A. Pendahuluan
Hukum adalah pelembagaan aturan ketika masyarakat menyadari bahwa kekuasaan setiap individu perlu dikontrol. sehingga hak dan kewajiban tidak ditentukan oleh yang berkuasa melainkan oleh yang diakui bersama sebagai suatu kebenaran. Politik adalah permainan kekuasaan. Dalam masyarakat yang tidak berhukum (hukum rimba), melarat dan berbudaya rendahpun, politik tetap ada. Didalamnya terdapat segala cara untuk meningkatkan kekuasaan individu atau kelompok. Ekonomi adalah sistem bagaimana milik berpindah dari satu individu kepada individu yang lain. Sejalan dengan prinsip bahwa suatu usaha pasti akan menghasilkan sesuatu pertambahan nilai (bila dilaksanakan secara benar), maka sistem ini berpotensi menaikkan tingkat hidup atau kesejahteraan masyarakatnya. Budaya adalah nilai nilai bersama dari suatu masyarakat yang berkembang
sejalan dengan kesadaran masyarakat tentang hal yang baik, yang luhur, yang indah dsb. Didalamnya termasuk nilai nilai moral, agama, sopan santun, seni, pendidikan dsb.
Ke empat hal di atas, merupakan indikator kesuksesan dalam sebuah
masyarakat atau suatu bangsa. Masing masing berurutan dan secara umum tidak bisa dibolak balik. Namun satu sama lain saling mempengaruhi. Suatu bangsa yang sedang berkembang maju, tujuan akhirnya adalah kemajuan budaya, karena di situ terletak ‘gengsi’ suatu masyarakat. Bila direduksi sampai menjadi individual, maka budaya ini bisa diumpamakan sebagai ‘dignity’ atau kemuliaan jiwa seseorang. Di dalam kata ‘budaya’ terkandung supremasi perkembangan manusia dalam tahap perkembangan paling tinggi. Di dalamnya terkandung makna peradaban (civilization), yang membuatnya terletak pada titik yang paling jauh dari dunia margasatwa. Karena memandang pentingnya itu saya dari semula berbusa-busa berbicara
tentang perkembangan pemahaman tentang nilai nilai yang ada didalam agama, Islam pada khususnya. Pada hemat saya, bila perkembangan budaya sudah mencapai tahap tertentu, maka urusan ekonomi, hukum dan politik akan mengikuti dan selesai dengan mudahnya. Ternyata saya terlalu lugu (selugu GusDur yang diakuinya sendiri). Terbukti tidak semudah itu menaikkan ‘harkat’ manusia Indonesia. Usaha-usaha kearah itu, terjungkal di awal, ketika Gus Dur yang bercita-cita tinggi tentang tahap keempat itu malah tersandung kerikil ketika baru menapaki tahap politik. Ia bahkan belum sempat sama sekali berkiprah tentang tahap kedua, Hukum dan tahap ketiga, Ekonomi. Keempat empatnya memang seperti benang ruwet empat warna. Kalau kita ingin mengurainya, jelas harus bersama-sama. Tetapi sebetulnya paling realistis adalah melalui tahapan yang berurutan, yaitu hukum, politik, ekonomi dan yang terakhir baru budaya.
Pada tahap perkembangan masyarakat yang masih sedang mencari seperti di Indonesia ini, ketika oleh GusDur masyarakat dituntut untuk ‘berbudaya’, ternyata terbukti gagal karena orang-orang yang di parlemennya saja masih belum ‘sampai’ pada tingkat itu. Maka apa yang dilakukan Gus Dur seperti mencoba berkata-kata dengan kawanan manusia pada tingkat perkembangan yang paling dini, setingkat di atas hewan. Beberapa kali Gus Dur akhirnya mengakui dan menyesali bahwa ia terlalu memandang remeh kekuatan lawan-lawan politiknya itu, bisa dipahami bahwa sebetulnya ia justru terlalu memandang ‘tinggi’ mereka, terlalu mengganggap maju perkembangan ‘kultur’ mereka. Menyesalnya Gusdur adalah karena ia tidak berbekal senjata ketika mengajak para serigala berbicara dalam bahasa manusia. Begitulah persoalannya. Gus Dur terlalu menganggap ‘mulia’ kultur mereka. Kalau itu disebut kesalahan GusDur?, saya setuju sepenuhnya.
Selanjutnya, apakah sejarah harus berhenti?. Tidak boleh berhenti !. Bangsa ini lebih dari cerita tentang GusDur semata. Harus mencoba bangkit kembali dengan memperhatikan keempat tahapan menguraikan benang ruwet tadi. Nampaknya Mega sudah mulai dengan ‘berpolitik’. Ia mulai merangkul semua serigala dan menganggap mereka semua adalah kawannya. Ia akan ikut menyeringai seperti serigala juga. Ia akan ikut hanyut dahulu. Ilustrasi serigala berbulu domba untuk menggambarkan Taufik Kiemas berwajah Mega, sungguh tepat sekali.
Mega akan mempersenjatai diri dengan lebih aman, tidak ‘tangan kosong’ seperti GusDur dulu. TNI Polri juga dirangkul. Ini jelas konsekuensi logis dari melewati tahap politis tadi. Kalau tidak, serigala-serigala akan menyeretnya turun. Setelah itu, baru bisa dilihat, apakah Mega langsung ke tahap ke tiga (ekonomi) dan mempergendut pribadi ataukah merapihkan hukum lebih dahulu. Bila merapihkan hukum lebih dahulu, berarti Mega pada jalur yang benar. Bila ekonomi lebih dahulu, berarti era konglomerasi ditangan satu orang era Suharto terjadi lagi. Tahap kedua dan tahap ketiga tidak boleh dibolak balik satu sama lain. Itu juga merupakan indikasi Mega ini hitam atau putih. Entah berapa tahun kemudian, setelah ekonomi pulih, baru usaha emperbaiki budaya dilakukan. Saat ini, memang tepat bila GusDur sebagai Guru Bangsa memberi sinyal sinyal tentang arah yang benar dari luar sistem, bukan dari dalamnya. Saya sebetulnya memang pesimis dengan Mega. Tetapi sebaiknya kita tidak bermain balas membalas antara GusDur dan Mega dengan lontaran esimisme dan cacian yang tidak positif mambantu. Mengapa?. Karena serigala-serigala itu MASIH disana. Menunggu dengan sabar untuk memakan sapi kita dan bisa menghilang dengan licik di kegelapan malam tanpa tercium jejak. Yang ada hanya lolongan seram di kejauhan yang acapkali terdengar seperti bunyi bom, bunyi bedil di pelipis hakim, kebakaran tiba-tiba, kerusuhan-kerusuhan,
bantai-bantaian antar etnis, teriakan ‘Tuhan maha besar’ yang dijadikan bungkus kekerasan, dan mungkin akan banyak lagi yang tak berani saya
membayangkannya. Segera, tahap kedua: tahap Hukum, harus dimasuki. Bila tidak sekarang, kapan tahap ekonomi yang ditunggu rakyat lapar bisa segera dimasuki?. Apalagi tahap budaya, di mana ada kultur badut-badut senayan yang memanipulasi penafsiran konstitusi untuk menjatuhkan presiden (asal jatuh). Lalu dianggapnya sebagai kepentingan politik yang harus lebih diutamakan daripada kemuliaan peradaban manusia. Memang masih jauh kalau serigala diminta supaya semulia manusia. Tapi harus ada langkah awal untuk semua perjalanan, betapapun jauhnya.
B. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia2)
Pengantar1)
1. Pada tanggal 3 -13 Nopember 2003 para Uskup dari seluruh Indonesia berkumpul dalam Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia. Dalam kegembiraan dan harapan, keprihatinan dan kecemasan, para Uskup saling bertukar pikiran dan berbagai pengalaman mengenai salah satu cita-cita bangsa yang terumus dalam sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia. Karena bidang ini amat luas, maka pembahasan dipusatkan pada keadilan dalam aspek sosial politiknya. Segi ini dinilai paling sesuai dengan tuntutan keadaan saat ini.
2. Para Uskup tidak bekerja sendiri. Nota Pastoral ini disusun dengan keterlibatan aktif kaum awam, baik sebagai narasumber dalam sidang maupun lewat tanggapan-tanggapan terhadap naskah awalnya.
3. Melalui Nota Pastoral ini mau disampaikan hasil-hasil pengamatan dan pembelajaran bersama yang dijalankan oleh para Uskup. Kiranya umat dapat menggunakan gagasan-gagasan ini sebagai bahan pembelajaran bersama dalam kelompok- kelompok. Melalui proses ini, diharapkan agar umat akan terbantu untuk menentukan sikap yang benar serta pilihan yang tepat, termasuk pilihan-pilihan politik.
4. Nota Pastoral ini dibangun menurut pola yang lazim disebut Lingkaran Pastoral suatu bentuk proses pembelajaran yang berlangsung melalui langkah-Iangkah berikut ini: pertama-tama disajikan gambaran yang mencerminkan keadaan hidup sosial politik di Indonesia. Selanjutnya cerminan itu ditelaah melalui kacamata ilmu-ilmu sosial, dilanjutkan dengan telaah dari sudut pandang etika politik dan perspektif pastoral. Pembicaraan tidak berhenti pada wacana, tetapi sampai pada hal-hal nyata yang sungguh-sungguh akan dikerjakan.
Masalah dan Keprihatinan
5. Salah satu prasaran dengan tegas menyatakan hancurnya keadaban di Indonesia, lebih khusus lagi hancurnya keadaban politik. Berbagai masalah yang timbul di bidang ekonomi, agama, hukum, kebudayaan, pendidikan, lingkungan hidup alami dan manusiawi di lihat sebagai akibat dari keburaman dunia politik bangsa. Yang diharapkan pada awal Orde Reformasi ternyata tidak terpenuhi, meskipun harus diakui bahwa ada beberapa perubahan. Ada kebebasan pers, kebebasan mengungkapkan pendapat dan kebebasan berserikat. Tetapi banyak masalah justru menjadi semakin parah. Salah satu yang amat mencolok adalah hilangnya cita rasa dan perilaku politik yang benar dan baik.
6. Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan tanggungjawab itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, fairness, demokrasi, kesetaraan dan cita rasa tanggung-jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tetapi dalam banyak bidang prinsip-prinsip itu tampaknya makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh banyak orang, termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak- pihak yang punya sumber daya serta berpengaruh di negeri ini. Yang berlangsung sekarang, politik hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi dan keuntungan finansial bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat seringkali hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan kekuasaan tersebut. Terkesan tidak ada upaya serius untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Bukan kepentingan bangsa yang diutamakan, melainkan kepentingan kelompok, dengan mengabaikan cita- cita dan kehendak kelompok lain. Dalam konteks ini agama menjadi rentan terhadap kekerasan. Simbol-simbol agama pun dijadikan alat untuk mencapai kepentingan politik. Kecenderungan membangun sekat-sekat menjadi semakin nyata. Dengan demikian pertimbangan kebijakan politik tidak terarah pada warga negara sebagai subyek hukum. Bangsa hanya dianggap sebagai kelompok- kelompok kepentingan itu. Politik terasa semakin menyengsarakan rakyat, membuat banyak orang tidak percaya lagi terhadap mereka yang memegang kendali pemerintahan serta sumber daya ekonomi dan mengikis rasa saling percaya di antara warga terhadap sesamanya. Hasilnya adalah sikap masa bodoh pada banyak orang terutama kaum muda dan kelompok terpelajar.
7. Politik kekuasaan semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan kebenaran dan keadilan. Penegakkan hukum juga terabaikan. Akibatnya, kasus-kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) tidak ditangani secara serius, bahkan makin merajalela di berbagai wilayah, lebih- lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah. Otonomi daerah yang dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kekayaan, fasilitas dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi KKN, antara lain karena kurang tepat saat, laju dan cakupannya. Politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari politik uang. Politik uang yang sebetulnya merupakan bentuk kejahatan, dijadikan alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dengan politik uang itu rakyat ditipu, kepercayaan rakyat dikhianati, justru oleh orang-orang yang mempunyai otoritas politik dan ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan demikian martabat bangsa tidak dihormati dan kedaulatan rakyat dirampas untuk menjamin kepentingan pribadi atau kelompok? Uang menentukan segala-galanya dan membusukkan politik. Peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum dengan mudah ditaklukkan oleh mereka yang mempunyai sumber daya keuangan. Akibatnya, upaya untuk menegakkan tatanan hukum yang adil dan pemerintah yang bersih tak terwujud. Ketidakadilan semakin dirasakan kelompok- kelompok yang secara struktural sudah dalam posisi lemah, seperti perempuan, anak-anak, orang tua, orang cacat, kaum miskin. Sebagai contoh, pelanggaran terhadap martabat perempuan dalam bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan terus berlangsung di banyak tempat, bahkan tanpa sanksi hukum. Selain itu penipuan terhadap rakyat kecil banyak sekali dilakukan justru oleh orang-orang yang memahami hukum dan bertanggung-jawab untuk menegakkannya.
8. Dengan demikian suasana persaingan antar kelompok dan antar pribadi menjadi semakin tajam. Suasana itu menumbuhkan perasaan tidak adil, terutama ketika berhadapan dengan perpecahan masyarakat dalam pengelompokan kelas ekonomi. Perasaan diperlakukan tidak adil itu menyuburkan sikap tertutup dan perasaan tidak aman bagi setiap orang. Orang lain atau kelompok lain akan dianggap 'sebagai ancaman yang akan mencelakakan dirinya atau kelompoknya. Perasaan terancam ini diperparah dengan sistem ekonomi yang menciptakan kerentanan dalam lapangan kerja. Kinerja ekonomi selalu menuntut pembaharuan. Pembaharuan terus menerus menuntut orang menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan baru yang tidak selalu mengungkapkan nilai-nilai keadilan. Mereka yang tidak memenuhi tuntutan struktur ekonomi baru akan terlempar dari pekerjaan karena tidak mampu memenuhi standard baru tersebut. Angka pengangguran semakin tinggi, karena rendahnya investasi di sektor ekonomi riil yang mengakibatkan tidak terciptanya lapangan kerja. Pengangguran tidak hanya mengakibatkan tak terpenuhinya kebutuhan ekonomi, melainkan juga memukul harga diri.
9. Tatanan ekonomi yang berjalan di Indonesia mendorong terjadinya kolusi kepentingan antara para pemilik modal dan pejabat untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu bersama dengan para politisi yang mempunyai kepentingan untuk mendapatkan uang dengan mudah. Akibatnya antara lain pengurasan dan perusakan lingkungan hidup yang menyebabkan malapetaka. Yang menjadi korban akhirnya adalah rakyat kecil juga. Penggusuran yang tidak manusiawi dan menimbulkan banyak penderitaan juga tidak lepas dari bertemunya kedua kepentingan tersebut.
Mencari Akar Masalah
10. Keadaan yang memprihatinkan ini, - dalam iman, harapan dan kasih - perlu dipandang dan diterima sebagai tantangan untuk terus berjuang penuh harapan, bekerjasama dan solider membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera. Dalam usaha membangun masa depan itu, perlulah dicari akar-akar masalahnya. Akar yang terdalam ialah bahwa iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Pernyataan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan di bibir tetapi tidak dilaksanakan secara konkrit. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan dan pembaharuan hati serta budi, seperti diserukan para Nabi dan Yesus sendiri.
12. Yang kedua adalah kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan yang menjadi daya pendorong politik kepentingan yang amat membatasi ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran serta warga negara sebagai subyek. Ruang publik disamakan dengan pasar. Yang dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Manusia hanya diperalat cenderung diterapkan diskriminasi dan kemajemukan pun diabaikan. Dengan kata lain manusia hanya dihargai dari manfaatnya, terutama manfaat ekonomisnya. Maka dengan mudah mereka yang lemah, yang miskin, yang kumuh dianggap tidak berguna dan tidak mendapat tempat. Tekanan pada nilai kegunaan ini tidak hanya bertentangan dengan martabat manusia, melainkan juga mengikis solidaritas. Yang berbeda - entah berbeda agama, suku atau perbedaan yang lain - dianggap menjadi halangan bagi tujuan kelompok. Penyelenggaraan negara dimiskinkan hanya menjadi manajemen kepentingan kelompok- kelompok. Politik dagang sapi menjadi bagian manajemen itu dengan akibat melemahnya kehendak politik dalam penegakkan hukum.
13. Yang ketiga yaitu nafsu mengejar kepentingan sendiri / kelompok bahkan dengan mengabaikan kebenaran. Meluasnya praktek korupsi tidak lepas dari upaya memenangkan kepentingan diri dan kelompok. Ini mendorong terjadinya pemusatan kekuasaan dan lemahnya daya tawar politik berhadapan dengan kepentingan-kepentingan pihak yang menguasai sumber
11. daya keuangan, terutama sektor bisnis. Akibatnya, bukan proses politik bagi kebaikan bersama dan mengelola cita-cita hidup bersama yang berkembang. Sebaliknya kekuatan finansial yang mendikte proses politik. Lembaga pengawas yang diharapkan menjadi penengah dalam perbedaan kepentingan ini, justru merupakan bagian dari sistem yang juga korup ini. Akibatnya politik pun menjadi tidak mandiri lagi. Politik ada di bawah tekanan kepentingan mereka yang menguasai dan mengendalikan operasi-operasi pasar. Apalagi partai-partai politik membutuhkan dana besar untuk memenangkan Pemilihan Umum. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa para politisi partai banyak yang berpaling kepada para pengusaha untuk meraih dukungan keuangan. Akibatnya, hukum pasar, sekali lagi menjadi penentunya. Etika politik seperti tidak berdaya, dicekik oleh nilai-nilai pasar, persaingan yang tidak terkendali dan janji keuntungan ekonomi.
14. Yang keempat, cara bertindak berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala cara. Ketiga tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar, karena apa yang merupakan cara diperlukan sebagai tujuan. Dalam logika ini, ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, terror dan cara-cara immoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Akibatnya tidak sedikit pelaku kejahatan politik, provokator menikmati tiadanya sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai baik dan buruk yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah. Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama juga disebabkan dan sekaligus menghasilkan penumpulan hati nurani.
Etika Politik dan Tanggung-jawab Politik
15. Berhadapan dengan gejala-gejala tersebut, cita-cita untuk ikut membangun masa depan yang lebih baik perlu ditumbuh-kembangkan. Perasaan sebangsa menghidupkan semangat untuk mencapai tujuan bersama itu. Cita-cita Proklamasi, kesepakatan nasional dan tujuan negara yang terwujud dalam kehendak untuk merdeka serta perjuangan untuk merebut kemerdekaan itu, per1u terus menerus disadari kembali. Kesepakatan nasional para pendiri negara adalah Pancasila yang merupakan landasan bersama dalam kehidupan bersama, dibutuhkan nilai-nilai dan pemahaman sejarah suatu komunitas. Kesadaran politik yang peduli terhadap etika tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah komunitas. Penerimaan Pancasila sebagai landasan politik bernegara tidak hanya menjadi peristiwa politik, tetapi juga peristiwa moral. Peristiwa itu ditandai dengan usaha setiap kelompok komponen bangsa untuk mengatasi sekat- sekat agama dan kedaerahan masing-masing. Ini adalah bentuk kesadaran moral yang merupakan rasa hormat terhadap hak-hak, nilai-nilai, dan prinsip- prinsip yang disepakati bersama demi kesejahteraan umum.
16. Pengharapan akan masa depan yang lebih baik juga bertumpu pada warga negara yang masih mempunyai kehendak baik. Meskipun semakin tampak bahwa politik di negeri ini dijalankan dengan mengabaikan etika politik, namun masih ada keinginan besar untuk berubah. Selain itu politik yang tidak beradab serta tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan tanggapan balik protes yang akan mengusik setiap warga negara yang peduli akan penderitaan mereka. Sementara itu pertarungan kekuatan dan pertentangan kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam itu tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik.
Beberapa Prinsip Etika Politik
17. Dengan mempertimbangkan kenyataan sosial politik di Indonesia, prinsip-prinsip berikut ini mendesak untuk dilaksanakan.
17.1. Hormat terhadap martabat manusia. Prinsip ini menegaskan bahwa manusia mempunyai nilai dalam dirinya sendiri dan tak pernah boleh diperalat. Bukankah manusia diciptakan menurut Citra Allah, diperbaharui oleh Yesus Kristus yang dengan karya penebusanNya mengangkat manusia menjadi anak Allah? Istilah SDM (=Sumber Daya Manusia) yang sering digunakan tidak boleh mengabaikan kebenaran bahwa nilai manusia tidak hanya terletak dalam kegunaannya. Martabat manusia Indonesia harus dihargai sepenuhnya dan tak boleh diperalat untuk tujuan apapun, termasuk tujuan politik.
17.2. Kebebasan. Kebebasan adalah hak setiap orang dan kelompok: bebas dari segala bentuk ketidakadilan dan bebas untuk mengembangkan diri secara penuh, setiap warga amat membutuhkan kebebasan dari ancaman dan tekanan, bebas dari kemiskinan yang membelenggunya, dan juga kebebasan untuk berkembang menjadi manusia seutuhnya. Kekuasaan negara perlu diingatkan akan salah satu tanggung jawab utamanya untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan, baik yang berasal dari sesama warga maupun dan terutama dari kekuasaan negara.
17.3. Keadilan. Keadilan merupakan keutamaan yang membuat manusia sanggup memberikan kepada setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya. Dewasa ini perjuangan untuk memperkecil kesenjangan sosial-ekonomi semakin mendesak untuk dikedepankan, demikian juga perjuangan untuk melaksanakan fungsi sosial modal, bagi kesejahteraan bersama. Mendesak juga penggunaan modal untuk pengembangan sektor ekonomi riil, sambil menemukan cara-cara agar judi ekonomi dalam bentuk spekulasi keuangan dikontrol untuk mendukung bertumbuh dan berkembangnya wirausaha-wirausaha kecil dan menengah, menciptakan lembaga dan hukum-hukum yang adil, Yang tidak kalah mendesak adalah penegakan hukum.
17.4. Solidaritas. Dalam tradisi Indonesia sikap solider terungkap dalam semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang menurut pepatah lama berbunyi ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Nilai solidaritas semakin mendesak untuk diwujudkan dalam konteks dunia modern. Untuk masyarakat di mana banyak orang mengalami perlakuan dan keadaan tidak adil, solider berarti berdiri pada pihak korban ketidakadilan, termasuk ketidakadilan struktural. Se]ain itu perlu dikembangkan juga solidaritas antar daerah dan usaha untuk mencegah kesempitan egoisme kelompok.
17.5. Subsidiaritas. Menjalankan prinsip subsidiaritas berarti menghargai kemampuan setiap manusia, baik pribadi maupun kelompok untuk mengutamakan usahanya sendiri, sementara pihak yang lebih kuat siap membantu seperlunya. Bila kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang dimiliki bias menyelesaikan masalah yang dihadapi, kelompok yang lebih besar atau pemerintah / negara tidak perlu campur tangan. Dalam keadaan kita sekarang hubungan subsidier berarti menciptakan relasi baru antara pusat dan daerah dalam hal pembagian tanggung jawab dan wewenang, hubungan kemitraan dan kesetaraan antara pemerintah, organisasi-organisasi sosial dan warga negara, kerjasama serasi antara pemerintah dan swasta. Kecenderungan etatisme yang menonjol dalam Rencana Undang-Undang yang disebarkan di masyarakat dan Undang-undang yang disyahkan oleh DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia) akhir-akhir ini berlawanan dengan prinsip subsidiaritas ini.
17.6. Fairnes. Prinsip fairness atau sikap fair tidak mudah diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Prinsip fairness menjamin terciptanya aturan yang adil dan sikap taat padanya; dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik; dijaganya pembedaan wilayah privat dari wilayah publik; disadari dan dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontes politik untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
17.7. Demokrasi.
Dalam sistem demokrasi kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat. Demokrasi sebagai sistem, tidak hanya menyangkut hidup kenegaraan, melainkan juga hidup ekonomi, sosial dan kultural. Dalam arti itu, demokrasi dimengerti sebagai cara-cara pengorganisasian kehidupan bersama yang paling mencerminkan kehendak umum dengan tekanan pada peran serta, perwakilan dan tanggung jawab. Demokrasi tidak dengan sendirinya menghasilkan apa yang diharapkan. Di Indonesia salah satu badan yang paling terlibat dalam pelaksanaan demokrasi ialah DPR
RI dan DPRD. Sesudah Pemilihan Umum 2004 nanti, akan muncul lembaga baru yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Ternyata lembaga-Iembaga itu kurang berfungsi dalam mewakili kepentingan masyarakat luas, bahkan dalam banyak hal, justru menghambat tercapainya tujuan demokrasi. Dalam mata kita nampak kecenderungan meminggirkan kelompok-kelompok minoritas dengan alasan-alasan yang kurang terpuji. Keputusan yang menyangkut semua warga negara diambil sekedar atas dasar suara mayoritas, dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan yang mendasar, matang dan berjangka panjang.
17.8. Tanggungjawab. Bertanggung jawab berarti mempunyai komitmen penuh pengabdian dalam pelaksanaan tugas. Tanggung jawab atas disertai dengan tanggung jawab kepada. Bagi politisi tanggung jawab berarti kinerja yang sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan negara, dan mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugas itu kepada rakyat. Tanggung jawab hanya bisa dituntut bila kebijakan umum pemerintah terumus jelas dalam hal prioritas, program, metode dan pendasaran filosofisnya. Atas dasar kebijakan umum ini wakil rakyat dan kelompok-kelompok masyarakat bisa membuat evaluasi pelaksanaan kinerja pemerintah dan menuntut pertanggung-jawaban. Bagi warga negara, tanggung jawab berarti berperan serta dalam mewujudkan tujuan negara sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Pemilihan Umum
18. Pemilihan Umum 2004 sudah di ambang pintu. Pada waktunya, Konferensi Waligereja Indonesia akan mengeluarkan Surat Gembala khusus mengenai Pemilihan Umum 2004. Setiap warga negara diajak menggunakan haknya untuk ambil bagian dalam menentukan arah kehidupan bersama. Sikap kritis dalam menentukan pilihan akan memberi bobot terhadap proses demokrasi yang akan dilaksanakan. Dengan itu diharapkan keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan bersama akan diambil berdasarkan pada pertimbangan publik yang luas. Demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan membuat pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan warga negara dan mendorong terciptanya tatanan yang lebjh adil, termasuk pemberantasan KKN. Pemilihan Umum diharapkan akan menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang mempunyai visi, peduli terhadap penderitaan dan peka akan kehendak dan kebutuhan rakyat, mempunyai komitmen terhadap perbaikan nasib rakyat yang dicerminkan dalam hidup sederhana. Pemilihan Umum adalah kesempatan penting untuk melakukan pendidikan politik bagi seluruh warga negara.
19. Pemilihan Umum adalah suatu perangkat demokrasi, dengan demikian merupakan hak rakyat yang harus dilindungi. Politik adalah urusan kita bersama, maka kita wajib berperan serta. Peran serta itu tidak terbatas pada saat Pemilihan Umum saja, melainkan juga pada seluruh proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan segala pertimbangan di atas, hal-hal berikut perlu diperhatjkan:
19.1. Pertama, perlu disadari dan ditekankan bahwa melalui peristiwa Pemilihan Umum hak asasi manusia setiap warga negara di bidang politik, diwujudkan. Oleh karena itu baik keikutsertaan maupun penolakan dalam Pemilihan Umum dapat menjadi ungkapan tanggung jawab politik. Pemilihan Umum pada dasarnya adalah bagi rakyat untuk membuat suatu kontrak politik dengan politisi dalam lembaga legislatif maupun mengoreksinya. Keinginan dan cita-cita perubahan serta perbaikan dapat ditempuh antara lain dengan memperbaharui dan mengubah susunan para penyelenggara negara kita. Sistem Pemilihan Umum yang baru membuka peluang untuk mewujudkan cita-cita perubahan dan perbaikan itu, dengan memilih orang-orang yang paling tepat, yakni orang-orang yang dapat diharapkan memenuhi tuntutan etika politik.
19.2. Kedua, perlu disadari bahwa undang- undang Pemilihan Umum yang baru dan pelaksanaannya adalah sulit dan bisa membingungkan bagi kebanyakan orang. Karena itu perlu dibentuk kelompok penyuluh pada tataran akar rumput yang mendampingi masyarakat akar rumput agar mereka dapat memilih dan mengungkap pilihan politik mereka dengan benar dan baik. Calon-calon wakil rakyat yang dikenal bersih, berjuang untuk kepentingan dan kebaikan bersama perlu diperkenalkan kepada para pemilih. Dalam sistem Pemilihan Umum yang baru, pemilih mendapat kesempatan untuk memberikan suaranya untuk calon wakil yang dikenal memenuhi syarat sebagai calon yang baik dan juga partai asal calon tersebut.
19.3. Ketiga, masyarakat perlu didorong untuk terus menerus mengontrol mekanisme demokrasi supaya aspirasi rakyat sungguh mendapat tempat. Sistem perwakilan yang menjadi tata cara pengambilan keputusan nyatanya sering meninggalkan aspirasi warga negara yang diwakili. Hal ini bisa disebabkan karena para politisi wakil rakyat itu sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan atau nilai sendiri. Mereka juga tidak jarang melakukan tindakan yang tidak semuanya dapat diamati dan dipantau oleh rakyat banyak. Selain itu tidak sedikit dari antara para politisi yang ingin terpilih karena dengan jabatannya itu mereka memperoleh keuntungan.
Penutup
Demikianlah butir-butir pemikiran yang berkembang dalam Sidang KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) pada bulan November 2003. Sidang KWI percaya masih ada banyak pribadi atau lembaga yang sungguh-sungguh berjuang untuk kebaikan bersama dan masa depan bangsa yang lebih baik. Pada masa-masa seperti sekarang ini, kerjasama antara semua pihak yang berkehendak baik terus menerus harus diusahakan dengan tekun.
Pada kesempatan ini disampaikan himbauan, agar siapa saja yang berada pada posisi yang berkuasa dan menyebabkan penderitaan bagi banyak orang hendaknya mengubah perilaku. Perubahan perilaku ini tidak hanya berarti mengakui dan memperbaiki kesalahan, melainkan juga berupaya sekuat tenaga untuk menghentikan berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan yang diderita bangsa kita, serta membaktikan diri demi kesejahteraan bersama yang dilandaskan pada kebenaran dan keadilan. Sementara itu, siapa saja yang menjadi korban berbagai macam bentuk ketidakadilan yang terjadi selama ini, hendaknya tetap tabah dan berpegang pada keyakinan bahwa kita adalah anak-anak Allah yang bermartabat luhur. Korban janganlah terpaku pada masa lampau, melainkan menurut teladan dan ajaran Yesus, bersedia mengampuni mereka yang mengakui kebenaran dan kesalahannya, bersatu dan berjuang bersama demi keadilan dan perdamaian. Dalam semuanya ini yang harus dipegang adalah prinsip kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi.
Semoga butir-butir perenungan ini, seperti dikatakan dalam pengantar, dapat digunakan sebagai bahan untuk pembelajaran bersama dalam rangka mengambil sikap dan keputusan, baik pribadi maupun bersama, sesuai dengan hati nurani.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar