Oleh Zainuddin Ali
BAB I
PERBANDINGAN MAZHAB
DAN HUKUM
A. Pengertian “Mazhab” dan “Imam”
Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa berarti “jalan” atau “the way of”. Dalam literatur atau buku-buku yang berkaitan Islam, istilah mazhab secara umum digunakan untuk dua tujuan, yaitu: (a) dari sudut akidah dan (b) dari sudut fiqh. Hal itu, akan diuraikan sebagai berikut.
a. Mazhab akidah
Mazhab akidah adalah hal-hal yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Sebagai contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari kumpulan mazhab akidah ini mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya yang tersendiri.
b. Mazhab fiqh
Mazhab fiqh adalah hal-hal yang berkaitan dengan persoalan hukum dan ketentuan kualifikasi hukum, halal, haram, wajib dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘e dan Mazhab Hanbali. )
Huzaemah Tahido Yanggo mengemukakan pengertian Mazhab sebagai berikut.
Mazhab adalah jalan fikiran, faham dan pendapat yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Selain itu, dapat juga bererti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang ulama besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.2)
Berdasarkan pengertian Mazhab di atas, maka dapat dikemukakan contoh, yaitu imam mazhab adalah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal. Pengertian mazhab ini berkembang yang kemudian beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan diterima oleh sekelompok umat Islam dalam sebuah wilayah atau negara. Penerimaan kelompok ummat Islam dimaksud, sehingga menjadi sumber rujukan dan pegangan yang diikuti secara turun temurun. Ikutan itu merupakan ijtihad ulama yang menjadi ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah.
Selain pengertian Mazhab di atas, penulis mengemukakan pengertian “Imam”. Kata Imam dari sudut bahasa berarti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam ajaran Islam, perkataan “Imam” memiliki beberapa maksud dalam konteks penggunaannya. Hal itu diuraikan sebagai berikut.
a) Imam sebagai pemimpin solat berjamaah.
b) Imam sebagai pemimpin atau ketua komuniti orang-orang Islam.
c) Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga dijadikan sumber pembelajaran dan rujukan dalam ilmu agama Islam. Sebagai contoh dapat diungkapkan: Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka dijadikan sumber rujukan ilmunya, autoritas mereka merupakan mujtahid terhadap apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
d) Imam sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Pengertian Imam yang seperti ini hanya khusus bagi Mazhab Syi‘ah. Imam-imam ini bukan saja dijadikan rujukan syari‘at tetapi juga memiliki autoritas dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan syari‘at tanpa berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.3)
B. Mensikapi Perbedaan Pendapat
Di dunia ini yang namanya ulama tidak terbatas pada yang ada di suatu tempat saja. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap mereka, kita tidak harus selalu terpaku kepada apa yang difatwakan oleh para ulama dari satu wilayah tertentu. Sebab pusat-pusat pengajaran Islam dan tempat berkumpul ulama tidak hanya ada di Saudi dan Yaman saja misalnya, tetapi dunia Islam juga punya pusat pengajaran Islam lainnya. Di antaranya Al-Azhar Mesir yang telah berdiri lebih dari 1.000 tahun. Para ulama di negeri Mesir itu telah malang melintang di dunia Islam, bahkan sebagian besar kampus di Saudi Arabia diajarkan oleh dosen-dosen dari Mesir. Selain itu dunia Islam juga punya ulama dari Suriah, negeri yang dahulu pernah menjadi ibu kota khilafah Bani Umayah. Di Suriah terdapat ribuan ulama, baik dalam ilmu syariah, hadits, ulumul qur’an, tafsir dan sebagainya. Kita juga punya ulama dari Urdun (Jordania), Iraq, Sudan, Qatar, Kuwait dan sebagainya. Para ulama di suatu wilayah memang mempunyai kecenderungan yang mudah untuk menjatuhkan vonis bid'ah dalam banyak hal. Namun apa yang mereka fatwakan itu bukan satu-satunya pendapat, sebab masih banyak pandangan lainnya yang juga menggunakan metode penelitian ilmiyah dan istimbath yang diakui.
Dalam membahas masalah-masalah yang terkait dengan ilmu fiqh dalam disiplin ilmu syariah, langkah awal yang diajarkan adalah mengumpulkan pendapat dari para ulama. Selanjutnya, menguraikan pendapat-pendapat itu baik yang mewakili mazhab tertentu, maupun pendapat pribadi. Tentu saja pendapat yang dicantumkan adalah pendapat dari ulama syariah yang punya otoritas dalam ilmu fiqh. Langkah berikutnya lagi, masing-masing pendapat itu kemudian dilengkapi dengan hujjah atau dalil-dalil yang mendukung pendapat mereka. Baik dalil dari Al-Qur'an Al-Kariem atau pun metode-metode istimbath hukum lainnya, sebagainya yang telah diuraikan di dalam ilmu ushul fiqih.
a. Fiqh Perbedaan Pendapat dan Perbandingan Mazhab
Bila ada dalil yang tegas tanpa bisa ditafsirkan lagi, baik di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, sudah pasti tidak akan ada perbedaan hasil pendapat di kalangan ulama. Namun kenyataannya, masih banyak hal yang tidak punya landasan yang bersifat mutlaq atau sharih (jelas), atau masih mengandung banyak pemahaman dan penafsiran, maka sangat wajar bila muncul beberapa pendapat yang berbeda. Sebagai contoh dapat diungkapkaan misalnya: dalam suatu kasus yang tidak mempunyai dalil yang langsung bisa disepakati pengertian hukumnya, mereka menggunakan metode istimbath hukum. Di antara metode istimbath itu antara lain masalih mursalah, istishhab, (baraatuz-dzimmah), saddu dzari’ah, istihsan, 'urf, syar'u man qoblana dan lainnya. Semua metode tersebut digunakan oleh para ulama untuk menghasilkan kesimpulan hukum. Bila hasilnya melahirkan perbedaan, maka sungguh sangat wajar. Dan memang demikianlah apa yang terjadi sepanjang sejarah ilmu syari’ah. Penuh dengan perbedaan pendapat, namun tetap dalam satu koridor, tanpa saling mencela dan menjatuhkan.
b. Mengenal dan mengerti watak perbedaan mazhab
Sudah waktunya kita umat Islam mengenal dan mengerti watak perbedaan mazhab. Umat Islam sudah bukan waktunya lagi hanya terpaku pada satu pendapat saja, lalu kemana pun dan dimana pun selalu terpaku pada pendapat yang itu-itu saja. Padahal masih banyak pendapat lain yang walau pun kita tidak sepakat, minimal kita perlu menghormatinya.
Bukan berarti umat Islam harus selalu bergonta-ganti pendapat, namun maksudnya adalah agar umat Islam saling memahami makna perbedaan pendapat khusus dalam masalah fiqhiyah. Intinya, kalau ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang kita yakini, khususnya di dalam masalah fiqhiyah, bukan berarti harus dimusuhi, apalagi diperangi.
Mungkin tidak sedikit kalangan awam yang belum belajar secara khusus tentang ilmu fiqh yang akan merasa aneh dengan perbedaan di kalangan ulama. Seringkali bila mereka membaca tulisan yang terkait dengan kajian fiqhiyah, mereka dapati isinya merupakan penjabaran perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahkan tidak jarang disebutkan ada mazhab A, mazhab B, atau ulama ini dan ulama itu. Masing-masing datang dengan pendapatnya sendiri-sendiri yang nyaris tidak pernah sama. Dan tidak sedikit yang kemudian bukannya menjadi paham, tapi malah tambah bingung. Biasanya pertanyaan menggugat yang terlontar antara lain seperti berikut ini
a) Bukankah agama ini satu?
b) Bukankah syariat ini satu?
c) Bukankah kebenaran satu tidak berbilang?
d) Bukankah sumbernya pun satu juga? Yaitu wahyu Allah. Tapi kenapa terjadi perbedaan sehingga dalam satu masalah ada pendapat lebih dari satu dan tidak satu pendapat antara madzhab sehingga umat Islam lebih mudah mengambil pendapat, karena mereka adalah umat yang satu?
Terkadang ada yang menduga bahwa perbedaan ini menyebabkan kontradiksi dalam syariat atau kontradiksi dalam sumber syariat atau perbedaan akidah, seperti perbedaan aliran-aliran dalam agama selain Islam seperti golongan Kristen Ortodoks, Katolik,Protestan dan lainnya.
Semua anggapan ini tentu tidak benar. Sebab perbedaan antara madzhab fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Khazanah kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya. Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah. Tak pernah kita dengar dalam sejarah Islam, perbedaan fiqh antara madzhab menyeret mereka kepada konflik bersenjata yang mengancam kesatuan umat Islam. Sebab perbedaan mereka dalam masalah parsial yang tidak membahayakan. Perbedaan dalam masalah akidah sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya.
Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia syariat dan memahami 'illat hukum. Semua hal ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah terputus. Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (zhann) yang terkuat menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena interpretasi ini yang menjadi pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda,"Jika seorang mujtahid berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan jika salah dapat satu pahala."
Kecuali jika sebuah dalil bersifat qath'i(pasti) dengan makna sangat jelas baik dari al-Qur'an, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak ruang untuk ijtihad.
C. Sebab-sebab terjadi Perbedaan Pendapat
Faktor penyebab perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah teks yang bersifat dlanni (lawan dari qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu. Faktor dimaksud, adalah sebagai berikut:
a. Perbedaan makna lafadl teks Arab
Perbedaan makna dapat disebabkan oleh lafadl bersifat umum (mujmal) atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain. Contohnya, lafadl al quru' yang memiliki dua arti; haid dan suci (Al Baqarah:228). Atau lafazh perintah (amr) dapat bermakna wajib dan/atau anjuran. Lafahz nahy; memiliki makna larangan yang haram dan/atau makruh. Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara umum dan/atau khusus, yaitu surah al-Baqarah: 206 "Tidak ada paksaan dalam agama", apakah ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?
b. Perbedaan riwayat
Perbedaan riwayat adalah perbedaan seseorang dalam meriwayatkan suatu hadis. Faktor perbedaan riwayat dimaksud ada beberapa, diantaranya:
a) hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
b) atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan jalan perawi yang kuat.
c) atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
d) atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.
e) atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.
c. Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum
Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum dimaksud, adalah sebagian ulama mengambil landasan sumber hukum, yaitu istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.
d. Perbedaan kaidah ushul fiqh
Perbedaan kaidah ushul fiqh seperti kaidah yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash qur’an dalam hukum adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
e. Ijtihad dengan qiyas
Melakukan ijtihad dengan qiyas menjadi penyebab perbedaan ulama yang banyak dijumpai dalam masalah kehidupan sosial. Sebab, qiyas memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat; sedangkan illat memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas dapat diterima. Di sinilah muncul perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.
f. Pertentangan (kontradiksi) tarjih dengan dalil-dalil
Pertentangan (kontradiksi) tarjih dengan dalil-dalil adalah membicarakan perbedaan ulama terhadap suatu dalil sehingga mengakibatkan muncul perbedaan pendapat. Perbedaan pola fikir di antara para ulama yang tampak adalah ada ulama yang berpegang pada takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan. Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga dapat disebabkan oleh sifat dan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi fatwa. Dari sini dapat diketahui bahwa ijtihad ulama tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat Allah yang turun kepada Rasulullah saw. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi sama. Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada 'ashabiyah (fanatisme golongan), permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut al-Qur'an sebagai umat yang bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh dengan tali Allah. Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau syariat Allah. Namun mereka menyebut, "Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya darinya (pendapat saya) berlepas diri." Wallahu a'lam bish-shawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
C. Sejarah Kemunculan Mazhab
Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi‘e dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasid, iaitu sejak kurun ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya dapat dilihat dalam 4 (empat) peringkat sebagai berikut.
a. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rashidun yang empat.
b. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyad dan Abbasid yang ketika itu mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang.
c. Pada era kejatuhan kerajaan-kerajaan Islam, yaitu mulai kurun ke 4H/10M, yaitu mazhab-mazhab dalam Islam tidak berperan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
d. Era kebangkitan umat Islam dan berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.4)
Era Pertama
Era pertama adalah bermula ketika diutus Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang Rasul oleh Allah swt dan mengem-bangkan agama tauhid yang baru, yaitu Islam. Di zaman itu, sumber syari‘at Isllam adalah wahyu berupa al-Qur’an al-Karim dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap yang bertujuan untuk memudahkan umat Islam menerima dan belajar secara bertahap.
Kemudahan mereka mempelajari Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bertindak sebagai guru. Ini sebagaimana dikhabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:
(Sebagaimana) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (iaitu Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2:151]
Di samping itu sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadis. Hadis beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Dan dia tidak memperkatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemahuan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadis) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks keagamaan juga merupakan salah satu bentuk tunjuk ajar wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bertindak sebagai seorang guru agama yang membetulkan apa-apa perbuatan umat pada ketika itu yang salah atau kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang sahabat, Abu Hurairah radhiallahu ‘anh:
Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap iaitu mengelakkan diri dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah mencari-cari aku.
Ketika aku datang kembali, baginda pun bertanya: “Ke mana kamu pergi wahai Abu Hurairah ?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”5)
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahawa sumber syari‘at atau fiqh Islam pada era pertama ini hanyalah apa yang bersumber daripada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada ketika ini fiqh Islam mudah dipelajari dan sebarang kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya seorang Rasul yang mengajar berdasarkan wahyu Allah Swt.6)
Selepas kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rashidun iaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telahpun lengkap dengan kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah al-Rasyidun meneruskan tradisi kemimpinan dan pengajaran Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berlandaskan kepada dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya satu perbedaan yang besar pada ketika ini, yaitu wahyu tidak lagi diturunkan oleh Allah Swt.
Dalam era Khalifah al-Rasyidun (empat khalifah ini), Islam sudah mulai meluas ke arah di luar wilayah saudi Arabiyah. Dengan pembukaan wilayah ini, para khalifah Islam sekali-sekali terpaksa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum nya yang melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, harta tanah dan sebagainya. Untuk mencari jalan penyelesaian persoalan dimaksud, para khalifah duduk bermusyawarah dengan para sahabat (Shura) untuk memperoleh suatu jawaban suara terbanyak yang paling mendekati ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mahram, beliau berkata:
Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang berperkara kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an), maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam perkara itu, maka beliau memutuskan perkara itu dengan sunnah. Jika tidak ada sunnah pada perkara itu, beliau akan bertanya kepada para sahabat.
Abu Bakar berkata: “Telah datang kepadaku suatu perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Bila Abu Bakar masih tidak menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu, maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Syura lalu menanya pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas yang satu (semua setuju), yaitu ijma' , maka beliau akan memutuskan atas ketentuan hasil ijma' itu. Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.7)
Pada suatu ketika ini, para sahabat pada umumnya masih berada di sekitar Kota Madinah sehingga tidak menjadi masalah untuk bermusyawarah di antara sesama mereka. Faktor ini memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar dan tidak terwujud mazhab atau jalan pandangan yang lain. Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang sama di zaman Nabi Muhammad Saw, penuh keseragaman dan bersatu sebagaimana yang wujud sebelumnya. Dalam era ini, tidak ada perbedaan pendapat melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat radhiallahu ‘anhum.
Era Kedua
Mulai tahun 41H/661M, setelah berlaku persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Umayyad, satu kerajaan pemerintahan yang berprinsipkan dinasti, yaitu suatu pemerintahan yang berdasarkan keturunan. Dinasti Umayyad tidak memberi perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam. Mereka hanya menumpukan perhatian kepada persoalan perluasan wilayah pemerintahan dan kekuasaan material.
Dalam era ini, banyak pengaruh luar yang berasal dari Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyad. Pola pemerintahan mulai tercemar ke arah sekuler yang memisahkan antara agama dan pemerintahan negara.8) Hiburan-hiburan dan adat-istiadat baru juga mulai diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti musik dan tari-tarian, ahli nujum, penilik nasib dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar dari milik rakyat kepada kegunaan persendirian dan pelbagai cukai baru dikenakan.9) Pemerintah juga mulai membesarkan keutamaan seseorang berdasarkan bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbul sentimen perkauman di kalangan rakyat.10)
Pola pemerintahan Dinasti Umayyad, digambarkan oleh Sayyed Hussien Nasr sebagai:
Dengan munculnya Dinasti Umayyad ini, suatu era baru telah bermula, yaitu lahirnya suatu wilayah pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah sampai ke Sepanyol. Mereka sangat mementingkan dan mengutamakan kekuasaan serta keluasan wilayah pemerintahan walau pada hakikatnya mereka banyak menghadapi masalah keagamaan dan kekuarangan keuangan. Dari segi perluasan wilayah kekuasaan negara, boleh dikatakan Dinasti Umayyad telah berhasil melakukan suatu usaha yang amat besar lagi berat bagi menjaga wilayah-wilayah dalam empayar mereka. Akan tetapi jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti ini jelas melambangkan kejatuhan dan kemerosotan dan kehancuran dari kondisi Islam sebelumnya. Mereka (Umayyad) tidak menjadi prinsip-prinsip dalam perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan hal-hal urusan dan perluasan wilayah kekuasaan dan melihat persoalan agama sebagai sesuatu yang remeh.11)
Di kalangan pemerintah-pemerintah Dinasti Umayyad, sedikit saja yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin. Sebagai contoh dapat disebut di antaranya: ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau memegang jabatan pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman inilah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang sebenarnya. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan selepas itu Dinasti Umayyad kembali ke era kegelapan di bawah pemerintah-pemerintah yang tidak mementingkan pelaksanaan ajaran Islam.
Para pemerintah Umayyad tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat pada umumnya. Teguran yang datang dari para ulama’ ditepis dan siapa yang berani menentang akan dihukum ke luar negeri. Para ulama’ istana adalah yang dipilih khas bagi menepati hasrat dan tuntutan kemeuan pemerintah saja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyad yang sedemikian menyebabkan ulama'-ulama' ketika itu mulai menyisihkan diri dari istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah lain yang sudah berada di bawah bendera Islam dan melaksanakan ajaran Islam yang sepenuhnya.
Fiqh Islam saat itu, berada dalam usaha dan ijtihad perseorangan ……. dalam suasana berkelompok atau berkumpul di sekitar seorang tokoh dan ini merupakan suatu tanda permulaan muncul mazhab-mazhab Islam.
Hampir semua ulama' yang berhijrah ke daerah-daerah wilayah yang baru dikuasai oleh pemerintahan Islam ini ialah orang-orang yang pernah berguru kepada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka ini disebut dengan gelaran tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul ulama' yang handalan berhujah serta berfatwa melebihi daripada kebiasaan. Kepantasan serta kecakapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama sangat tepat lagi menyakinkan. Karena itu, pada umumnya masyarakat berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” ini. Selain itu, kehandalan tabi’in ini tersebar ke daerah-daerah yang berdekatan sehingga warga masyarakat berdatangan untuk belajar sama. Hal ini terjadi di beberapa daerah dan dengan ini terwujud suasana pembelajaran fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana demikian tidak dapat dielakkan karena tidak ada tokoh ilmuan Islam pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajarannya kepada daerah-daerah lain. Suasana ini berlangsung hingga jumlah orang yang ikut belajar semakin banyak. Selain dengan itu, pengaruh tokoh ilmuan Islam yang mengajar semakin berkembang luas.
Akhirnya suasana fiqh Islam berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorangan, tidak lagi secara musyawara dan ijma' sebagaimana yang terjadi pada era para sahabat dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorangan ini pula terjadi dalam suasana berkelompok atau berkumpulan di sekitar seseorang tokohnya dan ini merupakan suatu tanda permulaan kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan terjadi pada beberapa tempat seperti pada musim haji.
Pada permulaan kurun ke 2H/8M, umat Islam sudah mulai merasa tidak puas kepada pemerintahan Dinasti Umayyad. Suasana ini menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti ini dijatuhkan. Peristiwa ini disimpulkan oleh Ensiklopidi Islam (Ind) dalam satu peristiwa sebagai berikut.
Pada awal abad ke-8 (102H/720M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyad telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu di kalangan muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Syi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayad sebagai perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang shalih, baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyad telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak puas hati ini akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition) yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.12)[12]
Setelah berakhir tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak murid mereka. Setiap dari mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang di-sampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin tersebar di kalangan umat Islam. Demikian juga ungkapan Seyyed Hussein Nasrsebagai berikut.
Pada penghujung Era Dinasti Umayyad, pada umumnya masyarakat menyadari bahawa kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenar. Kesedaran agama di kalangan rakyat, terutamanya golongan Syi'ah yang selama ini memang tidak menerima pemerintahan Umayyad - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan pemerintahan Umayyad. Usaha mereka didukung oleh kedatangan pengaruh Abbasid…………13)[13]
Kejatuhan Dinasti Umayyad menyaksikan kelahiran Dinasti Abbasid yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola pemerintahan Abbasid dan Umayyad tidaklah sama, yaitu Dinasti Abbasid memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari sudut keilmuannya. Dalam era inilah keilmuan Islam kembali bangun dan terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie rahimahullah menerangkan:
Sebaik-baik fiqh Islam memasuki era ini, berjalan perkembangan-perkembangannya yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Pembahasan-pembahasan ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa ini memasuki periode kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era ini mewariskan kepada para kaum muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya. Dalam era inilah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadis, ilmu kalam, ilmu lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era inilah juga lahirlah tokoh-tokoh fiqh yang terkenal……..14)[14]
Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan ialah mereka yang sudah mulai terkenal namanya sejak dari era Umayyad seperti yang telah diuraikan. Ketokohan mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga warga masyarakat dari segala pelosok dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu. Di antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M) dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas (179H/796M) di Madinah. Kemudian daripada mereka lahir juga tokoh-tokoh lain, yaitu murid-murid dari tokoh-tokoh di atas. Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi‘e (204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali (270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M).15) Ketokohan dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas diberi penghargaan oleh masyarakat dengan gelar Imam. Setiap dari tokoh-tokoh dimaksud, mempunyai ratusan pengikut dari umat Islam, mereka menganggap toloh itu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh ini mengajar berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbedaan sesama mereka. Perbedaan ini timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dielakkan pada masa era ini seperti berijtihad secara perseorangan, tidak kesampaian sesuatu Hadis yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas, kaedah pengambilan hukum yang berbeda dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan ini adalah kecil dan insya-Allah akan dihuraikan pada bahagian akan datang.
Perbedaan-perbedaan ini dikatakan sebagai pendapat seseorang tokoh itu dan ia dihubungkan kepada namanya. Sesuatu pendapat inilah yang digelar sebagai Mazhab. (A particular school of thought). Pada era ini juga ilmu-ilmu Islam mulai dibagi kepada beberapa jurusan untuk memudahkan seseorang itu mencapai kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sebagainya. Selain ilmu-ilmu dimaksud, juga mulai dibukukan secara formal, yaitu pembukuan ilmu fiqh Islam Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf.16) [16] dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris al-Shafi‘e. Pembukuan dan penulisan kitab hadis juga dilakukan dalam era ini atas saranan Khalifah Harun al-Rashid.17)[17] Kitab-kitab hadis yang pertama diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.
Selepas kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak murid mereka. Setiap dari mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh kerana itulah kita dapati pada era ini orang ramai di sekitar Madinah dan Mekah banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), orang ramai di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan orang ramai di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat al-Layts ibn Sa‘ad.
Suasana kecenderungan kepada satu mazhab semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasid mengambil dan mengiktiraf pendapat Abu Hanifah sahaja sebagai mazhab rasmi dunia Islam ketika itu. Suasana ini menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan ini menjadi lebih tegang apabila pemerintah-pemerintah Abbasid mula mencabar dan menganjurkan perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan hanya atas tujuan peribadi dan hiburan istana.18)[18] Perbuatan pemerintah-pemerintah Abbasid ini memburukkan lagi suasana perkelompokan dan persendirian dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu Ameenah Bilal Philips menerangkan:
Perdebatan-perdebatan ini menimbulkan suasana persaingan dan dogmatisma sesama mereka kerana apabila kalahnya seorang tokoh itu dalam perdebatan ini dia bukan sahaja kehilangan ganjaran wang dari pemerintah tetapi juga kehilangan maruah dirinya.
Lebih dari itu kehilangan maruah diri sangat berhubung-kait dengan kehilangan maruah mazhab seseorang itu. Justeru kita dapati menghujahkan kebenaran atau kebatilan mazhab seseorang itu menjadi agenda utama debat-debat tersebut. Hasilnya, persaingan dan perselisihan makin memanas antara tokoh-tokoh mazhab.19)[19]
Pada kurun ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadis seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai (303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka menjihadkan seluruh tenaga, masa dan hayat bagi merantau ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam ketika itu untuk mencari, meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadis-Hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik. Hadis-hadis Rasulullah ditapis dan dianalisa terlebih dahulu dengan ketat sekali sebelum ianya diterima dan diberikan status sahih.20)[20]
Malangnya pada ketika ini, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal telahpun meninggal dunia. Ini sedikit-sebanyak ada hubung-kaitnya dengan kesempurnaan pendapat fiqh mereka kerana ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan kepada hadis yang lemah atau tidak tepat kerana tidak menjumpai hadis yang khusus sebagai dalil.
Permulaan kurun ke 4H/10M menyaksikan Dinasti Abbasid mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah dalaman serta luaran. Selepas tahun 339H/950M dunia Islam diperintah oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing mewakili daerahnya. Pada ketika ini ajaran-ajaran fiqh Islam mula terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, iaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘e dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada kurun ke 4H/10M dan seterusnya mula terikut secara ketat kepada empat mazhab ini.
Pada penghujung hayat Dinasti Abbasid ini juga acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak sehinggakan acara ini memperoleh namanya yang tersendiri, iaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan sahaja kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada orang ramai kerana masing-masing membenarkan tokoh dan menyokong mazhab mereka.21)[21]
Ini secara tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya tembok-tembok pemisah antara sesebuah mazhab sama ada dari segi ajaran, masyarakat dan geografi. Tembok ini dengan peredaran zaman semakin meninggi dan menebal. Umat Islam mula dibahagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang mereka ikuti dan pegangi sehinggakan ahli-ahli ilmu pada zaman ini juga mula mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didokongi masing-masing.
Era Ketiga Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi cogan kata umat keseluruhan-nya…… para ulama’ se-sebuah negara tidak mempunyai banyak pili-han kecuali hanya meng-ajar dan berfatwa ber-dasarkan mazhab nega-ranya, tidak lebih dari itu.
Selepas kejatuhan Dinasti Abbasid, umat Islam berada dibawah beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai kaedah pemerintahan yang tersendiri dan masing-masing mempunyai ‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan syari‘at-syari‘at Islam. Pada ketika ini juga, iaitu pada kurun-kurun ‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mula mengalami kejatuhan dan kemundurannya berbanding dengan negara-negara non-muslim selainnya.22)[22]
Banyak faktor yang menyumbang kepada kejatuhan umat Islam pada ketika ini, antaranya ialah:
1. Terlalu leka dengan kejayaan yang dicapai sejak beberapa kurun yang lepas,
2. Ghairah dengan habuan duniawi hingga alpa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,
3. Banyak perselisihan sesama sendiri atas tuntutan duniawi dan berbagai lagi.
Namun demikian, salah satu faktor yang amat penting yang berhubung-kait dengan mazhab-mazhab Islam yang empat ialah wujudnya ketaksuban mazhab dan lahirnya budaya taqlid, iaitu perbuatan hanya mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah atau alasan di sebaliknya.
Dengan terbahaginya umat Islam kepada beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin kuat. Seseorang yang berada dalam sesebuah mazhab hanya dibolehkan mempelajari atau mengikuti mazhabnya sahaja tanpa menjengok atau membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu majoriti umat pula sudah mulai mewujudkan budaya taqlid ini, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik..... Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, iaitu wajib, haram, sunat, makruh dan harus.
Menerima hakikat kewujudan mazhab dan mereka lebih rela mengikuti sahaja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih daripada itu. Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi cogan kata umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi lebih tebal, tinggi dan kukuh. Selain itu, para ulama’ juga tidak terlepas daripada belenggu ini. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak selari dengan tuntutan mazhab rasmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan dipulau atau dibuang negeri. Ditambah pula, ke negeri mana sekalipun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab rasminya. Justeru itu para ulama’ sesebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan ajaran mazhab. Hanya sekali-sekala timbul beberapa ulama’ yang berani melawan arus kebudayaan mazhab ini akan tetapi mereka menghadapi tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam sendiri.23)[23]
Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” ditambah dengan budaya taqlid mazhab, iaitu mengikuti dan mentaati satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan, hujah mahupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan wujudnya budaya taqlid ini, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik. Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan. Maka beralihlah fiqh Islam pada era ini kepada sesuatu yang beku lagi membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang timbul selari dengan tuntutan zaman. Fiqh Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini.
Pemahaman budaya taqlid ini meluas, sehingga umat Islam berkenaan agama mereka makin menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, yaitu wajib, haram, sunat, makruh dan mubah. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya terhad kepada bidang fiqh Islam sahaja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.
Budaya taqlid dimaksud, mempunuyai kesan buruk terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah sebagai berikut.
Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya yang tersendiri yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah taqlid kerana yang sedemikian itu bererti mempermainkan agama. Tak ada yang tertinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang mereka 'anut' , setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya. Seseorang yang mengakui dirinya melakukan ijtihad tidaklah diakui orang hasil ijtihadnya dan tak seorangpun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat ini telah menjadi serombongan manusia yang hanya bertaqlid kepada imam yang empat tersebut. Inilah yang dikatakan orang sekarang sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam atau tertutupnya pintu ijtihad.24)[24]
Walaupun beberapa ketika selepas itu (kurun ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai kekuatan material dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan pihak Eropah.25)[25], ini tidak bertahan lama kerana di sebalik kekuatan tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang mula melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan kecuali jika ianya diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat. Hal ini, mereka lakukan atas femahaman bahawa ilmu-ilmu Islam ini hanyalah sebagai apa yang termaktub dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman
Beberapa kerajaan Islam ketika itu mula mengimport dan melaksanakan budaya serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di bawah kawalan mereka. Suasana ini lebih memburukkan: Islam makin tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Ini mereka lakukan atas fahaman bahawa ilmu-ilmu Islam ini hanyalah sebagai apa yang termaktub dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman. Era ini berjalan terus dengan nasib umat Islam yang sedemikian, iaitu Islam bermazhab, masing-masing bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam yang asal.
Era Keempat
Pada kurun ke 11H/17M dan 12H/18M, negara-negara Eropah mula mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan perindustrian. Negara-negara Eropah mula menjajah dan menakluk negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat mereka.26)[26] Suasana ini mula menyedar dan membangkitkan umat Islam akan hakikat kedudukan mereka yang sebenar. Umat Islam, sekalipun sudah agak terlambat, mula menyedari akan kemunduran mereka dan bahaya yang akan hadapi bila tidak mengubah sikap dan pola fikir.
Huzaemah Tahido mengemukakan bahwa:
Ekspedisi Napoleon bersama tentaranya ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/ 1801M telah membuka mata dunia Islam dan menyadarkan para penguasa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat. Karena itu, para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan bagi umat Islam. Hubungan dengan Barat inilah yang menimbulkan pemahaman dan pemikiran untuk ‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam. Bagaimana memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya ? Pertanyaan ini terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari kebekuannya selama ini. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad kembali ditekuni dan menjadi sumber dinamika dalam hukum Islam.27)
Berdasarkan hal di atas, maka abad ke 12H/18M dan 13H/19M dapat disaksikan beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bahagian dunia Islam yang tidak fanatik untuk bermazhab dan bertaqlid, meruntuhkan tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan umat Islam dari tidur sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan dalam berbagai aspek, sehingga ummat Islam sadar terhadap ajaran agamanya dan semangat Islam untuk maju bersama ummatnya..
Ulama-ulama yang mengubah pola fikir kejumudan ke pola fikir pembaharuan, di antaranya adalah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani (1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rasyid Ridha (1353H/1935M) dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan. Selain itu banyak lagi individu lain yang muncul di benua-benua lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai nama gerakan yang tersendiri, objektifnya tetap sama, yaitu memajukan semangat beragama Islam berdasarkan pengkajian ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains, perekonomian dan sebagainya. Mereka menekankan bahawa untuk umat Islam bangkit untuk maju, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam bidang ilmu agama dan ilmu duniawi karena pada asalnya kedua ilmu ini adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama dan ilmu duniawi saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada yang bertentangan maka itu adalah kekurangan pengetahuan manusia tentang salah satu daripadanya.28)
Usaha untuk membangun pola fikir umat Islam diperjuangkan oleh ulama-ulama pembaharu. Tokoh-tokoh agama serta dunia Islam mulai sadar akan kepentingan pengkajian semua ilmu-ilmu Islam, menghindarkan penghormatan berlebihan kepada imam mazhab, mengecam taqlid buta, membuka pintu-pintu ijtihad dan pelbagai metode pembaharuan pola fikir. Kitab-kitab tafsir, hadis, fiqh dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tidak menjadikan rujukan fiqh produk imam mazhab, melainkan diinterpretasi dan diterjemahkan sesuai perkembangan zaman agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Seminar, permusyawaratan dan lain-lain dianjurkan tanpa henti-henti untuk mengkaji dan mengaplikasikan ajaran Islam. Namun, usaha yang dilakukan ini masih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mau berusaha atau yang menentang terus hasil ijtihad dari para mujtahid masa kini, Masih banyak umat dan tokoh Islam saat ini yang menjadikan pedoman kepada hasil pemikiran mazhab sehingga amat berat untuk melakukan pembaharuan. Selain itu, banyak juga ummat Islam yang sudah terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehingga dirasakan ummat Islam ini, bermazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama yang bersifat urusan individu yang diamalkan di rumah saja oleh siapa yang menginginkannya. Golongan-golongan demikian, yang sebenarnya menjadi penghalang utama kepada kemajuan ummat Islam dan golongan-golongan inilah yang perlu diubah pola fikirnya.29)
Para imam mazhab muncul dengan sebab-sebab sejarah dan politik, mazhab-mazhab ini muncul seperti yang telah dihuraikan di atas. Untuk memantapkan kefahaman, maka diuraikan faktor-faktor penyebab bagi munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat:
a. Pola pemerintahan Umayyad yang tidak akur dan patuh kepada tunjuk ajar para ulama’ yang wujud ketika itu. Malah ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, diancam atau ditangkap. Ini menyebabkan ulama’-ulama’ era ini menyisihkan diri mereka dari suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal ini menyebabkan tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’) dalam apa-apa persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum pemerintahan Umayyad.
b. Wilayah Islam sudah semakin luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada mereka. Oleh kerana Kerajaan Umayyad tidak mengambil peduli akan persoalan agama dan rakyat, maka usaha ini jatuh ke tangan ulama’-ulama’ secara persendirian.
c. Tidak wujud sebarang sistem komunikasi atau media yang canggih pada zaman ini bagi membolehkan para ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh itu para ulama’ era ini terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan ilmu yang sedia ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadis yang sedia diketahuinya.
d. Dalam suasana ini timbul beberapa ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cekap dalam mengupas dan mengolah persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan orang ramai mula berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya mula tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan orang ramai mula bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.
e. Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasid melihatkan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era ini juga kehandalan beberapa tokoh persendirian tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Syafi‘e di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Pendapat serta ajaran mereka digelar mazhab dan dari sinilah bermulanya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘e dan Hanbali.
f. Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi oleh Kerajaan Abbasid. Pemerintah-pemerintah Abbasid melantik qadi-qadi serta ulama’-ulama’ Hanafi menjadi gabenor atau mufti bagi wilayah-wilayah dalam empayar mereka. Ini menimbulkan banyak ketidakpuasan kepada umat Islam yang tidak cenderung kepada mazhab Hanafi. Mereka enggan akur kepada mufti-mufti Hanafiah dan terus mengamalkan mazhab tokoh-tokoh mereka sendiri.
g. Menyedari wujudnya perbedaan antara ajaran mazhab, pemerintah-pemerintah Abbasid mula menganjurkan acara perdebatan antara tokoh sesebuah mazhab. Perbuatan ini menyebabkan persaingan dan perselisihan antara mazhab mula memanas dan memuncak.
h. Setelah jatuhnya Dinasti Abbasid, Kerajaan Ottoman mengambil alih. Selain kerajaan Ottoman wujud juga beberapa kerajaan Islam yang lain. Masing-masing memerintah wilayah mereka yang tersendiri dan mengangkat sesebuah mazhab menjadi mazhab rasmi mereka. Perbuatan ini menambahkan lagi persaingan dan perasingan antara mazhab.
i. Mulai masa ini umat Islam dan negara mereka mula dikenali berdasarkan mazhab. Demikian juga nama-nama tokoh agama didasarkan kepada mazhab yang didokonginya.
j. Mulai kurun pertengahan hingga masa kini, umat Islam hanya merujuk kepada satu-satu mazhab tertentu sahaja. Umat Islam dengan sendirinya menutup pintu-pintu ijtihad dan rela duduk mengamalkan konsep bermazhab dan bertaqlid tanpa banyak soal.
Jika menganalisis faktor-faktor kemunculan mazhab-mazhab fiqh dalam hukum Islam ini, maka akan ditemukan wujud secara ‘terpaksa’ oleh suasana peredaran zaman dan politik. Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal hanya memiliki tujuan mengajar dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang benar kepada umat. Mereka berhijrah ke sana-sini semata-mata untuk mencari ilmu dan menyampaikan ilmu. Mereka mengumpul dan menulis ajaran-ajaran Islam supaya tidak hilang dimakan oleh masa, supaya umat terkemudian dapat merujuknya. Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelom-pokkan umat Islam ini kepada mazhab mereka saja. Tidaklah menjadi hasrat para imam mazhab yang empat untuk memmecah umat ini kepada empat kelompok. Sejarah dunia Islam memaksa ajaran mereka menjadi tersebar kepada sekian daerah dan sekian umat. Suasana politik yang menimbulkan suasana persaingan dengan sengaja menganjurkan debat-debat sesama pengikut mereka. Suasana politik juga memaksa ajaran mazhab ditaati oleh ummat Islam tanpa persetujuan dari para mazhab. Karena itu, kita tidak boleh menyalahkan para imam mazhab sebagai sebab timbulnya mazhab-mazhab Islam ini. Bahkan jika diperhatikan benar-benar, para imam mazhab inilah yang banyak berjasa mengekal, menjaga dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam sebagaimana yang kita pelajari dan amalkan sekarang. Jasa-jasa para imam mazhab ini boleh dirumuskan sebagai:
a. Berusaha untuk bekerja keras dalam menjaga keaslian dan ketulenan ajaran agama daripada dicemari oleh faktor-faktor politik.
b. Berusaha menghidupkan semua ajaran Islam yang ditinggalkan oleh peredaran zaman.
c. Menyusun dan membukukan ajaran-ajaran Islam supaya ia dapat dipelajari oleh umat sepanjang masa.
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa tidak menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam ini kepada mazhab mereka saja. Mereka membuat kaedah-kaedah fiqh yang sistematik untuk memudahkan umat Islam dikemudian hari mencari dan mengeluarkan hukum dari sumber aslinya. Jasa-jasa para imam mazhab kepada ajaran dan ilmu Islam tidak dapat dilupakan sampai hari ini dan akan datang. Hal inilah yang diterangkan oleh Abdul Rahman I. Doi bahwa Imam Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal adalah pemimpin-pemimpin Mazhab Ahli Sunnah yang telah memberikan jasa baik yang tiada tandingan dalam bidang fiqh Islam. Tidaklah dari seorangpun dari mereka yang mencoba untuk mengubah ajaran al-Qur'an dan tidak juga mereka bertujuan untuk mengubah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dituduh oleh segelintir orang lain dan ahli-ahli ilmuan Islam yang sempit ilmunya.30)
Demikianlah secara ringkas pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam sejak dari era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hinggalah ke masa kini. Insya-Allah di bahagian seterusnya kita akan berkenalan pula dengan lebih rapat, siapakah Para imam mazhab yang empat ini dan bagaimanakah jalan hidup mereka menegakkan ilmu-ilmu Islam
Selasa, 07 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar