon pengantin dimandi oleh ketua Dewan Adat dan sesudah dimandi maka keduanya diberi percikan air pada kepalanya masing-masing (N. Nainggolang, dkk, 1986: 105).
3. Perilaku Suku Kaili.
Selain kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus dan bentuk-bentuk upacara yang disebutkan di atas, juga etnis Kaili mempunyai perilaku yang sama dengan manusia zaman jahiliah di Tanah Arab, yaitu minum ' tule'. Tule adalah suatu jenis minuman keras yang berasal dari batang pohon enau atau kelapa yang disedap. Minuman tule itu memabukkan orang, sehingga banyak terjadi perselisihan di tengah masyarakat, bahkan sering terjadi perang antara kelompok-kelompok sub etnik Kaili. Peperangan itu berlangsung sampai sesudah masuknya Islam ke Lembah Palu dan sampai saat ini masih dirasakan akibatnya. Selain itu, perjudian dan perzinahan sulit diatasi. Begitu juga, perkawinan sering dilakukan melalui "nosikempalaisaka" (kawin lari), yaitu sang pemuda menculik sang gadis lalu membawa lari ketempat lain, agar keduanya mau tidak mau harus dikawinkan melalui jalan kompromi (H. Rusdi Toana, 1989: 15).
III. Kebudayaan Masyarakat Kaili Sesudah Menerima Agama Islam
Masyarakat Kaili di Propinsi Sulawesi Tengah mempercayai bahwa agama Islam mulai masuk di Tanah Kaili pada permulaan abad ke-17, dibawa oleh Abdullah Raqie gelar Datok Karama. Raja-raja dan penduduk amat tertarik untuk mengikuti ajaran yang dibawa oleh ulama itu. Kabarnya ulama itu bera-sal dari Minangkabau, Sumatra. Raja yang pertama memeluk agama Islam dalam abad ke-17 M adalah raja Kabonena Ipue Nyidi yang kemudian diikuti oleh masyarakatya. Ulama yang meletakkan dasar-dasar ajaran agama Islam di Tanah Kaili. Datok Karama mengajarkan ajaran agama Islam dimasyarakat yang mendiami Kabupaten Donggala. Ajaran agama itu pada mulanya disampaikan melalui ceramah-ceramah di upacara-upacara (baik upacara perkawinan, kematian, dan semacamnya). Penyampaian ajaran agama tersebut, lambat-laun dismpaikan melalui ceramah-ceramah di Langkara (mesjid) yang kemudian diteruskan oleh murid-muridnya dari satu generasi ke generasi berikutnya sampai sekarang. Di samping itu , orang- orang Kaili kawinmawin dengan orang-orang Bugis, Makassar, dan Mandar dari Sulawesi Selatan yang pada umumnya sudah memeluk agama Islam, sehingga menyebarlah agama Islam di Tanah Kaili. Akibat kawin-mawin yang disebutkan itu, kebudayaan atau adat kebiasaan orang-orang Kaili di sepanjang pesisir pantai Barat Sulawesi (selat Makassar) akrab dengan adat kebiasaan orang-orang Bugis di Sulawesi Selatan (Mattulada, tanpa tahun: 51. Zainuddin Ali, 1995: 26).
Selain Datok Karama dan orang-orang Bugis sebagai pembina agama Islam atau sebagai guru dan pengawal hukum Islam yang disebutkan di atas, salah seorang ulama yang berjasa mengembangkan dan menerapkan hukum Islam di Sulawesi Tengah adalah H.S. Idrus bin Salim al-Jufri, lahir tahun 1889 M di Taris, sebuah kota kecil di Propinsi Hadramaut, Arab Selatan. Dengan penguasaan al-Jufri di bidang ilmu agama Islam, ia mendapat dukungan tokoh-tokoh adat untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam pada tanggal 30 Juni 1930 dan diberi nama al-Khairat. Peranan lembaga pendidikan al-Khairat dalam menyebarkan dan menerapkan hukum Islam di Sulawesi Tengah Amat Besar. Ini dimungkinkan karena para ulama al-Khairat berfungsi ganda, yakni sebagai tokoh agama di satu pihak dan di pihak lain sebagai tokoh adat di setiap Kelurahan/Desa. Secara langsung mereka berperan pada upacara-upacara keagamaan yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, upacara perkawinan, kematian, hitanan, dan sebaginya yang dilakukan oleh masyarakat Kaili yang mendiami wilayah Propinsi Sulawesi Tengah (Zainuddin Ali, 1995: 27).
Uraian di atas, menunjukkan bahwa ketika agama Islam diterima oleh masyarakat Kaili di Propinsi Sulawesi Tengah, nilai-nilai hukum ajaran agama Islam berhadapan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku, dipelihara, dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat Kaili. Karena itu proses penerimaan hukum Islam sebagai sistem hukum bersama-sama dengan sistem hukum adat Kaili untuk mengatur masyarakat tersebut, yang kemudian lambat-laun hukum adat etnis Kaili dalam hal tertentu digeser posisinya oleh ajaran agama Islam sehingga ajaran agama Islam menjadi adat kebiasaan etnis Kaili dan dalam lain hal yang tidak diatur oleh ajaran agama Islam dan/atau tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam maka hukum adat itu tetap berlaku bersama-sama dengan ajaran agama Islam untuk mengatur masyarakat Kaili. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, upacara perka-winan. Pada upacara tersebut, tampak pelaksanaan hukum Islam di satu pihak dan di pihak lain tampak pelaksanaan adat kebiasaan yang menyertainya sebelum agama Islam datang (Zainuddin Ali, 1995: 448). Pergeseran budaya sebelum Islam tersebut, melalui proses yang panjang yakni sejak diterimanya agama Islam oleh etnis Kaili (awal abad ke-17) sampai saat ini (akhir abad ke-20) masih berlangsung, sehingga kebudayaan sebelum Islam masih ditemukan unsur-unsurnya karena para ahli hukum Islam menerima budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dengan memanfaatkan qaidah fiqhi al- `adatu muhakkamah (adat kebiasaan yang baik atau adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dijadikan salah satu sumber hukum Islam) (Zainuddin Ali, 1995: 32). Kebudayaan yang dimaksud di antaranya: 1. Upacara Pengobatan.
Suku Kaili masih dapat ditemukan melakukan penyembuhan penyakit melalui dukun bila ada orang sakit yang dianggap ditegur oleh makhluk halus. Namun mantera-mantera yang dibaca oleh dukun dimaksud, sudah bersumber dari bacaan al-Qur`an. 2. Upacara Kematian.
Bila orang Kaili meninggal dunia maka berdatanganlah sanak-family untuk menjenguk jenazah yang meninggal, kemudian dilakukan penguburan jenazah. Sesudah jenazah tersebut dikuburkan maka dilakukan upacara tahlilan yang kemudian dilakukan pemotongan kerbau atau sapi untuk dihidangkan kepada keluarga yang datang. Upacara tersebut dilakukan sebagai tanda roh jenazah almarhum bertemu dengan Tuhannya. 3. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan mempunyai simbol-simbol yang cukup banyak, yaitu: (1) pertunangan, (2) meminang, (3) membawa harta, (4) malam pacar, (5) mencukur rambut, (6) perkawinan. Aqad nikah perkawinan itu dilakukan oleh Pua imam (pua Qadhi) berdasarkan syariat Islam. IV. Perilaku Suku Kaili dan Kebudayaannya
Suku Kaili terdiri atas beberapa sub etnik yang pada umumnya beragama Islam. Suku Kaili yang mengetahui dan memahami pentingnya ajaran agama Islam untuk diamalkan oleh setiap muslim mempunyai perilaku yang Islami dan membentuk budaya yang Islami. Warga masyarakat yang demikian, seperti yang telah dikemukakan bahwa tokoh-tokoh Al-Khairat berfungsi ganda, membentuk kebudayaan Islam, dan Kebudayaan yang Islami. Selain beberapa kelompok etnik Kaili yang membentuk kebudayaan Islam dan kebudayaan yang Islami, namun tidak diingkari bahwa masih terdapat orang-orang Kaili yang beragama Islam mempunyai perilaku yang belum sepenuhnya mengamalkan kebudayaan Islam, yakni orang-orang yang tidak mengetahui dan memahami pentingnya ajaran agama Islam untuk diamalkan atau pengamalan ajaran agama Islamnya hanya separuh-separuh. Hal itu, tampak perilakunya seperti kefanatikan dan nasibisme, yaitu adanya pandangan bahwa kelapa yang sudah tua akan jatuh dengan sendirinya, sehingga kita tak perlu berpayah-payah untuk memanjatnya. Paham ini bukanlah sesuatu yang baru dalam teologi Islam, melainkan keadaan demikian dapat ditelusuri dalam paham jabbariyah. Selain itu, lahan Sulawesi Tengah yang masih amat luas, dengan penduduk masih jarang selalu mengundang penduduk untuk merasa tak perlu berdaya upaya yang keras untuk memenuhi keperluan hidup. Desakan untuk bekerja keras, belum menjadi keperluan yang dihajatkan. Kalau pada suatu saat tantangan datang dan memaksa memberikan tanggapan yang sepadan dengan tantangan itu, maka bagi mereka yang tidak biasa menghadapi hal semacam itu, akan cepat mengalah, menghindar dari tantangan itu. Cara yang kerapkali muncul apabila tak mampu memberikan tanggapan terhadap sesuatu tantangan yang dihadapinya ialah bereaksi negatif, seperti melakukan tindakan sembunyi-sembunyi berupa "surat kaleng", fitnah, atau saling menuduh dan perbuatan lain yang acapkali merugikan dirinya sendiri (Mattulada, tanpa tahun: 118). Selain itu, kebiasaan hidup berkelompok secara kecil-kecilan, berdasar kekerabatan territorial masih mewarnai kehidupan organisasi sosial, politik dan kebudayaan. Jabatan-jabatan tumpuk pimpinan pada Pemerintahan Daeah Tingkat I dan di Propinsi Sulawesi Tengah dapat dikatakan masih menjadi sasaran utama untuk dijadikan prioritas untuk diperebutkan. Jabatan-jabatan dalam pemerintahan (Pamong-Praja) masih dipandang sebagai jabatan-jabatan yang memberikan gensi atau prestise yang amat didambakan dalam masyarakat (Mattulada, tanpa tahun, 119). Alur pikir yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa setiap pejabat orang Kaili yang menduduki sesuatu jabatan (Prestise) seperti yang didambakannya pertama-tama akan menjadi sasaran kegiatannya dalam "jabatan" itu ialah melengkapi dirinya dengan lambang-lambang prestise dan kelompok pendukung yang memperkokoh solidaritas kelompok dengan ikatan-ikatan emosional yang peka. Kelemahan-kelemahan seperti itu menjadi bahagian dari kehidupan orang Kaili yang perlu segera diperbaiki dengan cara pemupukan sekuat-kuatnya benih-benih kehidupan yang mendambakan keuletan dalam berperestasi di segala bidang kehidupan melalui pengamalan ajaran Islam secara utuh. Barangkali masih dalam rangkaian keinginan memamerkan prestise dan pembinaan kelompok solidaritas emosional, maka kini pun masih dipandang sesuatu yang "biasa" apabila seseorang itu menduduki banyak posisi dalam organisasi kemasyarakatan, dari bermacam-macam profesi. Satu kesadaran teritorial yang lebih luas, katakanlah semangat kesatuan wilayah se Propinsi Sulawesi Tengah dari sekian banyak kelompok etnik dan sub etnik di luar kelompok etnik To-Kaili masih memerlukan waktu yang agaknya masih panjang untuk menjadi daya rekat yang positif, bagi satu kesadaran umum yang menopang kesadaran yang berwawasan Nusantara (Mattulada, tanpa tahun, 119). Selain contoh-contoh yang dikemukakan di atas, kehidupan kelompok-kelompok sebelum Islam yang hanya mengetahui lingkungannya dan tidak mau mengetahui atau menghormati di luar lingkungannya masih dapat ditemukan dalam kehidupan sosial keagamaan saat ini. Sebagai contoh dapat disebut misalnya adanya organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan da`wah Islamiyah yang mempunyai perbedaan. Mislanya, Muhammadiyah dan Al-Khairat. Perbedaan ke dua organisasi tersebut masih menjadi "pertentangan klasik". Namun, bila orang-orang yang terlibat ke dalam ke dua kelompok tersebut mengetahui di luar lingkungannya maka akan memahami bahwa yang menjadi obyek perbedaan adalah persoalan budaya seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini. V. Kesimpulan
1. Kebudayaan kelompok-kelompok etnis Kaili sebelum agama Islam diterima di Lembah Palu masih ada yang dapat ditemukan unsur-unsurnya saat ini, baik yang belum me- ngalami perubahan maupun yang sudah mengalami perubahan.
2. Kebudayaan etnis Kaili mengalami perubahan berdasarkan waktu, tempat, dan dukungan dari masyarakat sebagai pencipta, pemelihara, dan pengubah kebudayaan, sehingga tampak terjadi pergeseran budaya, yaitu budaya non Islami posisinya digeser oleh budaya yang Islami.
3. Kelompok-kelompok etnis Kaili yang mengetahui dan memaha mi pentingnya ajaran agama Islam untuk diamalkan oleh setiap muslim maka mereka mempunyai perilaku budaya yang Islami. Sebaliknya, kelompok-kelompok etnik Kaili yang mengetahui dan memahami ajaran Islam tetapi tidak mampu mengamalkan dan/atau hanya mengamalkan separuh-separuh akan mewujudkan budaya yang tidak Islami.
4.Kebudayaan etnis Kaili adalah kebudayaan yang Islami karena Dewan Adat berfungsi ganda, yaitu tokoh agama dan tokoh adat.
KEPUSTAKAAN
Alfian, ed., Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia, 1985.

Ali, Zainuddin, "Penerapan Zakat Maal dalam Perubahan Sosial di Kota Palu". Tesis Magister IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1990
--------------. "Urgensi Zakat Profesi Kini dan Esok". Jakarta: Departemen Agama RI, 1990.
--------------. "Penerapan Zakat Profesi dalam Perubahan Sosial di Kota Palu". Palu: Balai Penelitian Univ. Tadulako, 1990.
-------------. "Persepsi Para Hakim Agama di Kota Palu Mengenai Tantangan Penerapan Pasal 49 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989". Jakarta: Fakultas Hukum Univ. Indonesia, 1992.
--------------. "Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala". Disertasi Doktor Program Pascasarjana Univ. Indonesia, 1995
Hashim Kamali, Mohammad. Principles of Islamic Yurisprudence Cambridge: Islamic Society, 1991.
Hazm, Abu Muhammad Ibn. Al-Ahkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-afak al-Jadidah, 1980.

Ihromi, T.O. Bianglala Hukum. Bandung: Transito, 1986.

Mattulada, H.A., Sejarah Kebudayaan Orang Kaili. Palu: Badan Penerbit Univ. Tadulako, tanpa tahun.

--------------. "Sejarah Kebudayaan Orang Kaili" dalam Antropologi Indonesia. Jakarta: FISIP Univ. Indonesia, 1991.Nainggolan, Ny. N., dkk., Adat Istiadat Sulawesi Tengah. Palu: Berlian, 1986.
Nainggolan, Ny. N., dkk., Sejarah Pendidikan Sulawesi Tengah. Palu: Berlian, 1986.
Roberts, Robert. The Social Laws of the Qor`an. Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977.
Rosental, E.I.J. Islam in the Modern Nasional State. London: Cambridge University Press, 1965.
Toana, H. Rusdy, "Studi Tentang Masuk dan Perkembangan Agama Islam Di Kab. Dati II Donggala". Palu: Balai Penelitian Univ. Tadulako, 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar