Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, MA**)
A.Pendahuluan
Pasal 65 (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum berbunyi : “Partai Politik” peserta pemilihan Umum dapat mencalonkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 %.
Menyikapi hal tersebut, maka kesiapan perempuan dalam pentas politik akan diuji karena kaum perempuan harus berhadapan dengan kaum laki-laki yang telah lama mendominasi di parlemen. Undang-undang tersebut, merupakan suatu peluang emas di satu pihak dan di lain pihak merupakan tantangan yang berat untuk kalangan perempuan.
Kesenjangan kesadaran politik antara perempuan dan laki-laki masih sangat besar. Akibatnya, secara umum, perempuan masih berada dalam keterpurukan. Hal ini mendorong Hizbut Tahrir Indonesia (selanjutnya disebut HTI) terus melakukan upaya-upaya penyadaran terhadap kaum perempuan. Salah satu usahanya adalah menye-lenggarakan Tabligh Akbar Interaktif Muslimah pada hari Senin, 26 Apr 2004 di Gelora Pancasila, Surabaya.
Menurut Iffah Rahmah, juru bicara Tabligh Akbar dimaksud, ia mengungkapkan bahwa masih rendahnya kesadaran politik perempuan akan sangat mempengaruhi perannya dalam pengembangan umat. Karena itu, perempuan harus bangkit dari keterpurukan dan cerdas dalam politik. "Perempuan itu memiliki potensi yang sama dengan laki-laki untuk memajukan masyarakat," Ia menambahkan, kesadaran politik itu juga harus selalu dikaitkan dengan koridor Islam (bagi orang Islam dan bagi agama selain Islam tentunya sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing).
Tabligh akbar yang mengusung tema Membangun Kecerdasan Politik Perempuan ini dihadiri sekitar 1.000 muslimah yang terdiri anggota HTI maupun masyarakat umum. Hadir sebagai pembicara adalah Rif’ah Kholidah Wahyuni (HTI Surabaya) san Ismah Cholil (HTI Jakarta).
Menurut Ismah, seorang ibu yang memiliki kesadaran politik, sangat berpotensi besar membentuk kepribadian anaknya dengan baik. "Bila dalam interaksinya, ibu selalu memberikan ketajaman wawasan, maka kemampuan anak akan terasah,". Karena itu, perempuan harus cerdas politik agar bisa mencetak generasi politik muslim yang berjiwa ikhlas, bersih, pantang menyerah, dan selalu teguh memperjuangkan agamanya.
B. Permasalahan
Bagaimana memcerdaskan perempuan dalam dunia politik sehingga tidak menjadi korban politik baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
C. Perempuan dan Politik
1. Perempuan Masa Lalu
Bagaimana kita membayangkan gerakan perempuan di masa lampau? Sejarah tidak banyak mencatat peranan perempuan. Padahal, di masa revolusi gerakan perempuan sepenuhnya dikerahkan untuk mendukung agenda nasionalis. Perempuan bekerja di dapur-dapur umum yang secara vital menentukan ketahanan para gerilyawan. Mereka menyusup dan menyamar untuk menyelundupkan informasi strategis, menjadi mata-mata, merawat pejuang yang luka. Tak kurang perempuan yang mengangkat senjata. Di masa Orde Baru, barangkali lebih mudah bagi kita membayangkan posisi perempuan.
Ada organisasi-organisasi seperti PKK yang secara khusus mengarahkan peran perempuan untuk mendukung target-target pembangunan. Termasuk di sini target KB yang menghitung kepatuhan tubuh perempuan untuk dipasangi alat kontrasepsi secara statistik sebagai ukuran suksesnya. Organisasi Kowani yang semula merupakan pejuang-pejuang pioner isu-isu perempuan dibelokkan oleh negara untuk mendukung apa yang disebut Julia Suryakusuma sebagai ideologi Ibuisme.
Dalam era Orde Baru perempuan yang ideal adalah yang mendukung karier suami, yang menjadi ibu dan pengurus rumah tangga yang baik, yang melahirkan anak-anak bangsa. Kedudukannya sebagai warga negara tidak mendapatkan prioritas utama. Membayangkan perempuan di masa Orde Baru adalah membayangkan lukisan Kartini versi Dede Erie Suparia (Kartini yang terperangkap di bawah alat pemanas rambut dan lipstik), atau perayaan-perayaan Kartini yang penuh ritual dan lomba-lomba memasak.
Di masa Reformasi, kita tidak perlu membayang-bayangkan, sebab masih segar dalam benak kita bayang-bayang peristiwa Mei 1998 dan berbagai kekerasan di Aceh, Timor Timur, Kalimantan, Ambon, Irian Jaya, Poso dan tempat lainnya. Selama tiga puluhan tahun kita tidak pernah diberi kesempatan untuk memikirkan bahwa militerisme di balik pembangunan dan ibuisme dapat meledakkan begitu banyak korban, terutama kaum perempuan. Dalam situasi konflik dan kekerasan yang merebak di akhir abad ke-20 di Indonesia, tubuh perempuan telah menjadi arena untuk menciptakan teror, menaklukkan atau menundukkan kelompok-kelompok yang dicap sebagai "musuh."
Tetapi di saat yang sama, kita melihat munculnya suatu arus gerakan perempuan yang menolak dan melawan kecenderungan menjadikan perempuan sebagai korban. Di awal gerakan Reformasi, pada hari yang ditetapkan sebagai Siaga I, sejumlah perempuan kelas menengah di Jakarta yang menamakan diri mereka Suara Ibu Peduli menggemparkan media massa dan aparat dengan "Politik Susu". Politik susu menggugat pemerintah dan kepedulian masyarakat terhadap korban kebijakan yang berujung di krisis ekonomi, yakni anak-anak dan perempuan. Bahasa "Ibu" berhasil menyentuh dan menggerakkan masyarakat, sehingga pada saat mahasiswa turun ke jalan, masyarakat dari berbagai lapisan tergugah menyalurkan nasi bungkus, uang, obat-obatan dan tenaga mereka, bukan sekadar sebagai tanda simpati tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa.
Sejak itu pula kita melihat, bagaimana LSM perempuan, yang selama Orde Baru bergerak di "bawah tanah" untuk melakukan advokasi politis, seperti Kalyanamitra, dan aktivis-aktivis LSM lainnya yang telah mengasah kemampuan mereka secara sembunyi-sembunyi di masa represi tersebut, muncul ke permukaan. Dengan kemampuan membuat jaringan, para aktivis ini menjadi tulang punggung kuat gerakan Reformasi yang berhasil menumbangkan Soeharto. Insiden-insiden yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan di Semanggi, Trisakti, Ketapang yang bercorak militeristis menggugah mereka untuk membuat kelompok-kelompok relawan kemanusiaan dengan misi dan target khusus untuk merespons keadaan darurat.
Selain aktivis perempuan kawakan, muncul tokoh-tokoh yang selama ini bergerak di lapangan akademis, seperti Marwah Daud, Karlina Leksono, dan masyarakat awam yang selama ini merasa dirinya "apolitis." Gerakan Suara Ibu Peduli, misalnya, yang berawal dari segelintir perempuan kelas menengah atas, pada akhirnya melibatkan ribuan perempuan dari berbagai lapisan, terutama lapisan menengah bawah. Para ibu yang tersebar di berbagai pelosok perkampungan Kota Jakarta tersebut melakukan berbagai upaya untuk mengatasi krisis ekonomi di lingkungannya masing-masing, termasuk menyalurkan beasiswa untuk anak sekolah, membuat penjualan sembilan bahan pokok secara murah. Berawal dari panggilan kemanusiaan dan kebutuhan untuk bertahan hidup melalui penjualan susu murah, gerakan ini berujung pada penyadaran hak politik dan keterlibatan masyarakat basis untuk memecahkan berbagai masalah sosial yang ada di lingkungan mereka.
Salah satu gerakan yang paling dahsyat muncul dari para korban kekerasan itu sendiri, ibu-ibu yang kehilangan anak-anaknya, dan perempuan yang
mengalami kekerasan pada waktu kerusuhan atau menjadi korban dalam Tragedi Semanggi, Trisakti, Aceh, Ambon, Poso dan kekerasan lainnya. Seorang ibu yang anaknya terbakar di sebuah mal di Bekasi kini tak henti-hentinya bersaksi di mimbar-mimbar kemanusiaan dan mimbar prodemokrasi untuk mengupayakan keadilan dan menghentikan kekerasan. Sejumlah korban kekerasan domestik menjadi tulang punggung upaya pendampingan korban perkosaan di berbagai tempat.
Pada awal tahun 2000, 400 perempuan di Aceh dari berbagai pihak yang berseteru, yang secara kolektif mengalami paparan kekerasan komunal secara terus-menerus memutuskan untuk berkumpul dan mencari jalan keluar bersama. Di wilayah-wilayah konflik muncul gerakan lintas agama, suku, etnis, kelompok yang diprakarsai perempuan. Ketika masyarakat terbelah dan pemimpin lokal tak bisa duduk berunding lagi, Gerakan Perempuan Peduli di Ambon yang terdiri dari perempuan Muslim, Protestan, Katolik, dengan risiko ancaman dari kelompoknya sendiri, saling bergandengan tangan menyebarkan pamflet, mengobati korban, dan mencari solusi damai.
2. Perempuan Masa Kini
Berdasarkan contoh-contoh di atas, Saparinah Sadli, Ketua Komisi Nasional anti-Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa saat ini gerakan perempuan di Indonesia tengah memasuki babak ketiga dalam sejarah perkembangannya. Dalam periode nasionalisme dan periode Orde Baru, kaum perempuan berjuang untuk kepentingan bangsa atau negara, bahkan pada periode yang terakhir tersebut, dikooptasi untuk kepentingan penguasa. Baru dalam dua tiga tahun terakhir, menurut
Saparinah Sadli, gerakan perempuan Indonesia mulai berjuang dengan
perspektif yang secara khusus menyuarakan kepentingan dan visi
perempuan.
Secara khusus visi khas perempuan disebut oleh Nunuk Murniati sebagai "Politik Perempuan". Politik perempuan bersumber dari pengalaman hidup perempuan sehari-hari, dan bertolak dari realitas sosial yang ada itu kaum perempuan membuat strategi-strategi politis dan advokasi yang menawarkan alternatif terhadap tatanan dan ideologi yang dominan. Di hadapan politik kekerasan, perempuan menawarkan gerakan damai. Di hadapan politik identitas dan primordialisme, perempuan mengajukan gerakan lintas kelompok, di hadapan politik kekuasaan, perempuan menunjukkan bahwa pemberdayaan warga dari bawah merupakan gerakan politik yang sangat penting. Di hadapan politik partai yang kisruh, perempuan menekankan pendidikan masyarakat dengan perubahan yang mungkin tak terlihat tapi mendasar.
Pemberdayaan dari bawah melalui partisipasi seluruh warga, termasuk perempuan dan kaum marginal lainnya, menurut Ita F Nadia, merupakan koreksi perempuan terhadap konsep demokratisasi dan masyarakat sipil yang sempit, yakni yang menekankan proses kelembagaan formal saja. Sementara pilihan untuk tidak bermain di politik partai, menurut Kamala Chanrakirana, merupakan suatu
yang disadari karena kelompok-kelompok perempuan melihat kelemahan politik partai dalam menegakkan nilai-nilai moral dan etika politik. Tetapi sebagai konsekuensinya adalah kurang terwakilinya perempuan di DPR, dan juga kurangnya liputan media yang cenderung memusatkan perhatian pada politik formal. Lagi pula, seperti diakui oleh Nunuk, "politik perempuan" yang sedang dalam proses redefinisi oleh kaum perempuan itu, sulit dipahami, dan banyak yang cenderung salah mengerti. Di lain sisi, pihak-pihak yang menginginkan status quo kekuasaan, cenderung melihat gerakan perempuan, dan gerakan demokratisasi lainnya, sebagai suatu ancaman.
Marginalisasi, dan tidak tampilnya "politik perempuan" di politik
formal menimbulkan kesan bahwa setelah hingar bingar Reformasi, gerakan
perempuan di Indonesia mulai menyurut. Ketika berbagai elite politik
berlaga di kancah politik formal di tingkatan nasional, dan berbagai isu bermunculan, suara kaum perempuan hampir tidak terdengar. Kesan semacam ini seringkali datang dari para aktivis perempuan sendiri, yang merasa gerakan perempuan saat ini tidak jelas fokusnya. Sulitnya membuat fokus, menurut Saparinah Sadli, terjadi karena masyarakat kita yang terlalu besar dan terlalu majemuk. Tetapi di sisi lain kemajemukan itu sendiri juga menunjukkan ciri babak ketiga gerakan perempuan di Indonesia, yakni periode pluralisasi gerakan.
Myra Diarsi mengemukakan pentingnya meletakkan kendala gerakan
perempuan dalam konteks sejarah maupun konteks struktural. Keberadaandi antara 210 juta penduduk Indonesia yang plural seringkali membuat orang ragu untuk mengambil sikap atau posisi karena sangat mudah untuk memecah belah kelompok secara politis karena perbedaan nilai, misalnya nilai agama. Perbedaan-perbedaan ini membuat gerakan perempuan rentan menghadapi politik yang memecah belah. Selain itu, keberadaan lembaga-lembaga dana, menurut Myra adalah suatu konteks historis yang berfungsi mendukung, tapi sekaligus juga mempunyai potensi menjadi kendala. Lembaga dana menjadi kendala jika menciptakan kecenderungan untuk menciptakan ketergantungan. Ketergantungan dapat melemahkan gerakan masyarakat yang semula ditempa untuk mandiri, dan juga menimbulkan kompetisi dan persaingan.
3. Perempuan Dalam Kancah perjuangan
Selain itu, gerakan perempuan dihadapkan oleh masalah yang merupakan akumulasi limbah kebijakan Orde Baru. Energi individu dan kelompok yang mendukung Reformasi telah dikuras habis untuk menangani korban-korban budaya kekerasan. Korban-korban terus berjatuhan, di kalangan mahasiswa, di kalangan pengungsi, korban perkosaan, korban di wilayah konflik di seluruh Indonesia.
Masalah sosial politik yang berskala besar yang melanda seluruh Indonesia membuat kemajuan gerakan perempuan seakan-akan tidak berarti. Krisis ekonomi yang sedemikian buruk telah menghabiskan energi perempuan untuk sekadar bertahan hidup atau membantu keluarga, dan masyarakat lingkungannya untuk bertahan. Nyaris tidak tersisa energi untuk melihat permasalahan ekonomi dalam tingkatan makro, sedangkan para pakar ekonomi tidak punya kesadaran bahwa ekonomi di Indonesia bertumpu pada penghasilan perempuan. Mendukung pendapat Myra, Kamala Chandrakirana mengemukakan bahwa lapisan kecil komunitas prodemokrasi, yang mencakup gerakan perempuan, telah dibebani oleh berbagai macam permasalahan yang melebar ke segala penjuru. Kondisi demikian tidak memungkinkan dipilihnya satu fokus gerakan. Walaupun demikian, Kamala menunjukkan pentingya aliansi yang telah dilakukan oleh gerakan perempuan dengan gerakan prodemokrasi lainnya, seperti gerakan buruh, lingkungan, gerakan lintas agama, dan lain-lainnya. Aliansi-aliansi strategis ini bersifat sementara, dan dipakai untuk menghadapi satu isu penting bersama-sama, dan setelah itu masing-masing berjalan lagi sendiri. Aliansi sementara semacam ini merupakan suatu alat politik yang strategis. Dengan memakai aliansi sementara sebagai alat politik, perempuan dari kelompok yang berseberangan atau berbeda bisa duduk bersama untuk mencapai satu tujuan. Salah satu contoh aliansi adalah Komisi Perempuan Untuk Demokrasi di Surabaya yang menggabungkan perempuan aktivis dari berbagai kelompok, termasuk kelompok buruh dan kelompok kemanusiaan.
Selain munculnya aliansi-aliansi strategis tersebut, Kamala menunjukkan sejumlah gejala lain yang menunjukkan bagaimana gerakan perempuan mulai mengakar di Indonesia. Yang pertama adalah munculnya institusi-institusi baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sebagai contoh adalah pusat-pusat penanganan krisis untuk perempuan, yang saat ini telah didirikan oleh Fatayat NU sebanyak 27 buah di tingkat kabupaten. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan itu sendiri merupakan sebuah lembaga baru yang bukan LSM dan bukan pemerintah. Komisi ini bersifat independen dan mempunyai mekanisme yang bersifat nasional, mencakup elemen-elemen masyarakat di tingkat basis maupun unsur LSM dan pemerintah. Bentukan unik ini merupakan suatu contoh bagaimana perempuan mencari bentuk organisasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Indikator lainnya adalah munculnya institusi sosial dengan poros gerakan di luar Jakarta, contohnya adalah Jaringan Kesehatan Perempuan Indonesia Timur, yang mencakup Kalimantan sampai Papua dan gerakan perempuan di Aceh melalui Deuk Pakat Inong Aceh dan Balai Syura. Contoh lain yang ditunjukkan oleh Ita F Nadia adalah Gerakan Perempuan Independen Sumatera Utara, yang meliputi sektor pertanian dan sektor informal di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Lembaga-lembaga lokal ini berfungsi sebagai "poros gerakan" karena menentukan agendanya sendiri yang berbeda dan terpisah dari Jakarta. Kalaupun ada jaringan kerja sama, maka kelompok perempuan di Jakarta hanya mempunyai posisi sebagai mitra kerja belaka. Kelompok-kelompok di daerah ini menghadapi kendala yang besar, tapi telah membuktikan kegigihan mereka dengan tetap maju setapak demi setapak. Sayangnya arena lokal adalah arena yang "tidak terlihat" oleh media massa maupun pengamat gerakan dari dalam dan luar negeri. Padahal menurut Kamala, justru dari gerakan-gerakan lokal ini terbukti bahwa gerakan perempuan mampu memainkan “Politik Peminis” Untuk Pembebasan.
D. Politik Peminis Untuk Pembebasan
1) Serangan terhadap hak-hak Perempuan.
Sejak berlakunya krisis ekonomi berkepanjangan 1970-an pemerintah dari berbagai negara di seluruh dunia telah mencoba untuk memotong upah dan pekerjaan, pelayanan sosial, dan kesejahteraan publik. Sementara subsidi dan potongan pajak bagi bisnis-bisnis besar terus meningkat . Hak-hak yang telah dimenangkan oleh pekerja, kelompok-kelompok perempuan, dan pendatang juga diserang. Untuk membenarkan serangan pada pelayanan anak publik, hak perempuan untuk pekerjaan dan pendidikan yang sama , dan pelayanan perempuan, arahan ideologis telah diakselerasikan oleh pemerintah-pemerintah itu untuk mendorong wanita kembali pada peranan istri, ibu dan buruh yang tak dibayar.
Saat ini banyak anak muda tertarik dengan hak-hak perempuan dan ide-ide feminis. Tetapi gerakan yang terorganisisr masih lemah. Kepentingan saja ternyata tak cukup untuk menghentikan agenda anti perempuan . selain beberapa kampanye yang bagus tak ada lagi kampanya yang besar sekarang. Tanpa melanjutkan aksi ini, kemenagan yang telah diraih akan hilang kembali. Saat ini gerakan berada dalam titik terendah sejak 1970-an, dan kita punya tugas mendesak untuk membangun kembali gerakan itu. Untungnya kita masih punya banyak kemenangan yang akan mempermudah perjuangan itu. Gerakan dimaksud, secara intensif menaikkan pengharapan dan kesadaran tentang hak-hak wanita- hal ini masih bisa dicatat pada tingkatan tinggi kesadaran feminis dasar hari ini, meskipun kesadaran ini telah tidur. Kita masih mempunyai banyk reformasi konkrit: hak formal untuk upah yang sama, kesempatan bekerja yang sama, kebebasan dari diskriminasi. Sangat sulit bahkan bagi pemerintahan liberal untuk secara terbuka mengambilnya kembali sekarnag, meskipun jalan juga terbuka bagi mereka untuk melakukannya.
2) FEMINISME LIBERAL.
Selama tahun 1980-an banyak kepemimpinan gerakan disuap dengan kedudukan-kedudukan dalam birokrasi pemerintah dan akademika (banyak di antaranya baru-dibuat untuk menempati sudut-sudut feminis) yang sering terikat degan pemerintah di negara-negara maju. Reformasi feminis yang dipaksakan dari sistem oleh gerakan massa digunakan oleh femisnis-feminis ini untuk menyimpangkan kritisme dari dukungan kuat kepada partai-partai berkuasa . Hal ini menimbulkan sejumlah kebijakan minus mengenai wanita, seperti bayaran untuk pendidikan yang lebih tinggi, pemotongan pekerjaan dan serangan pada hak berserikat; menolak untuk mengambil posisi partai dalam hak aborsi; Banyak aktivis feminis dari kelompok yang militan dalam awal gerakan ,menjadi terjebak dalam kerja kesejahteraan yang dibiayai oelh pemerintah dan sering secara politik berkompromi karena ketakutan dananya ditarik.
Keindependenan politik gerakan pembebasan perempuan diragukan. Kaum Femokrat (feminis demokrat) dan politik perempuan secara aktif mendemobolisasi kampanye mengancam kekuatan elektoral partai yang berkuasa (sumber dana mereka dan jalan karir mereka). Dan metode lobi dan perspektif reformis disemangati oleh feminis-feminis ini, yang bekerja untuk mencegah segala pukulan radikal dari buruh, menjadi lebih dan lebih dominan dalam gerakan.
Proses yang sama dalam pemilihan anggota diterapkan pada serikat buruh tahun 1980-an melalui persetujuan harga dan pendapatan. Hal ini kemudian memperlemah gerakan pembebasan perempuan sebagaimana serikat gagal memobilisasi melawan serangan yang lebih luas terhadap persoalan-persoalan seperti hak buruh dan derma.
Hari ini, sementara banyak perempuan masih berbicara tentang hak yang sama dan perlunya organisasi feminis, mereka telah meninggalkan proyek pembangunan gerakan massa pembebasan perempuan yang bertujuan dan mempunyai kekuatan untuk menaikkan kondisi semua perempuan. Dalam praktisnya, mereka mendukung kampanya sepanjang itu tak dapat menentang kepentingan mereka sendiri yang mengalir dari posisi istimewa yang sekarang mereka pegang.
Feminis liberal mempunyai akses yang jauh lebih besar terhadap uang, media dan pembuat keputusan kebijakan publik daripada kelas pekerja perempuan atau orang kiri. Dan keberadaan media massa dan partai politik hanya terlalu bergelora untuk mempromosikan transformasi feminisme dari basis yang luas, gerakan militan melawan penindasan perempuan dan untuk transformasi kolektif masyarakat, kedalam suatu fokus pada hak-hak individu, pencapaian individu dan solusi individu yang sedikit demi sedikit tanpa menantang struktur fundamental atau elit penguasa, akan membuat sedikit perempuan meningkatkan peran mereka dalam mereformasi status quo. Satu contoh dari perspektif ini adalah buku kedua Naomi Wolf Fire with Fire dimana ia menunjukkan pentingnya "feminisme kekuatan" pada tahun 1990-an. Perempuan sudah "kuat", katanya, karena mereka memegang lebih dari 50 % suara di AS, karena "sekarang ada 2, 339 juta perempuan AS dengan pendapatan pertahun lebih dari $50.000" dan karena mereka menempati 80% pengeluaran konsumen. Kita hanya perlu menghentikan buku Wolf langsung pada keistimewaan yang seperti dirinya sendiri akan diterima kedalam kemapanan pria, bahkan mungkin ke dalam kelas berkuasa sejati, bila mereka memakai "femisisme " mereka .
Namun, demikian tantangan terhadap feminisme liberal sejak tahun 1980-an dapat dikatakan tidak ada gerakan terorganisir yang cukup kuat untuk menantang feminisme liberal. Seluruh kampanye besar sebenarnya telah disubordinasikan pada perwakilan untuk melobi partai buruh; sementara yang lainnya disuruh pulang dan menulis surat.
Pawai dan reli pada hari Perempuan se Dunia setiap tahun hanyalah satu-satunya mobilisasi tahunan besar dengan kerangka kerj yang cukup besar untuk merepon setiap serangan terhadap hak-hak perempuan dan menaikkan sejumlah tuntutan; Tetapi even ini gagal untuk menggambarkan orang pada aksi yang sedang berlangsung. Mereka yang selalu mencoba untuk membangun gerakan bagi pembebasan semua perempuan menemui tantangan besar dari mengambil kepemimpinan gerakan dari feminis liberal.
Perspektif feminis liberal semakin tak berguna dalam menanggapi serangan yang terakselerasi terhadap wanita oleh pemerintah.Tetapi suatu gerakan yang lemah, terdominasi untuk menantang sernag ideologi dari kelas pengiuasa telah menghasilkan dalam suatu kemurtadan kesadaran feminis umum. Kebutuhan menjadi feminis secara keseluruhan diuji lebih luas, dan iede-ide sexis lebih bisa diterima. Sementara pengakuan ketidaksetaraan perempuamasih cukup tinggi dalam masyarakat, suatu pengertian mengapa ini persoalan dan bagaimana melawannya.
Hal ini membuat banyak perdebatan baru muncul dalam putaran feminis terutama penting dan mendesak. Kita harus mengambil keuntungan dari perjuangan yang masih kita miliki, untuk mendorongnya. Ada diskusi besar diperlukan tentang bagaimana cara melakukannya.
3) Trend Feminis saat Ini
Di antara mereka yang menolak liberal feminisme sebagai titik akhir untuk perubahan saat ini ada tiga trend besar: Feminisme Marxis, Feminisme Post Modernis dan Feminisme Radikal. Kami, Resistence adalah bagian dari trend yang pertama dan percaya bahwa yang dua lainnya adalah kontraproduktif pada tujuan untuk mendirikan kembali gerakan yang diperlukan untuk mencapai pembebasan perempuan.
Banyak feminis akan mengedepankan suatu campuran pillihan dari pendekatan feminis. Dan banyk feminis masih sangat dipengaruhi oleh individualisme liberal. Hal ini dikarenakan terutama pembelokan gerakan dan kekuatan konserfatif dominan dalam masyarakat dan secara umum telah membelokkan kepercayaan tentang aksi kolektif dan sebenarnya menjadi mampu untuk merubah sistem yang menindas perempuan.
Berbagai trend feminisme:
1) Feminisme Marxis
Tak seperti feminisme liberal, feminis Marxis percaya bahwa kapitalisme hanya dapat membuat "sukses" untuk sejumlah kecil perempuan. Dan sejarahnya ia hanya membuat demikian dibawah tekanan dari bawah. Kesetaraan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai di bawah kapitalisme. Pembebasan individual adalah mustahil karena seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan dalam kapitalisme. Kapitalisme berdasarkan pada peranan sedikit orang yang berkuasa yang memiliki semua sumber ekonomi dan industri, diluar kita semua yang dipaksa untuk kerja upahan untuk hidup-kelas pekerja. Sistem ini alat untuk kebutuhan minoritas, untuk pengejaran keuntungan dan karenanya menimbulkan perampasan, eksploitasi, dan penindasan (dalam segala bentuk) dari mayoritas. Dan setiap institusi besarnya mendukung bahwa: pemerintah, keluarga, media, polisi, sistem pendidikan, dan sistem legal.
Sebenarnya, satu-satunya jalan bagi perempuan, dan semua kaum tertindas untuk memenagkan pembebasan adalah dengan melawan untuk sebuah sistem baru yang demokratik- masyarakat yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan mayoritas orang dan lingkungan lebih baik dari minoritas yang haus keuntungan.
Satu-satunya kekuatan yang mampu untuk membuat masyarakat sosialis baru ini adala kelas pekerja, membuat semua kesejahteraan masyarakat. Pertempuran melawan penindasan lain yang memisahkan kelas pekerja-rasisme,seksisme, penindasan bangsa-adalah tak dapat dihindarai untuk menggulingkan kapitalisme karena kelas pekerja yang terbelah tidaklah cukup kuat untuk mengalahkan kelas kapitalis yang sedang berkuasa. Penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis.
Seksisme pernah dibenarkan, menopang suatu institusi yang penting bagi kapitalisme:keluarga. Keluarga mengizinkan kelas berkuasa untuk menghapuskan semua tanggung-jawab bagi kesejahteraan ekonomi dan perawatan pekerja mereka dan menimbulkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dengan mengizinkan pemilikan properti dari satu generasi ke generasi lainnya dalam kelas mereka.
Unit keluarga individual menjaga para pekerja berkompetisi untuk bertahan hidup, mndorong pembagian sosial buruh berdasarkan penaklukan dan ketergantungan ekonomi perempuan, dan membantu untuk mensosialisasikan generasi baru dalam hubungan otoriterian hirarki yang diperlukan untuk membuat kelas pekrja tetap pasif.
Seksisme membuat perempuan bekerja keras mengurusi pekerjaan rumah tangga, semuanya dilakuakn dengan gratis. Ia menyebabkan majikan untuk menggaji perempuan lebih sedikit.
Semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda.
Perjuangan seputar aspek-aspek spesifik dari penindasn perempuan memerlukan terlibatnya perempuan dari latar sosial berbeda. Tetapi gerakan masa pembebasan perempuan Marxis bertujuan untuk mendirikan akan menjadi dasar kelas pekerja dalam komposisi,orientasi, dan kepemimpinan karena hanya sebuah gerakan bisa meraih pembebasan perempuan sejati.
Gerakan feminis massa, yang berjuang bagi kesetaraan bagi semua perempuan, tak dapat dihindarkan lagi membutuhkan reorganisasi total dalam masyarakat dalam kepentingan minoritas, yaitu membuka kapitalisme.
Sebuah gerakan akan menuntut: hak bagi perempuan untuk mengontrol tubuh mereka sendiri: legal penuh, kesamaan politik dan sosial; hak untuk merdeka secara ekonomi dan kesetaraan, kesempatan studi yang setara,hak untuk bebas dari kekerasan dan eksploitasi, dan bebas dari penindasan seksualitas manusia.
Hanya masyarakat sosialis yang bisa memenuhi tuntutan ini: memindahkan paksaan ekonomi dibalik perbudakan perempuan dalam keluarga; mengambil pertanggung-jawaban sosial bagi tugas-tugas yang tadinya dilakuak dengan gratis oleh perempuan dalam rumah; memindahkan eksploitasi kelas.
Dibawah sosialisme sebagian besar manusia baik perempuan atau laki-laki akan menikmati eliminasi penindasan perempuan sebagaimana masih akan membiarkan perkembangan penuhhubungan kebutuhan manusia bebasa dari distorsi seksisme dan pengasingan seksualitas yang dibuat oleh masyarakat kelas.
Sosialisme juga satu-satunya sistem yang bia meniadakan penindasan lain yang diderita banyak perempuan, seperti rasisme, dan eksploitasi dunia ketiga oleh bangsa imperialis maju. Perempuan tak bisa memenagkan masyarakat baru inni dan pembebasan mereka tanpa bergabung dengan perjuangan pembebasan lain-dan dengan kelas pekerja secara keseluruhan.
Laki-laki sebagai individual maupunkelompok, mempunyaikepentingan material dalam dan menikmati penindasan terhadap perempuan. Sebagai kelamin mereka mempunyai akses yang lebih baik ke pendidikan,pekerjaan dan upah yang lebih baik; mereka tak memikul dua beban kerja upahan dan buruh domestik gratis; karena situasi ekonomi mereka yang lebih baikmereka mempunyai akses seksual terhafdap perempuan, melalui indistri seksual. Penindasan perempuan dalam masyarakat sosial membawa laki-laki menerima keistimewaan yang melembaga dan keuntuntungan terhadap perempuan.
Bagaimanapun penindasan perempuan berjalan memukul kepentingan kelas laki-laki kelas pekerja karena ia memisahkan kelas pekerja dan memperlemah kemampuan mereka untuk nberjuang dan menggulingkan sang penindas, kapitalis.
Tetapi sampai laki-laki kelas pekerja mengembangkan kesadaran kelas-sampai mereka menyadarikepentingan kelas mereka diatas kepentingan mereka sebagai individu, dan karenanya mengerti kebutuhan untuk bergabung dengan kaum feminis bertempur melawan seksisme- mereka akan meletakkan kepentingan mereka sebagai anggota kelas berkuasa dahulu.
Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan melawan penindas mereka sebagai perempuan dan perjuangan untuk menghilangkan ketidaaksetaran kels berjlan terus.
Tetapi ini bukan berarti bahwa perempuan harus menunda perjuangan mereka sampai "setelah revolusi". Sebalinya hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas memberikan kepada perjuangan sosialisme sebuah perjuangan terpadu juga: "tak ada revolusi sosialis tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa revolusi sosialis"
2) FEMINISME POST MODERN
Post modernisme adalah teori yang dihasilkan dari kemunduran dan demoralisasi:
Pelemahan gerakan pembebasan perempuan tahun 1970-an dan kemunduran yang luas dari gerakan kiri di seluruh dunia, setelah runtuhnya "komunisme di eropa timur dan Uni Soviet. Post modernisme adalah bentuk dimana liberalisme menemukan penyewaan baru pada hidup dinegara kapitalis maju sejak akhir 1980-an.
Pada tempat fokus gerakan pertama terhadap pengalaman umum perempuan terhadap penindasan, post modernisme menekankan perbedaan : perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan antara perempuan sendiri, bauk berdasarkan ras, kelas, agama, etnik atau psikologis.
Politik "perbedaan" mempertahankan bahwa karena mereka yang yang telah memimpin atas nama ilmu pengetahuan dan kemajuan di dalam masyarakat ini mempunyai kelompok marginal yang tereksploitasi (termasuk perempuan).
Menentang dirinya sendiri pada "penguniversalan" pengetahuan ilmiah dan pengalaman sejarah, feminisme post modern.
Menentang bahwa semua orang mengamati, mengerti dan merespon segala persoalan secara berbeda. Tak ada yang contoh mutlak dalam masyarakat. Secara khusus, dari kenyataan bahwa daya tangkap manusia dunia melalui perantaraan bahasa, post modernisme telah kenyataan menjadi ribuan pecahan.
Dalam prakteknya ini berarti bahwa setiap orang harus melakukan persoalan mereka sendiri, percaya dan menghargai individualitas dari pengalaman mereka dan ide-ide mereka, dan (seharusnya) menghormati individualitas orang yang lain. Penindasan ekonomi dan psikologi oleh semua perempuan dibagikan oleh semua perempuan keluaran dari keadaan.
Sementara Marxis juga akan bertanya netralitas dari ilmu pengetahuan atau alasan atau kemajuan dibawah kapitalisme, kita berfikir bahwa keadaan realitras objektif, sebagaimana ide-ide dan teori mampu menjelaskan hukum dengan siapa fungsi realitas objektif.Tujuan kita adalahuntuk mengenali dan mempelajari kenyatan ini dalam rangka untuk merubahnya.
Tetapi bagi kaum post modernis, pembebasan itu terpisah dari perjuangan lain untuk merubah masyarakat, dan menjadi perjuangan individual dan subjektif.
Terlebih, setiap seruan pada realitas objektif, termasukpengalaman umum, terlihat sebagai penindasan pandangan personal orang lain. Jadi berbicara penindasan sistematis atau kebutuhan untuk bersatu untuk melawannya disadari tak hanyatak dapat diminta tetapi penindasan.
Post modernisme adalah isu utama perdebatan pada konferensi NOWSA tahun 1994.Sementara banyak orang akan dengan bangga mencap dirinya sendiri sebagai post modernis sekarang, asumsi dasar entang post moderrnisme adalah hidup dalam studi perempuan dan diantara aktivis kampus.
Ide yang tak dapat kamu katakan bagi setiap kelompok yang tertindas bahw kamu bukanlah bagian dari ide bahwa hal yang terpenting untuk kamu lakukan adalah untuk "mendefinisikan"
Ide bahwa lebih penting untuk membicarakan seberapa berbedanya perempuan satu sama lain, dan bagaima perempuan kelas menengah kulit putih mendominasi gerakan, daripada membicarakan pengalaman umum perempuan dan apa yang harus dilakukan tentang itu;dan
Ide tentang bagaimana kmu rasa tentang hal-hal yang kamu lihat atau alami membedakan apakah itu penindasan atau bukan. Mengikuti kesimpulan logikal mereka, ide ini bermaksud bahwa setiapusaha untuk mengenali dan mengerti penindasan perempuan, dan untuk bersatu dan melawannya adalah pasti. Post modernisme mempunyai dampak destruktif ketika mendirikan gerakan melawan penindasan perempuan.
3) FEMINISME RADIKAL
Feminisme radikal berlawanan dengan individualismenya post modernisme, menawarkan analisis struktural terhadap penindasan perempuan dan solusi sosial-meskipun salah.
Feminiusme radikal mengatakan bahwa sistem dominasi laki-laki terhadap perempuan-apa yang mereka sebut "patriakal"-datang dari perbedaan biologi antara jenis kelamin,khususnya peran perempuan dalam reproduksi .
Perbedan essensial ini, kata mereka adalah basis material dari perempuan selalu dipandang dan diperrlakukan oleh laki-laki sebagai objek sosial.
Karena laki-laki tak mengalami penindasan kelamin, mereka tak akan mungkin mengerti dan secara konsisten berjuang untuk pembebasan perempuan. Dari kenyataan bahwa setiap laki-laki menikmati manfaatdari penindasan perempuan, mereka menyimpulkan bahwa laki-laki adalah sumber penindasan perempuan dan adalah musuh utama laki-laki.
Konklusi logis dari feminisme radikal adalah praktel politik yang terpisah, dimana pria mempunyai sedikit atau tidak peranan untuk dimainkan dalam pembebasan permpuan. Mereka menentang partisipasi laki-laki dalam rally-rally dan konferensi-konferensi menuntut hak perempuan , dan sering mengajukan lesbianisme sebagai seksualitas konsisten secara politik bagi kaum feminis.
Dalam masyarakat kapitalis, seksisme dijustifikasi oleh ide bahwa penindasan perempuan adalah alami atau tak dapat terhindarkan. Halini adalah dalam rangjka untuk menutupi struktur sosial yang menindas perempuan dan menumpulkan gerakan apapun dan merubahnya. Dengan melokalisir sumber penindasan perempuan dalam biologi perempuan dan laki-laki, feminisme radikal menerima ide bahwa seksisme itu tak terhindarkan dan dalam hal ini ia adalah juga politik kekalahan yang mendemoralisasikan gerakan feminis.
Dalam mencari solusi sebagai separatisme ia juga mengisolasi gerakan, baik dengan pengasingan dengan kelompok tertindas lain dan dari massa yang mendukung diantara perempuan.
Feminisme radikal sebagai trend telah ada sejak awal 1970-an, tetapi dalam menghadapi dominasi feminisme liberal dan membelokkan gerakan, ia muncul ke akademia dan studi perempuan. Sebagaimana feminisme liberal gagal untuk menghasilkan kesetaraan feminisme radikal menjelaskan tentang penindasan dan pembebasan perempuan telah dimunculkan kembali dan mempunyai seruan spesial yang mendesak bagi perempuan yang baru teradikalisir..
Karena sebagian besar perempuan langsung mengalami seksisme datang dari tangan laki-laki secara individual, atau karena mereka melihat kaum laki-laki menikmati penindasan perempuan dan status perempuan, ide bahwa pria adalah persoalan tak terhindarkan lagi menjadi kesimpulan bagi para feminis.
Tetapi dengan membangun teori yang secara biologis menunjukkan dominasi pria, feminis radikal gagal untuk menjelaskan karakter sosial penindasn perempuan. Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa kelas pekerja perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang sama dalam menggulingkan masyarakat kapitalis.***
D. Kesimpulan
1. Untuk mewujudkan perempuan yang cerdas dalam dunia politik maka harus melibatkan semua pihak untuk memahami norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjuangan perempuan dalam membangun bangsa dan negara baik masa lalu masa kini dan akan datang.
2. Dunia politik bukan hanya menjadi milik kaum pria dan bukan hanya perebutan kekuasaan, melainkan juga mengandung misi memperjuangkan, melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Perempuan harus cerdas berpolitik sehingga tidak menjadi korban politik baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
D. Kepustakaan
Diambil dari berbagai sumber melalui Internet, WWW. Yahoo.Com tanggal 3-4 Pebruari 2005
RUMPUN Tjoet Njak Dien, bagian dari perkumpulan RUMPUN, didirikan pada tanggal 19 April tahun 1995, sebagai kelanjutan dari Forum Diskusi Perempuan Yogyakarta yang dibentuk pada tahun 1989.
Berdirinya RUMPUN Tjoet Njak Dien (RTND) berangkat dari solidaritas, keprihatinan dan itikad menangani bersama persoalan yang dialami oleh Pekerja Rumah Tangga. Pekerja Rumah Tangga ( selanjutnya disebut PRT) yang mayoritas perempuan adalah salah satu segmen kaum perempuan miskin yang mengalami kelengkapan manifestasi ketidakadilan gender .
Selama ini PRT tidak diakui keberadaannya sebagai pekerja oleh pemerintah dan begitulah halnya Pemerintah dalam kebijakan tidak menyentuh keberadaan PRT. Meski kehadiran PRT sangat dibutuhkan, namun apresiasi atas kontribusinya sebagai pekerja sangat rendah. Hal ini sangat ironis, mengingat kontribusi ekonomi yang diberikan oleh PRT sangat besar untuk beberapa juta keluarga. Kontribusi ekonomi tersebut nyata mengingat keberadaan jasa PRT sangat berperan bagi kelancaran aktivitas kehidupan keluarga terutama bagi pasangan yang keduanya bekerja di sektor publik. Tugas-tugas domestik digantikan oleh Pekerja Rumah Tangga.
Struktural dan kultural, patriarkhis yang beririsan feodal - kelas menjadi faktor utama lahirnya pelanggengan segala problem multidimensi kekerasan yang dialami PRT. Baik problem dari asal wilayah – keluarga dan lingkungannya, ataupun problem di wilayah kerja dalam hubungan dengan majikan, lingkungan sosial yang terkecil hingga lingkungan sosial terbesar.
Stereotype patriarkhi telah menyebabkan perempuan, dan apa saja yang dilakukan serta perannya, sebagai hal-hal yang negatif dan rendah. Seperti halnya penciptaan label kerja domestik yang dianggap rendah dan yang diarahkan menjadi kewajiban perempuan sebagai ibu, istri dan anak perempuan. Maka pekerjaan domestik tidak perlu dihargai. Dan lebih parah lagi, marginalisasi perempuan telah membatasi wilayah perempuan pada sector domestik, yang sudah sengaja dibuat tidak bernilai tersebut dan dikuatkan dengan pandangan yang menilai kerja domestik tidak menghasilkan produksi, sehingga tidak berupah. Yang kemudian dikuatkan juga oleh struktur dan kultur feudal bahwa pekerja rumah tangga diisi oleh warga lapisan bawah, dengan tingkat social dan ekonomi dan pendidikan rendah yang memang harus menurut aturan kelas diatasnya. Dan ini adalah perempuan miskin.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah tangga, dalam pemindahan subyek pelakunya dari perempuan anggota keluarga ke pihak lain yang menjalankan pekerjaan tersebut seperti Pekerja Rumah Tangga, terjadi pemindahan marginalisasi, subordinasi yang lebih parah sebetulnya ke perempuan lain yang lebih miskin.
Kondisi bertambah buruk pula, dialami oleh Pekerja Rumah Tangga yang mayoritas perempuan miskin, adalah kaitannya dengan isolasi yang dialami di wilayah kerjanya yang dianggap sebagai sector privat yang oleh majikan dan masyarakat tidak membolehkan adanya intervensi. Sementara perempuan selalu dilemahkan dan menjadi objek kekerasan, maka Pekerja Rumah Tangga rentan terhadap kekerasan didalam rumah tangga – keluarga dimana PRT bekerja. Dan tidak hanya di wilayah kerja namun juga diwilayah social yang lain masyarakat dilingkungan tempat bekerja dan secara lebih luas hingga negara semua mendiskriminasikannnya termasuk dalam pemenuhan hak-haknya sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.
Pelanggaran hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia dengan peniadaan atau pembatasan haknya atas akses dan kontrol informasi, pendidikan, sosial, ekonomi, hukum dan politik mengakibatkan: Posisi PRT sebagai obyek kekerasan, baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia. Pekerja Rumah Tangga perempuan tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan atas tubuhnya, social, ekonomi, politik dan sebagainya. Pekerja Rumah Tangga perempuan dan mayoritas perempuan lemah dalam posisi tawar baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya. Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki akses untuk penguatan dirinya baik ditingkat individual ataupun kolektif secara sistematis, terutama akses pendidikan, akses informasi – komunikasi, akses ekonomi, akses social, akses hokum, akses politik. Persoalan kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga dan mayoritas perempuan akan selalu berkelanjutan dengan kondisi yang demikian, yaitu penindasan yang berkelanjutan
Gambaran Problem Pekerja Rumah Tangga
Berdasarkan data yang dihimpun baik melalui temuan lapangan (data pengalaman RTND) dan hasil penelitian serta literature dapat dilihat gambaran kondisi latar belakang dan besaran problem PRT adalah berikut.
Persoalan Keberangkatan
Kemiskinan
Kemiskinan menjadi kemiskinan multidimensi dari miskin informasi, miskin, pendidikan, miskin social dan miskin akses lainnya
Pendidikan
Khusus akibatnya menjadi miskin pendidikan dan miskin informasi dan selanjutnya menjadikan PRT miskin berkelanjutan
Persoalan Kerja - Umumnya
Upah yang Rendah
Tidak Ada Batasan Beban Kerja Yang Jelas dan Layak
Jam Kerja yang Panjang
Kesehatan
Kedudukan PRT yang Subordinatif dalam Hubungan PRT dengan Majikan
Tidak Ada Pengakuan atas Profesi PRT – Tidak Ada Perlindungan Hukum – PRT Rentan Tindak Kekerasan
Eksploitasi oleh Agen Penyalur PRT
Tidak Ada Kesempatan untuk Pengembangan/Aktualisasi Diri
Tidak ada atau kurangnya Akses Pendidikan – Informasi untuk Pengembangan dan Mempekruat Diri
Ada permasalahan besar dalam akses pendidikan – informasi untuk PRT:
Ketiadaan kesempatan karena larangan majikan dan jam serta beban kerja yang tidak terbatas;
Kurangnya jenis pendidikan yang merupakan perpaduan antara pendidikan kritis yang berangkat dari persoalan PRT
Keterbatasan PRT dalam menjangkau layanan pendidikan kritis dan skill yang ada
Akses pendidikan – informasi ini adalah “pintu gerbang” atau salah satu “pilar” PRT untuk melakukan perubahan atas kondisinya, membangun posisi tawarnya, mulai melakukan langkah untuk perubahan menuju keadilan – kesetaraan sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia.
Ketiadaaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi berakibat multidimensi dan berkelanjutan; ketertindasan, eksploitasi, marginalisasi dan kemiskinan berkelanjutan. Ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan – informasi yang telah dialami PRT dari keberangkatannya tidak akan mengalami perubahan signifikan untuk pengembangan dirinya ataupun perubahan social, apabila layanan pendidkan kritis dan skill tidak mulai dibangun dan kemudian dikembangkan.
Dapat djumpai dalam pendampingan yang dilapangan ataupun survai yang kami lakukan, akibat langsung dari ketiadaan atau kurangnya akses pendidikan tersebut adalah:
PRT tidak atau kurang mengetahui bagaimana mereka mengatasi pekerjaan mereka yang penuh dengan persoalan, tindakan apa yang harus dilakukan jika terjadi kesewenangan dan kekerasan.
Pilar lain yang mendasar pula diperlukan PRT adalah pengakuan dan perlindungan hukum Pekerja Rumah Tangga baik ditingkat local ataupun nasional. Pengakuan dan perlindungan ini adalah yang substansial membongkar adanya ketidakadilan terhadap perempuan dalam stereotype pekerjaan dan juga memberi jaminan perlindungan kepada perempuan yang bekerja di sector domestik, yang memang mayoritas hingga saat ini perempuan, termasuk hak untuk mengakses hak ekonomi, pendidikan, informasi, social, hukum.
Akibat
Akibat atau dampak tidak langsung dari ketiadaan 2 pilar utama terhadap kawan PRT adalah pelanggaran yang berkelanjutan dan meluas atas hak-hak Pekerja Rumah sebagai perempuan, pekerja dan warga negara dan manusia:
PRT menjadi obyek baik sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia Pekerja Rumah Tangga tidak memiliki otoritas, kemerdekaan atas dirinya dalam menentukan pilihan
PRT sulit mencapai situasi sejahtera dan yang terjadi kemiskinan keberlanjutan, tidak ada atau minim akses pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan politik
PRT lemah dalam bargaining baik dalam hubungan kerjanya ataupun relasi sosialnya
Tidak terbangun kesadaran dan tindakan kritis secara kolektif untuk melakukan perubahan sosial
PRT tidak mengenal status sesungguhnya sebagai pekerja dalam arti sebagai pekerja rumah tangga dan hak - kewajiban yang melingkupinya
PRT mejadi korban kekerasan yang berkelanjutan
Berbagai persoalan yang dialami PRT sulit diungkap karena mereka bekerja di wilayah privat, tinggal dalam lingkungan rumah majikan yang minim kontrol sosial dan akses pertolongan. Hanya beberapa kasus PRT yang terpublikasikan, antara lain beberapa kasus PRT yang sangat menonjol pada tahun 2001- 2004 di beberapa kota besar di Indonesia, di Jogjakarta (Kasus: Semisih – penganiayaan fisik, 2001, Sutini penganiayaan fisik, 2002), Jakarta (Kasus: Ponirah – bunuh diri dengan membakar; Jumiati – rekan Ponirah, karena mereka tidak tahan dianiaya; Utin – yang dianiaya fisik; Haryanti – korban perdagangan dan penganiayaan fisik, 2001-2002, Awari, Zumrotun, Nurhayati – luka parah, 2003, Karsih – luka parah, Maryati - dibunuh, 2004) dan di Surabaya (Kasus: Sunarsih – meninggal dianiaya; Sisamah; Halimah, 2001 dan Ratih, 2002 – masuk rumah sakit karena dianaya fisik juga), di Solo (N - pemerkosaan, 2004) dan juga di kota lain. Bisa diperkirakan kasus tersebut adalah kasus yang baru diketahui publik karena tingkat kekerasannya sudah sangat berbahaya dan sampai menghilangkan nyawa. Diperkirakan bahwa karena wilayah kerja Pekerja Rumah Tangga yang dianggap wilayah privat dan tidak ada intervensi hukum maka bisa jadi banyak tindak kekerasan yang dialami oleh PRT yang tidak diketahui oleh publik. Terlebih pula bagi Pekerja Rumah Tangga yang tinggal dalam lingkungan rumah majikan yang serba dikelilingi bangunan fisik yang tinggi, besar serta lingkungan masyarakat sekitar yang jarang bertemu dan semakin individualis, maka kontrol sosial tidak ada dan akses pertolongannya lebih sulit.
Situasi Sikap Masyarakat dan Negara
Struktur – kultur sosial – negara yang patriarkhis, feodal – seperti dikemukakan di atas, maka pandangan dan sikap masyarakat - negara (eksekutif dan legislatif) terhadap PRT sebagai perempuan, pekerja, warga negara dan manusia, berbagai ragam, namun sebagian besar: diskriminatif, merendahkan, kurang atau tidak mengetahui persoalan PRT yang sesungguhnya, merasa berat untuk melakukan perubahan meski tahu persoalan PRT. Karena pula di sisi lain, ada perbenturan kepentingan para pengambil kebijakan yang umumnya adalah majikan yang berkepentingan atas PRT.
Karenanya persoalan dan mengemukanya kasus-kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga, seperti yang dialami beberapa Pekerja Rumah Tangga tidak menggerakkan juga langkah kongkrit dari negara dan juga publik akan perlunya jaminan dan perlindungan terhadap Pekerja Rumah Tangga. Hal ini menjadi tantangan pemberdayaan dan advokasi dengan melihat peta persoalan konstituen, stakeholder bahwa strategi pemberdayaan dan advokasi harus melihat pada karakter dan situasi internal dan eksternal PRT, kekuatan dan peluang yang bisa dihimpun. Misal dengan mengkampanyekan betapa pentingnya PRT dan kontribusi ekonominya, betapa vitalnya PRT pada kehidupan jutaan keluarga majikan untuk bisa mencari pendapatan karena ada tenaga pengganti di sektor domestik, sementara fasilitas pengganti kebutuhan domestik tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah, perusahaan, seperti salah satunya tempat penitipan anak yang murah dan terjangkau.
Usaha yang Dilakukan untuk Menjawab Persoalan
Sebagai manusia, pekerja, apapun latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, asal, ras, pilihan profesi dan bidangnya, serta apapun jenis kelaminnya, sudah seharusnya mendapat penghormatan, perlindungan akan hak-hak asasinya sebagaimana prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Namun penghormatan, penegakan - perlindungan yang demikian, tidak terjadi pada diri Pekerja Rumah Tangga ini. Upaya-upaya serius musti dilakukan oleh berbagai pihak secara simultan dan komprehensif. Upaya yang dilakukan harus mampu menjawab kepelikan permasalahan PRT untuk mendapatkan hak-hak dan aksesnya.
Berangkat dari persoalan PRT dan situasi sikap-pandangan kelompok sosial yang terkecil hingga terbesar diatas, maka RUMPUN Tjoet Njak Dien berusaha bersama PRT dan mengajak segala pihak melakukan advokasi PRT, antara lain:
Kampanye
Legislasi
Pengorganisasian
Hingga kini proses pengorganisasian yang dilakukan RTND di DIY bersama-sama PRT, yang dimulai dari komunitas-komunitas kerja PRT, dari terbangunnya OPERATA (Organisasi Pekerja Rumah Tangga) telah memunculkan berdirinya Serikat PRT TUNAS MULIA pada tahun 2003, dan aktif melakukan advokasi hingga sekarang. Selanjutnya dikembangkan dalam program kegiatan PRT Center yang lebih terpadu sejak Mei 2003 dengan output model pendidikan Alternatif PRT.
Pengorganisasian PRT yang dilakukan adalah proses yang teramat sulit. Kesulitan pengorganisasian adalah juga cermin dari situasi sosial problem PRT dan karakteristik kerja PRT sendiri. Banyak kendala sekaligus juga tantangan yang dihadapi. Disini, terus meneruskan memerlukan eksplorasi akan strategi pengorganisasian PRT.
Dalam pendidikan publik dan legislasi kebijakan publik untuk ketenagakerjaan PRT, RTND bersama-sama dengan PRT dan Jaringan Perlindungan PRT DIY dan Jala PRT (Jaringan Nasional Advokasi PRT) aktif melakukan legislasi kebijakan publik untuk perlindungan PRT.
Begitu pula dalam kampanye, mengingat isu PRT tidak populer, sebaran keberadaan PRT yang luas, RTND berusaha untuk membuat media kampanye yang populer, mobilized dan melibatkan multistakeholder.
Belakangan ini istilah 'Feminisme' mulai mencuat di Indonesia sejalan dengan gerakan Reformasi yang sudah bergulir. Dari 'Suara Ibu Peduli' yang membela kaum ibu yang jadi korban krisis ekonomi, kaum buruh perempuan khususnya pembelaan atas 'buruh wanita Marsinah' suara itu bergulir terus, bahkan KIPP dalam rangka Pemilu tidak lupa menganalisis partai-partai mana yang membela kaum wanita. Semua ini menunjukkan adanya riak-riak Feminisme yang mulai menampakkan kehadirannya di Indonesia.
MENGAPA ADA FEMINISME ?
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriachal sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropah dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus 'tunduk kepada suami!' (Efs.5:22) dengan menafsirkannya secara harfiah dan tekstual seakan-akan mempertebal perendahan terhadap kaum perempuan itu.
Dari latar belakang demikianlah di Eropah berkembang gerakan untuk 'menaikkan derajat kaum perempuan' tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul 'Vindication of the Right of Woman' yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-40 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era reformasi dengan terbitnya buku 'The Feminine Mystique' yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama 'National Organization for Woman' (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya 'Equal Pay Right' (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan 'Equal Right Act' (1964) dimana kaum perempuan mempuntyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, soalnya sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah 'Student for a Democratic Society' (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok 'feminisme radikal' dengan membentuk 'Women's Liberation Workshop' yang lebih dikenal dengan singkatan 'Women's Lib.' Women's Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya 'Miss America Pegeant' di Atlantic City yang mereka anggap sebagai 'pelecehan terhadap kaum wanita' dan 'komersialisasi tubuh perempuan.' Gema 'pembebasan kaum perempuan' ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia.
Melihat etikad baik kaum perempuan ini sebenarnya gerakan ini semestianya mendapat dukungan bukan saja dari kaum perempuan tetapi juga seharusnya dari kaum laki-laki, tetapi mengapa kemudian banyak kritik diajukan kepada mereka?
SASARAN KRITIK
Sebenarnya bangkitnya gerakan kaum perempuan itu banyak mendapat simpati bukan saja dari kaum perempuan sendiri tetapi juga dari banyak kaum laki-laki, tetapi perilaku kelompok feminisme radikal yang bersembunyi di balik 'women's liberation' telah melakukan usaha-usaha yang lebih radikal yang berbalik mendapat kritikan dan tantangan dari kaum perempuan sendiri dan lebih-lebih dari kaum laki-laki. Organisasi-organisasi agama kemudian juga menyatakan sikapnya yang kurang menerima tuntutan 'Women's Lib' itu karena mereka kemudian banyak mengusulkan pembebasan termasuk pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya yang mereka anggap sebagai kaku dan buah dari 'agama patriachy' atau 'agama kaum laki-laki.'
Memang memperjuangkan kesamaan hak dalam memperoleh pekerjaan, gaji yang layak, perumahan maupun pendidikan harus diperjuangkan, dan bahkan pemberian hak-suara kepada kaum perempuan juga harus diperjuangkan, tetapi kaum perempuan juga harus sadar bahwa secara kodrati mereka lebih unggul dalam kehidupan sebagai pemelihara keluarga, itulah sebabnya adalah salah kaprah kalau kemudian hanya karena kaum perempuan mau bekerja lalu kaum laki-laki harus tinggal di rumah memelihara anak-nak dan memasak. Bagaimanapun kehidupan modern, kaum perempuan harus tetap menjadi ibu rumah tangga. Ini tidak berarti bahwa kaum perempuan harus selalu berada di rumah, ia dapat mengangkat pembantu atau suster bila penghasilan keluarga cukup dan kepada mereka dapat didelegasikan beberapa pekerjaan rumah tangga, tetapi sekalipun begitu seorang isteri harus tetap menjadi ibu rumah tangga yang bertanggung jawab dan rumah tangga tidak dilepaskan begitu saja.
Bila semula gerakan kaum perempuan 'feminisme' itu lebih mengarah pada perbaikan nasib hidup dam kesamaan hak, kelompok radikal 'Women's Lib' telah mendorongnya untuk mengarah lebih jauh dalam bentuk kebebasan yang tanpa batas dan telah menjadikan feminisme menjadi suatu 'agama baru.'
Sebenarnya halangan yang dihadapi 'feminisme' bukan saja dari luar tetapi dari dalam juga. Banyak kaum perempuan memang karena tradisi yang terlalu melekat masih lebih senang 'diperlakukan demikian,' atau bahkan ikut mengembangkan perilaku 'maskulinisme' dimana laki-laki dominan Sebagai contoh dalam soal pembebasan kaum perempuan dari 'pelecehan seksual' banyak kaum perempuan yang karena dorongan ekonomi atau karena kesenangannya pamer justru mendorong meluasnya prostitusi dan pornografi. Banyak kaum perempuan memang ingin cantik dan dipuji kecantikannya melalui gebyar-gebyar pemilihan 'Miss' ini dan 'Miss" itu, akibatnya usaha menghentikan yang dianggap 'pelecehan'itu terhalang oleh sikap sebagian kaum perempuan sendiri yang justru 'senang berbuat begitu.'
Halangan juga datang dari kaum laki-laki. Kita tahu bahwa secara tradisional masyarakat pada umumnya menempatkan kaum laki-laki sebagai 'penguasa masyarakat,' (male dominated society) bahkan masyarakat agama dengan ajaran-ajarannya yang orthodox cenderung mempertebal perilaku demikian. Dalam agama-agama sering terjadi 'pelacuran kuil' dimana banyak gadis-gadis harus mau menjadi 'pengantin' para pemimpin agama seperti yang dipraktekkan dalam era modern oleh 'Children of God' dan 'Kelompok David Koresy', dan di kalangan Islam fundamentalis banyak dipraktekkan disamping poligami juga bahwa kaum perempuan dihilangkan identitas rupanya dengan memakai kerudung sekujur badannya atau bahwa kaum perempuan tidak boleh menjadi pemimpin yang membawahi laki-laki, dan bukan hanya itu ada kelompok agama di Afrika yang yang mengharuskan kaum perempuan di sunat hal mana tentu mendatangkan penderitaan yang tak habis-habisnya bagi kaum perempuan. Di segala bidang jelas kesamaan hak kaum perempuan sering diartikan oleh kaum laki-laki sebagai pengurangan hak kaum laki-laki, dan kaum perempuan kemudian menjadi saingan bahkan kemudian ingin menghilangkan dominasi kaum laki-laki di masyarakat!
Kritikan prinsip yang dilontarkan pada feminisme khususnya yang radikal (Women's Lib) adalah bahwa mereka dalam obsesinya kemudian 'mau menghilangkan semua perbedaan yang ada antara perempuan dan laki-laki.' Jelas sikap radikal yang mengabaikan perbedaan kodrat antara kaum perempuan dan laki-laki itu tidak realistis karena faktanya toh berbeda dan menghasilkan dilema, sebab kalau kaum perempuan dilarang meminta cuti haid karena kaum laki-laki tidak haid pasti timbul protes, sebaliknya tentu pengusaha akan protes kalau kaum laki-laki diperbolehkan ikut menikmati 'cuti haid dan hamil' padahal mereka tidak pernah haid dan tidak mungkin hamil. Kesalahan fatal feminisme radikal ini kemudian menjadikan laki-laki bukan lagi sebagai mitra atau partner tetapi sebagai 'saingan' (rival) bahkan 'musuh ' (enemy)!' Sikap feminisme yang dirusak citranya oleh kelompok radikal sehingga menjadikannya 'sangat eksklusif' itulah yang kemudian mendapat kritikan luas.
Kritikan lain juga diajukan adalah karena dalam membela kaum perempuan dari sikap 'pelecehan seksual;' mereka kemudian ingin melakukan kebebasan seksual tanpa batas, seperti 'Women's Lib' mendorong kebebasan seksual sebebas-bebasnya termasuk melakukan masturbasi, poliandri, hubungan seksual antara orang dewasa dan anak-anak, lesbianisme, bahkan liberalisasi aborsi dalam setiap tahap kehamilan. Kebebasan ini tidak berhenti disini karena ada kelompok radikal yang 'menolak peran kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga' dan menganggap 'perkawinan' sebagai belenggu. Andrea Dworkin bahkan menganggap 'hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tidak beda dengan perkosaan!'
Di kalangan agama Kristen, feminisme itu lebih lanjut mempengaruhi beberapa teolog-perempuan yang menghasilkan usulan agar sejarah Yesus yang sering disebut sebagai 'History' diganti dengan 'Herstory' dan lebih radikal lagi agar semua kata 'Bapa' untuk menyebut Allah dalam Alkitab harus diganti dengan kata 'Ibu.' Ibadat dan pengakuan iman (Credo) tidak lagi menyebut 'Allah Bapa tetapi Allah Ibu' atau the 'Mother Goddess,' bahkan lambang salib perlu diganti dengan meletakkan tanda O (bulatan) tepat diatas lambang salib Kristus sehingga menjadi lambang kaum perempuan.
Kita sekarang menghadapi era informasi dimana kedudukan kaum perempuan dibanyak segi bisa lebih unggul dari kedudukan kaum laki-laki. Dalam hal dimana kedudukan isteri lebih baik daripada suami memang keadaanya bisa sukar dipecahkan, tetapi keluarga Kristen tentunya harus memikirkan dengan serius pentingnya peran ibu rumah tangga demi menjaga kelangsungan keturunan yang 'takut akan Tuhan' (Maz.78:1-8), dan disinilah pengorbanan seorang ibu perlu dipuji. Dalam hal seorang ibu berkorban untuk mendahulukan keluarga sehingga bagi mereka karier dinomor duakan atau dijabat dengan 'paruh waktu' lebih-lebih selama anak-anak masih kecil, seharusnya para suami bisa lebih toleran menjadi 'penolong' bagi isteri dalam tugas ini.
Sungguh sangat disayangkan bahwa banyak tokoh-tokoh perempuan sendiri tidak mengakui 'pekerjaan ibu rumah tangga sebagai profesi' dan menganggapnya lebih inferior daripada misalnya pekerjaan sebagai dokter, pengacara atau pengusaha, dalam sikap ini kita dapat melihat sampai dimana kuku feminisme radikal sudah pelan-pelan menusuk daging.
Pernah ketika ada kunjungan Gorbachev, presiden Rusia waktu itu, yang berkunjung ke Amerika Serikat, isterinya 'Raisa' bersama 'Barbara', isteri presiden Amerika Serikat George Bush, diundang untuk berbicara disuatu 'Universitas perempuan yang terkenal.' Ketika keduanya berbicara, sekelompok perempuan yang bergabung dengan 'women's lib' meneriakkan yel-yel bahkan membawa poster yang mencemooh mereka karena mereka hanya menjadi ibu rumah tangga yang tidak bisa mempunyai karier sendiri. Bahkan, beberapa profesor perempuan menolak hadir karena merasa direndahkan bila mendengar pembicara perempuan yang hanya seorang ibu rumah tangga. Pembawa Acara, menanggapi kritikan-kritikan itu kemudian berkomentar bahwa 'memang keduanya adalah ibu rumah tangga, tetapi karena dampingan keduanya, dua orang paling berkuasa di dunia dapat menciptakan kedamaian di dunia, suatu profesi luhur yang tiada taranya!'
SEBUAH INTROSPEKSI
Dibalik kritikan yang ditujukan terhadap 'Women's Lib' khususnya dan 'Feminisme' umumnya, kita perlu melakukan introspeksi karena sebenarnya 'feminisme' itu timbul sebagai reaksi atas sikap kaum laki-laki yang cenderung dominan dan merendahkan kaum perempuan. Ini terjadi bukan saja di kalangan umum tetapi lebih-lebih di kalangan yang meng 'atas namakan' agama memang sering berperilaku menekan kepada kaum perempuan.
Dalam menyikapi 'feminisme' sebagai suatu gerakan, kita harus berhati-hati untuk tidak menolaknya secara total, sebab sebagai 'gerakan persamaan hak' harus disadari bahwa usaha gerakan itu baik dan harus didukung bahkan diusahakan oleh kaum-laki-laki yang dianggap bertanggung jawab atas kepincangan sosial-ekonomi-hukum-politis di masyarakat itu khususnya yang menyangkut gender. Yang perlu diwaspadai adalah bila feminisme itu mengambil bentuk radikal melewati batas kodrati sebagai 'gerakan pembebasan kaum perempuan' seperti yang secara fanatik diperjuangkan oleh 'Women's Lib.'
Bagi umat Kristen, baik umat yang tergolong kaum perempuan maupun kaum-laki-laki, keberadaan 'sejarah Alkitab' harus diterima sebagai 'History' dan data-data para patriach (bapa-bapa Gereja) tidak perlu diubah karena masa primitif dan agraris memang mendorong terjadinya dominasi kaum laki-laki, tetapi sejak masa industri lebih-lebih masa informasi, kehadiran peran kaum perempuan memang diperlukan dalam masyarakat selain peran mereka yang terpuji dalam rumah tangga dan Alkitab tidak menghalanginya. Tetapi sekalipun begitu, Alkitab dengan jelas menyebutkan adanya perbedaan kodrati dalam penciptaan kaum laki-laki dan kaum perempuan. Kaum laki-laki memang diberi perlengkapan otot yang lebih kuat dan daya juang yang lebih besar, tetapi kaum perempuan diberi tugas sebagai 'penolong' yang sejodoh yang sekaligus menjadi ibu anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.
Kita harus sadar bahwa arti 'penolong' bukanlah berarti 'budak' tetapi sebagai 'mitra' atau 'tulang rusuk yang melengkapi tubuh.' Kesamaan hak harus dilihat dalam rangka tidak melanggar kodrat manusia. Kita harus sadar bahwa kotbah-kotbah yang sering menyalahgunakan ayat-ayat Efesus fasal 5 tentang 'hubungan suami dan isteri' (yang juga dilakukan oleh banyak penginjil perempuan) harus diletakkan dalam konteks bahwa 'suami harus mengasihi isterinya' (Efs.5:25). Tunduk dalam ayat-22 bukan sembarang tunduk (seperti kepada penjajah atau majikan) tetapi seperti kepada Tuhan (Kristus), dan 'kasih' bukanlah sekedar cinta tetapi dalam pengertian 'kasih Kristus' yang 'rela berkorban demi jemaat' (Efs.5:25) dan seperti 'laki-laki mengasihi' dirinya sendiri' (Efs.5:33). Tentu kita sadar bahwa 'berkorban' itu jauh lebih besar dan sulit dilakukan daripada 'tuntuk' bukan?
Gerakan feminisme sudah berada di tengah-tengah kita, peran kaum perempuan yang cenderung dimarginalkan dalam masyarakat 'patriachy' sekarang sudah mulai menunjukkan ototnya. Semua perlu terbuka akan kritik kaum perempuan yang dikenal sebagai penganut 'feminisme' tetapi feminisme harus pula mendengarkan kritikan dari kaum perempuan sendiri maupun kaum laki-laki agar 'persamaan' (equality) tidak kemudian menjurus pada 'kebebasan' (liberation) yang tidak bertanggung jawab.
Indonesia sebagai negara yang mempunyai budaya feodal memang menempatkan kaum perempuan di dapur, dan sekalipun ibu kita 'Kartini' sudah membela hak-hak kaum perempuan dan menaikkan masa depan kehidupan mereka agar lebih cerah, kelihatannya tempat kaum perempuan masih belum cukup cerah. Situasi di Indonesia memang sudah lebih baik dengan adanya menteri-menteri perempuan dan kini sudah banyak orang yang mengharapkan diterimanya presiden perempuan, tetapi kelihatannya masa depan kaum perempuan di Indonesia masih terus harus diperjuangkan, bukan saja oleh kaum perempuan sendiri melainkan juga oleh kaum laki-laki. ***
A m i n !
[INDONESIA-L] MELANI BUDIANTA - Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia
From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Tue Dec 19 2000 - 18:10:50 EST
________________________________________
X-URL: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0012/20/nasional/tran33.htm
>Rabu, 20 Desember 2000
Transformasi Gerakan Perempuan di Indonesia
Kompas/arbain rambey
[BUTTON]
CATATAN REDAKSI
Esai ini disusun berdasarkan sebuah diskusi terbatas sejumlah aktivis
perempuan yang diadakan di Komite Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan. Saparinah Sadli, Kamala Chandrakirana, Myra Diarsi, Ita F
Nadia, Lies Marantika, dan Nunuk Murniati membuat refleksi tentang
gerakan perempuan di Indonesia pascareformasi, dipandu dan disarikan
oleh Melani Budianta.
____________________________
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar