REGIA VICTORIA
“ HUKUM SEBAGAI FENOMENA SOSIAL YANG HIDUP DAN BERKEMBANG DALAM MASYARAKAT DI LIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM “
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum (ubi Societas ibi ius). Hukum ada pada setiap masyarakat manusia dimanapun juga dimuka bumi ini. Bagaimanapun primitifnya manusia dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, tetapi justru mempunyai hubungan timbal balik antara keduanya.
Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia. Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Tidak ada satupun aspek kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan hukum. Dengan demikian hukum itu berada dalam masyarakat, karena masyarakatlah yang membentuk hukum.
Keadaan dan perkembangan hukum senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku. Dalam kehidupan modern, hukum memiliki posisi yang cukup sentral. Kita dapat mencatat bahwa hampir sebagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum, baik yang berbentuk hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis
Hukum sebagaimana dikemukakan di atas adalah hukum dalam arti luas, ia tidak hanya sekadar peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan khusus pembuat undang-undang atau dengan kata lain hukum bukan hanya sesuatu yang bersifat normatif. Hukum juga merupakan fenomena sosial yang tertuang dalam perilaku manusia atau lebih tepatnya perilaku sosial.
Hukum dapat dikatakan sebagai konsensus yang harus diterima bersama sebagai aturan yang wajib di taati dan didukung oleh suatu kekuasaan dalam mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan agar selalu berada pada kondisi kesusilaan dalam mewujudkan keserasian keselarasan dan keseimbangan dalam hidupnya. Menurut Sunaryati Hartono ada 4 fungsi hukum dalam pembangunan yaitu :
1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan
2. Hukum sebagai sarana pembangunan
3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan
4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.
Dimana hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan berfungsi mewujudkan kehidupan dalam bermasyarakat secara serasi, selaras dan seimbang. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan tersebut belum tentu dapat berjalan bersamaan dengan hukum.
Dalam hal ini bisa saja terjadi aneka bentuk kejahatan dalam masyarakat yang merupakan bentuk ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut dan hukum sebagai alat pemelihara ketertiban dan keamanan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.
B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang diatas maka dapat diambil permasalahan yaitu :
1. Bagaimana Peranan Hukum dalam Mempengaruhi Perilaku Manusia?
2. Bagaimana Aturan-aturan Hukum sebagai suatu Fenomena Sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERANAN HUKUM DALAM MEMPENGARUHI PERILAKU MANUSIA.
Hukum dalam mempengaruhi kehidupan manusia adalah hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial. Kontrol social (social kontrol) biasanya diartikan sebagai suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.
Sosial kontrol yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial yang berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian didalam perilaku-perilaku tersebut. Salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan- aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti orang agar tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan.
Hubungan antara hukum dengan perilaku masyarakat terdapat unsur Pervasive Socially (Penyerapan Sosial) yang artinya bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila aturan-aturan hukum dengan sanksi-sanksinya atau perlengkapan-perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan (Polisi, Hakim, Jaksa) sudah diketahui dan dipahami arti dan kegunaannya oleh individu atau masyarakat yang terlibat oleh hukum
Perwujudan sosial control mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan atau sanksi negatif bagi pelanggarnya. Sedangkan dalam terapi maupun konsiliasi sifatnya remedial artinya mengembalikan situasi pada keadaan yang semula. Oleh karena itu yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi standarnya adalah normalitas, keserasian dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.
Fungsi hukum dalam suatu kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi suatu kelompok.
Oleh karena itu hukum harus djalankan untuk menjadi sosial kontrol dalam kehidupan bermasyarakat sebab tugas dan fungsi hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan juga merupakan instrumen yang tidak dapat digantikan untuk mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang dilakukan oleh manusia.
B. ATURAN-ATURAN HUKUM SEBAGAI SUATU FENOMENA SOSIAL
Hukum ada karena ia diciptakan, ia tidak jatuh dari langit begitu saja (taken for granted). Dengan kata lain, ia ada sebagai karya manusia yang mengkonstruksi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sebagai sebuah proses konstruksi, keberadaannya tidak lepas dari berbagai peristiwa atau kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling berhubungan satu sama lain.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa : Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan.
Hukum sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya berlaku bagi individu-individu yang merasakan, mengetahui dan memahami hukum tetapi dipelajari pula bagaimana pandangan dan persepsi masyarakat dan individu terhadap hukum. Selain itu, juga mengenai tujuan aturan-aturan hukum dan mengapa aturan menjadi kehidupan sosial masyarakat yang menjadi aturan sosial. Ada suatu asumsi bahwa hukum menciptakan atau memelihara keteraturan sosial. Ini adalah suatu asumsi yang mungkin ditolak oleh analisa tentang aturan-aturan hukum sebagai suatu fenomena sosial. Meningkatnya penggunaan hukum sebagai suatu legitimasi alat bagi ketenangan dan intervensi dalam area pribadi dengan hubungan sosial yang memberikan efek diam-diam.
Masalah-masalah fenomena hukum dititikberatkan pada masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan legal relations, umpamanya court room (Ruang Pengadilan), dan solicitor’s office (Kantor Pengacara). Selain itu adalah studi terhadap proses-proses interaksional, organizational socialization, typifikasi, abolisi dan konstruksi sosial. Dengan demikian berarti, melihat hukum sebagai suatu proses atau lebih tepatnya lagi adalah proses sosial.
Salah satu proses sosial yang terdapat dilihat dalam dinamika hukum adalah apa yang terjadi di pengadilan. Untuk memahami proses yang terjadi di pengadilan maka kita harus mengetahui lebih dalam tentang pengadilan. Pengadilan tidak hanya terdiri dari gedung, hakim, peraturan yang lazim dikenal oleh ilmu hukum, melainkan merupakan suatu interaksi antara para pelaku yang terlibat dalam proses pengadilan. Bekerjanya pengadilan menggambarkan interaksi antara sistem hukum dan masyarakat. Peraturan yang mengatur tata cara berperkara dikembangkan lebih lanjut (worked out) melalui perilaku berperkara para pihak yang terlibat dalam proses peradilan, khususnya hakim.
Proses peradilan adalah jauh lebih kompleks dari pada yang dikira banyak orang, yaitu tidak sekadar menerapkan ketentuan dalam perundang-undangan. Proses peradilan juga tercermin dalam perilaku orang-orang yang berperkara atau perilaku dari pejabat pengadilan (court behavior). Mengadili tidak selalu berkualitas full adjudication, melainkan sering juga berlangsung in the shadow of law, di mana penyelesaian secara hukum hanya merupakan lambang di permukaan saja, sedang yang aktif berbuat adalah interaksi para pihak dalam mencari penyelesaian. Hukum dipakai untuk mengemas proses-proses sosiologis dan kemudian memberinya legitimasi melalui ketukan palu hakim.
Dalam praktek penegakan hukum sehari-hari, praktek kekuasaan kehakiman berada pada pundak dan palu sang hakim. Kedudukan hakim memegang peranan yang penting sebab setiap kasus baik pidana, perdata maupun tata usaha negara akan bermuara pada pengadilan. Hal ini terjadi karena pengadilan merupakan instansi terakhir yang akan menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ini berarti kedudukan pengadilan menempati posisi sentral dalam penegakan hukum.
Hukum yang berintikan keadilan tidak lain berisi ”janji-janji” kepada masyarakat yang terwujudkan melalui keputusan birokratis. Ini berarti lembaga pengadilan mempunyai kewajiban untuk memberikan dan menjaga terwujudnya janji-janji hukum dan keadilan melalui keputusan-keputusan yang meliputi segala aspek kehidupan seperti bidang ekonomi, perburuhan, hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, kesejahteraan dan hak-hak sipil lainnya
Kenyataan menunjukkan bahwa pengadilan yang disebut sebagai benteng terakhir keadilan hanyalah mitos belaka, karena banyak keputusan yang dihasilkan ternyata justru tidak adil. Apa yang dikatakan bahwa hukum itu tidak steril ternyata benar adanya karena banyak putusan pengadilan yang berpihak kepada mereka-mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Dari hal ini lembaga pengadilan sebagai lembaga yang memberikan keadilan ternyata gagal dan otomatis memperburuk citra pengadilan di masyarakat.
Citra pengadilan di masyarakat cukup banyak ditentukan oleh integritas, sikap dan tindakan hakim. Singkatnya, masalah perilaku hakim terlalu penting untuk tidak dibicarakan, terutama pada saat kita ingin membangun atau mereformasi atau meningkatkan citra pengadilan kita. Dari segi sosiologi hukum, putusan hakim merupakan hasil dari suatu kompleks faktor-faktor, di mana di antaranya adalah faktor hakim atau manusia hakimnya.
Persoalan yang berkaitan dengan lembaga peradilan, citra pengadilan dan perilaku hakim dalam memutus suatu perkara adalah berhubungan dengan proses bekerjanya hukum. Salah satu sudut penglihatan yang dapat dipakai untuk mengamati bekerjanya hukum itu adalah dengan melihatnya sebagai suatu proses, yaitu apa yang dikerjakan dan dilakukan oleh lembaga hukum itu. Dengan melihat hukum sebagai suatu proses, maka dimungkinkan untuk memberikan penekanan kepada faktor-faktor di luar hukum, terutama sekali mengenai nilai-nilai dan sikap masyarakat.
Dari hal tersebut terlihat bahwa bekerjanya hukum itu merupakan suatu proses sosial dan lebih khusus lagi adalah proses interaksi antara orang-orang yang mengajukan permintaan dan penawaran. Lebih spesifik lagi orang-orang tersebut adalah para aktor dalam ruang pengadilan serta masyarakat yang bertindak selaku pengawas, pengontrol dan juga korban.
Proses sosial merupakan pengaruh timbal balik antara berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Dalam proses sosial tersebut, interaksi sosial merupakan bentuk utamanya. Dalam interaksi sosial mengandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon individu-individu dan kelompok-kelompok. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu-individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain.
Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung, sehingga terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi. Komunikasi timbul apabila seseorang individu memberikan tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran tadi seseorang mewujudkannya dalam perilaku, di mana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain itu. Dari penjabaran di atas, dapat disimpukan bahwa syarat terjadinya interaksi adalah kontak dan komunikasi.
Interaksi sosial tidak saja mempunyai korelasi dengan norma-norma, akan tetapi juga dengan status, dalam arti bahwa status memberi bentuk atau pola interaksi. Status dikonsepsikan sebagai posisi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kelompok sehubungan dengan orang lain dan kelompok itu. Status merekomendasikan perbedaan martabat, yang merupakan pengakuan interpersonal yang selalu meliputi paling sedikit satu individu, yaitu siapa yang menuntut dan individu lainnya, yaitu siapa yang menghormati tuntutan itu.
Proses peradilan yang berlangsung di pengadilan merupakan proses interaksi yang berlangsung secara formal dan dipenuhi dengan simbol-simbol, atribut dan posisi/kedudukan. Semua itu menunjukkan status masing-masing pihak yang berbeda dan semakin menegaskan bahwa proses interaksi tidak berjalan seimbang karena mereka tidak berada dalam kedudukan yang sama. Kondisi ini pun semakin menegaskan bahwa mitos tentang semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equity before the law) – khususnya di pengadilan – tak terbukti kebenarannya.
Dalam pemahaman sosiologi hukum, hadirnya hukum adalah untuk diikuti atau dilanggar. Tetapi ada perilaku yang tidak sepenuhnya digolongkan kepada mematuhi hukum yaitu pelanggaran hukum yaitu penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial lebih luar dari pada pelanggaran hukum yaitu perbuatan yang tidak sesuai dengan kaedah yang ada sebagai unsur yang membentuk tatanan sosial. Penyimpangan social tidak segera mempunyai arti pelanggaran hukum, dapat pula memandang arti suatu penafsiran terhadap kaidah hukum yang formal.
Hukum sebagai kerangka luar, lebih banyak menurut streotip perbuatan dari pada deskripsi mengenai perbuatan itu sendiri, akan berhadapan dengan tatanan di dalam dari pada kehidupan social yang lebih subtansial sifatnya, sehingga orang cenderung orang memberikan penafsiran sendiri terhadap hukum. Dan yang demikian lalu hanya berfungsi sebagai pedoman saja. Penafsiran itu membuat hukum menjadi terang terhadap keadaan kongkrit dalam masyarakat. Antara penyimpangan social dan hukum terdapat hubungan yang erat, dimana hukum diminta untuk mencegah dan menindak terjadinya penyimpangan.
Akhirnya, dapatlah dikatakan tidak mudah untuk menilai hukum, perlu waktu panjang dan`bertahap. Sedangkan tujuan hukum adalah ingin memanusiakan manusia itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum dalam mempengaruhi kehidupan manusia adalah hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial. Kontrol social (social kontrol) biasanya diartikan sebagai suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.
Sosial kontrol yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial yang berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian didalam perilaku-perilaku tersebut. Salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan- aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti orang agar tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan.
Perwujudan sosial control mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan atau sanksi negatif bagi pelanggarnya. Sedangkan dalam terapi maupun konsiliasi sifatnya remedial artinya mengembalikan situasi pada keadaan yang semula. Oleh karena itu yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi standarnya adalah normalitas, keserasian dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.
2. Masalah-masalah fenomena hukum dititikberatkan pada masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan legal relations, umpamanya court room (Ruang Pengadilan), dan solicitor’s office (Kantor Pengacara). Selain itu adalah studi terhadap proses-proses interaksional, organizational socialization, typifikasi, abolisi dan konstruksi sosial. Dengan demikian berarti, melihat hukum sebagai suatu proses atau lebih tepatnya lagi adalah proses sosial.
Salah satu proses sosial yang terdapat dilihat dalam dinamika hukum adalah apa yang terjadi di pengadilan. Untuk memahami proses yang terjadi di pengadilan maka kita harus mengetahui lebih dalam tentang pengadilan. Pengadilan tidak hanya terdiri dari gedung, hakim, peraturan yang lazim dikenal oleh ilmu hukum, melainkan merupakan suatu interaksi antara para pelaku yang terlibat dalam proses pengadilan. Bekerjanya pengadilan menggambarkan interaksi antara sistem hukum dan masyarakat. Peraturan yang mengatur tata cara berperkara dikembangkan lebih lanjut (worked out) melalui perilaku berperkara para pihak yang terlibat dalam proses peradilan, khususnya hakim
Dalam praktek penegakan hukum sehari-hari, praktek kekuasaan kehakiman berada pada pundak dan palu sang hakim. Kedudukan hakim memegang peranan yang penting sebab setiap kasus baik pidana, perdata maupun tata usaha negara akan bermuara pada pengadilan. Hal ini terjadi karena pengadilan merupakan instansi terakhir yang akan menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ini berarti kedudukan pengadilan menempati posisi sentral dalam penegakan hukum.
B. SARAN
Sebagai benteng terakhir, maka diharapkan pengadilan dapat memberikan keputusan yang adil, fair dan tidak memihak bagi para pencari keadilan. Masyarakat atau para pencari keadilan mengharapkan pengadilan dapat berkedudukan sebagai lembaga yang dapat memberikan keadilan pada setiap permasalahan yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Adam Podgorecki & Cristopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta ; PT. Bina Aksara, 1987)
Agus, Raharjo, Membaca Keteraturan Dalam Ketakteraturan, dapat dilihat di www.google.com
Ali, Zainnudin, Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2007)
Patawari_Unhas, Sosiologi Hukum dapat dilihat di www.google.com/ patawari.wordpress.com/2009/02/16/sosiologi-hukum/
Rahardjo, Satjipto , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses-proses Hukum Di Indonesia Dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah dalam Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturasi Global dan Pembentukan ASHI, PS Hukum dan Masyarakat, FH Undip Semarang, 12-13 November 1996.
Rahardiansah Trubus, & Endar Pulungan, Pengantar Sosiologi Hukum ; Jakarta ; Universitas Trisakti, Tahun 2007)
Winarta, Frans Hendar, Peradilan yang Berkualitas Dalam Suatu Negara Hukum, Majalah Pro Justitia, Tahun XVII No. 4, Oktober 1999
Achmad Syaukani Wizedan (NIM 7109016)
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DI INDONESIA
DILIHAT DARI SEGI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
I. PENDAHULUAN
Siklus kehidupan manusia dimulai sejak dari dalam kandungan, kemudian lahir kedunia menjadi seorang manusia dengan jenis kelamin laki – laki atau wanita yang tidak dapat berbicara, melainkan hanyalah menangis atau yang biasa orang menyebutnya seorang bayi, kemudian tumbuh menjadi dewasa[1], dan adanya hasrat ingin menikah dalam rangka menyalurkan seksualitas pada tempatnya, sehingga pernikahan adalah kewajiban bagi yang sudah mampu.
Pernikahan dilakukan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin dengan dasar sama – sama cinta atau pun “terpaksa”. Pernikahan dapat dikatakan sah apabila telah tercatat pada UU dan agama, sehingga pernikahan bersifat sakral yang merupakan sarana untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Pada dewasa ini sebuah makna keluarga yang bahagia telah hilang, hal ini dapat terbukti misalnya sebagian laki – laki melakukan sebuah perselingkuhan, yang pada akhirnya melangsungkan perkawinan untuk yang kedua kalinya atau bisa jadi perkawinan yang kesekian kalinya tanpa sepengetahuan atau dengan sepengetahuan istrinya, inilah yang disebut dengan poligami.
Poligami menjadi polemik dalam kehidupan keluarga, sehingga ada yang pro dan kontra, khususnya bagi kaum wanita yang sangat kontra terhadap poligami. Hal ini karena, mereka merasa telah disakiti dengan cara dimadu, padahal seorang istri masih dapat melaksanakan kewajibannya sebagai istri, baik secara lahir maupun bathin.
Permasalahan poligami pun menjadi sebuah permasalahan dalam ranah hukum, karena, bila dikaji ulang telah ditegaskan dalam UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 3 yang menyatakan bahwa seorang suami hanya boleh memiliki seorang istiri, begitupun sebaliknya seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami. Artinya secara tegas bahwa UU tersebut menyatakan setiap suami atau istri hanyalah menganut asas monogami. Akan tetapi dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2 dijelaskan, dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Pemakalah menganalisa dari UU Perkawinan ini, pada dasarnya poligami dapat terjadi apabila ada ijin dari istri pertama, sehingga tidak adanya pihak yang dirugikan, dengan demikian UU No 1 tahun 1974 pada pasal 3 menjadi batal.
Poligami yang ada pada saat ini berbeda dengan poligami yang telah dilakukan pada zaman Nabi, karena Nabi melakukan poligami bukan berdasarkan nafsu dan Nabi dapat berbuat adil. Akan tetapi poligami yang ada pada saat ini berdasarkan nafsu semata, sehingga niat berpoligami itu bukan untuk menolong atau lain hal sebagainya yang bersifat positif, yang ada mengenyampingkan nilai – nilai keadilan.
Dengan demikian poligami mengakibatkan dampak psikologis dan sosiologis, bahwa tidak ada satupun wanita yang ingin dimadu, dan poligami ini menimbulkan efek sosial seperti hubungan rumah tangga yang menjadi rapuh, sehingga kemitraan suami – istri ini pun bisa mengakibatkan perceraian, yang pada akhirnya dampak negatif yang terjadi adalah anak yang menjadi korban, atau pun dampak lainnya adalah menjadi sebuah pembicaraan bagi masyarakat sekitarnya.
II. PERMASALAHAN
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
a. Apakah yang dimaksud dengan poligami ?
b. Bagaimanakah hukum positif memandang poligami ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Poligami
Secera etimologis atau lughowi bahwa kata Poligami berasal dari bahasa Yunani gabungan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak, serta gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak[2]. Secara terminologi atau istilah poligami adalah salah satu perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan[3].
Dalam Islam poligami didefinisikan perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan[4].
Poligami dibagi menjadi tiga bagian[5] :
1. Poligini adalah seorang pria yang memiliki beberapa istri sekaligus
2. Poliandri adalah seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus
3. Pernikahan kelompok dalam bahasa Inggris : Marriage yaitu kombinasi antara poligini dan poliandri. Pada umumnya masyarakat lebih mengenal poligami dibanding dengan poligini, hal ini sejalan dengan Daces dan Trayes yang tidak menggunakan lagi istilah poligini dalam pembagian tipe pemikiran, namun mereka menggunakan istilah poligami.
B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Poligami Dalam Pandangan Sosiologi Hukum
Telah diketahui secara bersama, bahwa hukum yang berada di Negara Indonesia ini adalah civil law, karena KUHP dan KUHPerdata telah diadopsi dari Belanda.Hal ini disebabkan, karena Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda, sehingga aturannya mengacu kepada Peraturan Perundang – Undangan. Berbeda halnya dengan Malaysia dan Singapura yang menganut asas Common Law, karena kedua negara tersebut merupakan bekas jajahan Inggris, sehingga semua aturan berdasarkan Yurispedensi atau putusan hakim.
Poligami merupakan sebuah topik yang hangat dibicarakan oleh orang, karena banyak orang yang telah menentang poligami, dengan alasan prinsip keadilan yang tidak akan terarah artinya seorang suami melakukan poligami itu hanyalah berdasarkan sexsualitas semata, sehingga istri yang tertuapun telah dilupakan secara lahir dan bathin, akan tetapi begitu istri yang kedua dan isteri yang lainnya tidak mencintainya lagi atau katakanlah si laki - laki tersebut sudah tidak memiliki harta benda lagi, maka si laki – laki tersebut “ditendang”, mau tidak mau si laki – laki tersebut kembali kepada istri yang pertama.
Abdul Majid Mahmud Mathlub dalam bukunya yang berjudul Panduan Hukum Keluarga Sakinah, bahwa seorang melakukan poligami karena[6] :
1. Besarnya jumlah perempuan dibandingkan dengan jumlah laki – laki.
2. Kehendak untuk menopang umat dengan kaum laki – laki
3. Kekuatan nafsu seksual yang telah menguasai manusia
4. Keadaan atau penyakit khusus yang telah dialami oleh sang istri, sehingga tidak mau memberikan kemauan sang suami, tetapi suami tidak ingin menceraikannya.
Poligami memiliki beberapa dampak khususnya terhadap perempuan Indonesia. Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami[7]:
1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
2. Dampak ekonomi rumah tangga: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
3. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
4. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekwensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Jika dilihat dari permasalahan tersebut, bukan berarti tidak boleh dilaksanakan poligami. Pada dasarnya poligami boleh dilaksanakan, asalkan seorang istri sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan suaminya baik secara lahir dan bathin.
Dengan demikian asas monogami tidak bersifat limitatif saja, karena dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2 disebutkan, dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini dapat membuka kemungkinan bagi seorang suami untuk melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Bagi yang beragama Islam harus mendapatkan ijin dari Pengadilan Agama[8], sedangkan yang diluar agama Islam harus mendapatkan ijin dari Pengadilan Negeri.
Pengadilan Agama dapat memberikan ijin poligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 :[9]
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dengan demikian yang menjadi perhatian dalam pengajuan permohonan berpoligami adalah menyangkut [10]:
1. Sah atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi. Dalam hal ini menyangkut :
a. Apakah isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ?
b.Apakah benar bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ?
c. Apakah benar bahwa isterinya tidak dapat melahirkan keturunan ?
2. Adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan atau tulisan, khusus untuk persetujuan lisan harus diucapkan dimuka pengadilan
3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri – isteri dan anak – anak. Untuk mengecek kemampuan suami tersebut dilakukan dengan memperhatikan.
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat dia bekerja
b.Surat keterangan pajak penghasilan
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
4. Ada atau tidaknya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri – isteri dan akan – anak mereka dengan pernyataan janji dari suami.
Yang menjadi sebuah pertanyaan mendasar bahwa dalam poligami harus adanya sebuah rasa keadilan dari pihak suami. Untuk memeriksa kemampuan suami apakah dapat bersikap adil atau tidak terhadap isteri – isteri dan anak – anaknya, maka pengadilan harus memanggil dan mendengarkan isteri yang bersangkutan. Dalam Pasal 42 PPP No. 9 Tahun 1975 dikatakan pemeriksaan tersebut dilakukan oleh hakim selambat – lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran – lampirannya. Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seseorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.
Jika ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, bahwa Undang – Undang tersebut belum sepenuhnya efektif, karena sangat jelas sekali bagi suami yang ingin berpoligami harus adanya persetujuan dari isteri, serta suami dapat menanggung kehidupan isteri – isteri dan anak – anaknya secara adil, akan tetapi semuanya berada diluar garis kenyataan yang telah ditentukan, yang ada pada saat ini adalah bahwa para isteri dan anaknya telah dirugikan secara moral maupun materil.
Menurut Prof. Zainuddin Ali dalam bukunya Sosiologi hukum, bahwa hukum tidak dapat berjalan efektif, disebabkan karena empat hal :
1. Kaidah Hukum
2. Penegak Hukum
3. Sarana / Fasilitas Hukum
4. Kesadaran Hukum.
Pemakalah berpendapat bahwa kasus poligami, bila dikaitkan dari pendapat Prof. Zainuddin Ali, pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai materi atau kaidah hukum, bahwa faktor yang paling mendominan UU tersebut tidak berjalan dengan efektif adalah kesadaran hukum dari suami yang akan berpoligami.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemakalah menyimpulkan bahwa pada dasarnya poligami di Negara Republik Indonesia berdasarkan tinjauan hukum positif itu dibolehkan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa seorang laki – laki boleh memiliki istri lebih dari satu.
Permasalahannya adalah, jika seorang suami ingin berpoligami, maka harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan pada Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Bila ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, masalah poligami ini tidak berjalan dengan efektif, karena salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat dalam hal ini laki – laki yang ingin berpoligami yang telah mengacuhkan UU tersebut.
B. Saran
Pemakalah memberikan saran, khususnya kepada para suami yang ada di Negara Indonesia sebaiknya :
1. Janganlah melakukan poligami, jika isteri masih dapat memenuhi kebutuhan baik secara lahir dan bathin.
2. Disamping itu pula jika ingin melakukan poligami, maka bersikaplah adil terhadap isteri dan anak – anak, dan juga harus mendapatkan persetujuan dari isteri baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Jangan melakukan pernikahan siri meskipun sah secara agama, tetapi Indonesia adalah negara hukum, maka pernikahan dapat dikatakan sah apabila dilakukan secara agama dan dicatat oleh Pemerintah melalui KUA.
Daftar Pustaka
Ariyani, Mira Faktor Yang Berperan dan Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poligami Depok : Fakultas Psikologi UI, 2004
Ayu Rahmi, Ratu Inefektifitas Poligami dalam Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, www.badilag.net/index.php+option=com_content&task?view&id??2908&itemid?54&limit?1&limitstart? 3htm, diakses tanggal 20 Juni 2009
Departemen Agama, Al Quran : Surat An Nisaa ayat 3
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090410105226AAMqRCq,
Jehani, Libertus, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, Jakarta :Forum Sahabat, 2008
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kompilasi Hukum Islam Pasal 51 ayat 1
Majid Mahmud Mathlub, Abdul, Panduan Keluarga Sakinah, Solo : Era Intermedia, 2005.
Nasution, Khairuddin, Riba dan Poligami : Sebuah Studi Atas Pemikiran, Jakarta : Grafika Insan Permata, 1996
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta : Visimedia, 2009
________________________________________
[1]Pengertian dewasa ini sangat beraneka ragam seperti halnya dalam UU No 1 Tahun 1974 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090410105226AAMqRCq, sedangkan dalam Agama Islam pengertian dewasa bagi laki – laki sudah mengalami mimpi basah atau bagi wanita yang sudah haid, agar lebih jelas lihat kitab fiqh seperti safinatunnajah.
[2]Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami : Sebuah Studi Atas Pemikiran, (Jakarta : Grafika Insan Permata, 1996), hal 84
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia
[4]Departemen Agama, Al Quran : Surat An Nisaa ayat 3
[5]Mira Ariyani, Faktor Yang Berperan dan Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poligami (Depok : Fakultas Psikologi UI, 2004), hal 88
[6]Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Keluarga Sakinah, (Solo : Era Intermedia, 2005), Cet. Ke I, hal. 127.
[7]Ratu Ayu Rahmi, Inefektifitas Poligami dalam Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, www.badilag.net/index.php+option=com_content&task?view&id??2908&itemid?54&limit?1&limitstart? 3htm, diakses tanggal 20 Juni 2009
[8]Untuk lebih jelasnya lihat Pasal 51 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam
[9]Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Visimedia, 2009), Cet. Ke II, hal 3.
[10]Libertus Jehani, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, (Jakarta :Forum Sahabat, 2008), Cet Ke I, hal.35 – 36.
NAMA : AGUSTINA SETIYAWATI, SH. NPM : 7109001
KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP KASUS HUKUM PEMBUNUHAN NASARUDIN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Ruang Lingkup Sosiologi Hukum
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia, sehingga ada sebuah adagium terkenal dalam studi ilmu hukum, yakni “ada masayarakat, ada hukum” (ubi societas ibi ius). Kehadiran hukum dalam masyarakat sangat penting karena hukum merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan (social institutions) yang harus dipahami tidak sekedar sebagai suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana ia menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya bersama-sama dengan lembaga kemasyarakatn yang lain secara seimbang.
Ruang lingkup sosiologi hukum ada 2 (dua)hal, yaitu
1. Dasar-dasar sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum. Sebagai Contoh dapat disebut misalnya: hukum nasional di Indonesia, dasar sosialnya adalah Pancasila, dengan cirri-cirinya: gotong royong, musyawarah, dan kekeluargaan;
2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya. Sebagai contoh dapat disebut misalnya:
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap gejala kehidupan rumah tangga; dan sebagainya.
Ada 4 (empat) pendekatan dalam batasan-batasan yang ada pada ruang lingkup sosiologi hukum, pendekatan instrumental, pendekatan hukum alam,pendekatan positivistic, dan pendekatan paradigmatik.
Adanya legalitas dapat menimbulkan dugaan, bahwa kekuasaan yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat umum merupakan kekuasaaan yang sah. Oleh karena itu, legalitas memerlukan penamaan yang kokoh dari prinsip-prinsip keadaan yang sah pada pola berpikir warga masyarakat.
Setiap petugas hukum pada dasarnya adalah petugas peradilan sampai derajat tertentu. Di dalam perannya itu, ia melaksanakan diskresi yang mempengaruhi hak-hak dari warga masyarakat. Oleh karena itu, hukum menjadi pedoman agar diskresi dimaksud dibatasi, akan tetapi juga menghendaki kebebasan agar tercapai keadilan bagi para warga masyarakat. Agar kedua hal dimaksud tercapai dengan serasi, diperlukan kemampuan untuk mengendalikan diri dan mekanisme-mekanisme sosial untuk membentuk nilai-nilai dan aturan-aturan perilaku yang serasi dan wajar.
B. Manfaat Sosiologi Hukum Untuk Memahami Bekerjanya Hukum Di Dalam Masyarakat
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam masyarakat. Fungsi hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu:
1. Fungsi hukum sebagai sosial control didalam masyarakat;
Terlaksana atau tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial amat ditentukan oleh faktor aturan hukum dan faktor pelaksana hukum
2. Fungsi hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat;
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound atool of social engineering. Perubahan masyarakat dimaksud terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan.
3. Fungsi hukum sebagai simbol pengetahuan;
Fungsi hukum sebagai symbol merupakan makna yang dipahami oleh seseorang dari suatu perilaku warga nasyarakat tentang hukum.
4. Fungsi hukum sebagai instrument politik;
Hukum sebagai alat politik tidak dapat berlaku secara universal, sebab tidak semua hukum diproduksi oleh DPR bersama pemerintah.
5. Fungsi hukum sebagai alat integrasi;
Hukum sebagai alat integrasi, hukum berfungsi sebelum terjadi konflik dan sesudah terjadi konflik.
C. Hukum sebagai Institusi Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat beberapa institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dan memperlancar jalannya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dalam wacana sosiologi, institusi ini lazim disebut sebagai social institutions (institusi sosial). Institusi sosial ini mempunyai tiga fungsi, yaitu: (1) memberikan pedoman pada anggota masyarakat dalam bertingkah laku atau bersikap; (2) menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control), maksudnya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Hukum merupakan salah satu institusi sosial yang tujuannya untuk menyelenggarakan keadilan dalam masyarakat. Hukum dianggap sebagai salah satu institusi sosial karena disamping sebagai gejala sosial (das sein), yaitu pelaksanaannya, hukum juga mengandung unsur-unsur yang ideal (das sollen), yaitu ide-ide hukum. Oleh karena itu, hukum sebagai institusi sosial juga mempunyai tiga fungsi yang dikemukakan di atas, yakni memberikan pedoman bagi masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat, dan sebagai alat kontrol sosial. Tiga fungsi hukum sebagai salah satu institusi sosial tersebut dapat dikatakan sebagai “fungsi konservatif” hukum karena hanya melihat hukum dari sisi normatif-positivistiknya saja. Paradigma berpikir semacam ini, semakin lama dirasakan semakin mengalami anakronistik karena tidak lagi sepenuhnya mampu menampung perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat.
Pandangan konservatif ini terasa dangkal dalam melihat hukum. Sisi normatif-positivistik dari hukum hanya merupakan salah satu wajah dari sekian banyak wajah hukum. Sisi lain yang lebih hakiki dan substansial dari hukum adalah sisi “sosiologis” yang melihat hukum sebagai sebuah produk dari proses kehidupan sosiologis suatu masyarakat, karena hukum merupakan “bayang-bayang” dari proses sosial (law is a shadow of social process). Perspektif sosiologis dari hukum ini juga terlihat lebih “membumi” dalam melihat hukum karena pola hubungan antara masyarakat dan hukum yang mengaturnya merupakan hubungan yang bersifat interdependen atau saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Pada suatu kesempatan, kaidah-kaidah hukum mempengaruhi perilaku masyarakat. Akan tetapi, pada kesempatan lain pola perilaku masyarakat akan sangat mempengaruhi karakteristik kaidah hukum yang akan ditetapkan dalam suatu masyarakat.
Pemahaman manusia terhadap hukum tidak bersifat statis dan tanpa dinamika. Proses perubahan masyarakat dalam segala aspeknya ikut mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap hukum. Oleh karena itu, pada perkembangannya, muncullah sebuah pemahaman terhadap hukum yang sedikit lain dari sebelumnya, yaitu hukum harus diarahkan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat sosiologis, selain fungsi yang selama ini dipahami, yakni hukum hanya dilihat pada tataran normatif-positivistiknya saja. Dengan demikian, hukum tidak boleh mempunyai logikanya sendiri dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi sosial. Dalam merumuskan suatu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, hukum harus selalu mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis suatu masyarakat dalam segala aspeknya. Apabila faktor-faktor sosiologis diabaikan oleh hukum, maka akan beresiko hukum tersebut tidak ditaati oleh masyarakat. Selain itu, pengabaian tersebut juga cenderung mengingkari “kodrat” hukum yang merupakan cerminan dari pola pandang dan perilaku suatu masyarakat dalam kesehariannya.
Para ahli sosiologi hukum terus melakukan transformasi pandangan mengenai hukum, sehingga perubahan perspektif dan paradigma hukum mengalami kemajuan yang luar biasa dan tampil dengan wajah yang berbeda. Tokoh yang berjasa dalam hal ini adalah Eugen Ehrlich yang merubah cara pandang terhadap hukum yang konservatif menuju pemikiran hukum yang lebih “sosiologis” melalui konsep pembedaan hukum positif dengan living law yang sangat terkenal. Ehrlich menganggap bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Beberapa pandangan para ahli yang relatif berbeda dari para pendahulunya terus bermunculan seiring dengan perubahan sosial yang begitu cepat. Di antara perkembangan itu adalah konsep mengenai fungsi hukum. Pada awalnya, hukum hanya dianggap mempunyai fungsi yang paling konservatif-positivistik. Tokoh yang termasuk di sini adalah Friedrich Karl von Savigny yang mengatakan bahwa, “Law is an expression of the common conciousness or spirit of a people (volgeist). He insisted that all law is first developed by custom and popular faith...” Menurut Savigny, hukum merupakan ungkapan dari kesadaran umum atau semangat dari masyarakat (volgeist). Dia juga menegaskan bahwa semua hukum itu dikembangkan terutama oleh kebiasaan dan kepercayaan umum. Di samping itu, Aliran konservatif juga melihat hukum hanya dari segi fungsi imperatifnya saja, yaitu hukum merupakan alat pengendalian masyarakat (law as a tool of social control). Dengan demikian, hukum dianggap sebagai “watchdog” yang ampuh dalam mengawasi setiap perilaku anggota masyarakat agar tetap dalam perilakunya yang benar dan absah.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, hukum juga dianggap mempunyai fungsi lain yang sangat kelihatan lebih empiris-realistis daripada sebelumnya, yaitu sebagai alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering). Selain dua fungsi hukum tersebut, hukum juga dianggap sebagai mekanisme pengintegrasi (law as an integrative mechanism) ; hukum sebagai metode penyelesaian konflik (law as method of conflict resolution) ; dan masih banyak lagi. Pekembangan pemikiran mengenai hukum tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang melingkupinya.
Membicarakan hukum dalam kontes organisai berarti mempermasalahkan orang, tingkah laku orang-orang, membicarakan fasilitas, juga membicarakan kultur suatu organisasi.
Pengorganisasian ide-ide abstrak yang hendak di capai oleh hukum merupakan bagian penting dari rencana perwujudan hukum dalam masyarakat. tanpa pengorganisasian tersebut, apalagi dalam suatu masyarakat dan tingkat peradaban yang kompleks seperti sekarang ini, ide- ide hukum tidak akan diwujudkan dalam masyarakat. Hukum dalam konteks organisasi membuka pintu bagi pengkajian tentang bagaimana lembaga hukum yang diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakan hukum itu bekerja.
Lembaga penegak hukum yang harus menjalankan tugas dan pekerjaannya di tengah- tengah masyarakat, tidak dapat mengabaikan peranan dari lingkungan tersebut. Pertama, karena lembaga penegakan hukum mendapatkan serta menggali sumber dayanya dari lingkungan tersebut, baik berupa manusia maupun sumber-sumber daya lainnya.
Secara terperinci, berikut ini digambarkan mengenai penengakan hukum didalam yang kompleks.
1. Kompleksitas suatu masyarakat dimulai oleh pembagian sumber-sumber daya yang kemudian menimbulkan strukturisasi kekuasaan. Maka dijumpai golongan yang memperoleh kekuasaan lebih nbesar dibanding dengan yang lain. Oleh karena itu, mendapatkan kekayaan ekonomi dan politik yang lebih besar. Terciptalah suatu pelapisan dalam masyarakat berupa perbedaan kedudukan-kedudukan sosial, politik dan ekonomi.
2. Penegakan hukum dijalankan secara terorganisasi olehn badan-badan penegak hukum akan dilakukan sedemikian rupa. Pelaksanaannya akan memberikan keuntungan kepada badan-badan tersebut, sedangkan pelaksanaan yang akan memberikan hambatan, dihindari.
3. Keuntungan-keuntungan akan di peroleh apabila penengakan hukum dijalankan terhadap orang-orang dari golongan yang tidak atau hanya mempunyai sedikit kekuasaan politik. Apabila penegakan hukum ditunjukan terhadap golongan yang mempunyai kekuasaan, penegakan hukum hanya akan menciptakan hambatan bagi badan penegak hukum.
4. Peraturan-peraturan yang melarang dilakukannya perbuatan yang lazim yang dilakukan oleh orang-orang lapisan bawah cenderung untuk lebih sering diterapkan, sedang yang lazim dilakukan oleh mereka dari golongan menengah keatas banyak kemungkinannya tidak dijalankan.
5. Sistem hukum (modern) diorganisasikan ke dalam badan-badan yang tersusun secara birokratis. Tujuan- tujuan badan-badan tersebut dinyatakan secara formal dan jelas, sedang setiap pejabat menduduki tempatnya masing-masing sesuai dengan struktur birokrasi yang telah ditentukan. Hak-hak serta kewajiban-kewajibannya juga dituliskan secara jelas.
6. Penyusunan secara formal-birokratis seperti tersebut menimbulkan tuntutan terhadap para penjabat untuk bertindak sesuai dengan peranan yang telah dirumuskan secara formal.
7. Sistem hukum modern didasarkan pada legitimasi yang bersifat hukum dan rasional. Sistem hukum modern menghendaki agar hukum dirumuskan dalam kaidah-kaidah yang umum dan dibuat berlaku umum, artinya sama bagi siapa saja.
8. Peraturan-peraturan yang ditunjukan kepada para pejabat penegak hukum tersebut menghendaki agar mereka menerapkan hukum dengan cara yang sama terhadap setiap orang.
9. Sesuai dengan kerangka penerapan hukum sebagaimana diuraikan pada butir-butir terdahulu, maka apabila pejabat hukum berhadapan dengan orang-orang dari lapisan-lapisan sosial yang berbeda, maka dapat diperkirakan tindakan atau peranan yang mereka lakukan akan berbeda dari apa yang tertera secara formal dalam peraturan- peraturan.
BAB II
PERMASALAHAN
Dari uraian pada Bab I Pendahuluan diatas, permasalahan yang akan dibahas dalam kajian sosiologi hukum terhadap kasus hukum pembunuhan Nasarudin adalah :
A. Pandangan Masyarakat terhadap kasus pembunuhan Nasarudin
B. Apakah fungsi hukum dalam masyarakat diterapkan dalam penanganan kasus pembunuhan Nasarudin?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pandangan masyarakat terhadap kasus pembunuhan Nasarudin
Pemberitaan media yang sangat gencar tentang kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasarudin Zulkarnaen yang diduga melibatkan ketua KPK Antasari Azhar, Nasarudin Zulkarnaen akhirnya tewas akibat diberondong peluru dua pengendara sepeda motor setelah bermain golf di lapangan modernland tangerang 14 Maret 2009.
Dalam kasus pembunuhan Nasarudin Zulkarnaen yang patut dapat diduga memang menyeret nama Antasari Azhar, Antasari mengatakan masalah itu tidak benar, hanya rumor yang berkembang ada hubungan dengan wanita lain, dan hal ini perlu diluruskan,menurut dia kini telah berkembang rumor yang berupaya untuk menghilangkan masalah sebenarnya,yakni soal korupsi dengan berupaya untuk menonjolkan persoalan lain termasuk masalah pembunuhan.
Patut dapat diduga, Antasari Azhar adalah dalang pembunuhan alias aktor intelektual yang memerintahkan agar Nasarudin dibunuh.Dan patut dapat diduga, pmbunuhan sadis ini disebabkan cinta segitiga terkait kisah asmara dengan seorang caddy lapangan golf.
B. Apakah Fungsi Hukum dalam masyarakat diterapkan dalam penanganan kasus pembunuhan Nasarudin
Pengertian masyarakat mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, oleh karena menyangkut semua segi pergaulan hidup manusia. Dalam berfungsinya hukum dalam penanganan kasus pembunuhan Nasarudin, keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan tersebut dibuat.
Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah yang terkandung dalam peraturan.
Agar kasus pembunuhan Nasarudin terungkap dan terselesaikan harus lah hukum atau peraturan (tertulis) benar-benar berfungsi yang sedikitnya mencakup 4 faktor ,yaitu :
1. Hukum atau peraturan itu sendiri;
2. Petugas yang menegakkannya;
3. Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan huku;
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Kaitan yang serasi antara peraturan, petugas, fasilitas dan masyarakat, bukanlah satu-satunya masalah yang menyangkut berfungsinya hukum dalam masyarakat, rupa-rupanya ada pengaruh lain yang mungkin timbul terhadap masing-masing unsur, yaitu pengaruh politik, ekonomi dan sosial yang sangat berpengaruh pada berfungsinya hukum dalam masyarakat.
Dalam kasus pembunuhan Nasarudin saat ini polisi sedang menangani kasus ini, dan sudah tidak bisa lagi bagi mabes polri dan jajarannya untuk setengah-setengah dalam menangani kasus pembunuhan ini.
BAB IV
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
1. Kurangnya pemahaman terhadap hukum sehingga banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya.
2. Kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum dapat melunturkan citra dan wibawa penegak hukum
B. SARAN
1. Peningkatan kualitas terhadap penegak hukum khususnya yang menyangkut Hak Asasi Manusia seharusnya mendapat prioritas
2. Hukum harus diarahkan untuk kepentingan –kepentingan yang bersifat sosiologis
3. Hukum harus selalu mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis suatu masyarakat dalam segala aspeknya.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Donald. “The Boundaries of Legal Sociology”, dalam Soejono Soekanto, Bahan Bacaan Perspektif Teoritis dalam Sosiologi Hukum. Cet. I, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Bredemeier, Harry C. “Law as an Integrative Mechanism”, dalam Law and Sociology. Edited by William M. Evan, New York: Free Press of Glendoe, 1962.
Galanter, Marc. “The Modernization of Law”, dalam Law and the Behavioral Sciences. edited by Lawrence M. Friedman and Stewart Macaulay, New York: The Bobbs-Meririll Company Inc., 1977.
Ogburn, W. Fielding. Social Change. New York: A Delta Book, 1966.
Parsons, Talcot. “The Law and Social Control”, edited by William M. Evan, Law and Sociology. New York: The Free Press, 1962.
Pound, Roscoe. An Intoduction to the Philosophy of Law, New Haven: Yale University, 1959.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet. III, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Schur, Edwin M. Law and Society: a Sociological View. New York: Random House, 1968.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar. Cet. XXIII, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Vago, Steven. Law and Society. New Jersey: Prentice Hall, Engewood Cliffs, 1991.
http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2009/05/02
Agus Setiawan
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU No.10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 sebenarnya sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya perbankan syariah di Indonesia, kendatipun masih ada beberapa hal yang masih perlu disempurnakan, diantaranya perlunya penyusunan dan penyempurnaan ketentuan maupun perundang-undangan mengenai operasionalisasi bank syari’ah secara tersendiri, sebab undang-undang yang ada sesungguhnya merupakan dasar hukum bagi penerapan dual banking system. Keberadaan bank syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional, padahal yang dikehendaki adalah bank syariah yang betul-betul mandiri dari berbagai perangkatnya sebagai bagian perbankan yang diakui secara nasional. Karena pengembangan perbankan syariah sendiri pada awalnya ditujukan dalam rangka pemenuhan pelayanan bagi segmen masyarakat yang belum memperoleh pelayanan jasa perbankan karena sistem perbankan konvensional dipandang tidak sesuai dengan prinsip syariah yang diyakini.
Pengembangan perbankan syariah juga dimaksudkan sebagai perbankan alternatif yang memiliki karakteristik dan keunggulan tertentu. Unsur moralitas menjadi faktor penting dalam seluruh kegiatan usahanya. Kontrak pembiayaan yang lebih menekankan sistem bagi hasil mendorong terciptanya pola hubungan kemitraan (mutual investor relationship), memperhatikan prinsip kehati-hatian dan berupaya memperkecil resiko kegagalan usaha.
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari'ah (Shari'a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi "Bank Syariah", atau yang secara lengkap disebut "Bank Berdasarkan Prinsip Syariah".
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah}, atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah}, atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan si fat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.
B. Permasalahan
Tulisan ini dibuat dengan tujuan utama untuk memberi pengantar bagi sejarah perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan pembahasan pokok permasalahan menyangkut perkembangan teoritis, kelembagaan dan hukum positif mengenai Perbankan Islam. Namun mengingat perbankan Islam bukan merupakan fenomena khas Indonesia serta perkembangannya tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh dunia luar, maka bab sebelumnya akan membahas perkembangan perbankan Islam secara umum di luar Indonesia dan secara internasional.
BAB II
ANALISIS PEMBAHASAN
A. Perkembangan Perbankan Islam
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A'la AI-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks} . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries}, serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks') sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar AI-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
B. Perbankan Islam di Indonesia
Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti"). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari'at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 - 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 - 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991.
Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
C. Hukum Perbankan Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan:
"menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah."
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa "Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil" dan di penjelasannya disebut "Bank berdasarkan prinsip bagi hasil". Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa "Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil" yang dalam penjelasannya disebut "Bank Perkreditan Rakyatyang berdasarkan bagi hasil".
Kesimpulan bahwa "bank berdasarkan prinsip bagi hasil" merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari'at dalam melakukan kegiatan usaha bank.
Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan.
Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari'at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai "Pendapatan Non Halal", yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.
Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan tain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari'ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi 'badan' yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul "Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional" beliau mengatakan sebagai berikut:
"Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan "sistem bagi hasil" yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dan usaha-usaha yang mempergunakan sistem "bunga".
... Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis)."
Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari'ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari'ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni:
1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.
Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah, yakni sebagai berikut:
No. NOMOR FATWA TENTANG
1 01/DSN-MUI/IV/2000 Giro
2 02/DSN-MUI/IV/2000 Tabungan
3 03/DSN-MUI/IV/2000 Deposito
4 04/DSN-MUI/IV/2000 Murabahah
5 05/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Salam
6 06/DSN-MUI/IV/2000 Jual Beli Istishna
7 07/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
8 08/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Musyarakah
9 09/DSN-MUI/IV/2000 Pembiayaan Ijarah
10
10/DSN-MUI/IV/2000
Wakalah
11 11/DSN-MUI/IV/2000 Kafalah
12 12/DSN-MUI/IV/2000 Hawalah
13 13/DSN-MUI/IX/2000 Uang Muka dalam Murabahah
14 14/DSN-MUI/IX/2000 Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
15 15/DSN-MUI/IX/2000 Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
16 16/DSN-MUI/IX/2000 Diskon dalam Murabahah
17 17/DSN-MUI/IX/2000
Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
18 18/DSN-MUI/IX/2000
Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
19 19/DSN-MUI/IX/2000 AI-Qardh
20
20/DSN-MUI/IX/2000 Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah
21 21/DSN-MUI/X/2001 Pedoman Umum Asuransi Syari'ah
22 22/DSIM-MUI/III/2002 Jual Beli Istishna Parafel
23 23/DSN-MUI/III/2002 Potongan Pelunasan Dalam Murabahah
24
24/DSN-MUI/III/2002
Safe Deposit Box
25
25/DSN-MUI/III/2002
Rahn
26
26/DSN-MUI/III/2002
Rahn Emas
27
27/DSN-MUI/III/2002
Al-Ijarah al-Muntahiya bi al-Tamlik
28
28/DSN-MUI/III/2002
Jual Beli Mata Uang (al-Sharf)
29
29/DSN-MUI/VI/2002
Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
30
30/DSN-MUI/VI/2002
Pembiayaan Rekening Koran Syari'ah
31
31/DSN-MUI/VI/2002
Pengalihan Utang
32
32/DSN-MUI/IX/2002
Obligasi Syari'ah
33
33/DSN-MUI/IX/2002
Obligasi Syari'ah Mudharabah
34
34/DSN-MUI/IX/2002
L/C Impor Syari'ah
35
35/DSN-MUI/IX/2002
L/C Ekspor Syari'ah
36
36/DSN-MUI/X/2002
Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia
37
37/DSN-MUI/X/2002
Pasar Bank Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
38
38/DSN-MUI/X/2002
Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)
39
39/DSN-MUI/X/2002
Asuransi Haji
40
40/DSN-MUI/X/2003
Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di bidang Pasar Modal
41
41/DSN-MUI/III/2004
Obligasi Syariah Ijarah
42
42/DSN-MUI/V/2004
Syariah Charge Card
43
43/DSN-MUI/VIII/2004 Ganti Rugi (Ta'widh)
BAB III
PENUTUP
Keberadaan perbankan Islam atau yang pada perkembangan mutakhir disebut sebagai Bank Syariah di Indonesia telah diakui sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan lebih dikukuhkan dengan diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 beserta beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (PBI) sebagaimana telah dibahas di muka. Berkenaan dengan transaksi dan instrumen keuangan Bank Syariah juga telah dikeluarkan beberapa Peraturan Bank Indonesia dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4.
2. Muhammad Syafi'i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku "Arbitrase Islam Di Indonesia"), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 126.
3. Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, 1997, hal. 196.
4. Muhammad Syafi'i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 58.
5. M Dawam Rahardjo, Prof., Ensiklopedia AI-Qur'an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996, hal. 614.
6. Agus Wahid, Dilema BMI di Tengah Tuntutan Umat, Ulumul Qur'an No. 4 Vol. VI, Jakarta, 1995, hal. 60.
7. Miriam Darus Badrulzaman, Prof., Dr., SH, Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional (artikel dalam buku "Arbitrase Islam Di Indonesia"), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 68 - 69.
8. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
9. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syari'ah.
10. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/21/PBI/2004 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari'ah.
11. Telah dicabut dan diganti dengan PBI No. 6/7/PBI/2004 tentang Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia.
TENSA NURDIYANI, NPM. 7109020
TINDAK PIDANA TERHADAP PERKAWINAN
DI BAWAH UMUR DILIHAT DARI ASPEK
SOSIOLOGI HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam hidupnya yang terkecil hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga karena keluarga merupakan gejala kehidupan umat manusia yang dibentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hidup bersama antara laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut perkawinan.
Pernikahan merupakan suatu perbuatan yang sangat sakral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik peraturan agama maupun peraturan negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut. 1
Indonesia dari waktu ke waktu kian akrab dengan berbagai permasalahan sosial. Satu bukti terkait dengan permasalahan sosial ini adalah masalah tentang perkawinan anak di bawah umur. Perkawinan tersebut telah memicu munculnya kontroversi yang hebat. Adapun ‘tokoh’ yang terlibat dalam problema tersebut adalah pelaku perkawinan di bawah umur itu sendiri beserta para pengikut atau pembela yang bertindak sebagai pihak yang pro, sedangkan masyarakat maupun pemerintah duduk sebagai pihak yang kontra. Pujiono Cahyo Widianto atau yang lebih dikenal dengan Syekh Puji, seorang pria setengah baya yang menikahi gadis belia yang belum genap berumur 12 (dua belas tahun), menilai perkawinannya dengan anak tersebut benar dan sah di mata agama Islam. Ia mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya itu sesuai dengan sunnah Rasul dan tidak perlu diributkan khalayak ramai. Ia menggunakan dalih utama mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW untuk melegalkan perbuatannya.
1 I Rahman Abdul Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm.19.
Sedangkan di sisi lain, Muhammad Maftuh Basyumi, selaku Menteri Agama mempunyai argumen tersendiri tentang pernikahan anak di bawah umur. Beliau berpendapat bahwa pernikahan tersebut tidak benar dan bisa-bisa pelakunya dikenai sanksi sesuai pelanggaran yang dia lakukan. Menteri Agama menjelaskan bahwa di Indonesia orang Islam terikat dengan dua ukuran. Di satu sisi sebagai muslim, dia terikat pada syariat, sementara di sisi lain sebagai warga negara yang terikat pada hukum positif, dalam hal UU perkawinan. Dari sudut pandang peraturan di UU perkawinan, pernikahan tersebut tidak sah dan berpotensi menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak. Namun, argumen beliau bertolak belakang dengan opini-opini dari pihak yang membenarkan pernikahan tersebut. Tak berhenti pada statement yang dikemukakan di atas, dosen sastra Arab Universitas Negeri Malang juga menentang pernikahan anak di bawah umur. Beliau menegaskan bahwa klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Rasul itu adalah bermasalah, baik dari segi normative (agama) maupun sosiologis (masyarakat). 2
Perkawinan usia muda serta perkawinan di bawah umur sebagian besar terjadi karena alasan ekonomi. Banyak orang tua yang terpaksa menikahkan anak perempuannya yang masih dibawah umur agar beban ekonomi keluarga menjadi berkurang. Atau bahkan dengan pernikahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan derajat ekonomi keluarga. Ada pula yang menikahkan anak perempuannya yang dibawah umur karena alasan tradisi.
B. Permasalahan
Dengan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan perkawinan di bawah umur dilihat dari Paraturan Perundang-undangan di Indonesia ?
2. Bagaimana mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur?
2 http : // Islamlib.com
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkawinan Di Bawah Umur Dilihat Dari Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
Undang-Undang No.1 Pasal 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan bahwa perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa ”Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. 3
Dari adanya batasan usia tersebut dapat ditafsirkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menghendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Menurut Negara pembatasan umur minimal untuk melaksanakan perkawinan bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir, kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Keuntungan lainnya yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir dan batin. 4
3 UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4 Idris Mohd Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm.32
Pada pasal 15, KHI (Kompilasi Hukum Islam) menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, namun dengan tambahan alasan: untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. 5
Penyimpangan terhadapnya hanya dapat dimungkinkan dengan adanya dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. (Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. 6
Sedangkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa :
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.
Jika dilihat dari aspek ekonomi, perkawinan anak di bawah umur menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak, sebab dalam realita yang ada terjadi di masyarakat, p ini acapkali dijadikan dalih para orang tua untuk mengeksploitasi atau ‘mengorbankan’ anak mereka demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga.
5 Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
6 UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Di samping itu, pernikahan anak di bawah umur dinilai telah mengabaikan dan bahkan merendahkan derajat serta martabat perempuan. Dampak dari pernikahan ini seringkali menimbulkan trauma seksual serta berdampak buruk pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Secara mental psikologis, si anak juga dirasa belum mampu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk menanggung beban tanggung jawab mengurus kehidupan rumah tangga yang semestinya adalah untuk orang yang cukup umur atau dewasa.
Selain itu, bagi pihak anak secara tidak disadari banyak negative yang akan timbul diakibatkan pernikahan ini; yakni mulai dari terbatasnya pergaulan hingga hilangnya masa bermain dengan anak sebaya yang berimbas pada perkembangan mental dan emosional si anak.
Pasal 288 KUHP menyebutkan bahwa “Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun”. 7
Namun perlu diketahui bahwa masalah Perkawinan adalah masalah Perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga.
B. Pencegahan Terjadinya Perkawinan Di Bawah Umur Di Indonesia
Pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan : 8
(1). Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
7 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
8 UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(2). Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lain, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Di dalam Pasal 60 KHI juga menyebutkan bahwa pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI).
KHI juga menyebutkan bahwa perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974. Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: 9
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang;
4. Para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73).
9 Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju perkawinan di bawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.
Jadi, upaya pencegahahan pernikahan dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam upaya pencegahan perkawinan anak di bawah umur. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan langkah terbaik yang diharapkan untuk mencegah atau meminimalisir perkawinan anak di bawah umur. Kontrol sosial masyarakat sangat diharapkan untuk hal ini, sehingga ke depannya anak-anak negeri ini tidak lagi menjadi korban perkawinan di usia muda, tetapi memiliki masa depan yang cerah untuk meraih cita-citanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI (Kompilasi Hukum Islam) menentang keberadaan perkawinan anak di bawah umur. Hal tersebut didukung pula dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak guna menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Akibat dari pelaksanaan perkawinan di bawah umur apabila mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan (luka-luka atau kematian) dapat dijerat sesuai dengan KUHP. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka menikahi anak di bawah umur.
2. Perkawinan di bawah umur sebagian besar terjadi dengan dalih utama mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW untuk melegalkan perbuatannya atau karena alasan ekonomi. Banyak orang tua yang terpaksa menikahkan anak perempuannya yang masih dibawah umur agar beban ekonomi keluarga menjadi berkurang atau diharapkan dapat meningkatkan derajat ekonomi keluarga.
B. Saran
1. Peran serta aktif antara kedua belah pihak, yaitu antara pemerintah dan masyarakat dalam mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara, agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.
2. Terkait dengan pernikahan anak di bawah umur yang merupakan suatu fenomena sosial yang seringkali terjadi di Indonesia, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi diharapkan bisa menjadi penengah di antara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan peraturan hukum dalam hal pernikahan anak di bawah umur.
DAFTAR PUSTAKA
Doi, I Rahman Abdul, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992.
Ramulyo, Idris Mohd, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Zaldi Mirza Lazuardi (NPM : 7109015)
HUKUM DAN PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL MASYARAKAT
DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
I. Pendahuluan
Kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakat diliputi oleh norma-norma, yaitu peraturan hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Sejak masa kecilnya manusia merasakan adanya peraturan-peraturan hidup yang membatasi sepak terjangnya. Pada permulaan yang dialami adalah peraturan-peraturan hidup yang berlaku dalam lingkungan keluarga yang dikenalnya, kemudian juga yang berlaku di dalam masyarakat. Yang dirasakan paling nyata adalah peraturan-peraturan hidup yang berlaku di dalam suatu negara.
Peraturan-peraturan yang ada disuatu negara dibuat oleh penguasa negara, isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alal-alat negara. Peraturan-peraturan tersebut dapat juga kita sebut dengan Norma Hukum. Norma hukum juga merupakan sarana yang dipakai oleh masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat pada saat mereka berhubungan satu sama lain.
Pada masyarakat modern hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Makalah ini akan mengupas mengenai hukum dan perubahan perilaku sosial masyarakat dilihat dari aspek sosiologi hukum.
II. Pembahasan
Menurut kodrat alam, manusia di mana-mana dan pada zaman apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok. Dalam sejarah perkembangan manusia tak terdapat seorangpun yang hidup menyendiri atau terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itu pun hanyalah untuk sementara waktu. Manusia sebagai individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia di dalam masyarakat.
Hasrat untuk hidup bersama memang telah menjadi pembawaan manusia, merupakan suatu keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya. Persatuan manusia yang timbul dari kodrat yang sama itu lazim disebut dengan masyarakat. Jadi masyarakat itu terbentuk apabila ada dua orang atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup itu timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan bahwa yang seorang dan yang lain saling kenal mengenal dan pengaruh mempengaruhi.
Di dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran. Walaupun golongan dan aliran itu beraneka ragam dan masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, tetapi ada kepentingan bersama yang mengharuskan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
Agar memenuhi kebutuhannya dengan aman dan tentram tanpa gangguan, tiap manusia memerlukan adanya suatu tata (orde). Tata itu berwujud aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, selain itu anggota masyarakat juga mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing. Tata itu lazim disebut dengan kaidah atau norma.
Norma itu sendiri mempunyai dua macam isi, yaitu :
1. Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.
2. Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.
kegunaan norma itu sendiri adalah untuk memberi petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang harus bertindak dalam dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dipenuhi.
Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa norma yang berlaku, salah satu diantaranya adalah norma hukum. Isi dari norma hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa negara dan bersifat mengikat bagi setiap orang. Dalam pelaksanaannya norma hukum dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara, misalnya Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan).
Menurut Leon Duguit, Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
Salah satu karakteristik hukum yang membedakanya dari aturan-aturan yang bersifat normatif adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga untuk menjaga agar orang tetap patuh kepada aturan-aturan yang telah ditentukan.
Secara sosiologis hukum berfungsi untuk membimbing manusia, khususnya mengenai perilakunya yang nyata. Di dalam hal ini, hukum dapat dipergunakan sebagai sarana pengendalian, maupun untuk merubah ataupun menciptakan yang baru. Hukum adalah sarana yang dipakai oleh masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat pada saat mereka berhubungan satu sama lain. Kemana hukum itu mengarahkan tingkah laku manusia merupakan prioritas yang ada pada masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan arah-arah tersebut dan oleh karena itu kita bisa melihat hukum itu sebagai pencerminan dari kehendak masyarakat. Kehendak masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku anggota-anggota masyarakat itu dilakukan dengan membuat pilihan antara tingkah laku yang disetujui dan yang ditolak.
Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah penggunaanya secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu instrument.
Sorokin telah menggambarkan pandangan dari masyarakat modern tentang hukum itu dengan cukup tajam, yaitu sebagai : hukum buatan manusia, yang sering hanya merupakan sebuah instrumen untuk menundukkan dan mengeksploitasi suatu golongan oleh golongan lain. Tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian: keselamatan hidup manusia, keamanan harta benda dan pemilikan, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan atau dari masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.. norma-normanya bersifat relative, bisa dirubah dan tergantung pada keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian itu tidak ada yang dianggap abadi atau suci….”
Adanya hubungan fungsional antara sistem hukum yang dipakai dan (struktur) masyarakatnya sebetulnya sudah diuraikan oleh Emile Durkheim, pada waktu itu ia membicarakan tentang hubungan antara kualitas solidaritas antara anggota-anggota masyarakat dengan sistem hukum yang dipakainya. Durkheim membedakan antara “masyarakat dengan solidaritas mekanik” dengan “masyarakat dengan solidaritas organik”. Masyarakat dengan solidaritas yang disebut pertama adalah yang mendasarkan pada sifat kebersamaan dari para anggotanya . sedangkan yang kedua , mendasarkan pada individualitas dan kebebasan dari para anggotanya. Masyarakat solidaritas mekanik dipertahankan oleh sistem hukum represif, sedangkan masyarakat solidaritas organik oleh sistem hukum restitutif. Sistem hukum represif fungsional untuk masyarakat dengan solidaritas mekanik, oleh karena ia mampu mempertahankan kebersamaan itu. Sistem hukum restitutif juga sesuai untuk menjaga kelangsungan masyarakat dengan solidaritas organik, oleh karena sistem ini memberikan kebebasan kepada masing-masing individu untuk berhubungan satu sama lain menurut pilihannya sendiri, sedangkan hukumnya hanya mengusahakan supaya tercapai keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan dari para pihak yang mengadakan hubungan tersebut.
Sekalipun Durkheim tidak membicarakan masalah penggunaan hukum secara sadar untuk merubah masyarakat, namun efek yang diberikan oleh uraiannya itu mendukung ke arah penggunaan yang demikian itu. Teori Durkheim memberikan dasar bagi kemungkinan penggunaan suatu sistem hukum untuk menciptakan atau mempertahankan masyarakat yang diinginkannya.
Penggunaan hukum secara sadar untuk mengubah masyarakat itu disebut sebagai Social Engineering atau lengkapnya Social Engineering by law. Langkah yang diambil dalam Social Engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem samapai kepada jalan pemecahannya, yaitu:
1. Mengenai problem yang dihadapai sebaik-baiknya termasuk di dalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut.
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting dalam hal Social Engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti : tradisional, modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih.
3. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
Sekalipun orang pada zaman modern sekarang ini mempunyai kesadaran tentang penggunaan hukum untuk menyusun dan mengubah masyarakat yang demikian itu, namun masih harus dipertanyakan seberapa jauh hukum itu mampu dipakai sebagai instrumen yang dapat mengubah masyarakat. Kalau hukum itu memang mampu menimbulkan pengaruh dan efek yang dikehendaki, seberapa jauhkah, seberapa besarkah?.
Keadaan memang tidak mudah untuk memastikan apakah hukum itu memang telah berhasil untuk menimbulkan perubahan seperti yang dikehendaki. Hubungan antara hukum dengan masalah yang dijadikan sasarannya tidaklah berupa hubungan sebab-akibat seperti pada ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu masih ada pendapat yang meragukan, bahwa hukum mampu untuk melakukan perubahan yang dinginkannya.
Terdapat kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa turut menyebabkan timbulnya sesuatu perubahan dalam masyarakat. Factor-faktor ini di antaranya adalah ekonomi dan penggunaan teknologi. Sampai di sini sebetulnya kita telah memasuki suatu persoalan yang memang cukup rumit, yaitu masalah penyebab sosial. Untuk menentukan sebab-sebab tertentu yang diperkirakan menimbulkan suatu keadaan dalam kehidupan sosial adalah tidak mudah dan oleh karena itu orang sering lebih suka memilih untuk menggunakan kata-kata yang lebih ringan, seperti kecenderungan, korelasi dan sebagainya.
Hukum tetap bisa dipakai sebagai instrumen yang dipakai secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Hanya dalam menilai proses pencapaian tujuan itu kita tidak boleh berpikir seperti dalam ilmu-ilmu alam. Yang jelas, prosesnya akan berlangsung cukup panjang dan efek yang ditimbulkannya bisa merupakan efek yang sifatnya berantai. Dalam keadaan yang demikian ini, maka hukum bisa digolongkan ke dalam factor penggerak mula, yaitu yang memberikan dorongan pertama secara sistematis.
Suatu contoh yang baik sekali mengenai proses yang demikian itu adalah suatu keputusan yang dibuat oleh supreme Court Amerika Serikat pada tahun 1954 yang menyatakan, bahwa pemisahan rasial pada sekolah-sekolah pemerintah adalah tidak konstitusional. Keputusan ini bisa dimasukkan ke dalam golongan social engineering oleh karena bertujuan untuk menciptakan perubahan pada masyarakat, yaitu untuk merubah moralitas orang Amerika Serikat yang tidak menyukai adanya pembaruan antara orang-orang kulit putih dan kulit hitam dalam satu sekolah.
Memang dalam waktu yang singkat, keputusan tersebut tidak dapat diharapkan untuk menghapus sama sekali prasangka orang kulit putih terhadap kulit hitam. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Edwin M. Schur, orang perlu membedakan antara prasangka dan diskriminasi. Prasangka menyangkut soal sikap yang memihak, yaitu kecenderungan kearah memberikan penilaian terlebih dahulu disebut Diskriminasi, dalam pada itu menyangkut tindakan yang merugikan secara tidak adil terhadap golongan minoritas dalam masyarakat dengan cara menolak untuk memperlakukannya secara sama, menolak diterapkannya sistem peradilan yang semestinya dan sebagainya. Orang tidak harus mengurangi prasangka secara efektif untuk bisa melakukan pengendalian terhadap tindakan diskriminatif secara terbuka itu. Biasanya rakyat mematuhi hukum, sekalipun isinya tidak mereka sukai.
Dalam hubungan dengan perundang-undangan atau keputusan hakim yang memberikan perlindungan terhadap orang-orang negro ini, sekalipun ia gagal untuk mengurangi prasangka tersebut. Namun pengaruhnya terhadap perlakuan hukum selanjutnya bagi orang-orang negro itu harus diakui efektifitasnya. Keputusan serta perundang-undangan yang demikian itu akan mendorong penerapan hak-hak individual yang makin meluas, seperti hak untuk memberikan suara, untuk memperoleh pekerjaan, menggunakan fasilitas umum, memperoleh pendidikan yang cukup, perumahan yang layak dan seterusnya. Dalam kenyataannya memang keputusan-keputusan pengadilan federal dan negara bagian di Amerika Serikat memberikan pengakuan yang makin luas terhadap hak-hak seperti tersebut di atas.
Bahkan pada hari selasa 4 November 2008 Barack Obama calon presiden kulit hitam pertama yang berasal dari Partai Demokrat berhasil mencetak sejarah menjadi presiden kulit hitam pertama di negara Amerika Serikat. Jika melihat komposisi penduduk AS pada tahun 2008, sekitar 52% adalah kulit putih, 24% Afrika-Amerika, 14% Hispanics (keturunan Mexico dan Amerika Latin), 7% Asia (terutama Asia Tengah, Timur, dan Selatan), dan sisanya Arab, Timur Tengah, dan lain-lain. Maka dengan kemenangan Barack Obama yang meyakinkan dapat kita ambil kesimpulan bahwa rakyat Amerika Serikat perlahan-lahan sudah meninggalkan perilaku Rasisme.
Namun demikian dalam kenyataannya seringkali kita temukan hukum tidak selalu berpengaruh secara positif terhadap masyarakat. Hukum dapat juga mengakibatkan terjadinya perilaku yang menyimpang, oleh karena warga masyarakat sengaja berbuat melawan hukum atau mungkin dia sama sekali tidak mengacuhkan hukum yang berlaku. Misalnya, perilaku para pejalan kaki apabila ada jembatan penyeberangan mereka tetap memilih untuk tidak memakai jembatan penyeberangan tersebut.
Apabila ada kecenderungan bahwa hukum tertentu tidak diacuhkan atau dilawan, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum tersebut mempunyai pengaruh yang negatif terhadap warga masyarakat. Maka dalam hal tersebut dapat dikatakan hukum kurang berhasil di dalam fungsinya sebagai sarana untuk merubah perilaku masyarakat.
Kalau diperhatikan, maka penggunaan hukum untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat berhubungan erat dengan konsep penyelenggaraan kehidupan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Apabila orang berpendapat, bahwa proses-proses sosial ekonomi itu hendaknya dibiarkan berjalan menurut hukum-hukum kemasyarakatan sendiri, maka hukum tidak akan digunakan sebagai instrument perubahan yang demikian itu. Sebaliknya, apabila konsepnya justru merupakan kebalikan dari yang disebut di muka, maka peranan hukum menjadi penting untuk membangun masyarakat. Oleh karena itu peranan hukum yang demikian itu berkaitan erat dengan konsep perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perencanaan. Perencanaan membuat pilihan-pilihan yang dilakukan secara sadar tentang jalan yang mana dan cara yang bagaimana yang akan ditempuh oleh masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuannya.
III. Kesimpulan Dan Saran
A. Kesimpulan
Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa norma yang berlaku, salah satu diantaranya adalah norma hukum. Isi dari norma hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa negara dan bersifat mengikat bagi setiap orang. Dalam pelaksanaannya norma hukum dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara.
Secara sosiologis hukum berfungsi untuk membimbing manusia, khususnya mengenai perilakunya yang nyata. Dalam hal ini, hukum dapat dipergunakan sebagai sarana pengendalian, maupun untuk merubah ataupun menciptakan yang baru. Hukum juga merupakan sarana yang dipakai oleh masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat pada saat mereka berhubungan satu sama lain.
Pada masyarakat modern hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu instrument.
B. Saran
Keputusan yang dibuat oleh supreme Court Amerika Serikat pada tahun 1954 mengenai diskriminasi etnis membuat bangsa Amerika Serikat secara perlahan-lahan melepaskan diri dari hal-hal yang menyangkut diskriminasi etnis. Hal tersebut patut kita contoh dengan cara masing-masing warga negara harus memberikan dukungan terhadap segala peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk mengahapus hal-hal bertentangan dengan semangat pancasila, aliran kepercayaan dan hak asasi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Atik Indriyani, et al., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 2001.
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, cet.7, Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: CV. Armico,1985.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet.1, Bandung: Alumni, 1982.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet.5, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
Soerjono Soekanto, Heri Tjandrasari, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat, Bandung: Alumni, 1983.
BUDI SETIOKO, NPM. 7109009
FAKTOR PENYEBAB PENGEDARAN NARKOBA DI INDONESIA DI LIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dewasa ini, peredaraan gelap dan penyalahgunaan narkoba sudah menjadi suatu kejahatan yang berskala transnasional dan internasional. Para pelaku kejahatan ini adalah para Sindikat yang sangat profesional dan militan. Kegiatan operasionalnya dilakukan secara konsepsional, terorganisir dengan rapi, sistematis, menggunakan modus operandi yang berubah-ubah, didukung oleh dana yang tidak sedikit dan dilengkapi dengan alat serta peralatan yang berteknologi tinggi dan canggih.
Karena solidnya organisasi ini, maka kejahatan narkoba sangat sulit diungkap. Lebih-lebih bila ada oknum Pejabat yang tidak punya wewenang mengurus narkoba tetapi ikut campur, maka masalah Narkoba menjadi semakin ruwet dan semakin sulit dibongkar. Tujuan jangka pendek kejahatan ini adalah untuk mencari untung berupa uang yang berlipat ganda. Tetapi dampaknya, seseorang mudah tergoda, bahkan cenderung mau ikut terlibat didalamnya. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghancurkan suatu bangsa, dengan cara melakukan “pembusukan” terhadap Generasi Mudanya. Kita masih ingat, salah satu tujuan Perang Candu di Negeri Cina puluhan tahun yang lalu, adalah untuk menghancurkan satu golongan atau suku bangsa di negeri itu. Oleh karena itu, maka peredaraan gelap dan penyalahgunaan narkoba adalah suatu “organized crime” dan merupakan tindak pidana yang serius, karena dilakukan oleh 2 orang atau lebih, dalam suatu permufakatan jahat (konspirasi), yang dampaknya dapat melemahkan dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia, Narkoba telah diedarkan ke seluruh wilayah. Akibatnya Narkoba ada dimana-mana dan mudah didapat. Tidak ada satu RW atau satu SLTA atau satu Perguruan Tinggi di wilayah Jabodetabek maupun di kota-kota besar lainnya yang bebas dari peredaran gelap Narkoba. Indonesia yang jumlah penduduknya lebih dari 200 juta orang, merupakan suatu “pasar” yang sangat menggiurkan untuk berbisnis Narkoba.
Mengingat begitu fatalnya pengaruh Narkoba terhadap lingkungan dan kehidupan manusia, maka Pemerintah dalam hal ini Instansi terkait yaitu Polri, Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Propinsi (BNP) dan Jajarannya, perlu melakukan tindakan dini dan berkesinambungan. Dalam upaya menyelamatkan bangsa ini, seluruh potensi masyarakat yang ada perlu diikutsertakan dan dilibatkan.
Pada tahun 1988 Negara-Negara di dunia telah merumuskan suatu Konvensi Internasional untuk memberantas peredaran gelap Narkoba, yaitu United Nation Convention Against The Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, yang oleh Indonesia telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1997. Perumusan UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika merupakan penjabaran dari United Nation Convention 1988 dan perkembangan peredaraan gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia yang begitu pesat dan yang memiliki daya merusak yang begitu dahsyat.
Di satu sisi, Narkoba adalah bahan yang sangat bermanfaat untuk pengobatan, pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Akan tetapi di sisi lain dapat menimbulkan ketagihan, craving dan ketergantungan yang diikuti oleh rasa sakit yang luar biasa (Sakaw), bahkan bisa berakibat fatal yaitu kematian bagi sipemakainya, apabila digunakan tanpa seizin Dokter.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penyusun mencoba mengupas masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan narkoba itu sendiri. Seperti apakah jenis-jenis narkoba itu?, dampak atau tanda-tanda pemakai narkoba?, faktor-faktor apa yang mendorong seorang memakai narkoba dan faktor penyebab pengedaran narkoba bila dilihat dari aspek sosiologi hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Jenis-jenis narkoba dan golongannya.
Sebelum kita membicarakan masalah Narkoba, ada baiknya apabila kita “mengenali” dulu secara sepintas apa Narkoba itu. Narkoba ada 2 (dua) golongan yaitu golongan Narkotika dan golongan non Narkotika.
I. Golongan Narkotika (Narkoba golongan 1).
Yaitu tanaman Papaver Somniferum L termasuk buah dan jerami, kecuali bijinya. Tanaman ini hanya bisa tumbuh didaerah Segitiga Emas (Thailand, Myanmar dan Laos) dan didaerah Bulan Sabit Emas (Afghanistan, Pakistan, Iran, Iraq dan Turki). Menurut laporan International Narcotic Control Board (INCB), Afghanistan adalah produsen Candu gelap terbesar di dunia. Pada tahun 2002 Afghanistan memproduksi 4.503 ton Candu. Jika diproses menjadi Heroin akan menjadi 4.503.000 kg = 4.503.000.000 mg. Mari kita hitung dan kita bayangkan, berapa korban yang akan berjatuhan akibat Candu ini.
Tanda-tanda tanaman ini adalah :
a. Tingginya berkisar antara 0,5 s/d 1,5 meter.
b. Bunganya berwarna putih, pink dan ungu, dikenal dengan nama Poppy.
Apabila kelopak bunganya lepas, akan muncul kapsul buah. Bila disayat akan mengeluarkan getah berwarna putih seperti susu dan bila dikeringkan akan menjadi barang yang menyerupai karet berwarna kecoklatan, disebut Opium mentah. Opium mentah mengandung 4 s/d 21% Morfin. Setelah diolah, khususnya dengan cara pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa menambah bahan-bahan lain, akan menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk madat, disebut Candu.
Dari Opium dihasilkan :
1) Morfin = C17H19NO3 yaitu alkaloida utama dari Opium, berbentuk bubuk dan berwarna
putih.
2) Codein adalah alkaloida yang terkandung dalam Opium sebesar 0,7 s/d 2,5%. Codein digunakan sebagai antitusif (obat batuk) yang kuat dan Papavirin (obat perut mulas) yang hanya bisa diperoleh di apotik dengan resep Dokter.
Dari Morfin dan Codein dihasilkan :
a) Heroin atau diacetilmorfin adalah opioida semi sintetik, berupa serbuk putih, berasa pahit. Sekarang Heroin banyak disalahkangunakan. Sebagai contoh, di pasar gelap, heroin dipasarkan dalam ragam warna, karena dicampur dengan bahan lain seperti gula, cokelat, tepung susu, dengan kadar sekitar 24%. Efeknya 100 kali melebihi Morfin. Heroin dengan kadar yang lebih rendah, di Indonesia disebut Putaw.
Heroin dilarang oleh Pemerintah, karena mengandung zat adiktif yang tinggi. Berbentuk butir, tepung dan cairan. Heroin menjerat pemakainya dengan cepat, baik fisik maupun mental. Menghentikan pemakaian Heroin, dapat menimbulkan sakit yang luar biasa dan badan jadi kejang-kejang (Sakaw).
b) Metadon adalah opioida sintetik yang mempunyai daya kerja lebih lama dan lebih efektif dari Morfin. Dikonsumsi dengan cara ditelan. Metadon digunakan sebagai maintenance program, yaitu untuk mengobati ketergantungan Morfin atau Heroin.
c) Pethidin, digunakan untuk menghilangkan rasa sakit yang luar biasa dan pemakaiannya diawasi dengan sangat ketat.
2. Cannabis Sativa (Ganja atau Marijuana)
Tumbuh di Negara yang beriklim tropis dan iklim sedang seperti India, Nepal, Thailand, Laos, Kambodia, Indonesia, Columbia, Jamaica dan yang beriklim subtropis seperti Rusia bagian Selatan, Korea dan Iowa (USA). Dari tumbuhan ini dihasilkan Delta 9 Tetrahydro Cannabinol (THC). Pucuknya yang berkembang menghasilkan semacam resin dengan kadar THC yang tinggi, disebut Charas atau Hashis, berwarna hijau tua atau kecoklatan. Hashis adalah getah Ganja yang dikeringkan dan dipadatkan menjadi lempengan. Minyak Hashis adalah sari-pati Hashis dengan kandungan THC antara 15 s/d 30%. Ganja kering biasanya terdiri dari campuran daun 50%, ranting 40% dan biji 10%.
Nama lain dari tumbuhan ini adalah Marijuana, Ganja (Gele, Cimeng), Hash, Kangkung, Oyen, Ikat, Bang, Labang, Rumput. Dagga, Djoma, Kabak, Liamba, Kif. Memakai Cannabis, Ganja atau Marijuana, dapat menimbulkan ketergantungan mental yang diikuti oleh kecanduan fisik dalam jangka waktu yang lama.
3. Erythroxylon Coca
Banyak tumbuh di pegunungan Andes, Amerika Selatan yaitu di Chili, Columbia, Peru, Puerto Rico, Bolivia dan Mexico. Ada juga di Malaysia dan di pulau Jawa, tetapi sekarang jumlahnya sangat terbatas. Saat ini Columbia menjadi suplayer 3/4 kokain di dunia. Tinggi tumbuhan ini sekitar 4 meter. Untuk memudahkan pengambilan daunnya, tinggi pohon “diusahakan” hanya sekitar 1 meter. Dari daunnya dihasilkan Cocain atau Crack, berbentuk bubuk warna putih.
Biasanya dipakai dengan cara dihirup lewat hidung. Cara ini bisa menimbulkan bahaya ganda yaitu bahaya dari pemakaian tumbuhan ini dan bahaya karena bisa menimbulkan infeksi di dalam rongga hidung. Meskipun demikian sejak berabad yang silam, orang Indian dari suku Inca, suka mengunyah daun Koka, terutama pada saat upacara ritual, sekedar untuk menahan lapar dan letih.
II. Golongan Non Narkotika (Narkoba golongan 2).
Golongan ini terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Psikotropika
Dibagi menjadi 2 (dua) jenis :
a. Obat-obatan Depresan yang merangsang syaraf Otonom Parasimpatis. Contohnya : Mogadon, Rohypnol, Sedatine (pil BK), Nitrazepam, Methaquolone, Activan, Metalium, Valium dan Mandrax.
b. Obat-obatan Stimulant yang merangsang serabut syaraf Otonom simpatis. Contohnya : Amphetamine, Extasy (Ineks) dan Shabu.
2. Halusinogen, yaitu :
a. Lysergic Acid Diethylamide (LSD). Ini adalah yang “terkuat” dari jenisnya.
b. Dimethylated Riptamine (DMT).
c. Bufotenine, Mescaline (diekstraksi dari pohon Cactus).
d. Psilocine/Psilocybin (diekstraksi dari cendawan Mexico).
3. Bahan adiktif lainnya. Yang termasuk kelompok ini antara lain :
a. Minuman yang kadar alkoholnya :
1) 1 – 5% misalnya Bir, Greensands.
2) 5 – 20% misalnya Anggur.
3) 20 – 55% misalnya Brandy, Whisky, Cocnac, Vodka.
4) Minuman keras lainnya yang diproduksi oleh masyarakat, misalnya
Tuak, Brem, Arak, Sake (Jepang) dan Saguer.
b. Tembakau.
c. Cendawan beracun.
d. Aica Aibon.
2.2. Dampak dan tanda-tanda pemakai narkoba
Secara umum, cara mengkonsumsi, dampak dan tanda-tanda pemakai Narkoba adalah sbb :
1. Opium, morfin dan heroin.
a. Opium dan Candu, diletakan pada pipa “cangklong” kemudian dibakar dan diisap seperti merokok, sedangkan Morfin dan Heroin disuntik.
b. Dampak yang ditimbulkan adalah : Menghilangkan rasa sakit, rasa takut dan cemas. Timbul rasa senang yang semu (euphoria) seolah-olah dalam keadaan mimpi, ngantuk, daya ingat berkurang, apatis, pernapasan dan denyut jantung melambat, kelopak mata menyempit dan susah buang air besar.
c. Tanda-tanda waktu ketagihan (Sakaw) adalah : Mata berair, hidung berlendir, berkeringat, perut mual, tidak bisa tidur, kepala sakit, otot tulang dan sendi sakit, demam, jantung berdebar-debar, tekanan darah meningkat, mengigau dan diare.
2. Marijuana atau Ganja.
a. Cara pakainya dilinting kemudian dibakar dan diisap seperti merokok.
b. Dampak yang ditimbulkan adalah : Timbul rasa takut, cemas dan panik bagi para pemula sedang bagi para pecandu timbul rasa senang semu, percaya diri (PD) meningkat, napsu makan bertambah, mulut kering, jantung berdebar-debar, wajah seperti orang marah, selalu curiga, ngantuk dan apatis.
c. Tanda-tanda waktu ketagihan (Sakaw) : Mudah tersinggung, gelisah, napsu makan hilang, susah tidur, keringat banyak keluar, gemetar, diare dan perut mual sampai muntah.
3. Kokain, termasuk stimulansia/meningkatkan kerja otak.
a. Cara pakai dihirup lewat hidung, disulut seperti rokok atau dilarutkan dalam air lalu disuntikan. Jika dihirup lewat hidung dapat merusak selaput hidung, sulit bernafas, menyerang jantung dan kematian.
b. Dampak yang ditimbulkan adalah : Banyak keluar keringat, nafsu makan hilang, badan dingin, mual sampai muntah, timbul rasa senang yang semu, bicara ngelantur, emosi, jantung berdebar-debar, tekanan darah naik dan kelopak mata melebar.
c. Tanda-tanda pada waktu ketagihan (Sakaw) adalah : Gugup, cemas, selalu curiga dan depresi.
4. Obat Depresan (Psikotropika).
a. Berbentuk pil atau tablet, cara pakainya cukup ditelan saja.
b. Dampak yang ditimbulkan adalah : Pengendalian diri dan pengendalian seksual menurun. Akibatnya agresif, mengganggu kehidupan sosial, kurang bertanggung jawab, labil, daya ingat menurun, bicara cadel dan jalan sempoyongan.
c. Tanda-tanda waktu ketagihan (Sakaw) adalah : Depresi, mual sampai muntah, berkeringat, lemah atau letih, cemas, mudah tersinggung, tekanan darah naik, jantung berdebar-debar dan mengigau.
5. Obat Stimulan (Psikotropika).
a. Yang berbentuk pil berwarna warni (Extasy/Ineks), kapsul dan tepung, digunakan dengan cara diminum sedang yang berbentuk kristal putih (Shabu), digunakan dengan cara dihirup melalui hidung atau disuntikan.
b. Dampak yang ditimbulkan adalah : Meningkatkan kerja otak (stimulansia). Banyak bicara, kulit terasa dingin, berkeringat, sangat PD, rasa gembira yang berlebihan, kelopak mata melebar, tekanan darah meningkat, curiga yang berlebihan, mudah diajak berkelahi dan jantung berdebar-debar.
c. Tanda-tanda waktu ketagihan (Sakaw) : Sulit tidur, mengigau, timbul rasa lelah dan depresi.
6. Halusinogen
a. Berupa uap atau solven (zat pelarut), mengandung sekitar 2.000 bahan kimia yang mudah menguap. Contohnya Thiner, Lem, Bensin. Digunakan dengan cara dihirup (Ngelem).
b. Dampak yang ditimbulkan adalah : Timbul perasaan tidak nyata, kehilangan persepsi, berbahaya karena menyerang otak, dapat menyebabkan kematian karena merusak organ tubuh lain seperti hati, ginjal, paru-paru dan sumsum tulang.
c. Tanda-tanda waktu ketagihan (Sakaw) : Berkeringat, jantung berdebar-debar, pandangan mata kabur, gemetar, cemas, depresi, curiga, kelopak mata melebar, sempoyongan dan ingin bunuh diri.
7. Bahan adiktif lainnya antara lain berupa:
a. Minuman yang beralkohol.
Dampak yang ditimbulkan antara lain adalah :
1) Merangsang terbentuknya asam lambung, sehingga mudah kena sakit maag.
2) Merangsang terbentuknya lemak dalam hati, sehingga dapat menyebabkan kanker
hati.
Memungkinkan terjadinya ganguan pertumbuhan susunan syaraf pada janin. Akibatnya bisa menyebabkan IQ rendah, otak mengecil, pertumbuhan lambat, system kekebalan tubuh rusak, sehingga mudah kena infeksi.
3) Tanda-tandanya keracunan alkohol antara lain : Mudah marah, mudah tersinggung, mudah diajak berkelahi, sulit berkonsentrasi, bicara cadel, jalan sempoyongan, muka merah, kepribadian berubah, banyak bicara ngelantur.
b. Tembakau, ada yang dipakai dengan cara dikunyah secara langsung, dibakar pakai cangklong dan diisap seperti cerutu atau dirokok seperti biasanya. Setiap perokok akan menghembuskan gas yang sangat berbahaya bagi perokok pasif, yaitu orang yang menghirup asap rokok orang lain. Pada tembakau terdapat Nikotin yang mempunyai efek yang mirip Kokain dan Heroin, sehingga dapat menimbulkan kecanduan. Nikotin dapat mencemarkan air susu ibu (ASI) yang membahayakan bayi yang disusuinya. Bagi wanita perokok berat (sekitar 10 batang sehari), ASI-nya akan terkontaminasi sekitar 0,5 mg Nikotin.
Bahaya lain dari tembakau atau rokok adalah rusaknya paru-paru, mudah terserang sakit jantung koroner dan pecahnya pembuluh darah otak. Tanda-tandanya waktu ketagihan rokok antara lain mudah tersinggung, nyeri kepala, berkeringat, binggung, mual, penglihatan dan pendengaran terganggu, cemas dan gelisah, lelah. Bagi perokok berat yang melebihi 60 mg Nikotin dapat mengakibatkan tekanan darah turun drastis, nadi lemah, napas sesak, kejang-kejang dan pingsan atau menginggal dunia karena pernapasan terganggu. Merokok adalah pintu utama pemakai Narkoba dan merupakan pembunuh urutan ketiga setelah penyakit jantung koroner dan sakit kanker.
Tanda-tanda lain, bahwa seorang diduga kuat mengkonsumsi Narkoba adalah sbb.
1. Anak mulai sering membolos dari sekolah, sehingga nilai rapor “turun”. Anak yang periang tiba-tiba menjadi pemurung, suka menyendiri, tidak mau makan bersama keluarganya. Wajah menjadi pucat, kuyu, lesu, mata dan hidung berair, tangan bergetar. Ruang tidurnya yang biasanya rapi menjadi berantakan dan berbau aneh.
2. Anak mulai pandai merayu dan berbohong. Barang-barang di rumah, terutama yang punya nilai jual tinggi seperti jam tangan, jam dinding, radio, TV, motor, mobil, termasuk pakaian yang bagus-bagus, bahkan peralatan tidur seperti seprei dan peralatan makan seperti piring, sendok-garpu makan, mulai hilang. Keluarga mulai kehilangan uang. Baik uang milik ibu, ayah maupun uang milik siapa saja dirumah itu, mulai tidak aman.
3. Punya “teman” baru yang tidak dikenal oleh keluarga.
2.3. Faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk mengkonsumsi Narkoba antara lain:
1. Kurangnya perhatian orangtua dan keluarga. Akan tetapi bagi orangtua yang mampu dan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya dengan cara memberikan uang yang berlebihan, justru akan membuat anak itu hidup boros, suka berfoya-foya, suka pesta dan sering keluar rumah tanpa alasan. Kondisi seperti ini sangat rentan “kena” Narkoba. Narkoba adalah “barang” yang mahal, sehingga hanya banyak dipakai oleh mereka yang secara ekonomi mampu membeli Narkoba. Buktinya, sebagian besar penyalahguna Narkoba adalah mereka yang telah bekerja, punya penghasilan sendiri dan golongan pelajar atau mahasiswa yang punya banyak uang.
2. Orangtua yang gagal menjadi role model (teladan) bagi keluarganya, rumah hanya berfungsi seperti hotel, sehingga tidak ada kebersamaan dalam rumah tangga. Tidak adanya petunjuk dan arahan orangtua terutama masalah agama, sehingga anak tidak punya “pegangan”, akibatnya mudah terpengaruh oleh hal-hal yang negatif, antara lain menjadi penyalahguna, bahkan bisa menjadi pengedar dan bandar Narkoba.
3. Pengaruh lingkungan dan teman yang tidak bertanggung jawab. Seorang anak dibujuk dan dirayu dengan kata-kata yang manis. Adakalanya dipaksa dengan cara-cara yang kasar dan dikata-katain banci, tidak Macho, tidak Gaul dan lain sebagainya dengan tujuan agar anak itu mau “memakai” Narkoba. Kadang-kadang Narkoba itu diberikan secara gratis. Setelah berkali-kali mengkonsumsi, menjadi ketagihan dan membutuhkan Narkoba, baru diminta untuk membeli. Bagi pecandu yang tidak punya uang untuk membeli Narkoba, biasanya akan melakukan tindakan kriminal lainnya. Hampir sebagian korban Narkoba disebabkan oleh pergaulan yang salah.
4. Karena ketidaktahuan seseorang atau masyarakat akan bahaya Narkoba, akibatnya banyak orang yang menjadi korban. Untuk mencegahnya, perlu penyebaran informasi yang terus menerus, berupa penyuluhan, ceramah dan sejenisnya yang harus dilakukan oleh Pemerintah (BNN, BNP, BNK dan Jajarannya) dengan melibatkan Ormas anti Narkoba.
5. Penyalahgunaan Narkoba merupakan penyakit endemik dalam masyarakat, terutama pada masyarakat yang tidak mempunyai iman yang kuat. Golongan masyarakat ini mengesampingkan agama, karena agama dianggap tidak rasional, penghambat kemajuan dan modernisasi. Praktek hidup yang tidak rasional ini akan menopang anggapan bahwa memakai Narkoba adalah suatu jalan keluar untuk mengatasi semua kesulitan hidup.
2.4. Faktor penyebab pengedaran Narkoba di Indonesia dilihat dari aspek sosiologi
hukum.
a. Berlakunya hukum pasar “supply and demand”.
Di Indonesia, Badan Narkotika Nasional (BNN), suatu Badan yang “mengurusi” narkoba, menginformasikan bahwa sekitar 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia (sekitar 3,2 juta orang) adalah penyalahguna narkoba. Sekitar 40 orang per hari telah meninggal dunia secara sia-sia karena narkoba. Hampir 70% dari semua penghuni Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara adalah narapidana atau tahanan dalam perkara.
Selama demand (permintaan) masih ada, maka selama itu supply (penyediaan) akan berusaha ada. Dengan kata lain, selama pemakai dan pembeli masih ada, maka selama itu penjual akan selalu ada. Siapa yang bisa mencegah keinginan seseorang atau masyarakat untuk memakai Narkoba. Jawabnya adalah orang atau masyarakat itu sendiri. Sehingga ada atau tidaknya peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di seluruh dunia termasuk di seluruh Indonesia, adalah tergantung dari masyarakat di dunia dan rakyat Indonesia itu sendiri.
Ada yang menilai, salah satu penyebab masyarakat terjebak tindak kejahatan narkoba adalah faktor ekonomi. Dengan kata lain, mereka menggeluti dunia itu, baik sebagai pelaku, pengedar, kurir, pemasok, maupun sebagai bandar narkoba, didorong oleh kondisi ekonomi mereka yang rendah. Apalagi, penghasilan dari penjualan narkoba tentu sangat menggoda banyak orang. Akibatnya, semakin banyak orang yang tergoda masuk ke jaringan haram itu dipastikan para korban di sekitar kita akan semakin banyak.
Harus disadari, dengan semakin mudahnya orang mendapatkan narkoba, muncul gejala sosial berupa kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat. Kejahatan narkoba ialah kejahatan kemanusiaan. Dan, kejahatan narkoba merupakan payung dari segala kejahatan.
b. Hukum dan kekuatan-kekuatan sosial.
Kekuatan uang sangatlah berpengaruh, untuk menutupi keperluan hidup yang tidak mencukupi dari gaji yang didapat, dan sebagian untuk menyamakan gaya hidupnya dengan gaya hidup orang lain yang lebih mapan. Malahan kekuasaan yang berlandaskan hokum dipakai untuk mendapatkan uang. Jika diperhatikan dari fakta social (social fact), aparatur hukum di Indonesia belum sepenuhnya professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tidak jarang terjadi aparat penegak hukum yang menyalah gunakan kedudukan dan wewenangnya untuk kepentingan pribadi, banyak diantara aparat penegak hukum membuka jalan untuk melanggar hukum dan menimbulkan korupsi dan pungli. Sebagai contoh kasus Jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita yang diduga menggelapkan barang bukti sebanyak 343 butir ekstasi. Dalam kasus ini aparat hukum bertindak merugikan Negara demi mencari keuntungan pribadi untuk memenuhi gaya hidupnya dan sangat ironis seorang penegak hukum di Indonesia yang seharusnya menjadi penegak hukum justru melakukan tindakan yang mencoreng citra dan kewibawaan lembaga penegak hukum.
Kasus penggelapan barang bukti yang diduga dilakukan jaksa Ester Thanak dan Dara Verenita ternyata hanyalah fenomena gunung es dari sekian banyak pelanggaran yang pernah dilakukan oleh oknum jaksa di berbagai daerah. Temuan tersebut dilansir Indonesia Corruption Watch (ICW) atas audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kurun waktu 2004-2007.
c. Efektivitas hukum dalam masyarakat.
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Sudah sejauh mana hukum itu diterapkan, apakah sanksi yang diberikan oleh aparat penegak hukum sudah mempuanyai efek jera kepada para pelaku kejahatan narkoba?. Berapa tahun sanksi yang diberikan kepada orang yang terlibat dalam kasus narkoba baik itu pemakai maupun pengedar, tapi masih saja marak peredaran narkoba tersebut. Ini membuktikan bahwa hukum belum berjalan efektif karena banyaknya sanksi yang dijatuhkan tidak semuanya tegas, malah kadang selesai sebelum sampai diperiksa di pengadilan.
Berbicara mengenai efektivitas hukum yang ditentukan oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum termasuk para penegaknya, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa “….taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indicator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapat tujuan hukum yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”. Hukum sebagai pengatur kehidupan masyarakat, setidaknya memiliki kepastian hukum, memberikan jaminan keadilan bagi masyarakat dan berlaku secara umum. Penerapan hukum menjadi efektif apabila kaidah hukum itu sendiri sejalan dengan hati nurani masyarakat. Sebaliknya hukum seringkali tidak dipatuhi oleh masyarakat, ketika kaidah hukum itu sendiri tidak sejalan dengan keinginan atau harapan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Generasi Muda adalah asset bangsa yang sangat berharga. Di pundak mereka itulah masa depan bangsa kita percayakan. Akan tetapi di sisi lain, justru mereka itu adalah kelompok yang paling rentan terhadap penyalahgunaan narkoba. Walaupun kita tahu, bahwa tidak ada seorangpun yang bercita-cita ingin menjadi pecandu narkoba. Pecandu narkoba bisa menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman masyarakat serta bisa mencelakakan pecandu itu sendiri maupun orang lain. Akibatnya dapat menyeret si pecandu masuk penjara. Akibat peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkoba, jutaan anak bangsa telah mengalami ketagihan (addiction) dan ketergantungan (dependence). Ribuan orang telah meninggal dunia secara sia-sia. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, dampaknya dapat menghilangkan satu generasi anak bangsa (Lost Generations).
Maraknya peredaran narkoba berhubungan dengan berlakunya efektivitas hukum dalam masyarakat yang berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Sudah sejauh mana hukum itu diterapkan, apakah sanksi yang diberikan oleh aparat penegak hukum sudah mempuanyai efek jera kepada para pelaku kejahatan narkoba.
Bila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Sudah sejauh mana hukum itu diterapkan, apakah sanksi yang diberikan oleh aparat penegak hukum sudah mempuanyai efek jera kepada para pelaku kejahatan narkoba?. Berapa tahun sanksi yang diberikan kepada orang yang terlibat dalam kasus narkoba baik itu pemakai maupun pengedar, tapi masih saja marak peredaran narkoba tersebut. Ini membuktikan bahwa hukum belum berjalan efektif karena banyaknya sanksi yang dijatuhkan tidak semuanya tegas, malah kadang selesai sebelum sampai diperiksa di pengadilan. Hukum dan kekuatan sosial seperti kekuasaan uang yang mempengaruhi gaya hidup seseorang, dimana dengan segala kewenangan dan jabatannya pejabat menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupnya.
B. SARAN
Perubahan gaya hidup remaja yang sangat memprihatinkan sekarang ini adalah refleksi dari kesalahan pola tingkah laku baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan diluar keluarga. Pergaulan, pengawasan dan pola bimbingan orang tua sangat berpengaruh dalam segala tingkah laku remaja yang terjadi saat ini. Diharapkan kita sebagai individu sosial khususnya kepala keluarga diharapkan dapat memberikan bimbingan yang positif minimal kepada anggota keluarganya dan maksimal kepada warga lingkungannya untuk memberikan pengertian, bimbingan dan contoh yang baik tentang tata cara hidup, bergaul dan bertingkah laku sesuai dengan norma-norma agama. Disamping hal tersebut diharapkan masyarakat dapat melaksanakan pengawasan melekat atas lingkungannya dan mengembangkan konsep diantaranya :
a. Mengembangkan sistem dan jaringan pertahanan masyarakat, agar masyarakat mampu menghindarkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan peredaran gelap narkoba dan penyalahgunaan narkoba dengan cara-cara persuasif dan kekeluargaan.
b. Membangun sistem jaringan pengawasan publik bagi seluruh kegiatan dan seluruh upaya pemberantasan peredaran gelap dan seluruh upaya untuk menghindari penyalahgunaan Narkoba.
c. Membangun jaringan dukungan moral terhadap segala sikap dan tindakan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan peredaran gelap dan upaya untuk menghidari penyalahgunaan Narkoba.
d. Mengembangkan gaya hidup masyarakat yang bebas Narkoba.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Soekanto, Soerjono, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial, Cet. Ke-2, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1989.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2008
http://www.granat.or.id. Sarmoedji, Narkoba dan Perkembangannya, di unduh tanggal 5 Juni 2009
Herti Setiawati, NPM. 7109024 ( UIJ Ak. X )
Tantangan Penerapan Hukum Pidana Islam Dilihat Dari Aspek Sosiologi Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Hukum yang secara literal berarti menempatkan/meletakan sesuatu pada tempatnya adalah “Khittah Allah yang berhubungan dengan orang – orang dewasa (af al al-mukallafin), baik itu dalam bentuk iqtidha (tuntutan) maupun takhyir (pilihan) dan wadha (ketetapan).
Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis. Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Alquran dan hadis.
Negara-negara berkembang biasanya mewarisi tata hukum yang bersifat pluralistis dimana sistem hukum tradisional berlaku berdampingan dengan sistem hukum modern. Keadaan demikian juga berlaku di Indonesia Melalui Pasal Peralihan UUD 1945 sistem hukum yang pluralistis dari jaman penjajahan masih berlaku untuk Negara Indonesia yang sudah merdeka.
Republik Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, maka sudah sewajarnya bila hukum-hukum yang berlaku atau yang diberlakukan di Indonesia hukum yang mengacu kepada hukum yang sesuai dengan rasa keadilan penduduk Indonesia itu sendiri. Paling tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut, dan bahkan seyogianya saling melengkapi antara hukum nasional Indonesia dengan Hukum Pidana Islam.
Hukum Islam yang menyatu dengan agama Islam, karena berdasarkan Alquran dan hadis. Sedangkan hukum nasional kita yang pada dasarnya bersumber dari hukum adat, hukum agama khususnya hukum Islam dan hukum internasional khususnya hukum barat. Sehingga apabila ingin diberlakukan hukum pidana Islam secara menyeluruh akan terjadi kesulitan dalam penerapanya, karena masyarakat kita berbeda-beda terdiri dari bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Hal inilah yang menjadi masalah yang timbul dan menarik untuk diketahui secara ilmiah.
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Penerapan hukum pidana Islam apakah seluruhnya dapat dilaksanakan pada masyarakat Indonesia ?
2. Apakah masyarakat kita dapat menerima hukum pidana Islam secara menyeluruh?.
BAB II
TEORI TENTANG HUKUM PIDANA ISLAM DAN ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
A. HUKUM PIDANA ISLAM : Asas-asas Hukum Islam, Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam dan Jenis Hukuman.
Di atas telah dikemukakan , bahwa pengertian hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah) adalah segala ketentuan hukum mengenai tidak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis.
Asas hukum Islam bersumber dari Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad saw.,baik yang bersifat rinci maupun yang bersifat umum. Sifat asas hukum itu dikembangkan oleh akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk itu.hal demikian dapat diketahui bahwa asas-asas hukum islam meliputi :
1.Asas-asas Umum hukum Islam adalah asas-asas hukum yang meliputi semua bidang dan lapangan hukum Islam seperti asas keadilan, asas kepastian hukum dan asas manfaat.
2. Asas Hukum Pidana Islam, adalah asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan hukum pidana Islam, diantaranya asas legalitas, asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas praduga tak bersalah.
Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan (termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baikberuat zina, minum minuman memabukkan (khamar), membunuh dan/atau melukai seseorang, pencurian merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.
Jenis hukuman yang termasuk tindak pidana kriminal dalam hukum pidana Islam, dibagi menjadi
a) Ketentuan hukuman yang pasti mengenai berat ringannya hukuman ter masuk qishash dan diat yang tercantum dalam Alquran dan hadis.(disebut hudud)
b) Ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut dengan ta’zir
Sumber hukum pidana Islam bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran agama Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaati.
Sumber Hukum Islam ini sesungguhnya adalah Al-Qur’an dan al-Hadis . Sejak di jaman nabi Muhammad saw hingga sekarang, dan bahkan insya Allah sampai di masa-masa mendatang selama dunia fana ini tetap dihuni oleh orang-orang yang mengaku beriman. Sebab, dari al-Qur’an dan al-Hadits lah norma-norma hukum Islam digali dan dikembangkan oleh fuqaha(juris-juris Islam) serta kepada al-Qur’an dan al-Hadits pulalah umamatan muslimatan mengembalikan setiap persoalan yang pemecahannya memerlukan campur tangan atau keterlibatan hukum.
Seiring dengan perkembangan jaman saat ini kita temui banyak permasalahan yang belum diatur oleh al-Qur’an dan al-Hadits, manusia dengan menggunakan akal (penalaran) dapat menginterprestasikan Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadits untuk menyelesaikan permasalahan itu.
B. ASPEK SOSIOLOGI HUKUM DALAM PENYELESAIAN PERSOALAN
Perubahan-perubahan dalam masyarakat dewasa ini merupakan gejala yang normal, yang pengaruhnya dengan cepat dapat tersebar keseluruh penjuru dunia berkat adanya komunikasi modern. Perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang,interaksi sosial.
Banyak sarjana sosiologi yang mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah sosial di dalam masyarakat, dalam hubungan dengan proses pembangunan yang sedang diusahakan banyak masyarakat. Sebagai pedoman, kiranya dapat dirumuskan bahwa-prubahab-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai didalamnya, sikap dan perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Dalam permbahasan Max Weber, salah satu pemikirannya yang penting adalah pendapatnya pada segi rasional dari perkembangan-perkembangan lembaga-lembaga hukum terutama pada masyarakat barat. Menurut weber, perkembangan hukum material dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum dissusun secara sistematis serta dijalankan oleh orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan dibidang hukum.
Tahap-tahap perkembangan hukum yang dikemukakan oleh Weber, lebih banyak merupakan bentuk-bentuk hukum yang dicita-citakan dan menonjolkan pada kekuatan sosial tertentu yang berpengaruh pada tahap-tahap pembentukan hukum. Dengan adanya birokrasi pada masyarakat industri modern, maka sistem hukum rasional dan formal timbul dimana faktor kepastian hukum lebih ditekankan daripada keadilan. Perubahan hukum sebagai dinyatakan oleh Weber, adalah sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem sosial daripada masyarakat yang mendukung sistem hukum yang bersangkutan.
Suatu teori tentang hubungan antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial pernah dikemukakan oleh Durkheim yang pada pokoknya menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi daripada solidaritas sosial dalam masyarakat.
Solidaritas yang organik terdapat pada masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang komplek, ikatan daripada masyarakat lebih banyak tergantung pada hubungan fungsional antara unsur-unsur yang dihasilkan oleh pembagian kerja. Pada sisem hukumnya adalah hukum pidana yang bersifat represi.Suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila perbuatan tadi menghina keyakinan-keyakinan yang tertanam dengan kuatnya didalam masyarakat atas solidaritas mekanis, para warganya bertindak atas dasar perasaan atas dasar orang-orang yang melanggar kaidah-kaidah hukum, karenanya bila terjadi adanya pelanggaran hukum masyarakat merasa dirinya secara langsung terancam. Akan tetapi ada baiknya, pelanggaran atas kaidah-kaidah hukum tersebut memperkuat solidaritas didalam masyarakat.
Dengan meningkatnya deferensiasi dalam masyarakat, reaksi yang kolektif terhadap pelanggaran-pelanggaran kaidah-kaidah hukum menjadi berkurang sehingga hukum yang bersifat represif berubah menjadi hukum yang bersifat restitutif. Didalam hukum yang restitutif , tekanan diletakkan pada orang yang menjadi korban atau yang dirugikan.
Berikut Pitirim Sorokin, yang mengemukakan teori tentang perkembangan hukum dan gejala-gejala sosial lainnya yang disesuaikan dengan tahapan-tahapan tertentu yang dilalui oleh masyarakat. Masyarakat berkembang sesuai dengan nilai-nilai tertentu yang sedang menonjol didalam masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai tersebut adalah yang ideational (kebenaran absolut sebagaimana diwahyukan oleh Tuhan), sensate(yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman), dan yang idealistic (yang merupakan campura. Hukum dan gejala-gejala sosial lainya terbentuk sesuai dengan nilai-nilai yang sedang berlaku dalam masyarakat.
Hubungan antara Perubahan Sosial dengan Hukum
Perubahan-perubahan sosial dapat terjadi didalam suatu masyarakat karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri, seperti bertambahnya pendudukatau berkurangnya penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, pertentangan atau mungin karena terjadinya revolusi. Sedangkan sebab-sebab eksteren dapat mencakup sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat lain. Sistem lapisan sosial yang terbuka, penduduk yang hiterogen serta ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu, dapat pula memperlancar proses perubahan sosial.
Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial pada umumnya adalah lembaga-lembaga kemasyarakatan dibidang pemerintahan, ekonomi, agama dan seterusnya.
Didalam proses perubahan hukum pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat merubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukum, badan –badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum serta badan-badan pelaksana yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terdapat dalam negara modern.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan badan hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya, pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayan, atau mungkin hal yang sebaliknya terjadi. Apabila terjadi yang demikian, maka terjadilah suatu sosial, yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan.. Tertinggalnya perkembangan hukum oleh unsur-unsur sosial lainnya, atau sebaliknya, terjadi oleh karena pada hakikatnya merupakan suatu gejala wajar didalam suatu masyarakat.
Hukum pada hakekatnya disusun oleh sebagian kecil masyarakat yang pada suatu ketika mempunyai kewenangan dan kekuasaan. Hukum yang bekerja dalam masyarakat itu untuk keadilan masyarakat luas, tidak untuk keadilan hukum itu sendiri atau orang-orang tertentu saja. Untuk mengetahui sampai sejauh mana rasa keadilan yang dicapai oleh masyarakat,tentu memerelukan pengamatan secara efektif,dan hal itu dapat diusahakan melalui bagian-bagian studi sosiologi hukum dan antropologi hukum . Bila menggunakan pendekatan sosiologi hukum, tampak yang menjadi obyek kajian adalahyuridis empiris atau kenyataan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa hukum yang berlaku di negara Kesatuan Republik Indonesiaadalah hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Penerapan hukm itu ada yang bersifat normatif dan yuridis empiris sehingga dapat terayomi penduduk yang mendiami negara RI. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sosiologi hukum dalam melihat kasus-kasus tertentu .
BAB III
TANTANGAN PENERAPAN HUKUM PIDANA ISLAM DI IDONESIA.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralistis, terdiri dari bermacam-macam suku, bangsa dan agama. Sejak jaman kolonial Belanda, di Indonesia hanya berlaku satu hukum pidana untuk semua golongan penduduk Indonesia (unifikasi hukum pidana), yaitu Kitab Undang –undang Hukum Pidana Indonesia (Wet Boek Van Strafrecht) yang berlaku sejak 1918. Jadi KUH Pidana dibuat pada zaman Hindia Belanda, tapi itu tidak berarti, bahwa KUH Pidana kita yang sekarang, masih dalam keadaan asli atau telah diambil alih langsung oleh negara kita, tetapi bahkan isi dan jiwanya telah banyak diubah dan diganti, sehingga telah sesuai dengan keperluan dan keadaan nasional kita dewasa ini.
Dalam perkembangannya KUH Pidana tertingal dari perkembangan konflik yang terjadi pada masyarakat, sehingga aturan yang ada hurus diatur lagi dengan peraturan non kodifikasi. Sebagai contoh UU tentang Pornografi, UU tentang Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Subversi dan lain sebagainya.
Kenyataan menunjukkan bahwa penerapan hukum Islam bukanlah hal baru dalam khasanah hukum di Indonesia. Dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa setelah Indonesia merdeka, penerapan hukum Islam menjadi aneh dan menimbulkan perdebatan yang luas.
Sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan pada 17 Agustus 1945, pasti sebelumnya telah dilakukan berbagai pendekatan dan kesepakatan yang melibatkan sebagian besar penduduk atau wakil-wakil yang mengatasnamakan penduduk guna membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diantara kesepakatan yang dibangun, pasti ada yang terkait dengan kehidupan keagamaan di satu pihak serta kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di pihak lain. Terutama dengan pemeluk agama Islam yang secara historis sosiologis maupun faktual empiris yang menjadi mayoritas tunggal.
Diterimanya Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara oleh umat Islam dan penduduk agama-agama yang lain, dapat dipastikan karena Pancasila tidak bertentangan dengan agama-agama yang ada di Indonesia khususnya Islam. Sebab dalam keyakinan umat Islam, hukum hanya merupakan bagian yang terpisah dari sistem ajaran agama Islam secara keseluruhan. Pencantuman anak kalimat “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya” pada Piagam Jakarta yang kemudian menjadi “Pembukaan UUD 1945”. Pemasukan tujuh kata pada Piagam Jakarta tampak bukan dalam konteks tuntunan umat Islam untuk mendirikan “Negara Islam”seperti yang sering disuarakan, melainkan lebih menghendaki adanya jaminan konstitusional bagi penerapan atau pemberlakuan hukum agamanya yang lasim dikenal dengan sebutan syariat Islam. Sebab, umat Islam sejak dahulu sampai sekarang sadar bahwa negara yang hendak dibangun oleh bangsa Indonesia ialah negara bangsa (nation state). Dengan segala kemajemukannya. Termasuk kemajemukan dalam hal agama.
Penerapan hukum pidana Islam di Indonesia selalu mendapat tantangan dari sebagian masyarakat Indonesia yang beranggapan bahwa hukum pidana Islam tidak adil bahkan kejam dan ketinggalan jaman serta tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional kita.
BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
Pada hakekatnya dalam penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia dilihat dari aspek sosiologi hukumnya, tidak dapat diterapkan seluruhnya dan masyarakat Indonesia juga tidak dapat menerimanya secara menyeluruh, karena menyangkut integritasnya kedalam hukum nasional, yaitu: kemajemukan bangsa Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, masyarakat-masyarakat memiliki kondisi sosial kultur yang berbeda, sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain. Adanya tuduhan, tindakan hukumannya dirasa tidak adil dan bahkan kejam serta tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional kita.
SARAN
Berdasarkan simpulan tersebut, maka pemakalah memberikan saran penerapan hukum pidana Islam hanya dapat dilaksanakan hukumnya khusus dalam wilayah yang memiliki kekhasan sosial dan permintaan dari masyarakatnya seperti pada masyarakat Aceh yang memberlakukan syariat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Cet.1, Jakarta: Sinar Grafika,2007.
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Cet.4, Jakarta: Sinar Grafika,2008.
Hendrojono, Sosiologi Hukum,,Cet.1, Surabaya: Dieta Persada, 2005.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.6, Jakarta:
Balai Pustaka, 1984.
Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007, BPHN, hal.48
ANGGIE indah, Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap PILKADA JAWA TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesadaran akan pentingnya demokrasi sekarang ini sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peran serta rakyat Indonesia dalam melaksanakan Pemilihan Umum baik yang dilaksakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ini terlihat dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya yang sedikit. Pemilihan umum ini langsung dilaksanakan secara langsung pertama kali untuk memilih presiden dan wakil presiden serta anggota MPR, DPR, DPD, DPRD di tahun 2004.
Setelah suksesnya Pemilu tahun 2004, mulai bulan Juni 2005 lalu di 226 daerah meliputi 11 propinsi serta 215 kabupaten dan kota, diadakan Pilkada untuk memilih para pemimpin daerahnya. Sehingga warga dapat menentukan pemimpin daerahnya menurut hati nuraninya sendiri. Tidak seperti tahun tahun yang dahulu yang menggunakan perwakilan dari partai. Namun dalam pelaksanaan pilkada ini muncul penyimpangan penyimpangan. Mulai dari masalah administrasi bakal calon sampai dengan yang berhubungan dengan pemilih.
Persoalan mendasar terutama berkaitan dengan hilangnya kewenangan anggota DPRD dalam menentukan kepala daerah. Pengalaman di masa lalu menunjukkan, proses pemilihan kepala daerah selalu dibarengi dengan issue money politics.
Namun isu-isu money politics di tingkat elit ternyata tidak hilang dengan adanya pilkada langsung. Proses menjadi kepala daerah, terutama calon yang berasal dari luar partai, ternyata melibatkan putaran uang yang tidak kecil, miliaran rupiah. Perubahan besar juga terjadi di tingkat pemilih. Proses money politics terjadi hampir disetiap pilkada dan dilakukan oleh semua pasangan calon. Meskipun secara normative (sesuai dengan Undang-undang dan aturan Pilkada) sulit dibuktikan sebagai bentuk money politics, namun secara konseptual sebenarnya bisa di katagorikan sebagai money politics.
Modusnya macam-macam, mulai dari dalam bentuk halus berupa sumbangan tidak mengikat seperti bantuan masjid, mushollah, sekolah, pesantren dan sebagainya sampai pemberian terang-terangan untuk mencari dukungan seperti pembagian baju, sarung, kerudung, dan sebagian bergambar atau ada nama pasangan calon. Ditingkat perilaku pemilih juga terjadi perubahan yang luar biasa. Pilkada langsung, setidaknya yang bisa dilihat dari lebih dari tiga tahun terakhir, ditandai dengan tingginya angka ketidakhadiran pemilih. Di beberapa daerah angkanya mencapai hampir 50 persen. Padahal, untuk pemilu legeslative dan presiden, angkanya rata-rata masih dibawah 30 persen. Tingginya angka ketidak hadiran pemilih ini mengejutkan banyak kalangan..
Banyak pihak yang mengatakan bahwa Indonesia di tahun 2005 sampai 2009 merupakan “tahun politik”, dimana akan banyak perhelatan pemilihan umum dan pilkada yang digelar. Sejak Juni 2005 kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui proses pilkada. Rakyat yang sebelumnya menjadi penonton, tiba-tiba berubah menjadi pelaku dan penentu. Anggota DPRD yang sebelumnya memiliki kewenangan besar dalam penentuan pemilihan kepada daerah, tiba-tiba hanya ’duduk manis’ menjadi penonton dipinggir lapangan.
1.2 Pengertian Pilkada
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau seringkali disebut Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah:
• Gubernur dan Wakil Gubernur untuk provinsi
• Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten
• Walikota dan Wakil Walikota untuk kota
Sebelumnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hukum penyelenggaraan Pilkada adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah) belum dimasukkan dalam rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
BAB II
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
2.1 Pelaksanaan, dan Penyelewengan Pilkada.
Dalam pelaksanaannya selalu saja ada masalah yang timbul. Seringkali ditemukan pemakaian ijasah palsu oleh bakal calon. Hal ini sangat memprihatinkan sekali. Seandainya calon tersebut dapat lolos bagaimana nantinya daerah tersebut karena telah dipimpin oleh orang yang bermental korup. Karena mulai dari awal saja sudah menggunakan cara yang tidak benar. Dan juga biaya untuk menjadi calon yang tidak sedikit, jika tidak ikhlas ingin memimpin maka tindakan yang pertama adalah mencari cara bagaimana supaya uangnya dapat segera kembali atau “balik modal”.
Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak.
2. Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh juga yaitu di daerah penulis oknum pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng sekali dari aturan pelaksanaan pemilu.
3. Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas sekali aturan aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan Kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4. Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini disebabkan karena sebagian masyarakat masih sangat kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang disekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah dengan munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
Mencermati pelaksanaan pilkada di daerah-daerah yang terlihat kecurangannya walaupun secara kasat mata terlihat secara normatif, Pilkada Langsung menyisakan sejumlah harapan namun pada saat yang bersamaan Pilkada Langsung juga memiliki peluang untuk jatuh dalam perangkap elektoralisme. Oleh karena itu, salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan memperoleh manfaat dari sistem Pilkada Langsung adalah kemampuan untuk menghindari jebakan demokrasi elektoral.
Hal ini penting karena kurang lebih tiga tahun belakangan ini, karena konsep demokrasi elektoral – sebagai konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat- merupakan konsep yang sangat populer.
Dalam perspektif desentralisasi dan demokrasi prosedural, system pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada Langsung) merupakan sebuah inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi di tingkatan lokal. Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi minimalis Pilkada Langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, sistem demokrasi langsung melalui Pilkada Langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan menentukkan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk menentukan rekruimen politik di tangan segelitir orang di DPRD (Oligarkis).
Dari sisi kompetisi politik, Pilkada Langsung memungkinkan munculnya secara lebih lebar preferensi kandidat-kandidat yang bersaing serta memungkinkan masing-masing kandidat berkompetisi dalam ruang yang lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi langsung, warga di tingkat lokal akan mendapatkan kesempatan untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik.
Pilkada Langsung juga memperbesar harapan untuk mendapatkan figure pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimate. Dalam hubungannya dengan sosiologi hukum, pilkada langsung merupakan suatu efek – efek hukum terhadap gejala-gejala sosial.
Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan di hadapan hukum, yaitu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum. Demikian pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun demikian, terdapat kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejala gejala sosial, dalam hal ini stratifikasi sosial yang terdapat dalam setiap masyarakat. Jadi hukum disini, dapat diartikan sebagai suatu social control yang diterapkan oleh penguasa.
2.2 Otonomi Daerah
Pilkada merupakan salah satu bagian dari adanya Orda (Otonomi Daerah). Pengertian Otonomi Daerah secara etismologi berasal dari bahasa Latin yaitu ”Autos” yang berarti sendiri dan ”Nomos” yang berarti aturan. Berdasarkan aturan tersebut otonomi diartikan sebagai mengatur atau memerintah sendiri.
Jadi otonomi daerah diartikan sebagai pelimpahan limpangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menurut UUD No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , otonomi daerah adalah wewenang daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang – undangan. Yang disebut daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas – batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini menganut kebijakan desentralisasi yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam peningkatan pemberdayaan, pelayanan, dengan memperhatikan prinsip demokrasi. Dalam hal ini Pilkada diatur dalam peraturan perundangan tentang otonomi daerah butir n yang berisi tentang Peraturan Pemerintah no.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Otonomi daerah merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan kebangsaan selama ini. Pemerintah orde baru yang tampil pada 1965 mendeklarasikan diri sebagai kritik terhadap pemerintahan orde lama. Salah satu kritik utamanya adalah kegagalan orde lama dalam membangun dukungan politik dari daerah dan karenanya orde baru menawarkan pendekatan alternatif dengan mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional.
Organ-organ suprastruktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas politik lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia. Elit pemerintahan lokal hanyalah sekedar kepanjangan tangan pemerintahan pusat didaerah yang diberi kekuasaan besar untuk melakukan manover politik dan menunjukkan pengabdiannya ke pusat. Kebijakan ini bisa dilihat dalam substansi undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.
2.3 Landasan Hukum Pilkada
Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga demokrasi dapat diartikan pemerintahan dari rakyat dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Pemerintahan yang kewenangannya pada rakyat. Semua anggota masyarakat (yang memenuhi syarat ) diikutsertakan dalam kehidupan kenegaraan dalam aktivitas pemilu. Pelaksanaan dari demokrasi ini telah dilakukan dari dahulu di berbagai daerah di Indonesia hingga Indonesia merdeka sampai sekarang ini. Demokrasi di negara Indonesia bersumberkan dari Pancasila dan UUD ’45 sehingga sering disebut dengan demokrasi pancasila. Demokrasi Pancasila berintikan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan berpangkal tolak pada faham kekeluargaan dan kegotongroyongan. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia:
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
Selain lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, terdapat juga Dasar Hukum Penyelenggaraan PILKADA yaitu sebagai berikut:
• Undang-undang (UU) Nomor: 32 tentang Pemerintah Daerah
• Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 17 tentang PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PEMILIHAN, PENGESAHAN PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH
• Undang-undang (UU) Nomor: 32 tentang Penjelasan Pemerintahan Daerah
• PP Pengganti UU Nomor: 3 tentang PERPU NO 3 TAHUN 2005
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas tadi disimpulkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang menghambat jalannya pilkada yaitu:
1. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada;
2. Tingginya penyerapan anggaran dalam pelaksanaan pilkada;
3. Rendahnya budaya politik dan terjadinya banyak kekerasan dalam pelaksanaan pilkada;
Namun, dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk itu seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini, semua warga saling menghargai pendapat. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi suri tauladan bagi masyarakatnya. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan, dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik.
3.2 Saran
Walaupun dalam pelaksanaan pilkada ini masih ditemui berbagai macam permasalahan tetapi ini wajar karena indonesia baru menghadapi ini pertama kalinya setelah pemilu langsung untuk memilih presiden dan wakilnya. Ini semua dapat digunakan untuk pembelajaran politik masyarakat.
ELLYNAWATI No. 11, 7109011
FAKIR MISKIN DAN ANAK YANG TERLANTAR DIPELIHARA OLEH NEGARA DITINJAU DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
\
BAB I
P E N D A H U L U A N
A.Latar Belakang
Dalam setiap pergaulan hidup pasti ada masalah, walaupun manusia kadang – kadang tidak menyadarinya.Betapa luasnya pergaulan hidup ini , kiranya juga tidak asing lagi bagi kita semuanya. Tidak jarang masalah – masalah yang dihadapi pada masyarakat Indonesia, juga dihadapi oleh masyarakat –masyarakat lain di luar Indonesia. Akan tetapi tidak jarang pula terjadi masalah – masalah yang khas Indonesia dan harus pula diatasi dengan cara yang khas Indonesia.
Kalau gejala tersebut di atas sudah didasari, maka pembicaraan dapat dilanjutkan dengan usaha untuk menyoroti masalah – masalah sosiologis saja. Ini merupakan suatu pembatasan yang bersifat akademis, oleh karena didasarkan pada suatu kerangka pemikiran tertentu , yakni kerangka pemikiran sosiologis. Secara sederhana dapatlah dikatakan, bahwa kerangka pemikiran sosiologis didasarkan pada konsepsi, bahwa pergaulan hidup yang wadahnya adalah masyarakat, berintikan pada interaksi sosial. Interaksi sosial tersebut merupakan suatu proses , dimana timbul hubungan timbal balik antar individu dan antar kelompok , serta antara individu dengan kelompok. Hal ini yang akan dibahas di dalam makalah ini mengenai masalah fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
Di satu pihak,maka dari proses tersebut secara struktural akan timbul :
1. Kelompok – kelompok sosial,
2. Kebudayaan,
3. Lembaga – lembaga sosial,
4. Stratifikasi sosial,
5. Kekuasaan dan wewenang.
Di pihak lain, maka dari sudut mentalitas akan timbul :
1. Sistem nilai – nilai,
2. Pola – pola berpikir,
3. Sikap atau “attitude”,
4. Pola – pola perikelakuan (“patterns of behavior”),
5. Sistem kaedah – kaedah atau norma – norma.
Secara sosiologis , maka suatu masalah sosial akan timbul, apabila terjadi ketidak serasian antara nilai – nilai yang berlaku dengan kenyataan yang dihadapi atau dialami. Suatu masalah sosial tidak perlu bersumber pada aspek – aspek sosial dalam masyarakat, oleh karena yang menjadi kriterium adalah akibatnya yang mengganggu keutuhan Masyarakat dan Negara.
B. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang dihadapi mengenai “ Fakir Miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara “ belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga muncul pokok permasalahan dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Apakah pelaksanaan “Fakir Miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara” sudah berjalan efektif ?
2. Bagaimana caranya supaya pelaksanaan “Fakir Miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara “ berjalan efektif ?
BAB II
P E M B A H A S A N
Di dalam setiap masyarakat dikenal adanya status atau kedudukan dan “role” atau peranan, yang masing – masing merupakan unsur-unsur baku dari stratifikasi sosial yang merupakan salah satu unsur dari struktur sosial. Suatu status atau kedudukan,merupakan suatu posisi dalam sistem sosial; dengan demikian, maka status senantiasa menunjuk pada tempat-tempat secara vertikal. Peranan adalah pola perilaku yang dikaitkan dengan status atau kedudukan. Misalnya orang kaya atau fakir miskin. .Hal ini merupakan gambaran secara sederhana yang didalam kenyataannya merupakan gejala yang rumit.
Seperti halnya masalah fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara diatur di dalam Undang – Undang Dasar 1945 Pasal 34. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan Anak Terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orangtuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial . Hal ini sangat jelas bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk membantu dan memelihara fakir miskin maupun anak terlantar mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik dengan memberikan berbagai macam fasilitas seperti : pendidikan gratis, perumahan sederhana yang layak, pekerjaan maupun keterampilan – keterampilan dsb.
Tetapi kenyataan dalam pelaksanaannya banyak sekali kita jumpai di perempatan lampu merah para pengemis maupun anak – anak dibawah umur melakukan pekerjaan seperti : mengamen, mengemis , mencuri maupun mengelap kaca mobil dsb yang sering sekali tidak terciptanya ketertiban dan ketentraman di jalan. Padahal anak – anak tersebut berada di usia sekolah yang seharusnya mendapatkan pendidikan yang lebih baik untuk di masa depan.
Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa pelaksanaan “Fakir Miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara “ belum berjalan efektif. Secara etimologi kata efektifitas berasal dari kata efektif, dalam Bahasa Inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam Bahasa Indonesia yang memiliki makna “berhasil”. Dalam Bahasa Belanda “effectief” yang memiliki makna “berhasil guna .
Didalam suatu Negara terdapat beberapa komponen yang saling terkait didalamnya, antara lain masyarakat, aturan hukum yang mengikat, aparatur Negara, serta gejala social yang timbul dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, setiap manusia yang hidup di masyarakat mempunyai keperluan sendiri – sendiri. Seringkali keperluan itu searah serta berpadanan satu sama lain, akan tetapi acapkali pula kepentingan – kepentingan itu berlainan bahkan ada juga yang berbenturan, sehingga dapat menimbulkan konflik atau pertentangan yang menggangu keserasian dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu , dalam suatu masyarakat harus ada peraturan yang mengatur tata tertib, yang memiliki kekuatan hukum dan memberikan jaminan keadilan bagi masyarakat serta pelaksanaannya dapat dipaksakan. Dalam pergaulan kemasyarakatan, hukum mempunyai arti yang sangat penting , baik sebagai social control maupun alat untuk merubah kehidupan masyarakat (social engineering).
Sehingga pelaksanaan “Fakir Miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara” dapat berjalan efektif apabila :
1. Fungsi hukum berjalan sebagai social control,dimana hal tersebut dalam pelaksanaanya telah diatur oleh Undang – Undang Dasar 1945,dengan kata lain masyarakatnya taat pada Undang – Undang.
2. Keadaan ekonomi masyarakat di suatu Negara meningkat (kesempatan lapangan kerja yang luas),
3. Faktor pendidikan masyarakat yang tinggi (Tidak buta huruf).
Dari ketiga faktor tersebut diatas , maka Seorang sosiolog akan melihat masyarakat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses – proses yang timbul dari hubungan antar manusia tersebut. Para sosiolog telah berusaha untuk merumuskan suatu batasan masyarakat; akan tetapi hasilnya tetap tidak memuaskan. Oleh karena itu di dalam suatu Negara terdapat ciri – ciri pokok dari masyarakat manusia.
Ciri yang pertama adalah, adanya orang –orang yang hidup bersama. Di dalam sosiologi tidak ada ukuran yang mutlak atau angka yang pasti, untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada, agar dapat disebut sebagai masyarakat Akan tetapi secara teoritis, maka jumlah minimalnya adalah dua orang yang hidup bersama.
Ciri yang kedua adalah, bahwa orang-orang yang hidup bersama itu,bercampur untuk waktu yang cukup lama.Mengenai jangka waktu berkumpul atau bercampur, juga tidak ada ukuran yang mutlak.yang jelas adalah , bahwa sebagai salah satu akibatnya, timbul nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur perilaku kehidupan bersama tersebut. Hal itu disebabkan, oleh karena manusia mempunyai hasrat untuk senantiasa hidup teratur.Pada mulanya, apa yang dianggap teratur oleh seseorang,mungkin berbeda dengan orang-orang lain.Oleh Karena manusia dapat bercakap-cakap,memahami pendirian orang lain, dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri , maka timbullah nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan suatu sistem pengatur perilaku diri pribadi maupun antar pribadi. Lama-kelamaan timbul suatu keserasian antara nilai-nlai, norma-norma dengan pola perilaku manusia,yang senantiasa diusahakan untuk dipelihara serta disesuaikan dengan perkembangan kehidupan bersama tersebut.
Ciri yang ketiga adalah,adanya suatu kesadaran dari masing-masing pribadi, bahwa mereka merupakan suatu kesatuan. Masing-masing menganggap dirinya sebagai bagian dari suatu kesatuan yang lebih besar. Adanya kesadaran tersebut mungkin disebabkan oleh karena telah adanya keserasian antara nilai-nilai,norma-norma dengan pola perilaku.Adanya kesadaran bahwa manusia merupakan suatu bagian dari kesatuan, antara lain mengakibatkan adanya usaha - usaha untuk senantiasa memelihara dan mengembangkan kesatuan tersebut.Hal itu disebabkan, oleh Karena kesatuan tersebut akan dapat menyerasikan kepentingan umum dengan kepentingan – kepentingan pribadi.
Ciri yang kempat adalah, bahwa sebagai system kehidupan bersama, masyarakat menghasilkan kebudayaan.Kebudayaan tersebut merupakan hasil karya , cipta dan rasa kehidupan bersama, yang didasarkan pada karsa. Sebagai suatu proses , maka kebudayaan tidak mungkin dipisahkan dari masyarakat; demikian pula sebaliknya. Setiap unsur kebudayaan, merupakan hasil usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya yang minimal, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut mempunyai peradaban. Kalau kebudayaan suatu masyarakat tidak berhasil mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat, maka kebudayaan dan pendukungnya akan mengalami keruntuhan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah disajikan diatas, maka Penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa pelaksanaan fakir miskin dan anak yang terlantar dipelihara oleh Negara belum berjalan efektif, karena :
1. Fasilitas maupun kesejahteraan masyarakat dari Negara masih kurang memadai
2. Tingkat pendidikan yang masih rendah
3. Kesadaran Masyarakat terhadap Undang – Undang masih kurang
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka Penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Fasilitas maupun kesejahteraan masyarakat dari Negara perlu ditingkatkan
2. Tingkat pendidikan dikalangan anak usia sekolah harus ditingkatkan agar tidak ada lagi anak usia sekolah yang buta huruf.
3. Perlunya ditingkatkan kesadaran masyarakat terhadap Undang – Undang atau Hukum
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden No.42 Tahun 1981 Tentang Pelayanan Sosial Bagi Fakir miskin.
Undang – Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 Butir 7.
Salma, “Kamus Hukum” ( Jakarta : Nusa Media, 1986 ) h.31
Soekanto,Soerjono “Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat”
Zainuddin Ali,”Sosiologi Hukum”,(Jakarta: Sinar Grafika,2008)hal.43
Adam Podgorecki & Christopher J.Whelan,”Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum” (PT.Bina Aksara,Jakarta,1987)
SITI NURHASANAH, NPM : 7109018
Tindak Pidana terhadap Dugaan Korupsi di Departemen Hukum dan HAM di Lihat dari Aspek Sosiologi Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena “ketegangan” antara kekuasaan hukum dan tuntutan pembangunan ekonomi seperti dikemukakan oleh Jochen Ropke tersebut berkorelasi dengan ideologi pembangunan di Indonesia. Pada masa Orde Baru, trilogi pembangunan Indonesia yaitu pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan. Dari kacamata yang dipakai Ropke itu terllihat adanya fenomena yang terlalu banyak menonjolkan pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan kegunaan hukum sebagai elemen perekat kohesi nasional. Dari kebijaksanaan seperti itu, muncullah fenomena kolusi dan korupsi yang mengabaikan prosedur legal dan kaidah moral, demi keuntungan ekonomi dan politik dengan berlindung di bawah alasan pembenaran dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal fenomena-fenomena semacam itu dapat meruntuhkan tatanan sosial politik dan perekonomian negara, seperti halnya yang secara historis telah dialami oleh banyak negara, baik negara kapitalis, sosial komunis, maupun negara seperti Iran pada zaman Rezim Pahlevi. Dalam kaitan inilah pentingnya kajian tentang korupsi politik dalam disertasi ini. Kajian korupsi politik dan hukum di negara Filipina, RRC, Iran, Pakistan, India, Rusia, Jepang, Amerika Serikat, Belanda dan di PBB, dan lain-lain akan memperjelas adanya inferensi (kesimpulan) tentang eksistensi dan implikasinya di negara modern dewasa ini. Dengan metode komparatif ini akan terlihat fenomena korupsi yang bersifat sistemik serta perbedaannya dengan korupsi yang bersifat sporadis.
Dalam kacamata sosiologi hukum yang dipakai oleh Alvin S. Johnson tentang eksistensi dan peran hukum ditegaskan bahwa dalam kehidupan sosial yang nyata, hukum mempunyai daya mengatur, hanya jikalau sudah dipersatukandalam suatu kerangka hukum, lebih-lebih dalam satu sistem hukum. Penjelmaan kenyataan sosial sebagai fakta normatif yang dapat melahirkan hukum, yakni menjadi sumber utama atau sumber materiilnya.
Pada masyarakat-masyarakat maju, yang di dalamnya agama, moralitas, dan hukum cukup dibedakan satu sama lain, maka hubungan antara kenyataan hukum dan moralitas menjadi efektif. Dalam hubungan antara hukum dan nilai kemanusiaan, Satjipto Rahardjo menyatakan hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu. Memang menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan-pilihan yang rumit. Tetapi pada hakikatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. Semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin ia menganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak- otonom dan final. Semakin bergeser ke manusia, semakin teori itu ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.
Keterlibatan fungsi hukum dan peradilan dalam proses-proses demokratisasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mengundang konsekuensi dan akan selalu berhadapan dengan paradoks-paradoks yang sengaja dibuat atau yang memang termasuk hukum kehidupan. Radius jangkauan peran hukum dapat merasuk ke pelbagai aspek kehidupan kemasyarakatan baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pendidikan masyarakat. Perannya sangat dekat dengan timbulnya keresahan dan kepuasan bathin masyarakat, karena peradilan merupakan media efektif untuk mengartikulasikan demokrasi dan merealisasikan keadilan. Begitu strategis dan vital eksistensi hukum dan peradilan dalam masyarakat, sehingga mengundang minat pemegang otoritas untuk mengelola dan merekayasa hukum, baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya. Pengelolaan hukum dan peradilan sering menggoda elit politik dan pejabat pemerintahan untuk memasukkan subjektivitas dan kepentingan individu atau kroninya dapat diakomodasikan dalam perangkat aturan hukum. Dengan demikian, sikap dan tindakannya yang bias dan merugikan rakyat mendapat legitimasi yuridis meskipun bertentangan dengan moral. Pemerintahan Orde Baru (1966-1998), banyak mengulangi kesalahan politik Orde Lama dalam hal merekayasa hukum dan peradilan. Banyaknya undang-undang dan aturan hukum di bawahnya yang intinya hanya menguntungkan elit politik dan pemerintahan beserta keluarga dan kroninya merupakan bagian dari administrasi negara zaman Orde Baru.
Jadi, penampilan peran peradilan yang prima, selalu menuntut adanya integritas moral yang tinggi dari personilnya (lawyer, jaksa, hakim), terutama para hakim sebagai figur sentral dalam peradilan. Hanya saja, norma yang ada dalam masyarakat tidak hanya moral dan hukum saja, tetapi juga banyak norma- norma yang lain, seperti yang pernah dikemukakan oleh Adam Podgorecki dalam bukunya Law and Society :
“In a social system there exists not only legal and moral norms, but also various norms of customs, manners, religion, politics, tradition, etc. Among these categories moral and legal norms are distinct, as their role in the social systems in particularly significant and important. Legal and moral norms are the basis for order and regulation in a social system.”
Jadi pendayagunaan peran peradilan juga menuntut pemahaman terhadap berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, mekanisme peran kreatif peradilan berseanyaman dengan kultur hukum masyarakat. Mengapa hukum pidana korupsi di Indonesia khususnya dan di beberapa negara lain terlihat seakan tidak berfungsi. Padahal menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari kebijakan hukum pidana, sasaran adressat dari hukum pidana tidak hanya perbuatan jahat dari warga masyarakat tetapi juga perbuatan (dalam arti kewenangan/kekuasaan) penguasa/aparat penegak hukum. Lebih dari itu, fenomena korupsi ekonomi dan korupsi politik terkait dengan tingkah laku kekuasaan, dalam arti pula faktor kebijaksanaan politik yang di dalamnya menyangkut hukum dan institusi penegak hukum sudah tidak berfungsi atau kehilangan integritasnya. Lazim terjadi adanya komisi-komisi independen untuk menyelidiki korupsi pejabat tingkat tinggi dan korupsi politik. Misalnya komisi antikorupsi pada awal Orde Baru, begitu pula pada era Reformasi tahun 1998 muncul banyak komisi pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) termasuk yang berkaitan dengan bisnis keluarga mantan Presiden Soeharto dan sejenisnya.
Dalam merespon fenomena sosial yang perkembangan masyarakat pada era globalisasi saat ini, termasuk berbagai corak ekses pembangunan dan perilaku asosial dan korupsi, hukum Indonesia (dapat) menunjukkan keberadaan dan wataknya sesuai dengan perkembangan dan kompleksitas interaksi nasional maupun internasional. Hukum yang berakar filsafat utilitarian banyak mewarnai hukum suatu negara dan norma internasional. Hukum yang beraliran utilitarianisme mengagungkan kebebasan maksimal bagi setiap individu sebagaimana yang digagas oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, pemidanaan, menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk setiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan- penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Dengan demikian, kajian tentang keberadaan fungsi dan visi hukum Indonesia terutama tentang korupsi menjadi sangat relevan, agar keberadaan hukum sesuai dengan hakikat keberadaannya. Tersedianya integritas peradilan dan hukum yang visioner dalam suatu pemerintahan, merupakan salah satu indikator adanya komitmen bangsa dalam upaya menanggulangi korupsi. Kualitas komitmen pemerintahan Indonesia baik pada masa Orde Lama (1959-1965) maupun Orde Baru (1966-1998) terlihat sangat rendah dalam upaya penanggulangan korupsi, khususnya korupsi politik. Begitu pula pemerintahan setelah Soeharto tetap tidak berdaya dan belum memiliki kemampuan dan kemauan politik yang tegas untuk memberantas korupsi.
Dalam era globalisasi korupsi telah menjadi fenomena kejahatan yang menyangkut hubungan multilateral dan internasional. Apalagi yang berkualifikasi korupsi politik modus operandi dan implikasinya lebih komplek dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh orang biasa yang tidak memiliki kekuasaan politik. Korupsi politik yang dilakukan oleh pejabat tinggi di suatu negara juga terjadi di berbagai negara di semua benua. Korupsi politik memiliki dampak negatif yang merusak tata kehidupan negara dan melanggar hak dasar rakyat di negara yang bersangkutan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana korelasi korupsi dan paradigma hukumnya di Indonesia, dibeberapa negara modern, dan era globalisasi?
2. Bagaimana korelasi korupsi dengan dimensi sosio-kultural?
3. Bagaimana Dugaan Tindak pidana korupsi yang terjadi di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum?
4. Bagaimana upaya (kebijakan/strategi) penanggulangan dugaan korupsi yang berada di Departemen Hukum dan HAM dilihat dari aspek Sosiologi Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penggunaan Teori.
Dengan mengutip Johan Galtung, ahli sejarah Kuntowijoyo mengatakan bahwa sejarah itu diachronic (menekankan proses), sedangkan ilmu-ilmu sosial (sosiologi, ilmu politik, antropologi, ekonomi) itu synchroni(menekankanstruktur). Dengan menunjuk pada pendapat Sally Falk Moore yang mengatakan bahwa “law is process” menunjukkan bahwa hukum itu terkait dengan hal yang bersifat diachronic, tetapi pada saat yang sama juga tidak lepas dari yang bersifat synchronic, karena menyangkut hubungan tingkah laku manusia di dalam masyarakat. Karakter bidang ilmu itu penting untuk dipahami, agar mengetahui cara bekerjanya teori ilmu itu secara alamiah.
Dengan mempergunakan teori-teori yang dikemukakan dalam kajian ini akan dapat dilihat masalah korupsi politik dengan akurat (cermat dan tepat). Pada saat yang sama dengan kacamata teori akan dapat dilihat faktor-faktor yang terlibat dan hubungan korelasinya dengan faktor yang lain. Sebagaimana yang dikemukakan oleh W. Lawrence Neuman bahwa teori memberikan pemikiran (pertimbangan) dan mekanisme yang membantu peneliti menghubungkan variabel-variabel dengan permasalahan dalam penelitiannya. Suatu hipotesis dapat menjawab permasalahan (pertanyaan) dan proposisi yang tidak terbukti dalam suatu teori. (Theory provides the reasoning or mechanism that helps researchers connect variables into a research question. A hypothesis can be both an answer to a research question and untested proposition from a theory).
Sebelum mengkaji secara lebih mendalam tentang permasalahan tindak pidana korupsi tersebut, menurut hemat penulis perlu untuk diangkat mengenai tingkat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap hukum. Menurut kami relevan untuk dikaji karena muatan ini lebih bersifat sebagai suatu bentuk pemahaman kembali mengenai hal mendasar yang disajikan secara terbatas, tetapi diupayakan dapat memberikan suatu khasanah tersendiri bagi para pembacanya.
Sejarah kenegaraan pun menunjukkan bahwa pengertian kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya konkrit dalam mewujudkan demokratise rechtsstaat, yang secara berkesinambungan selalu berkembang sesuai dengan tingkat kecerdasan suatu bangsa. Oleh karenanya berpangkal tolak pada perumusan sebagai yang digariskan oleh pembentuk undang-undang dasar kita Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negara hukum pada umumnya, disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Artinya digunakan dengan ukuran pandangan hidup maupun pandangan bernegara kita.
Hukum sebagai agent of change dalam kehidupan masyarakat memang semestinya dapat mengatasi atau setidaknya telah mewaspadai segala bentuk perubahan sosial maupun kebudayaan yang menggejala di masyarakat yang kompleks sekalipun. Sekalipun konsep-konsep hukum tersebut tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, tetapi hukum itu sendiri tetap eksis dalam konteks yang lebih universal. Hal ini tidak lain karena masyarakat umum yang menghendaki atau menciptakan suatu perubahan, meskipun tidak diiringi dengan pemahaman konsep yang menyeluruh. Akibat yang terjadi adalah implementasi hukum didalam masyarakat menjadi tidak optimal, tidak jarang perangkat hukum tersebut justru disalahgunakan untuk maksud-maksud maupun tujuan-tujuan tertentu, yang justru memiliki tendensi untuk keuntungan pribadi atau golongan.
B. Tindak Pidana Korupsi di Depkum HAM
Fenomena perbuatan pidana korupsi yang terjadi di Departemen Hukum dan HAM berkaitan dengan pola perbuatan hokum. Seperti contoh yang terjadi dalam Departemen Hukum dan HAM yang tejadi pad PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD) diduga sebagai penikmat dana terbesar dari proyek Sisminbakum Dirjen AHU Depkum HAM. Tak hanya juiga kedapatan menunggak pembayaran tagihan listrik dan air sejak berkantor di departemen tersebut.
“PT tersebut sekian tahun tak membayar uang listrik, air,”kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidus) Kejagung, Marwan Effendi di Kantornya, Jl. Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan.”Sejak diperiksa sama BPK saja dia baru bayar. Sewanya 10 Juta/tahun”.
Dugaan korupsi Sisminbakum Depkum HAM bermula pada awal tahun 2001. Saat itu Ditjen AHU Departemen Kehakiman dan HAM (kini Depkum HAM) menerapkan pelayanan permohonan dan perubahan nama perusahaan. Namun dana yang masuk dari proyek itu hanya disetorkan ke kas Negara, melainkan ke Koperai Pegawai Depkum HAM dan SRD. Kerugian negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 400 Miliar.
Kejagung menetapkan Romli Atmasasmita, yang pada waktu dimulainya dengan proyek itu menjabat Dirjen AHU, sebagai tersangka. Selain itu, dua pejabat pengganti Romli, yakni Zulkarnaen Yunus dan Syamsudin Manan Sinaga juga bernasib sama. Kejagung juga sudah memeriksa mantan Menkeh HAM Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin sebagai saksi. Akhirnya Persidangan perkara Syamsuddin Manan Sinaga di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pemeriksaan saksi dimulai dari Ketua Majelis Hakim Haswandy mengetuk palu sebagai tanda dimulainya persidangan. Penuntut umum rencananya akan menghadirkan empat saksi, ternyata hanya satu saksi saja yang hadir bernama John Sarojo Saleh. Ia adalah seorang pria berumur 79 tahun adalah konseptor Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang pernah diminta Romli Atmasasmita saat itu menjabat sebagai Direktur Jendral Hukum dan Perundang-undangan (Dirjen Administrasi Hukum Umum ) di Departemen Kehakiman.
Salah satu pengacara Syamsuddin juga menyadari, LM Samosir , salah satu pengacara Syamsuddin mengatakan bahwa saksi tersebut tidak ada kaitannya dengan terdakwa. Korelasinya hanyalah saksi sebagai konseptor Sisminbakum yang masih berjalan sampai Syamsuddin menjabat sebagai Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU). Berarti keterangan saksi belum menyentuh substansi dugaan pidana yang dikenakan pada Sayamsuddin. LAki-laki paruh baya ini dijerat dakwaan alternative antara lain Pasal 12e, 12b, 11,2 ayat (1) dan pasal 3 jo pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akibat perbuatan Ayamsuddin, penuntut umum dalam menyatakan Negara dirugikan sebesar Rp 197,2 miliar.
Syamsuddin dianggap telah meneruskan pelanggaran hukum yang dilakukan Dirjen AHU sebelumnya. Sebagaimana diatur dalam PP No. 87 Tahun 2000 jo PP No. 75 Tahun 2005, biaya pelayanan jasa hukum pengesahan akta pendirian, persetujuan, atau laporan perubahan anggaran dasar perseroan terbatas, yakni sebesar Rp 200 ribu per akta. Namun, pada kenyataannya biaya pengurusan jasa administrasi hukum umum untuk pelanggan notaries pada kenyataannya membengkak.
Lalu proses hukum pihak-pihak yang diduga terlibat kasus dugaan korupsi proyek Sisminbakum Depkumham terus berjalan. Kini giliran Direktur Utama PT. SRD Yohanes Woworuntu yang diperiksa Kejaksaan Agung RI. Selang beberapa jam kemudian Kejagung akan kembali melakukan ekspose setelah Direktur Utama PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD) Yohanes Waworuntu ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi access fee Sistem Administrasi Badan Hukum di Depkumham. Sisminbakum adalah layanan untuk notaries guna mengecek atau mendaftarkan perusahaan. Fee jasa ini tidak masuk Negara melainkan masuk penyedia aplikasi Sisminbakum yaitu PT. SRD dan Pejabat Depkum. Kejagung yakin sekali kalo dalang dari korupsi dan suap proyek ini adalah Yohanes Waworuntu.
Tim penyidik Kejagung kembali memeriksa 4 saksi dalam kasus dugaan korupsi pemungutan Acces fee sistem administrasi badan hukum (Sisminbakum) Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Depkumham. Salah satunya adalah Ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen tersebut. SRD ini merupakan penyedia jasa system adminisrasi badan hukum. Kerugian Negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 400 miliar. Dan tiga mantan dirjen AHU yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Romli Atmasasmita, Zulkarnaen Yunus, dan Syamsuddin mana Sinaga. Kejagung juga sudah memeriksa mantan Menkeh HAM Yusril Ihza MAhendra dan Hamid Awaluddin.
C. Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan yang Mengaturnya.
Setelah memahami betapa besarnya pengaruh hokum sebagai pranata sosial bagi masyarakat, maka kita untuk melihat salah satu contoh dari perbuatan manusia yang melatarbelakangi pentingnya peranan akan hokum dalam menciptakan kedamaian dan ketertiban di masyarakat. Tindak pidana korupsi atau untuk selanjutnya kita sebut dengan korupsi, merupakan jenis tindak pidana yang berkembang pesat sejalan dengan gencarnya pelaksanaan.
Tindak pidana korupsi atau untuk selanjutnya kita sebut saja dengan korupsi, merupakan jenis tindak pidana yang berkembang pesat sejalan dengan semakin gencarnya pelaksanaan transaksi ekonomi baik dalam tatanan mikro maupun makro, yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Siapakah yang termasuk dalam kategori pelaku ekonomi itu? Pada dasarnya pelaku ekonomi itu adalah semua lapisan masyarakat dan tidak menutup kemungkinan bahwa kita sendiri termasuk di dalamnya. Setiap transaksi ekonomi yang melibatkan pemindahan atau penyerahan kepemilikan atau kegunaan atas barang baik bergerak maupun tidak bergerak umumnya rentan akan korupsi. Korupsi terkadang muncul sebagai “raksasa dengan seribu wajah”.
Karakteristik yang begitu beragam disertai dengan dampak yang ditimbulkan oleh korupsi itu sendiri bagi masyarakat, menjadikan korupsi tercatat sebagai sa;ah satu agenda hukum utama. Koridor negara hukum (rechstaat) yang diamanatkan dalam Mukadimah Undang- Undang Dasar 1945 membuat kita tidak dapat secara serta merta memberantas korupsi tanpa adanya suatu landasan hukum yang berlaku dan mengikat. Oleh karena itu, sebagai pedoman dalam upaya menegakkan hukum maka berdasarkan ketentuan hukum pidana nasional, maka pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional menegaskan bahwa:
“Tidak ada perbuatan yang boleh dihukum, selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelumnya perbuatan itu terjadi.”
Pemberantasan korupsi lebih teraktualisasi dengan diterbitkannya undang- undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, sesungguhnya upaya-upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan jauh sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya dua ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tindak pidana korupsi yag dihasilkan dalam kurun waktu tahun 1960 sampai dengan tahun 1998 yaitu:
1. Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang Pengusutan,Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan
2. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Sejak dikeluarkannya TAP MPR No. IX/1998, Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu:
1. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, dan
2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif dan dipergunakan sebagai dasar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di RI.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka kesimpulan yang dapat diambil adalah :
1. Bahwa setiap manusia haruslah mempunya kesadaran atas hukum dan sangsi-sangsinya apabila melakuka perbuatan melanggar hukum.
2. Dalam kehidupan bernegara tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan masalah yang merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan sekelompok lembaga ataupun orang tertentu saja, melainkan juga merupakan kewajiban dari masyarakat untuk mengatasinya. Pola-pola pemberantasan korupsi.
B. Saran
Agar lebih dipertegas lagi tentang peraturan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam :
1. TAP MPR No. IX/1998
2. Undang-Undang No.24/Prp/1960 tentang Pengusutan,Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan
3. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
4 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Johnson, Alvin S, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 2004, hal 191 - 192
2. Podgorecki, Adam, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987
3. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 289.
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahirobbilallamiin, dengan penuh rasa syukur kehadirat ALLAH SWT makalah ini dapat diselesaikan. Makalah dengan judul “peran warga masyarakat dalam konteks penegakan hukum dibidang perda pengelolaan zakat” ini merupakan tugas mandiri yang harus dipenuhi oleh penulis dalam mengikuti mata kuliah sosiologi hukum pada program magister hukum semester 1 universitas islam Djakarta tahun 2009. penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam tulisan ini, karma itu sangat diharapkan adanya kritik dan saran sebagai masukkan untuk penyempurnaan agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat, penulis mengucapkan kepada bapak Prof.Dr.Zainuddin Ali,MA sebagai dosen pembimbing dan kepada rekan-rekan mahasiswa hukum UID yang senantiasa siap berdiskusi bersama.
DIDIE SUNARDI, NIM : 7109014/Angk.X, peran warga masyarakat dalam konteks penegakan hukum dibidang perda pengelolaan zakat
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap orang muslim adalah mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya untuk membantu orang lain yang tergolong miskin. Pandangan ini dibangun sejalan dengan konsep ajaran dan keberadaan syariat Islam, sebagaimana firman Allah. Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Penyayang (At- Taubah, 103). Selanjutnya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman. Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah (zakat) kepada. mereka yang diambil dari harta orang-orang kaya diantara mereka lalu diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka (Muttafaq Allaih)
Konsep ini menjelaskan bahwa penunaian zakat tidak semata-mata wujud dari ketaatan seorang muslim terhadap perintah Allah SWT dalam konteks habluminallah, akan tetapi secara inhern, mengandung misi pengentasan kemiskinan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (habluminannas). Hal ini menggambarkan betapa besar perhatian Islam terhadap upaya peningkatan taraf hidup manusia.
Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut telah membawa pembaharuan, yaitu :
Pertama : sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan 7 ditentukan kewenangan lembaga pengelola zakat, yaitu Badan Amil Zakat dibentuk oleh Pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat dibentuk atas prakarsa masyarakat.
Kedua : peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat yang tadinya cenderung liar karena tidak duiatur dengan peraturan perundangan, sekarang secara yuridis sudah tertata dengan baik.
Ketiga : undang-undang zakat diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial dengan memberdayakan peran dan fungsi lembaga keagamaan.
Keempat : peran dan fungsi lembaga pengelola zakat (BAZ/LAZ) telah didisentralisasikan ke Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-undang Zakat.
Dengan undang-undang zakat tersebut pengelolaan zakat di tanah air, baik di tingkat Pemerintah maupun Pemerintah Daerah diharapkan menjadi lebih baik, efektif, efisien dan terarah pemanfaatannya. Hal ini tentunya perlu mendapat respon positif dari seluruh komponen Pemerintahan Daerah, baik dari unsur pemerintah daerah (eksekutif dan legislatif) maupun dari kalangan masyarakat itu sendiri. Kesadaran masyarakat untuk menjalankan kewajiban membayar zakat dan mengawasi pemanfaatannya perlu terus ditumbuhkembangkan, demikian juga pengelolaan zakat oleh Pemerintah Daerah harus dilakukan dengan baik, amanah dan transfaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat serta keadilan sosial. Masalah pengelolaan zakat menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah dan Masyarakat. Oleh karena itu, di setiap Daerah perlu dibuat Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat.
BAB II
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
A. Permasalahan
Permasalahan yang dihadapai dalam pengelolaan zakat, khususnya pengelolaan zakat di Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun di Kabupaten dan Kota (seperti di Daerah Khusus Ibukota Jakarta), yaitu menyangkut kesadaran masyarakat untuk membayar zakat termasuk mengawasi pemanfaatannya dan belum adanya Peraturan Derah untuk mengimplementasikan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
1. Kesadaran masyarakat untuk melaksanakan kewajibannya membayar zakat masih kurang, sehingga berpengaruh terhadap potensi penerimaan zakat di Daerah.
2. Pemerintah Daerah belum memiliki Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat, sehingga pengelolaan zakat di Daerah belum optimal dan tidak memiliki kepastian hukum.
B. Pembahasan
Sebagaimana dimaklumi bahwa salah satu kewajiban orang muslim adalah membayar zakat, dan syarat wajib zakat adalah Islam, merdeka, mencapai satu nisab (sudah dimiliki selama setahun) kecuali hasil panen.
Membayar zakat merupakan wujud keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT, selain itu menunjukan bahwa kita memiliki kadar kesetiakawanan sosial untuk membantu sesama. Apabila tiap-tiap orang muslim yang telah memenuhi kriteria syarat wajib zakat menjalankannya dengan baik, maka kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial suatu saat akan terwujud walaupun secara perlahan. Ada beberapa persoalan utama yang perlu dibahas menyangkut pengelolaan zakat, dikaitkan dengan peran warga masyarakat dalam konteks penegakan hukum di bidang perda pengelolaan zakat.
B.1 Kesadaran Masyarakat
Kesadaran mayarakat untuk membayar zakat merupakan faktor utama dalam pengelolaan zakat, karena tanpa ada kesadaran masyarakat untuk membayar zakat maka tidak akan pernah terkumpul uang zakat, yang berarti tidak ada uang untuk mensejahterakan masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial. Masalahnya, tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar zakat dewasa ini masih kurang dan bagaimana cara yang harus dilakukan untuk merangsang atau mendorong masyrakat agar lebih gemar melakukan kebaikan, khususnya untuk membayar zakat.
Untuk meningkatkan kesadaran masyrakat dalam membayar zakat, bisa dilakukan dengan cara sosialisasi, bookleat, leafleat dan pencerahan oleh pemuka agama secara langsung atau melalui media elektronik dan tulisan-tulisan di media cetak. Peningkatan kesadaran masyarakat akan lebih efektif jika dilakukan dengan menggunakan pendekatan dalil-dalil agama atau rumusan-rumusan resmi yang terkandung dalam kitab suci Alquran.
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa allah Maha Kaya lagi Maha terpuji (Al-Baqarah (2) : 267).
Dalam konteks ini, kita diwajibkan untuk bersedekah dengan harta benda yang baik dari segi kualitasnya., selain harus baik dari segi dzatnya, yaitu harta yang halal.
Beberapa hal yang dapat kita sosialisasikan mengenai manfaat membayar zakat, infak atau sedekah, karena betapa dahsyatnya kekuatan bersedekah , yaitu :
Sedekah adalah amal yang utama. Rasulullah bersabda : Tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah. Tangan diatas adalah yang memberi, dan tangan dibawah adalah yang meminta.
a. Zakat, infak atau sedekah melindungi diri dari Bencana. Hadits Rasul, ”obatilah orang sakit dengan bersedekah ”. Sebagian dari para salaf bependapat bahwa sedekah dapat menolak bencana dan musibah-musibah, sekalipun plakunya orang zhalim.
b. Zakat, infak atau sedekah pahalanya berlipat ganda. Allah berfirman : ”infak yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menginfakan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui (Al- Baqarah (2), 261). Rasul juga bersabda : ” Barangsiapa bersedekah senilai satu biji kurma yang berasal dari mata pencaharian yang baik, dan allah tidak akan menerima kecualoi yang baik, maka sesungguhnya Allah akan menerima dengan tangan kananNya, kemudian dipelihara untuk pemiliknya sebagaimana seseorang diantara kalian memelihara anak kuda, sehingga sedekah itu menjadi (besar) seperti gunung”.
c. Zakat, infak atau seekah dapat menghapus dosa dan kesalahan. Rasul bersabda : ”Bersedekahlah kalian, meski hanya dengan sebiji kurma. Sebab sedekah dapat memenuhi kebutuhan orang yang kelaparan, dan memadamkan kesalahan, sebagaimana air mampu memadamkan api”.
d. Zakat, infak atau sedekah menjadikan harta berkah dan berkembang. Bersedekah bisa menjadikan pelakunya memiliki harta yang berlimpah. Maka jadilah orang kaya, dengan bersedekah. Allah berfirman : Katakanlah, sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendakiNya diantara hamba-hambaNya dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendakiNya. Dan apa saja yang kamu infakkan, maka allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.
e. Zakat, infak atau sedekah melapangkan jalan ke Syurga, menyumbat jalan ke Neraka. Allah berfirman : ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan adri Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya, baik diwaktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (Ali Imran (3) : 133-134).
f. Zakat, infak atau sedekah merupakan bukti kebenaran dan kekuatan iman. Rasulullah bersabda : ”Sedekah adalah menjadi burhan (bukti), dan sifat kikir dan iman tidak akan berkumpul dalam hati seseorang untuk selama-lamanya”.
g. Zakat, infak atau sedekah membawa keberuntungan dan merupakan pintu gerbang semua kebaikan. Allah berfirman : ”Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itu adalah orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyir (59), 9). Dalam ayat lain, Allah berfirman : ”Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuiNya (Ali Imran (3) :92).
h. Penggemar zakat, infak atau sedekah mendapat neungan di Mahsyar.edekah akan menolong pelakunya dari kesengsaraan dalam perjalanan menuju akhirat. Rasulullah bersabda : ”Setiap orang akan berada di bawah naungan sedekahnya, hingga diputuskannya perkara-perkara diantara manusia”.
i. Zakat, infak atau sedekah mengalirkan pahala terus menerus setelah mati. Rasul bersabda : ”Pahala amalan dan kebaikan yang bakal menghampiri seorang mukmin sepeninggalnya, yakni mushaf yang ia tinggalkan, masjid yang ia bangun, rumah untuk orang yang dalam perjalanan yang ia bangun, sungai yang ia alirkan, atau sedekah yang ia keluarkan dari hartanya dikala sehat dan hidupnya, maka ia akan menghampirinya sepeninggalnya”.
j. Menghadiahkan pahala sedekah kepada mayit disyariatkan. Menurut para ulama ahlus sunnah, bahwa sedekah yang kita keluarkan untuk seseorang yang telah meninggal dunia, maka pahalanya akan sampai kepada si mayit. Hal ini merupakan bukti betapa agungnya sedekah dan betapa mulianya orang yang gemar bersedekah.
l. Pemerintah Daerah belum memiliki Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat.
Kebutuhan regulasi Pemerintah Daerah menjadi penting, mengingat potensi dana zakat, infak dan sadaqah (ZIS) dalam setiap daerah berbeda-beda. Karakteristik potensi dana ZIS tersebut harus mendapat pengaturan agar menjadikan sistem pengelolaan yang tepat sasaran. Idealnya, pengelolaan zakat dapat menunjang kemandirian perekonomian daerah muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) untuk didistribusikan kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat) dalam wilayahnya. Inilah kata kunci dari integrasi zakat dalam era penerapan otonomi daerah yang seharusnya diterapkan oleh Pemerintah Daerah.
Persoalannya adalah masih banyak pemerintah daerah yang belum membuat Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat, sehingga pengelolaan zakat di daerah belum cukup mempunyai kepastian hukum.
Di daerah, masih terdapat jurang pemisah anatara pelaksanaan Undang-undang Zakat dan realisasi kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur kehidupan sosial keagamaannya, dikhawatirkan akan menghambat fungsi Lembaga Pengelola Zakat yang diproyeksikan oleh undang-undang zakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Disatu sisi, lembaga pengelola zakat telah diberi kewenangan oleh pasal 8 undang-undang zakat untuk mendayagunakan dana zakat, sementara pemerintah daerah belum mengatur hal tersebut. Disisi lain, berdasarkan pasal 21 Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 menetapkan bahwa Gubernur dan Bupati sebagai pihak yang bertanggungjawab atas perlindungan, pembinaan dan pengukuhan lembaga pengelola zakat yang sudah ada atau akan muncul di wilayahnya.
Kondisi ini, di satu sisi akan berdampak pada pelestarian peraturan perundangan pemerintah Daerah mengenai zakat sebagai kumpulan pasal-pasal yang mandul, selain itu akan menghambat peningkatan pengelolaan zakat untuk menunjang perekonomian Daerah. Jadi reformasi hukum yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat akan terhambat oleh pihak pemerintah daerah sendiri. Kemandegan regulasi peraturan daerah dalam menyongsong grand opening disentralisasi pembangunan berkaitan dengan optimalisasi dana zakat harus diselesaikan oleh kalangan DPRD bersama pemerintah dan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang menghambat pelaksanaan pengelolaan zakat di Derah yaitu:
4. Masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar atau menunaikan kewajiban membayar zakat.
5. Belum adanya Peraturan Daerah tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat sebagai implementasi dari Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
3.2 Saran
1. Untuk meningkatkan kesadaran masyuarakat membayar zakat perlu dilakukan sosialisasi oleh lembaga yang kompeten, misalnya oleh Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah (Bazis)
2. Perlunya pengaturan lebih lanjut dari Undang-undang nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yaitu dengan dibuatnya Peraturan daerah tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat.
Haetami NPM: 7109005
FAKTOR-FAKTOR YANG MELAHIRKAN “PERADILAN MASSA” DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini dalam masyarakat kita telah terjadi pergeseran nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi namun karena sesuatu hal penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan itu terabaikan. Salah satu contoh pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan seperti pelaku pencurian yang dihakimi massa dengan cara dibakar sampai meninggal dunia. Fenomena kasus main hakim sendiri atau disebut juga “peradilan massa” seperti ini telah menjadi bahan pemberitaan media massa sementara anggota masyarakat tidak menunjukkan penyesalan bahkan justru menyatakan kepuasannya.
Beberapa waktu lalu (Februari 2009) di wilayah Jakarta Barat, seorang pemuda tewas dengan sia-sia setelah dikeroyok warga, hanya karena mengoda seorang gadis. Amuk massa seperti itu juga terjadi di banyak daerah dengan latar belakang yang berbeda. Main hakim sendiri sampai kini masih sering terjadi.
Tindakan main hakim sendiri biasanya dilakukan warga terhadap seseorang atau lebih yang dianggap telah melakukan tindakan menganggu kepentingan masyarakat setempat.
Seperti yang dilakukan warga Cililitan, Jakarta Timur ini misalnya. Mereka memukuli seorang lelaki yang diduga telah mencoba merampas sebuah mobil taksi. Sebagian warga mengaku, mereka hanya ikut-ikutan memukul, meski belum tahu masalah sebenarnya. Namun mereka ikut memukul mengaku kesal karena sebelumnya pernah dibuat kesal dengan ulah-ulah para penjahat, semisal pencuri, pencopet atau perampok. Namanya main hakim sendiri. Tentu saja tindakan itu tidak memiliki legalitas dalam hukum positif kita. Artinya pelaku main hakim sendiri dapat dikenakan hukuman. Tapi kenyataannya, aksi-aksi main hakim sendiri masih terus terjadi dan kerap kita dengar.
Akhir Februari 2009 lalu, seorang pemuda bernama Natmi, juga mati sia-sia setelah dihajar warga Kelurahan Sukabumi Selatan, Jakarta Barat. Masalahnya sepele, Natmi mengoda seorang gadis. Merasa tidak senang, kakaknya si gadis lalu mengajak teman-temannya menghajar pemuda ini. Saat Natmi mencoba kabur, para pengeroyok mengejar sambil meneriakinya maling. Satu jam berselang polisipun datang namun Natmi sudah tak tertolong lagi, nyawa pemuda ini telah melayang.
Kejadian serupa juga terjadi dikawasan Sawangan Depok, Jawa Barat, akhir Februari 2009 lalu. Seorang pemuda yang kedapatan merampas sepeda motor warga berhasil dibekuk warga saat bersama seorang temannya melarikan motor rampasan mereka. Di tangan warga salah seorang diantaranya langsung dihakimi massa di tempat itu juga. Sementara temannya sempat melarikan diri dengan masuk ke rumah salah satu warga dan menyandera seorang pembantu.
Pembantu yang disandera langsung ketakutan dan berteriak minta tolong. Rumah itupun kemudian dikepung warga. Ketika polisi datang, sang penjahat sempat berusaha kabur dengan melompati pagar. Namun sial baginya, warga memergoki dan menghajarnya.
Setiap kali terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga, polisi adalah aparat penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Dalam banyak kejadian, warga baru melaporkan kejadiannya setelah korban babak belur bahkan tewas di tangan mereka. Amuk warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan kepastian penegakan hukum oleh aparat.
Dalam banyak peristiwa main hakim sendiri, polisi memang sering dibuat repot. Tidak saja saat menghadapi amuk massa itu berlangsung, tapi menyangkut proses hukum atas pelanggaran yang sering terjadi. Sebab apapun alasannya, warga tidak dibenarkan melakukan kekerasan, penindasan apalagi sampai menghilangkan nyawa orang lain.
Dalam banyak kasus, polisi tiba di lokasi kejadian saat korban sudah babak belur. Dalam kasus main hakim sendiri yang terjadi di wilayah Ciputat, Tangerang berapa waktu lalu, seorang lelaki yang kedapatan sedang merampok babak belur dihajar warga. Jeritan dan permohonannya agar tidak dipukuli tidak dihiraukan, warga terus saja memukulinya. Aksi anarkis warga baru mereda setelah kemudian datang petugas. Namun tak urung, laki-laki tersebut sudah bonyok bersimbah darah.
Petugas masih beruntung korban masih hidup, sehingga nyawa pria yang dipergoki sedang merampok inipun masih bisa diselamatkan. Namun tetap saja, karena parahnya luka yang ia derita, di perjalanan ke rumah sakit nyawanya tak tertolong lagi.
Polisi memang biasanya diberi laporan dan datang ke lokasi kejadian setelah warga berhasil melampiaskan amarah dan kekesalannya. Seperti dalam peristiwa di Ciputat, Tangerang ini. Petugas tiba di lokasi saat sang perampok sudah babak belur dihajar massa.Niat warga untuk menuntaskan kekesalannya dengan membakar sang perampok pun berhasil digagalkan. Sementara dikawasan Jatinegara, Jakarta Timur, warga beberapa waktu lalu menghakimi 4 orang penodong yang kedapatan yang beroperasi di bis kota. Keempatnya pun dipukuli warga. Tidak hanya itu, 3 diantaranya bahkan dibakar hidup-hidup. Masih untung seorang lainnya berhasil diselamatkan. Sebelum nasib naas juga menimpanya, polisi keburu datang dan menyelamatkannya. Ia hanya sampai ditelanjangi setelah habis dikeroyok warga.
Tindakan main hakim sendiri memang lebih banyak tindakan brutalnya, ketimbang tindakan yang bersifat penyerahan. Tindakan warga pun tanpa melihat besar kecilnya kesalahan. Di kawasan Cileduk, Jakarta Selatan, seorang remaja babak belur dipukul warga. Hanya karena kedapatan mencuri sandal disebuah masjid. Tidak hanya dipukuli, remaja ini pun kemudian rambutnya digunduli warga yang kesal dengan tindakannya. Ia pun selamat. Entah apa cerita selanjutnya jika petugas tidak keburu datang dan menghalau warga.
Pihak kepolisian sendiri menilai, kesadaran masyarakat untuk membantu penegakan hukum masih lemah. Pada kasus-kasus penjahat tertangkap tangan, laporan memang diberikan namun setelah warga mengambil tindakan sendiri dulu.
B. Permasalahan
Uraian di atas merupakan suatu gambaran aksi main hakim sendiri hingga menewaskan, bahkan membakar tersangka pelaku kejahatan. Dalam beberapa kejadian, pelaku maupun warga yang membaca berita kejadian mengerikan seringkali terdengar sinis, dan banyak yang mengatakan itulah namanya pengadilan rakyat. Sebuah persepsi yang mengerikan di tengah bangsa yang selalu bersusah payah menegakan hukum. Namun, acap kali, persepsi itu "agak bisa dimengerti"-bukan dibenarkan-saat masyarakat melihat bagaimanaluluh-lantaknya hukum di negeri ini.
Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindakan main hakim sendiri atau disebut “peradilan massa”, maka dalam kesempatan ini penulis akan mengangkat permasalahan yaitu:
1. Bagaimana kondisi peradilan di Indoesia saat ini?
2. Apakah perbuatan main hakim sendiri merupakan suatu budaya hukum?
3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya praktik main hakim sendiri (peradilan massa)?
BAB II
ANALISIS PERMASALAHAN
A. Kondisi Peradilan di Indonesia Saat Ini
Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Muladi menyebutkan bahwa sejak Indonesia merdeka, tema negara hukum paling banyak mendapat sorotan. Sebagian dikarenakan kelemahan yang nyata pada lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Institusi-institusi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya - yaitu menurut taraf keinginan, harapan, dan tuntutan rakyat dari hampir semua tingkatan masyarakat.
Donald Black menyebut hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is
governmental social control) sehingga sistem hukum adalah sistem kontrol sosial
yang di dalamnya diatur tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut.
Friedman juga menyebutkan bahwa yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute
settlement), skema distribusi barang dan jasa (good distributing scheme), dan
pemeliharaan sosial (Social maintenance).
Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum
masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat.
Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk
mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan.
Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke
pengadilan.
Dalam bidang hukum secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah pembuatan hukum dan penegakan hukumnya. Dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan dapat dirinci sebagai berikut :
1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;
2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal;
3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih);
4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai;
5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.
Buku Reformasi Hukum di Indonesia, menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakan hukum di Indonesia menyatakan antara lain :
a. Kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum;
b. Tidak adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan;
c. Management pengadilan sangat tidak efektif (maksudnya : mekanisme pengawasan);
d. Peranan yang dominan dari eksekutif membawa pengaruh yang tidak sehat
terhadap pengadilan (Peradilan yang tidak independent, karena dualisme
kekuasaan kehakiman);
e. Penegakan hukum yang berbau praktek korupsi , dan keberpihakan yang
menguntungkan pemerintah.
Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa prilaku sebagai bangsa terjajah masih nampak di kalangan para hakim. Dari sisi ini paling tidak ada tiga hal yang dapat dilihat yaitu :
1. hakim-hakim tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip
yurisprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia.
2. Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang dapat dianggap berkualitas untuk kasus itu.
3. Ketiga, menganggap yurisprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.
Permasalahan yang berkaitan dengan hukum positif dan keadaan supremasi hukum saat ini juga terletak pada kualitas perundang-undangan yang mencakup
kemungkinan-kemungkinan negatif sebagai berikut :
1. Perundang-undangan warisan kolonial yang sudah tidak memadai dengan suasan kemerdekaan. Sebagai contoh : ketentuan tentang "Hatzaai Artikelen" (Pasal 154,
Pasal 156 KUHAP) yang bertentangan dengan kebebasan menyatakan pendapat,
pasal-pasal yang memidana pengemisan dan penggelandangan (Pasal 504 dan
Pasal 505 KUHAP).
2. Perundang-undangan yang diciptakan setelah Indonesia merdeka tetap dinilai
bermasalah sehingga telah ditinjau kembali. Contoh Undang-Undang No. 11
PNPS 1963, yang merupakan gambaran sistem otoriter.
3. Undang-undang yang karena sesuatu hal belum beradaptasi dengan perkembangan internasional (sekalipun dimungkinkan) misalnya, ratifikasi dokumen internasional HAM masih sangat rendah intensitasnya. Contoh : belum diaturnya pertanggungjawaban korporasi (corporate criminal hability) dalam tindak pidana korupsi;
4. Penegakan hukum yang tidak bijaksana karena bertentangan dengan aspirasi
masyarakat dan rasa keadilan masyarakat yang kadang-kadang terlalu
menekankan kepastian hukum tetapi merugikan keadilan.
5. Kesadaran hukum yang masih rendah yang lebih banyak berkisar dengan kualitas
sumber daya manusianya, sehingga terjadi kesenjangan antara "law awarenes/lawacquitance" dengan "law behaviour" (aspek kesadaran hukum).
Contohnya : praktek-praktek penyiksaan dalam penegakan hukum, padahal jelas
melanggar Pasal 422 KUHAP.
6. Rendahnya pengetahuan hukum, sehingga menimbulkan kesan tidak profesional,
dan tidak jarang mengakibatkan malpraktek di bidang penegakan hukum (aspek
illteracy). Misalnya : masih banyak praktek main hakim sendiri baik antar warga
masyarakat maupun oknum penegak hukum terhadap warga masyarakat.
7. Mekanisme Lembaga Penegak Hukum yang fargmentasi sehingga tidak jarang
menimbulkan disparitas penegakan hukum dalam kasus yang sama atau kurang
lebih sama.
8. Budaya hukum tentang HAM yang belum terpadu sebagai akibat perbedaan
persepsi tentang HAM.
Bagir Manan menyebutkan bahawa keadaan hukum (the existing legal system)
Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
1. Dilihat dari substansi hukum - asas dan kaidah - hingga saat ini terdapat berbagai
sistem hukum yang berlaku - sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem
hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan
akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut
dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum
tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan
bagi suatu pergaulan yang modern.
2. Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada
bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa
mengarahakan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.
3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa
Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan
mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan
fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.
4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari
administrasi negara, bahkan pula dari badan justisial. Peraturan kebijakan
merupakan instrumen yang selalu melekat pada administrasi negara. Yang
menjadi masalah, adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan
tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan menyimpang dari
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena terlalu menekankan aspek "doelmatigheid" dari pada "rechtsmatigheid". Hal-hal semacam ini sepintas lalu
dapat dipandang sebagai "terobosan" tas ketentuan-ketentiuan hukum yang
dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat menimbulkan kerancuan
dan ketidak pastian hukum.
5. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris.
Hukum khususnya peraturan perundang-undangan - sering dipandang sebagai
urusan departemen bersangkutan. Peraturan perundang-undangan pemerintah
daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan
perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan.
6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau
landasan teoretik yang dipergunakan.
7. Keadaan hukum kita - khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat
dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir - sangat mudah tertelan masa,
mudah aus (out of date) . Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan
masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat,
sehingga hukum mudah seka;i tertinggal di belakang. Secara subyektif, berbagai
peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga
kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenranya dapat
dibatasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai
kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyataan
menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai
"aplikator" daripada sebagai "dinamisator" peraturan perundang-undangan.
Ediwarman menyebutkan bahwa berbagai krisis yang terjadi saat ini di Indonesia
sesungguhnya berpangkal tolak pada krisis prilaku.
B. Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum
Sering kita saksikan pemberitaan di media massa yang gencar memberitakan fenomena kekerasan dan main hakim sendiri terhadap pelaku tindak kriminal. Sudah banyak korban tewas. Reaksi sementara anggota masyarakat tidak menunjukkan penyesalan bahkan justru menyatakan kepuasannya. "Biar kapok," begitu kira-kira pernyataan sementara masyarakat. Sebagian lainnya menyatakan, kekerasan dan main hakim sendiri adalah akibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Bukan hanya kekerasan terhadap pelaku kejahatan, kekerasan tampaknya sudah mewabah. Lihat saja tawuran pelajar, bentrokan fisik antarwarga desa, bahkan bentrokan yang tak kunjung padam bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), memakan korban nyawa yang tidak sedikit. Harta benda yang musnah tak terhitung karena perusakan dan pembakaran rumah, sehingga terjadi gelombang pengungsian di negeri sendiri, kantor polisi, gedung DPRD dan gedung pemerintah daerah pun tak luput jadi korban perusakan massa. Semua itu terjadi justru saat masyarakat sedang dalam era reformasi. Gejala apakah ini sesungguhnya? Apakah hal itu menunjukkan "kesadaran Hukum" masyarakat yang masih rendah atau inikah "budaya hukum" masyarakat kita? Sebagai catatan bahwa kesadaran hukum bukanlah budaya hukum karena budaya hukum yang baik akan melahirkan sebuah proses sosial, yaitu kesadaran hukum.
Bila dikatakan kesadaran hukum masyarakat rendah, nyatanya pada banyak peristiwa, masyarakat yang tinggal di desa sekalipun sudah tahu hak dan kewajibannya. Ini terbukti di era reformasi di mana rakyat bebas dari rasa takut, mereka berani menuntut haknya untuk mendapatkan kembali tanahnya yang diambil secara tidak adil oleh "orang kuat" di masa Orde Baru.
Pada sisi lain bisa dipikirkan, adanya pomeo di masyarakat yang kurang sedap terhadap polisi. Bahkan, pernyataan terhadap puncaknya badan peradilan, Mahkamah Agung, misalnya, yang digambarkan sebagai busuknya kepala ikan. Apakah pernyataan seperti itu perlu dan bermanfaat dilontarkan kemudian menyebar kepada publik, padahal dengan dibentuknya Komisi Hukum Nasional dan komisi lain, masyarakat tentunya sudah dapat mengira kondisi law enforcement dewasa ini.
Apakah tidak lebih baik bukan pernyataan yang berindikasi menjadi kampanye pribadi, tetapi konsep pikiran yang orisinil. Misalnya, bagaimana memperbaiki badan peradilan yang sudah sedemikian buruk. Tampaknya, kurang disadari bahwa pernyataan yang kurang bijak seperti itu, apalagi bila dilakukan oleh seorang cendekiawan, justru akan memberi dampak yang lebih buruk di mana kepercayaan publik terhadap penegak hukum semakin hancur.
Menghadapi tindak kekerasan dan main hakim sendiri secara massal ini memang tidak mudah. Hukum pidana kita tidak cukup mengatur kejahatan yang dilakukan secara massal (tindak pidana kelompok), kecuali Pasal 55 - 56 KUHP yang mengklasifikasikan pelaku kejahatan dalam beberapa golongan: Pleger (pelaku), doenpleger (menyuruh melakukan) dan medepleger (turut melakukan), Pasal 55 (1) ke-1, uitlokker (pengajur/pembujuk/ penghasut), Pasal 55 (2) dan medeplichtig (membantu melakukan) pasal 56.
Suatu pekerjaan yang tidak mudah bagi polisi menangkap dan menyidik pelaku kejahatan massa, apalagi polisi cenderung berhati-hati bertindak agar tidak terpeleset dalam tindak pelanggaran ("kejahatan") menurut UU No 39/1999 tentang HAM. Sekalipun demikian polisi tetap dituntut untuk bertindak profesional sambil menampilkan citra polisi yang simpatik dalam menegakkan hukum. Bagaimanapun juga polisi adalah garda utama yang berada di barisan paling depan dalam memberantas kejahatan dan memberikan rasa aman kepada masyarakat, maka kepercayaan kepada aparat keamanan ini harus dipulihkan.
Tentang peranan budaya hukum, Lawrence M Friedman menulis, legal culture: "People's attitude toward law and legal system, their beliefs, values and expectations", yang artinya bahwa masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional.
Kita mengenal beberapa budaya daerah yang membangun kerangka-kerangka hukum dan ditaati oleh kelompok masyarakat daerahnya, seperti di daerah Sumatera Barat dikenal Tuah Sakato: Saciok Bak Ayam, Sadanciang Bak Basi, sedang pada masyarakat Batak ada adat Delihan natolu dan Pardomoan di mana peran "Raja Marga" dalam menyelesaikan perselisihan antarmarga sendiri maupun antarmarga sangat dihormati. Demikian pula masyarakat Sulawesi Utara ada Torang semua basodara yang menjiwai masyarakat Sulut menjadi ramah dan senantiasa berupaya menghindari pertikaian sesama. Di Jawa umumnya ada Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh.
Pada masyarakat Indonesia dikenal gotong royong sebagai perwujudan semangat hidup dalam kebersamaan. Sistem nilai dalam kelompok masyarakat itu menjadi budaya hukum dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa di luar pengadilan menurut hukum positif.
Begitu pentingnya peran budaya hukum sehingga kesadaran hukum dalam pelaksanaannya akan lebih efektif, maka budaya hukum yang melahirkan kesadaran hukum perlu kajian lebih mendalam dan pembinaan yang lebih terarah, sehingga tercapai masyarakat yang aman, tenteram dan sejahtera. Begitulah hendaknya masyarakat yang taat hukum.
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Praktik Main Hakim Sendiri (Peradilan Massa)
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai negara hukum tentu saja harus mampu mewujudkan supremasi hukum, sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum. Realitas tersebut ditandai dengan harapan masyarakat yang menghendaki terciptanya persamaan di depan hukum (equality before the law), peradilan yang independen dan tidak memihak (fair tribunal and independence of judiciary). Hal ini telah ditegaskan pula dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa hukum bukan menjadi alat untuk kepentingan penguasa ataupun kepentingan politik yang dapat menimbulkan sikap diskriminatif dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Hukum ditegakkan demi pencapaian keadilan dan ketertiban bagi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi upaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum dapat ditegakkan, maka keadilan, ketertiban, kepastian hukum, rasa aman, tenteram dan kehidupan yang rukun akan dapat diwujudkan.
Dari Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut, tersirat pula bahwa penegakan hukum bukan semata-mata tugas dari aparat penegak hukum saja, tetapi telah menjadi kewajiban serta komitmen seluruh komponen bangsa. Komitmen ini dituntut secara konsisten untuk dapat diimplementasikan, lebih-lebih di saat bangsa Indonesia berupaya bangkit mengatasi krisis multidimensional, mengingat peran hukum tidak hanya untuk mengatur kehidupan masyarakat semata, tetapi juga dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional dan hasil-hasilnya. Maka proses penegakan hukum harus dilaksanakan secara tegas dan konsisten, karena ketidakpastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum akan melahirkan krisis hukum yang dampaknya dapat berakibat pada terganggunya stabilitas politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan bangsa dan negara.
Dalam kaitannya dengan masalah penegakan hukum terhadap praktik main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat seperti apa yang sering kita saksikan di media televisi menunjukkan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu kekecewaan terhadap aparat penegak hukum karena banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum serta lemahnya penegakan hukum sehingga menyebabkan tindakan tersebut sering terjadi dan terus berulang di kalangan masyarakat kita.
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum merupakan faktor yang disebutkan sebagai salah satu penyebab semakin maraknya pengadilan
massa. Aksi anarkisme di luar batas perikemanusiaan itu terjadi karena akumulasi kekecewaan atas kenyataan tidak tuntasnya sejumlah kasus yang mereka tangani.
Masyarakat sudah lelah menantikan penegakan hukum yang bertele-tele
dan sekadar menjadi panggung politik. Bukan hanya untuk kasus-kasus
berskala nasional yang melibatkan koruptor milyaran rupiah yang
membuat sengsara kehidupan rakyat kecil. Akan tetapi, juga untuk
kasus-kasus kejahatan yang setiap hari terjadi di tengah masyarakat.
Selain polisi, jaksa dan hakim tentu saja berbagai kesulitan yang
didera masyarakat juga menjadi pemicu. Dr Hotman M Siahaan, sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menyebutkan, berbagai tindakan main hakim sendiri, mencerminkan bahwa segala sesuatu harus berjalan sesuai institusi dan fungsinya. Dengan demikian ketika aparat tidak mau menegakkan institusi dan fungsinya, maka akan muncul perlawanan yang didorong oleh ketidak puasan masyarakat terhadap keadaan yang serba rancu. "Timbullah gejolak sosial dan anarki," kata Siahaan.
Sejumlah keberhasilan polisi menangkap dan menembak tewas pelaku kejahatan tidaklah dipandang punya cukup arti. Masyarakat sudah demikian marah menyaksikan betapa aksi-aksi kejahatan di perumahan, di dalam kendaraan, dan di tempat-tempat umum, terus terjadi. Jika bukan membaca berita di koran, kabar korban kejahatan itu bahkan teman atau anggota keluarga dekat. Semua warga rasanya tinggal menunggu giliran saja menjadi korban kejahatan.
Emosi masyarakat cenderung menjadi frustasi, saat misalnya seorang koruptor atau bandar narkoba di kampungnya bisa leluasa bergerak. Bahkan kalaupun ditangkap aparat kepolisian dalam hitungan hari mereka sudah bisa keluar lagi. Lebih lagi kalau tersangka yang diserahkan oleh masyarakat ternyata kembali bebas dalam beberapa hari, pekan, atau bulan. Bahkan mereka kembali melakukan aksi kejahatannya kembali.
Kecurigaan masyarakat terhadap polisi sudah demikian buruk. Jangan-jangan polisi menerima imbalan sejumlah uang atau fasilitas untuk membebaskan tersangka. Istilah "delapan anam" (sama-sama dimengerti) lalu menjadi istilah populer berkonotasi negatif bagi aparat kepolisian yang bersedia memberikan kebebasan bagi tersangka.
"Beberapa kali kami ingatkan jika polisi tak berubah, suatu saat kita akan menjadi korban keberingasan massa," kata seorang petinggi polisi suatu saat. Direktur Rumah Sakit Jiwa Pusat Lawang (Malang), dr G Pandu Setiawan DSKJ, menilai, anarkisme massa yang diwarnai tindakan brutal tanpa mengindahkan hukum dan norma-norma yang ada, menunjukkan telah terjadinya frustrasi sosial yang menimbulkan problem kesehatan jiwa yang akut di masyarakat. Masyarakat mengeluarkan impuls primitif, yang sulit diterima dalam peradaban manusia modern, dalam bentuk anarkisme sosial yang amat mengerikan.
Pandu menduga, tindakan mengerikan itu terjadi karena adanya kegagalan kolektif untuk mengekspresikan ketidakpuasan dengan cara-cara yang beradab. Selain itu, juga diduga telah terjadi kesalahan pembelajaran secara kolektif dalam mengekspresikan ketidakpuasan sosial. Masyarakat mengeluarkan impuls dasar primitif ketika mengekspresikan ketidakpuasan, tanpa mengindahkan nurani, pranata sosial, super-ego secara sangat telanjang.
Tuduhan negatif atau kecurigaan masyarakat itu tentu saja dibantah pihak kepolisian. Kepala Sub Dinas Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI, Kolonel (Pol) Saleh Saaf, membantah semua tudingan itu. "Untuk pelaku kejahatan seperti pencuri, penodong, penjambret, dan lain-lainnya itu, polisi tidak pernah melepas begitu saja".
Bukan hanya itu, tindakan keras aparat kepolisian saat menangani mereka sering membuat para penjahat itu tak tahan berlama-lama mendekam di tahanan polisi. "Mereka umumnya minta segera dikirim ke kejaksaan untuk selanjutnya disidangkan," ujar Saleh Saaf.
Menurut Saleh Saaf, bahwa kemudian ada tersangka dibebaskan, ditahan, atau ditangguhkan penahanannya, semua itu sangat tergantung pada hasil penyidikan dan kebijakan penyidik. Seorang tersangka-meskipun ia ditangkap ketika sedang melakukan kejahatan-tetap harus dilindungi hak-haknya. Polisi tetap harus melindungi dirinya secara fisik maupun mental, polisi juga tetap harus menerapkan asas praduga tak bersalah, dan yang terpenting polisi harus bisa membuktikan bahwa seseorang benar-benar melakukan tindak pidana (kejahatan) dengan mencari bukti-bukti perbuatan permulaan.
Jika pada akhirnya polisi tidak menemukan bukti tindak pidana yang dilakukan tersangka, maka polisi harus melepaskannya demi hukum. Dalam
hal ini, polisi menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) yang diberikan kepada keluarga tersangka dan ditembuskan ke pelapor.
Persoalannya, dalam kasus kejahatan di tempat umum seperti itu, pelapornya sering tidak jelas. Tembusan SP3 itu lalu menguap begitu saja, sementara polisi juga tidak berupaya memberikan penjelasan kepada publik bahwa tersangka yang ditangkap polisi pada hari tertentu ternyata tidak terbukti sebagai pelaku kejahatan.
Maka, ketika yang bersangkutan nongol lagi di tempat biasa ia mangkal, masyarakat kemudian menuding polisi sudah bermain mata. Ketika seorang tersangka dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana (kejahatan), masih ada dua kemungkinan untuk ditahan atau tidak ditahan. Pada umumnya, tersangka pelaku kejahatan seperti itu selalu ditahan. Bisa saja polisi menangguhkan penahanannya bila penyidik yakin yang bersangkutan tidak akan melarikan diri, tidak akan mengulangi perbuatannya, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti. Untuk itu, penyidik harus mendapatkan jaminan badan/fisik, atau uang. Uang jaminan itu harus diserahkan ke panitera (pengadilan). Namun, persoalannya, jika benar proses hukum itu dijalankan apakah masyarakat mengetahui hal tersebut.
Kecurigaan, tudingan masyarakat terhadap praktik-praktik bengkok aparat penegak hukum sudah telanjur parah. Mereka banyak melihat bukti bagaimana para pelanggar hukum bisa bebas berlenggang. Banyak desas-desus beredar, untuk mengupayakan seorang tersangka di-TL (tahanan luar)-kan itu diperlukan sejumlah uang. Kabarnya, untuk tersangka pemakai narkotika uang men-TL-kan seorang tersangka itu berkisar antara Rp 2 juta-Rp 5 juta. Sedangkan untuk pengedar bisa mencapai puluhan juta.
Seberapa kebenaran desas-desus itu sulit diperoleh bukti. Akan tetapi, sejumlah polisi menyatakan kemungkinan itu selalu ada. Saleh Saaf tidak membantah kemungkinan adanya kasus itu. Namun, dia juga mengingatkan bahwa aparat penegak hukum itu bukan hanya polisi, melainkan ada jaksa dan hakim.
Begitu berkas perkara diserahkan oleh polisi ke dan diterima Jaksa Penuntut Umum (JPU). Maka selesailah sudah tugas polisi sebagai penyidik. Polisi biasanya tinggal menunggu jadwal kapan tersangka disidangkan di pengadilan. Soal hukuman bagi tersangka, itu menjadi urusan jaksa sebagai penuntut dan hakim sebagai pemutus.
Akan tetapi, karena polisi yang paling banyak berhadapan (langsung) dengan masyarakat, maka polisilah yang mendapat cercaan dari masyarakat kalau hukuman terhadap seorang tersangka begitu rendah. Dan ketika ternyata menyaksikan seorang tersangka yang ditangkap polisi kembali ke "habitatnya" dalam hitungan bulan, maka polisilah yang menjadi sasaran kemarahan. Padahal, keputusan apakah tersangka dihukum sebulan, dua bulan, tiga bulan, atau tujuh bulan, berada di tangan hakim.
Bagaimana pun aksi main hakim sendiri hingga menewaskan, bahkan membakar tersangka pelaku kejahatan harus dihentikan. Dalam beberapa kejadian, pelaku maupun warga yang membaca berita kejadian mengerikan seringkali terdengar sinis. Itulah namanya pengadilan rakyat . Sebuah persepsi yang mengerikan di tengah bangsa yang selalu bersusah payah menegakan hukum. Namun, acap kali, persepsi itu "agak bisa dimengerti"-bukan dibenarkan-saat masyarakat melihat bagaimana luluh-lantaknya hukum di negeri ini.
Hotman Siahaan menyarankan kepada para elite politik dan pejabat, untuk mensosialisasikan penyadaran terhadap sesuatu yang layak, pantas, benar, baik, dan yang tidak. Para elite politik, tokoh partai, dan siapa pun yang ditokohkan oleh masyarakat, hendaknya berani melakukan penyadaran, bahwa tindakan anarkis harus dihentikan, untuk kemudian dimunculkan tindakan yang berbudaya dan beradab. Kalau tidak segera dilakukan penyadaran itu, anarkisme massa akan meluas.
Untuk menghentikan aksi-aksi massa yang primitif itu, kata Pandu, harus ada counter dengan cara pembelajaran kolektif yang lain yang lebih beradab. Tunjukanlah cara-cara menghukum yang baik terhadap para maling, misalnya. Jika ada maling dibawa ke polisi, diadili sesuai kesalahannya, dan dihukum sesuai aturan hukum.
Juga harus ada bukti yang berlawanan untuk menunjukkan kepada masyarakat tindakan yang beradab. Sehingga akan timbul pembelajaran kolektif yang lebih benar. Masyarakat dididik menyalurkan ketidakpuasan sosialnya dengan cara yang benar yang dapat diterima oleh nurani.
Bagaimana pun istilah "pengadilan rakyat" itu tidak semestinya muncul di sebuah negeri yang lama disebutkan "adil dan beradab" ini. Atau para elite politik dan penegak hukum sedang menunggu giliran.
Kalangan pengamat menilai, tindakan main hakim sendiri disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri.
Aksi main hakim sendiri biasanya terjadi jika sang penjahat tertangkap tangan dilingkungan padat penduduk. Seperti pusat-pusat perbelanjaan, terminal hingga perkampungan warga yang padat penghuni. Karena itu memang hanya penjahat yang bernyali besar yang masih nekad menjalankan aksinya. Mengingat resiko yang harus mereka dihadapi jika tertangkap warga.
Menurut Kriminolog dari Universitas Indonesia Muhammad Mustofa, ada 6 faktor mengapa warga melakukan aksi main hakim sendiri. Dan faktor terbesarnya adalah kekecewaan warga terhadap kinerja aparat hukum di negara ini. Polisi menurut Mustofa harus bertindak tegas, terutama dengan menyelidiki dan selanjutnya menindak secara hukum, pihak yang pertama kali memicu aksi kolektif tersebut.
Sementara menurut Sosiolog Imam Prasojo, aksi main hakim sendiri lebih dipengaruhi perasaan frustasi masyarakat terhadap kondisi bangsa yang morat marit. Terutama sektor perekonomian yang tak kunjung membaik dan kian menghimpit kehidupan ekonomi masyarakat.
Indikatornya, aksi ini banyak dilakukan warga dengan ekonomi kurang mampu. Walaupun begitu menurut Imam, tetap masih mungkin dicarikan jalan keluar. Yakni dengan membentuk sebuah lembaga yang berfungsi sebagai juru damai atau negosiator dalam setiap komunitas. Tinggal yang harus dipikirkan bagaimana lembaga tersebut independensinya mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Namun menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tjiptono, pihaknya sudah optimal menjalankan kewajibannya. Tidak ada pilih kasih atau perasaan takut dari aparatnya untuk bertindak tegas.
Tjiptono sependapat, bahwa yang paling bertanggungjawab dan menjadi target mereka dalam pengusutan kasus seperti ini adalah mereka yang menjadi pemicu awal. Polisi memang dibuat repot oleh aksi sepihak warga dalam menghadapi kejahatan di masyarakat.
Tidak saja dalam upaya mencegah warga tertidak anarkis. Tapi juga dalam mengusut kasus ini secara hukum, khususnya jika polisi tiba saat aksi belum terjadi. Tidak sebandingnya jumlah anggota polisi dan masyarakat, memang menjadi dasar pembelaan bagi polisi. Namun tetap saja, faktor pokoknya adalah lemahnya kesadaran hukum warga di satu pihak. Dan ketegasan aparat menegakan hukum di pihak lain.
Sinisme masyarakat terhadap institusi penegakan hukum terbilang luar biasa. Itu dibuktikan dengan menguatnya gejala main hakim sendiri (eigenrichting) di tengah masyarakat. Kasus maraknya dan menguatnya eigenrichting di tengah masyarakat seharusnya mengingatkan dan menyadarkan pengemban institusi peradilan. Sebab, main hakim sendiri jika dipahami secara filosofis sebenarnya suatu modus perbuatan yang melecehkan, merendahkan, dan menginjak-injak peran elemen peradilan seperti hakim.
Mereka itu sedang tak menaruh kredibilitas kepada kompetensi hakim sehingga memproduk hukum jalanan, atau menurut istilah J.K. Skolnick sebagai "peradilan tanpa pengadilan" (justice without trial). Dengan tangan, kaki, pentungan, pedang, parang, tombak, dan celurit, serta sejumlah senjata lain, mereka menghadirkan dan bahkan menyuburkan kekejian tangan-tangan kotor. Atau juga, praktik-praktik kebiadaban atas nama oposisi radikal terhadap praktik ketidakadilan dan perselingkuhan norma yang dilakukan elite penegak hukum.
Lantas, apalah arti gerakan politik pembaruan hukum kalau mental korup aparat peradilan masih lebih digdaya dan superior?
Dalam kaitannya dengan penegakan hukum terhadap para pelaku pelaku main hakim sendiri, sudah selayaknya aparat lepolisian harus mencegah dan menangkap sekelompok masyarakat yang sering melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan. Hanya saja upaya pencegahan dan penangkapan itu perlu disertai pembenahan pada institusi kepolisian, kejaksaan, dan juga pengadilan. Alasannya, tindakan main hakim merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga penegak hukum.
Polisi seharusnya berupaya mencegah tindakan main hakim. Itu dapat terjadi kalau polisinya sendiri berwibawa. Menurut Harkristuti, aparat Kepolisian seharusnya berupaya menangkap pelaku yang melakukan tindakan main hakim sendiri. "Mereka harus menangani. Jangan diam-diam saja. Harus bergerak, termasuk menangkap," tuturnya. "Hal itu memang agak sulit dilakukan, tetapi polisi harus tetap berupaya mencegah dan menangkap."
Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya Letkol (Pol) Zainuri Lubis pernah mengatakan, pelaku pengeroyokan bisa dituntut Pasal 351, 352, 353 juncto Pasal 53 KUHP. Jika korban tewas, pelakunya diancam hukuman penjara sekurang-kurangnya lima tahun (Kompas, 18/6/1999).
Jika upaya pencegahan dan penangkapan tidak dilakukan, ungkap Harkristuti, masyarakat menganggap kekerasan yang dilakukan dilegitimasi dan masyarakat terbiasa melakukannya. "Artinya, (main hakim sendiri) direstui. Ternyata, polisi diam-diam saja. Itu (main hakim sendiri) oke-oke saja," tambahnya.
Upaya pencegahan dan penangkapan itu perlu juga disertai upaya institusi Kepolisian sendiri untuk menjadi aparat Kepolisian yang berwibawa dan dapat menjadi pelindung masyarakat.
Sulit tembus Harkristuti dan Erlangga sependapat, gejala main hakim sendiri merupakan akibat hilangnya penegakan hukum yang adil. Masyarakat mencari keadilan dengan cara mereka masing-masing. "Masyarakat sulit menembus struktur hukum yang sudah terblokade. Kalau mau berurusan dengan polisi, jaksa, hakim, atau pengacara, masyarakat harus mengeluarkan biaya ekonomi dan biaya sosial," tuturnya.
Erlangga menjelaskan, biaya ekonomi itu menyangkut uang yang harus dikeluarkan masyarakat jika berurusan dengan aparat penegak hukum. Sementara biaya sosial berkaitan dengan rasa keadilan masyarakat yang tidak terpenuhi karena persoalan yang dihadapi belum tentu dapat diselesaikan. Oleh karena itu, menurut Erlangga, jika tindakan main hakim yang dilakukan masyarakat mau diatasi, aparat penegak hukum harus membersihkan dirinya. Aparat hukum, baik polisi, jaksa, dan hakim harus bersih dari masalah sogok menyogok dalam menyelesaikan kasus-kasus-kasus kejahatan.
"Polisi juga harus proaktif menangani kasus-kasus kejahatan dan kekerasan. Paradigma kerja polisi harus diubah, misalnya tidak melakukan kekerasan," tutur Erlangga. Jika hal itu tidak dilakukan, ungkap Erlangga, upaya pencegahan yang dilakukan polisi dalam menangani tindakan main hakim tidak akan efektif dan berhasil. "Bahkan, polisi dapat menjadi sasaran amukan masyarakat.
Sejumlah Kasus Main Hakim Sendiri
1. Dua pelaku perampasan sepeda motor tewas dibakar massa di Kalideres, Jakarta Barat.
2. Seorang penjambret di Solo tewas dibakar massa.
3. Alif Hendra, anggota TNI di Tangerang diamuk massa setelah ia menghalang-halangi mereka menangkap copet.
4. Husen Dalimunte (19) bersama rekannya Adi (19) dan Andi (18) dikeroyok warga sekitar Stasiun Kereta Api Pasarminggu, Jakarta Selatan karena diteriaki maling oleh empat pemuda yang tak jelas identitasnya. Husen akhirnya tewa.
5. Latun (35) warga Desa Ayam Las, Kecamatan Kroya, Jawa Tengah tewas akibat dibakar hidup-hidup oleh massa.
6. Dua orang tersangka perampok nyaris dibakar massa setelah gagal merampas tas milik Ny Wiwik Wahyu Wiyati (41), di Jalan Bendajaya Timur, Durensawit, Jakarta Timur.
7. Lopi Achmadi (26) tewas dikeroyok massa karena meminjam motor selama dua bulan dan kemudian diteriaki maling di daerah Pondokrangon, Jakarta Timur
8. Muhtar (27) warga Lampung Tengah, tewas dihakimi massa di Tangerang. Pengeroyokan massa berawal ketika seorang teman Muhtar bernama Adang (22) mencoba mengutil sebuah walkman di warung milik Sarijan (40).
(diolah dari Pusat Informasi Kompas)
BAB III
PENUTUP
Kondisi peradilan di Indoesia dalam penegakan hukum saat ini masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir untuk mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan.
Kekerasan terhadap pelaku kejahatan yang terjadi saat ini menunjukkan kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah dan bukan merupakan suatu budaya hukum masyarakat kita. Bahwa kesadaran hukum bukanlah budaya hukum karena budaya hukum yang baik akan melahirkan sebuah proses sosial, yaitu kesadaran hukum.
Beberapa faktor yang menimbulkan terjadinya tindakan main hakim sendiri (peradilan massa) diantaranya adalah perasaan tidak percaya masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, “Fenomena Main Hakim Sendiri”, dalam situs http://www.indosiar.com, diakses 30 Juni 2009.
Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL. M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni Bandung, 1999.
Donald Black, The Behaviour of Law, New York, USA, Academic Press, 1976.
Diagnostik Assesment of Legal Development in Indonesia, 1999, World Bank Project, Pengadilan Tinggi Siber Konsultan (Reformasi Hukum di Indonesia ) yang disusun oleh Kantor Konsultan Hukum A.B.N.R).
Hendarman Supanji, “Law Enforcement: Harapan dan Tantangan“ dalam situs www.setwapres.go.id, diakses 29 Juni 2009.
Lawrence M Friedman, What Is Legal System In America Law, (W.W. Norton & Company, 1984).
Lawrence Friedman, American Law, An Introduction, (W.W. Norton & Company, New York, 1984).
Muladi dalam kata sambutan,penerbitan buku R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001.
R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, (Jakarta: Penerbit Pusat Kajian Reformasi, 2001).
T. Gayus Lumbuun, "Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum”, Kompas, (online) Diakses Senin, 29 Juni 2009.
Zudan Arif Fakrullah, “Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas”, Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Mandisi Mata Kuliah Sosiologi Hukum ini dengan sebaik-baiknya. Dalam makalah ini penulis mengambil judul “FAKTOR-FAKTOR YANG MELAHIRKAN “PERADILAN MASSA” DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM”.
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis yang dimiliki dalam menyelesaikan makalah ini. Untuk itu saya mengharapkan saran dan kritik agar dalam pembuatan tugas/makalah selanjutnya dapat diperbaiki baik isi maupun sistem penulisannya.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukan, khususnya para akademisi bagi para pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Juni 2009
Penulis
Haetami
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 4
BAB II : ANALISIS PERMASALAHAN 5
A. Kondisi Peradilan di Indonesia Saat Ini 5
B. Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum 20
C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Praktik Main
Hakim Sendiri (Peradilan Massa) 13
BAB III : PENUTUP 24
DAFTAR PUSTAKA 25
USMAN AULIA
KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA
DILIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM
A. Tiga Pendekatan Terhadap Hukum
Terdapat 3 (tiga) jenis pendekatan terhadap hukum, sebagaimana dikemukakan oleh MAX WEBER sebagai berikut:
“…these three approaches are (1) a moral approach to law, (2) an approach from standpoint of jurisprudence, and (3) a sociological approach to law. Each of these approaches has a distinct focus on the relations among law and society and ways in which law should be studied”
(tiga pendekatan itu ialah, pertama pendekatan moral terhadap hukum; kedua, pendekatan dari kedudukan yurisprudensi; dan ketiga, pendekatan sosiologis terhadap hukum. Tiap pendekatan ini memiliki fokus yang berbeda dalam relasi antara masyarakat dengan hukum, serta dari cara bagaimana mempelajari hukum.
Sosiologi hukum menurut ACHMAD ALI (1998) menekankan kajian pada law in action atau hukum dalam kenyataan, sebagai refleksi tingkah laku manusia dengan menggunakan pendekatan empiris.
Jika seorang hakim memutuskan sebuah perkara dari dua belah pihak yang bersengketa atau yang terkena sengketa, maka dengan keputusan sang hakim yang bernuansa sosiologi hukum akan terciptalah rasa keadilan. Rasa keadilan tersebut secara efektif dapat memulihkan hubungan sosial diantara pihak-pihak yang bersengka dan keduanya dapat secara sadar dapat menarik manfaat dari perkara tersebut.
Hal demikian tidak mudah dilakukan tanpa mempelajari aspek-aspek sosiologi hukum secara empiris.
Sosiologi hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kehidupan antar manusia atau sesama manusia dari sisi hukum. Sosiologi hukum mempelajari masyarakat khususnya gejala hukum dari masyarakat tersebut.
Lebih jauh SATJIPTO RAHARDJO (1986) menjelaskan karakteristik studi hukum secara sosiologis menurut yaitu:
1. Sosiologi hukum mempelajari fenomena hukum yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya.
2. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan hukum. Bagaimana bunyi teks dari peraturan itu secara nyata, terang, sejelas-jelasnya
3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain, perhatian yang utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan penjelasan atau gambaran terhadap objek yang dipelajarinya.
Teori sosial mengenai hukum bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai hukum dengan mengarahkan pengkajiannya keluar dari sistem hukum. Istilah ‘sebab-sebab sosial’, dari pemaknaan hukum disiini ialah sebab-sebab yang hendak ditemukan dalam kekuatan-kekuatan budaya, politik, ekonomi atau sebab-sebab sosial yang lain.
Sedangkan pendekatan moral terhadap hukum menegaskan bahwa hukum berakar pada kepercayaan-kepercayaan tentang karakter alami manusia (the nature of human being) dan juga berdasarkan pada kepercayaan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Perhatian terhadap hukum terfokus pada tuntutan bahwa hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common morality) yang didasarkan pada suatu konsensus tentang apa yang secara moral dianggap salah atau benar. Jelas di sini bahwa tolok ukur yang digunakan bukanlah moralitas secara khusus atau moralitas eksklusif.
Selanjutnya pendekatan ilmu hukum (yurisprudensi) berpandangan bahwa hukum seharusnya otonom. Selanjutnya legitimasi dari pendekatan hukum bersandar pada kapasitasnya untuk membangkitkan suatu perangkat hukum yang bertalian secara logis (koheren) yang dapat diaplikasikan baik terhadap tindakan-tindakan individual ataupun terhadap kasus-kasus, sehingga dapat menimbulkan hal yang bersifat ambiguitas (bermakna ganda).
Baik pada pendekatan moral terhadap hukum maupun pendekatan ilmu hukum terhadap hukum, keduanya mempunyai kaitan dengan bagaimana norma-norma hukum membuat tindakan-tindakan bermakna dan tertib.
Pendekatan moral mencakup hukum dalam suatu arti yang mempertalikan konstruksi hukum dengan kepercayaan-kepercayaan serta asas yang mendasarinya dijadikan sebagai sumber hokum. Pendekatan ilmu hukum mencoba untuk menentukan konsep-konsep hukum dan hubungannya yang independen dengan nilai-nilai non hukum.
Kajian terhadap hukum dapat dibedakan ke dalam beberapa pandangan di antaranya bahwa selain kajian sosiologi hukum terdapat pula kajian normatif dan kajian filosofis. Jika dalam kajian empiris sosiologis memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kultur dan hal-hal empiris lainnya, maka kajian normatif memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normatif menekankan kajian pada law in books, hukum sebagaimana mestinya dalam kitab hukum. Di samping itu, kajian normatif pada umumnya bersifat preskriptif, yaitu sifat yang menentukan apa yang salah dan apa yang benar. Kajian normatif terhadap hukum antara lain ilmu hukum pidana positif, ilmu hukum perdata positif, ilmu hukum tata negara, dan lain-lain.
B. Fokus dan Obyek Utama Kajian Sosiologi Hukum
Apabila kita membuat konstruksi hukum dan membuat kebijakan-kebijakan untuk merealisir tujuan-tujuannya, maka sangat penting bahwa kita mempunyai pengetahuan empiris tentang akibat yang dapat ditimbulkan dengan berlakunya undang-undang atau kebijakan-kebijakan tersebut terhadap perilaku masyarakat. Sesuai dengan pendekatan sosiologis harus dipelajari undang-undang dan hukum itu, tidak hanya berkaitan dengan maksud dan tujuan moral etikanya dan juga tidak hanya yang berkaitan dengan substansinya, akan tetapi yang harus kita pelajari adalah yang berkaitan dengan bagaimana undang-undang itu diterapkan dalam praktik (secara empiris)
CURZON (1979) menjelaskan:
“The term ‘legal sociology’ has been used in some texts to refer to a specific study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from the operation of those rules”
(Istilah sosiologi hukum telah dipakai dalam beberapa tulisan ilmiah, yaitu merujuk pada studi khas dimana aturan hukum beroperasi/dilaksanakan, dan mengenai perilaku akibat pelaksanaan aturan-aturan tersebut)
Fokus utama pendekatan sosiologi hukum menurut GERALD TURKEL (ACHMAD ALI, 1998) adalah pertama, pengaruh hukum terhadap perilaku social; kedua, pada kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dalam “the sosial world” (dunia sosial) mereka; ketiga, pada organisasi sosial dan perkembangan sosial serta pranata hukum; keempat, tentang bagaimana hukum itu dibuat; kelima, tentang kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum.
Selanjutnya yang menjadi obyek utama kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh ACHMAD ALI (1998), sebagai berikut:
1. Menurut istilah DONALD BLACK (1976: 2-4) dalam mengkaji hukum sebagai Government Social Control, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam suatu kehidupan masyarakat. Hukum dipandang sebagai rujukan yang akan digunakan oleh pemerintah dalam hal, melakukan pengendalian terhadap perilaku warga masyarakat.
2. Persoalan pengendalian sosial tersebut oleh sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam pembentukan masyarakat. Sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral, agama, dan kaidah sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah bahwa sosiologi hukum, cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi pra kondisi sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan secara efektif.
3. Pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya.
4. Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Stratifikasi sebagai obyek yang membahas sosiologi hukum bukanlah stratifikasi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dengan teori grundnormnya, melainkan stratifikasi yang dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini dapat dibahas bagaimana dampak adanya stratifikasi sosial terhadap hukum dan pelaksana hukum.
5.
C. Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial
Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas maka lahirlah konsep law as a tool of social engineering yang berarti bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial, diupayakanlah pengoptimalan efektifitas hukum. Hal ini menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum (ACHMAD ALI, 1998).
Jadi fungsi hukum dalam hal ini bersifat pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool of social control. Sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of social engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Apabila kajian sosiologi hukum tentang bagaimana fungsi hukum, sebagai alat pengendalian sosial lebih banyak mengacu pada konsep-konsep antropologis (ilmu yang mempelajari suku bangsa), sebaliknya kajian sosiologi hukum tentang fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial lebih banyak mengacu pada konsep ilmu politik dan pemerintah.
ROSCOE POUND sebagai pencetus konsep law as o tool of social engereering, memandang bahwa problem utama yang menjadi perhatian para sosiolog hukum adalah untuk memungkinkan dan mendorong pembuatan hukum, juga menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum, serta untuk membuat lebih berharganya fakta-fakta sosial di mana hukum harus berjalan dan di mana hukum itu diterapkan (ACHMAD ALI, 1998). ROSCOE POUND memang harus diakui sebagai kekuatan pemikiran baru yang mencoba mengonsepsikan ulang bagaimana hukum dan fungsi hukum harus dipahami. Roscoe Pound merupakan ilmuan hukum yang terbilang orang pertama yang berani menganjurkan agar ilmu pengetahuan sosial didayagunakan demi kemajuan teori-teori yang diperbaharui dan dibangun dalam ilmu hukum (SOETANDYO WIGNJOSOEBROTO, 2002).
D. Kegunaan Sosiologi Hukum
Selanjutnya karakteristik dan kegunaan sosiologi hukum, menurut VILHELM AUBERT (1969), yaitu:
“Sociology of law is here viewed as a branch of general sociology, just like family sociology, industrial or medical sociology. It should not be overlooked, however, that sociology legitimately may also be viewed as auxiliary of legal studies, an aid in executing the tasks of the legal profession. Sociological analyses of phenomena which are regulated by law, may aid legislators or even the courts in making decisions. Quite important is the critical function of sociology of law, as an aid in enhancing the legal profession’s awareness of its own function in society. …Sociology is concerned with values, with the preferences and evaluations that underlie basic structural arrangements in a society”.
(Sosiologi hukum disini dipandang sebagai cabang dari sosiologi umum, seperti sosiologi keluarga, sosiologi industri atau sosiologi kedokteran. Seyogyanya juga bisa dilihat bahwa sebesarnya sosiologi itu sendiri adalah cabang dari studi-studi hokum, sebagai penolong dalam hal pelaksanaan profesi hukum. Analisis sosiologis dari suatu fenomena (apa saja), yang diatur oleh hukum, bisa menolong anggota legislatif atau pengadilan untuk membuat keputusan. Sangat penting disini ialah fungsi kritis dari sosiologi hukum, sebagai penolong dalam memperkuat kehati-hatian profesi hukum pada (dunia) masyarakatnya sendiri…. Sosiologi selalu berkaitan dengan nilai-nilai, dengan preferensi dan evaluasi dimana terletak penataan struktur-struktur dasar dalam suatu masyarakat.
Sosiologi hukum memperkenalkan banyak faktor-faktor non hukum yang mempengaruhi perilaku hukum tentang bagaimana mereka membentuk dan melaksanakan hukum. Dalam hal ini sosiologi hukum menekankan pada penerapan hukum secara wajar atau patut, yaitu memahami aturan hukum sebagai penuntun umum bagi hakim, yang menuntun hakim menghasilkan putusan yang adil, dimana hakim diberi kebebasan dalam menjatuhkan putusan terhadap setiap kasus yang diajukan kepadanya, sehingga hakim dapat menyelaraskan antara kebutuhan keadilan antara para pihak atau terdakwa dengan alasan umum dari warga masyarakat.
Menurut BAUMGARTNER (DENNIS PATTERSON, 1999):
“Sociology is the scientific study of social life, and the sociology of law is accordingly the scientific study of legal behavior. Its mission is to predict and explain legal variation of every kind, including variation in what is defined as illegal, how cases enter legal system, and how cases are resolved”.
(Sosiologi ialah studi ilmiah tentang kehidupan sosial, dan sesuai dengan itu maka sosiologi hukum adalah studi ilmiah mengenai perilaku hukum. Misinya tak lain untuk memprediksi dan menjelaskan variasi hukum dalam berbagai jenis, termasuk variasi yang didefinisikan sebagai illegal, bagaimana kasus-kasus memasuki sistem hukum dan bagaimana kasus-kasus tersebut diselesaikan).
Sosiologi hukum menggunakan fakta-fakta tentang lingkungan sosial di mana hukum itu berlaku. Kajian ini bekerja untuk menemukan prinsip-prinsip sosial yang mengatur bagaimana hukum bekerja secara konkrit di dalam praktik. Sekalipun demikian, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-fakta hukum yang ada akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta hukum itu sesungguhnya terjadi dan apa penyebabnya. Sebagaimana penegasan BAUMGARTNER (DENNIS PATTERSON, 1999):
“As a scientific enterprise, the sociology of law is not in a potition to pass judgment on the facts it uncovers. Those facts, however, often possess great moral relevance for participants and critics of a legal system”.
Pandangan sosiologi hukum pada dasarnya adalah hukum hanya salah satu dari banyak sistem sosial dan sistem-sistem sosial lain yang juga ada di dalam masyarakatlah yang banyak memberi arti dan pengaruh terhadap hukum. Dengan menggunakan pandangan yang sosiologis terhadap hukum, maka akan menghilangkan kecenderungan untuk selalu mengidentikkan hukum sebagai undang-undang belaka, seperti yang dianut oleh kalangan positivis atau legalistik.
Titik tolak sosiologi hukum sebagaimana dinyatakan oleh LAWRENCE M. FRIEDMAN (1975), beranjak dari asumsi dasar:
“The people who make, apply, or use the law are human beings. Their behavior is social behavior. Yet, the study of law has proceeded in relative isolation from other studies sciences”.
Asumsi dasar yang menganggap bahwa orang yang membuat, menerapkan dan menggunakan hukum adalah manusia. Perilaku mereka adalah perilaku sosial. Inilah yang perlu dipahami bahwa hukum bertujuan untuk manusia dan bukan hukum bertujuan untuk hukum.
E. Pengadilan dan Pakar Sosiologi Hukum
Dalam kajian sosiologi hukum, eksistensi pengadilan tidak mungkin netral atau otonom. Bagaimanapun wajar bila pengadilan yang berada pada suatu negara, memiliki keberpihakan pada ideologi dan “political will” negaranya. Oleh karenanya, adalah tidak aneh bagi sosiologi hukum jika pengadilan menjadi ”alat politik” sebagaimana dinyatakan oleh CURZON (1979):
“…the core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies and judges as political actors…”
Oleh karena itu, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum, sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang juris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji dan menganalisis fenomena hukum tadi, melainkan ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial (ACHMAD ALI, 1998).
Yuliana Azhari
BAB I
PENDAHULUAN
Perdebatan mengenai poligami, hingga saat ini masih terasa hangat. Pro dan kontra yang terjadi pun, menarik perhatian pemerintah untuk mengatasinya. Salah satunya dengan merevisi UU tentang poligami.
BAB I I
PERMASALAHAN
Poligami Menurut Islam
Sebenarnya sejak zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, poligami telah banyak dilakukan. Bedanya pada zaman sebelum Rosulullah, suami bebas menikah dengan berapapun banyak istri. Tapi pada zaman Rosulullah, Allah SWT membatasi dalam batasan jumlah maksimal empat orang istri.
A. Kenapa Banyak terjadinya Poligami ?
B. Bagaimana Mengatasi Poligami tersebut ?
BAB I I I
PEMBAHASAN
Pengertian Sosiologi Hukum
Untuk memberikan pengertian Sosiologi Hukum, ada empat pendapat yang mempunyai kapasitas keilmuan di bidang Sosiologi Hukum. Hal itu diungkapkan sebagai berikut :
1. Soerjono Soekanto
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbale balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.
2. Satjipto Rahardjo
Sosiologi Hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum terhadap pola perilaku masyrakat dalam konteks sosialnya.
3. R. Otje Salman
Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
4. HLA Hart
HLA Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosilogi hukum. Namun definisi yang dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Hart mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hukum mengandung unsur-unsur kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan tambahan (secondary rules). Aturan utama merupakan ketentuan informal tentang kewajiban-kewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup, sedangkan aturan tambahan terdiri atas (a) rules of recognition, yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang diperlukan berdasarkan hirearki urutannya, (b) rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan utama yang baru, (c) rules of adjudication, yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada orang perorangan untuk menentukan sanksi hukum dari suatu aturan utama dilanggar oleh warga masyarakat. Berdasarkan pengerian di atas, disimpulkan bahwa segala aktivitas social manusia yang dilihat dari aspek hukumnya disebut sosiologi hukum.
Arti Poligami
Sebagai golongan yang kontra , (kebanyakan dari kaum perempuan) tak rela dimadu atau ada yang sangat membenci adanya poligami. Namun juga ada yang mendukung adanya poligami. Mereka memiliki pemahaman yang berbeda dengan golongan yang kontra poligami.
Sebenarnya, bagaimanakah poligami dalam kehidupan manusia pada zaman dahulu? Poligami adalah hal yang dilakukan orang sejak zaman Nabi Muhammad diutus menjadi Rosul. Bedanya, poligami yang dilakukan sebelum Rosulullah tidak memiliki batasan berapa banyak jumlah istri yang baleh dinikahi. Namun ketika Muhammad SAW diutus sebagai Rosul, Allah SWT kemudian menurunkan ayat yang membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi.
Namun, mengapa akhir-akhir ini terjadi polemik yang menjadi perbincangan public? Menurut saya, kondisi saat ini dipengaruhi oleh sebagian perempuan yang telah memiliki tingkat pendidikan tinggi. Dengan pendidikan tersebut jelas akan mempengaruhi gaya berpikir mereka. Sekarang perempuan bisa memegang jabatan rector, direktur, bos, pengusaha, anggota dewan, dan lain-lain. Perubahan ini membuat pergeseran pemikiran yang selama ini diidentikan kepada kaum perempuan yang selalu ikut apa kata suami. Namun sekarang terkadang malah terbalik, suami mengikuti apa kata perempuan .
Selain itu. Isu-isu gender yang semakin marak, ikut membawa terjadi pergeseran nilai. Mereka menuntut adanya persamaan hak hidup dengan laki-laki. Diskusi, musyawarah, pertemuan, kajian pun telah sering dilakukan oleh kaum perempuan, baik tingkat local maupun internasional. Sehingga wawasan dan pemikiran mereka menjadi lebih terbuka dan maju.
Maka tak heran, di Indonesia ketika terjadi pernikahan kedua Aa’ Gym yang terkenal sebagai da’i bahkan memiliki penggemar yang sebagian besar kaum perempuan, poligami menjadi perbincangan public. Kaum perempuan yang selalu mendengarkan ceramahnya yang santun dan menyentuh hati mendadak terkaget dengan pernikahan keduanya yang tidak banyak diketahui public. Ada yang marah, jengkel, sedih sebagai ekspresi kekecewaan mereka. Sampai-sampai saya pernah mendengarkan lagu di internet yang berisi tentang ejekan dan sindiran kepada Aa’ Gym atas jalan hidup berpoligaminya. Namun juga ada yang tetap dengan bijak menyingkapi pilihan rumah tangga yang dijalankan Aa’ Gym itu.
Bahkan pemerintah pun turun tangan mengatasi polemik di masyarakat. Melalui Mentri Meutia Hatta, melakukan konsolidasi untuk merevisi UU tentang poligami yang selam ini ditetapkan. Poligami yang selama ini dipahami dan dipraktekan oleh sebagian orang harus diberikan pemahaman yang lebih komprehansif dan memberikan syarat-syarat khusus yang ketat bagi para pelaku poligami.
Perdebatan tentang poligami masih terus berlanjut. Karena memang pemahaman masyarakat terhadap poligami yang berbeda-beda. Namun, bagaimanapun poligami telah diatur dalam UU baik Syariat Islam maupun hokum Negara, sehingga suami yang ingin berpoligami harus mentaati keduanya.
Poligami Menurut Islam
Allah berfirman :
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-anita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Sebuah ulasana di situs www.swaramuslim.net menjelaskan, bagaimanakah sebenarnya aturan Islam soal ini?Aturannya memang sudah jelas, mau ditafsirkan apapun, Allah telah menyatakan memperbolehkan laki-laki menikahi wanita sampai empat orang dengan syarat bisa berlaku adil.
Ada memang penafsiran bahwa dalam ayat lain, Allah juga menyatakan tidak ada seorangpun yang mampu berlaku adil, sehingga hak untuk berpoligami tersebut pada dasarnya tidak bisa dipakai. Dalam surat An-Nisa ayat 129.
Penafsiran tersebut sebenarnya bisa kita jawab dengan bertanya :”Bagaimana mungkin di suatu ayat Allah membolehkan poligami asal bisa berlaku adil, namun di sisi lain menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mampu berlaku adil? Maka disini yang justru harus dipertanyakan terhadap kata “ADIL”. Tindakan poligami adalah tindakan yang kasuistis. Orang bisa saja mengeneralisasikan misalnya karena jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki atau untuk menolong wanita miskin atau janda-janda sengsara, sama saja dengan sebaliknya para penantangnya mengeneralisasikan alasan poligami karena dominasi dan nafsu laki-laki.
Tentu saja semua alas an tersebut bisa dijadikan alasan untuk berpoligami, namun kesalahan hanya terletak pada tindakan mengeneralisasikan hal tersebut.
Sejarah kemanusiaan sering mendukung adanya tindakan poligami, jumlah laki-laki yang memang berkurang akibat peperangan besar, atau seperti yang terjadi di Amerika Serikat saat ini, menggejalanya homoseksual membuat kaum wanitany “kekurangan jodoh”, namun kondisi zaman yang mendukung tersebut tidaklah menghilangkan akibat negative poligami. Sebaliknya poligami yang dilakukan dalam kondisi “aman-aman saja” dengan menikahi wanita cantik menarik hati dan muda belia juga belum tentu berakibat menimbulkan akibat negative. Allah menetapkan keputusan-Nya pasti demi kebaikan kita semua, baik laki-laki maupun wanita. Poligami sudah dipraktekan manusia sejak zaman dahulu kala, selain menimbulkan akibat negative juga banyak menimbulkan akibat positif. Itu fakta yang tidak bisa kita tolak, apapun pandangan kita terhadapnya. Adil atau tidak hanya bisa kita buktikan apabila melihat kasus poligami secara kasus per kasus.
Tapi yang pasti, apabila Allah telah menetapkan suatu ketentuan terhadap umat manusia, maka Allah tentunya sudah mendesain semua hal yang terkait untuk mendukung hal tersebut. Pemberian hak kepada kaum laki-laki untuk berpoligami tentunya didukung oleh “desain” laki-laki yang mampu menerima wanita lebih dari satu wanita. Ketetapan Allah terhadap wanita yang hanya boleh memiliki satu suami dalam waktu yang sama juga pasti didukung oleg “desain” wanita yang memang hanya sanggup menerima dan memberi kepada satu laki-laki saja.
Apabila ada tindakan menyimpang dari hal tersebut maka dipastikan akan menimbulkan masalah terkait dengan “desain” tersebut. Al Qur’an menyampaikan bahwa kita harus berprasangka baik kepada Allah, termasuk kepada apapun yang Dia putuskan.
BAB I V
KESIMPULAN
KESIMPULAN
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri ( dari kecurangan ) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisa : 129).
Ditinjau dari Aspek Sosiologi Hukum :
Dengan adanya perbuatan poligami maka cenderung banyak mudharat nya karena meningkatnya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), banyak kaum wamita yang tersakiti dan tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga sehingga pelanggaran terhadap norma-norma hukum semakin meningkat, karena kurangnya pertanggungjawaban suami sebagai Kepala Keluarga.
BAB V
PENUTUP
Demikianlah dalam kasus poligami, seringkali istri tidak mau tahu lagi dengan segala persoalan yang berhubungan dengan perkara poligami terutama soal nafkah. Kemungkinan juga istri tidak mengetahui kemana harus mengadu dan mengurusnya.
Bila hal ini terjadi pada Anda, Anda bisa meminta bantuan kepada beberapa lembaga terdekat yang peduli pada persoalan seperti itu :
Diantaranya :
1. Lembaga Bantuan Hukum (terutama untuk perempuan).
2. Lembaga lain yang membidangi persoalan perempuan.
3. Lembaga-lembaga Konsultasi Perkawinan.
4. Pengadilan yang memberikan izin suami Anda berpoligami.
Rabu, 08 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar