Ide mengenai munculnya hak asasi manusia secara hukum ketatanegaraan diperkirakan pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas Masehi. Hal itu terjadi sebagai reaksi terhadap arogansi dan kediktatoran raja-raja dan kaum feodal terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan di zaman itu. Masyarakat manusia di zaman dimaksud, terdiri dari dua lapisan besar, yaitu: (1) lapisan atas yang minoritas mempunyai sejumlah hak-hak terhadap lapisan bawah yang mayoritas sebagai kelompok yang diperintah; dan (2) lapisan bawah yang mayoritas mempunyai sejumlah kewajiban-kewajiban terhadap lapisan minoritas yang menguasainya. Lapisan masyarakat yang disebutkan terkhir itu tidak mempunyai hak-hak terhadap lapisan minoritas, melainkan mempunyai sejumlah kewajiban, bahkan diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa. Terhadap diri mereka. Mereka diperlakukan sebagai budak yang dimiliki. Pemilik dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap apa yang dimilikinya
Keadaan masyarakat tersebut, menimbulkan ide supaya lapisan bawah yang mayoritas itu sebagai manusia juga, diangkat derajatnya dari tidak punya hak menjadi memiliki hak yang sama dengan masyarakat lapisan atas. Akhirnya terwujud ide persamaan, persaudaraan, dan kebebasan, yang ditonjolkan oleh Revolusi Prancis pada akhir abad ke delapan belas. Semua manusia adalah sama, tidak ada budak yang dimiliki, melainkan semua manusia merdeka dan bersaudara.
Kalau demikian halnya yang menjadi asas Revolusi Prancis maka dapat disebut sebagai dasar dari hak asasi manusia adalah agama tauhid, agama yang mempunyai ajaran kemahaesaan Allah. Tauhid, yang dengan kuat dipegang oleh ajaran agama Islam, mengandung arti yang ada hanya satu Pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dan utama dalam agama Islam adalah la ilaha Illa Allah ( لااله الا الله ) tiada Tuhan selain Allah, tiada Pencipta selain Allah. Seluruh alam dan semua yang ada di atas, baik dipermukaan bumi maupun di dalam bumi adalah ciptaan Yang Maha Esa. Semuanya, baik manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun benda tak bernyawa berasal dari Yang Maha Esa, yaitu Allah Swt.
Dalam agama tauhid yang demikian terkandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh manusia. Bahkan bukan hanya itu saja, melainkan mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Tegasnya dalam ajaran agama tauhid terdapat pula ide perikemakhlukan, di samping ide peri kemanusiaan. Ide peri kemakhlukan mempunyai jangkauan lebih luas, yaitu mencakup ide peri kemanusiaan yang cakupannya lebih sempit.
Dalam ajaran agama Islam ide peri kemakhlukan itu mendorong manusia untuk tidak bersikap sewenang-wenang baik terhadap sesamanya manusia maupun terhadap makhluk lain yang diciptakan oleh Allah Swt. Karena itu, ajaran agama Islam melarang manusia menyakiti binatang. Hadist Nabi Muhammad Saw. mengungkapkan bahwa wanita yang mengikat kucing, tak memberinya makan dan tak melepaskannya mencari makanan, masuk neraka. Menyembelih binatang tidak boleh memakai pisau yang tumpul, melainkan harus pisau yang tajam, agar binatang itu tidak menderita. Sewaktu Umar Ibn Khattab, Khalifah kedua melihat seseorang menyeret kambing dengan kasar untuk disembelih, ia menegur: “Celaka engkau, tariklah kambing itu dengan lemah lembut dalam menghadapi kematiannya (Muhammad Al-Ghazali, 1970: 362). Seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad: “Aku bersikap lembut terhadap kambing yang kusembelih”. Nabi menjawab: “Jika engkau bersikap lemah lembut kepadanya, Allah akan memberimu rahmat” (Muhammad Al-Ghazali, 1970: 363).
Al-Ghazali, seorang ulama besar di Mesir yang banyak menulis tentang ajaran-ajaran Islam dalam berbagai aspeknya, berpendapat bahwa sikap kasih sayang dalam Islam tidak terbatas hanya dalam masyarakat manusia, melainkan kasih sayang manusia mencakup masyarakat binatang, apakah itu yang melata di bumi ataupun yang terbang di udara (Muhammad Al-Ghazali, 1970: 255). Nabi Muhammad menjelaskan: Allah Swt. membagi rahmat dan kasih sayang-Nya menjadi seratus bagian dan satu dari padanya Ia turunkan kepermukaan bumi. Dari sinilah asal kasih sayang antara sesama makhluk, sehingga induk binatang merenggangkan kedua kaki agar anaknya tidak terinjak kuku”.
Ajaran agama Islam mengenai kasih sayang kepada binatang ini, kelihatannya dilaksanakan oleh raja-raja Islam di masa lampau. Sebagai contoh dapat disebut mislanya: di lembaga kepolisian yang ada di zaman itu terdapat pegawai yang disebut mukhtasib. Mukhtasib adalah pegawai yang bertugas untuk mengurusi kekejaman tuan terhadap binatang yang dimilikinya, seperti tidak memberi binatang piaraan itu makanan dan minuman, atau memberinya beban yang terlalu berat (R. Levy, 1962: 337). Lebih lanjut, menurut Mustafa Al-Siba’i, menghususkan wakaf untuk binatang bukanlah hal yang asing dalam sejarah Islam. Belum lama berselang di Damsyik masih terdapat wakaf serupa ini yang menampung dan memberi makan empat ratus ekor kucing (Mustafa Al-Siba’i, tt: 369). Karena itu, amal shaleh dalam ajaran agama Islam tidak hanya perbuatan baik kepada manusia, melainkan mencakup perbuatan baik kepada sesama makhluk, termasuk binatang. Hadist Nabi Muhammad mengungkapkan bahwa wanita yang memberi air kepada anjing yang kehausan, dosanya diampuni oleh Allah Swt. Hadist Nabi Muhammad yang lain mengungkapkan bahwa seorang laki-laki melihat seekor anjing yang kehausan, lalu ia memberi air minum. Nabi Muhammad berkata: “Allah Swt berterima kasih kepadanya dan dosanya Ia ampuni”. Ketika Sahabat bertanya apakah perbuatan baik terhadap binatang ada pahalanya, beliau mengiyakan.
Selain itu, perlu juga dijelaskan di sini bahwa bukan binatang saja yang harus dipelihara dengan baik, melainkan juga tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa. Kepada tentara yang akan pergi berperang, Nabi Muhammad mengeluarkan instruksi kepada mereka berupa larangan: “Jangan bunuh wanita, anak kecil, serta orangtua, jangan rusak pohon korma, jangan cabut pepohonan, dan jangan runtuhkan rumah”. Demikian pula Abu Bakar, Khalifah pertama, mengingatkan Usamah, panglima perangnya: “Jangan berhianat, jangan bersikap keras, jangan curang, jangan menyiksa dan membunuh anak, orangtua dan wanita, jangan potong dan bakar pohon korma, jangan tebang pohon berbuah, dan jangan sembelih kambing, lembu atau onta, kecuali untuk dimakan”. Pernyataan-pernyataan dalil hukum tersebut, menunjukkan bahwa dalam agama Islam terdapat ide peri kemanusiaan yang merupakan bagian dari ide peri kemakhlukan yang pernah dicontohkan oleh Nabyullah Muhammad yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya.
Minggu, 12 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar